
Deskripsi
Selama lima tahun ini aku berusaha melupakan tentangnya. Tentang dia yang kucinta, tapi ternyata dia juga yang melupakanku.
Note: cerpen ini aku tulis sudah lama sekali, tapi mungkin saja kalian belum pernah membaca. Genre romance.
***
1
Delete. Klik.
Aku memejamkan mata sambil menekan salah satu tombol di keyboard laptop. Ini foto kelima puluh satu yang sudah kuhapus malam ini, dari memori laptopku. Ini benar-benar menyedihkan. Sudah hampir sepuluh tahun aku menyimpan foto-foto itu, memandanginya tiap...
3,661 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Cerpen
Selanjutnya
Another Me (Bentuk Tulisan)
10
0
Blurb: Kejadian penganiayaan dan pembunuhan yang terjadi berulang-ulang dengan korban berbeda, menggemparkan seisi kota. Para petugas kepolisian sangat sibuk memburu sang pelaku yang selalu meninggalkan bunga mawar hitam sehabis beraksi. Tak terkecuali Ray, detektif tampan yang merupakan teman dari kakak Annaliza.Suatu hari Ray datang, dan menunjukkan sebuah bukti rekaman CCTV. Dalam video itu, terungkaplah bahwa sang pelaku adalah ... Annaliza.Tentu saja Ann tidak mau mengakuinya. Ia yakin ada yang mengkambinghitamkan dirinya. Namun siapa?***IBukan aku, Jo. Demi Tuhan, bukan aku!Teriakanku menggema di seluruh sudut ruangan, hingga mungkin jika suara bisa punya kekuatan untuk menghancurkan, maka benda-benda pecah belah di seisi rumah ini sudah hancur berkeping-keping.Ray, kau bisa menyelidikinya, kan? Bisa saja itu gadis yang mirip denganku. Bukankah ada mitos bahwa setiap manusia di dunia punya tujuh kembaran di belahan dunia yang lain? Mungkin saja mitos itu benar. Atau—atau ... Jo, coba kau ingat-ingat mungkin saja aku punya saudara kembar? Mungkin saja dia ikut terpisah denganku saat aku hilang dulu? Mungkin saja dia yang melakukan hal itu? Ray, itu masuk akal bukan? Kenapa kalian diam saja? Aissh berapa kali harus kukatakan kalau itu bukan aku?!Aku kembali berteriak, frustasi. Entah ini sudah yang keberapa kalinya aku berteriak di depan Jo, Ray dan Jean dengan kalimat yang sama. Berulang-ulang dan berputar-putar. Tetap bersikeras pada keyakinanku bahwa apa yang mereka tuduhkan tidaklah benar. Namun sama seperti sebelum-sebelumnya, ketiga orang itu hanya menampakkan ekspresi datar yang akan berubah menjadi iba beberapa menit kemudian.Dan sungguh dari semua hal yang kubenci dalam hidupku yang sekarang, aku paling benci pada ketidakpercayaan mereka padaku. Ketidakpercayaan mereka membuatku dipandang sebagai seseorang yang salah, dan pada akhirnya ketakutan akan ditinggalkan muncul kembali dalam hatiku.Jo mendekat dan duduk tepat di sampingku, kemudian menggenggam erat tanganku yang terkepal menahan amarah. Aku bergeming, menundukkan kepala untuk menghindari tatapan matanya.Ann, percayalah pada kami. Ceritakan semuanya, dan kami akan membantumu. Kau tahu kan kalau kami sangat menyayangimu? Jo berucap lembut, dan dengan nada hati-hati.Aku mendesah lelah dan melepaskan genggaman tangannya lalu memiringkan tubuh untuk membalas tatapannya.Apa yang harus kuceritakan, Jo? Sudah berulang-kali kukatakan pada kalian kalau gadis itu bukan aku. Bukan aku yang melakukanya, jadi apa yang mesti kuceritakan? Jo, tolonglah. Percayalah padaku. Kenapa kau tidak bisa mempercayaiku?Kini suaraku melemah, terlalu lelah untuk mencoba meyakinkan mereka. Selalu berputar-putar kalimat yang kuucapkan hingga aku lelah dan bosan. Apa mereka tidak bosan mendengarnya?Jo kembali meraih tanganku dan meremasnya pelan. Aku percaya padamu, Ann. Sangat percaya. Karena itu kau bisa ceritakan semua yang terjadi padamu. Aku akan berusaha memahami dan mengerti perasaanmu, itulah gunanya keluarga.Aku menatap Jo dengan kecewa. Dengan kau yang memaksaku untuk menceritakan kejadian yang sama sekali tidak kulakukan, itu sama saja dengan kau yang tidak percaya, Jo!Ann. Ray menginterupsi, yang tentu saja membuatku langsung menoleh padanya. Di sampingnya, Jean kini menatapku cemas.Kau lihat benda-benda itu? tanya Ray sambil menunjuk benda-benda yang tergeletak di atas meja kaca. Itu hanyalah sebagian dari bukti yang jelas sekali menunjukkan bahwa gadis yang ada di foto dan rekaman video CCTV itu adalah kau, Ann. Sisa bukti yang lain tidak bisa kutunjukkan karena aku harus bersikap profesional sekali pun itu kepada keluargaku sendiri. Tapi bukti-bukti yang kubawa ini, bahkan sudah cukup untuk membuktikan bahwa gadis itu memang adalah kau, Ann.Bukan aku, Ray! Aku berteriak sambil berdiri menatap marah pada teman karib Jo ini. Aku tahu kau pintar, Ray. Seharusnya sebagai seorang anggota detektif, kau tidak bisa langsung percaya benda-benda itu sebelum kau membuktikan sendiri keakuratannya. Kau tidak bisa langsung menuduhku seenaknya!Aku tidak seenaknya menuduhmu, justru aku sedang berusaha melindungimu dari timku yang sudah sejak dua minggu lalu ingin segera membawamu. Karena itu cobalah mengerti, dan jelaskan alasanmu melakukan hal itu.Aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak melakukannya. Sampai mati pun aku tidak akan pernah mengakui hal yang sama sekali tidak kulakukan! Setitik air mata berhasil lolos dari pelupuk mata dan segera kuusap dengan punggung tangan. Ray, kumohon percayalah padaku.Ray mengacak-acak rambutnya sendiri dan mendongak menatapku. Kumohon juga, Ann. Jangan seperti ini. Percayalah pada kami, dan biarkan aku membantumu.Aku tidak butuh dibantu, Ray. Aku hanya butuh kepercayaan dari kalian, balasku dengan suara bergetar. Pelupuk mataku semakin memanas, ingin rasanya aku menangis sekeras-kerasnya sekarang.Karena itu ceritakan semuanya pada kami. Apa masalahmu dan apa yang membuatmu melakukan hal seperti itu, cerita pada kami. Kalau memang ada masalah yang terjadi padamu, setidaknya kami bisa membantu agar hukumanmu diringankan.Itu artinya kau tetap menuduhku yang melakukannya, kan? Aku menatapnya skeptis, menyorot tajam bola mata hitam milik Ray.Kalau begitu tahan saja aku sekarang. Tidak perlu menungguku bercerita dan memberi keterangan kalau hanya untuk bisa memenjarakanku. Aku akan dengan sukarela menyerahkan diri, kalau itu memang bisa membuat seorang intelijen terhormat bernama Ray merasa berpuas hati. Silakan saja! Tapi aku sama sekali tidak akan buka mulut, karena aku memang tidak perlu buka mulut. Percayai saja pada benda-benda tak jelas itu dan kurung aku sampai ma—ANNALIZA! Ray berteriak keras memotong kata-kata sarkas yang kuucapkan, kemudian matanya membalas tatapanku tak kalah tajam.Harus berapa kali juga kukatakan bahwa benda-benda itu asli dan akurat. Seperti yang kau katakan kalau aku adalah seorang detektif, tentu saja aku sudah membuktikannya. Berulang-ulang malah. Dan hasilnya tetap sama. Wajah gadis di foto itu adalah kau. Pakaian itu adalah milikmu. Korban itu adalah orang yang sebelumnya pernah mengenalmu.Lingkungan tempat kejadian juga merupakan lingkungan tempat tinggalmu yang sebelumnya saat kau hilang. Dan yang paling penting adalah sidik jari yang tertinggal di TKP dan tubuh korban, itu juga adalah sidik jarimu. Itu merupakan bukti bahwa memang kaulah pembunuhnya, Ann!"Ray, jaga suaramu! Jo memandang tajam pada Ray. Yang kau teriaki dan kau sebut sebagai pembunuh itu adalah adikku. Jaga batasanmu!Jean bangkit, menghampiri Jo dan mengusap lengannya agar suaminya itu bisa tenang. Jo, tenanglah. Tidak perlu sampai lepas emosi seperti ini.Aku terdiam, lelah dengan segala pokok pembicaraan yang selama sebulan penuh ini berputar-putar menghantuiku. Hari-hari tenang yang baru empat tahun kudapatkan, seolah lenyap tak berbekas. Berganti dengan hari-hari penuh sangsi dan keraguan yang ditunjukkan padaku, bahkan oleh orang-orang terdekat yang kupunya.Bukan begitu, Jo. Aku sama sekali tidak berniat menuduh Ann sebagai pembunuh. Aku hanya ingin Ann bisa bekerja sama, bukan malah keras kepala seperti ini. Di sini aku juga mempertaruhkan pekerjaanku, Jo. Ray mencoba memberi pengertian pada Jo, yang dibalas Jo dengan helaan napas berat.Mungkin Ann memang melakukan itu, tapi Ann-ku bukanlah seorang pembunuh, Ray. Jo berucap pelan, tapi penuh penekanan.Sementara aku yang mendengar kalimat terakhir Jo, tiba-tiba tidak bisa menahan tawa sarkastik. Ketiganya memandangku khawatir. Kutolehkan kepala pada satu-satunya pria yang memiliki ikatan darah denganku ini, kemudian menatapnya datar.Jo, kau sama saja dengan Ray. Kalian semua memojokkanku. Aku berucap dengan nada dingin, kemudian membalikkan badan berniat meninggalkan mereka bertiga.Ann. Panggilan Ray menghentikan gerak kakiku yang baru selangkah berjalan.Namun aku hanya berdiri memunggungi mereka, tanpa berniat membalikkan badan kembali.Aku menyayangimu, kau tahu itu.Aku kecewa padamu, kau juga pasti sadar itu. Aku membalasnya dengan nada yang makin dingin.Ann. Giliran Jean yang memanggil, tapi belum sempat dia bicara aku sudah mendahuluinya.Jangan mengatakan apa pun kalau pada akhirnya kau hanya akan seperti mereka, Kakak Ipar.Aku kembali berucap sarkastik saat mendengar pergerakan Ray mendekat padaku. Dan Ray, aku mau ke kamar dulu. Memulihkan emosi agar bisa menghadapi sesi interogasimu selanjutnya dengan tenang. Aku juga tidak akan menghindar darimu, meskipun jawabanku akan selalu sama. Selamat malam.Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berlalu dari hadapan mereka. Ruangan itu terlalu sesak sejak sebulan terakhir. Di mana tiap dua hari sekali Ray datang mengumpulkan kami semua, kemudian dimulailah sesi interogasi seperti yang dia lakukan padaku dua jam lalu. Menanyakan hal-hal yang tak kumengerti, memaksaku menceritakan kejadian yang tak kualami, memintaku memberi alasan atas perbuatan yang tak kulakukan.Setiap kali aku menyangkal, tiap kali aku menolak bicara, tiap kali aku mulai menangis karena kehabisan cara untuk meyakinkan mereka bahwa apa yang kuucapkan adalah kejujuran, mereka menunjukkan wajah ragu. Tidak ada yang mengerti dan mencoba memahami, bahwa aku tertekan di sini.***
IIAh, aku sangat ingat kapan hal ini bermula. Yaitu beberapa bulan lalu, saat sebuah berita televisi menayangkan tentang korban pembunuhan di sebuah taman bermain, di suatu kompleks perumahan yang agak jauh dari pusat kota.Sebulan kemudian, kebakaran terjadi di sebuah rumah berlantai dua yang lagi-lagi letaknya tak jauh dari dua kasus pembunuhan sebelumnya. Terakhir, berita sebuah penganiayaan terhadap seorang wanita yang bekerja sebagai office girl di asrama mahasiswa milik sebuah universitas swasta di kota ini.Ketiga kasus itu walaupun berbeda, tapi mempunyai satu kesamaan yaitu pelakunya adalah orang yang sama. Itu dapat disimpulkan dari satu jejak yang ditinggalkan sang pelaku, yaitu setangkai bunga mawar hitam. Dan sepertinya bunga itu sengaja ditinggalkan oleh sang pelaku, mungkin sekedar untuk memberi tanda sebagai kebanggaan atau mungkin juga ada alasan lainnya. Entahlah.Awalnya aku tidak terlalu tertarik dengan berita itu, kecuali satu fakta bahwa Ray yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini. Ray sangat sibuk sejak itu, hingga jarang datang untuk berkunjung bersama Jo dan Jean yang memang datang seminggu sekali menginap ke rumah yang kusewa sejak aku bekerja di sebuah perusahaan percetakan di kota ini.Meskipun jarang berkunjung, Ray sering bercerita via telepon tentang beberapa bukti yang ditemukannya terkait pelaku kejahatan kasus yang diselidikinya. Aku juga belum cukup tertarik, karena pada dasarnya aku memang tidak tertarik dengan bidang yang digeluti Ray itu. Terlalu mengerikan menurutku.Hingga sebulan kemudian Ray datang dengan sikap aneh. Tatapan matanya tidak sehangat Jo, padahal sejak pertama aku mengenal dan menganggapnya sebagai keluarga, dia selalu menatapku sehangat Jo. Hari itu dia beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi entah karena apa dia selalu mengurungkannya. Pada akhirnya dia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun hari itu.Namun tiga hari kemudian Ray kembali datang, bersama Jo dan Jean. Aku sedikit heran saat itu, mengingat hari itu bukan weekend. Pasti ada hal yang sangat penting hingga mereka tiba-tiba datang di hari kerja, bahkan sampai berniat menginap di rumahku. Dan ternyata memang hal yang ingin mereka bicarakan adalah sesuatu yang teramat sangat penting, hingga aku nyaris terkena serangan jantung. Ray memutar sebuah video di depan kami semua, setelah sebelumnya mengatakan telah menemukan pelaku kejahatan yang diselidikinya.Video itu memutar aksi seorang gadis berusia awal dua puluhan yang tengah berseteru dengan seorang wanita berusia di akhir tiga puluhan, di sebuah minimarket. Gadis itu tanpak bertubi-tubi memukuli wanita itu dengan tongkat baseball, hingga sang wanita tergeletak tak berdaya. Di rekaman CCTV itu, tampak jelas bahwa sama sekali tidak ada orang lain di tempat itu selain mereka berdua. Lalu selanjutnya adalah beberapa foto yang sepertinya dicetak dari rekaman CCTV, gadis yang sama tengah menganiaya seorang wanita di belakang gedung asrama mahasiswa sebuah universitas.Lalu video rekaman CCTV terakhir memutar aksi gadis yang sama lagi, tengah menumpahkan cairan yang diduga adalah bensin ke sekeliling sebuah rumah berlantai dua kemudian tanpa ragu melemparkan korek api ke atasnya. Rumah itu terbakar, mengundang si jago merah mengamuk di tengah gelapnya malam. Aksi yang sangat berani.Mungkin jika dalam keadaan yang biasa, reaksiku setelah melihat video itu sekadar merutuki dan mendoakan gadis jahat itu agar mendapatkan balasan yang setimpal. Tapi kali ini tidak biasa, mengingat gadis di dalam video itu mirip denganku. Postur tubuh, wajah, warna dan panjang rambut, bahkan pakaiannya saja sama seperti pakaian yang kupunya. Tentu saja itu membuatku nyaris mati berdiri.Namun aku tak jadi mati berdiri, saat setelahnya menyadari bahwa Jo dan Jean menatapku syok. Tatapan mereka seolah-olah memang aku yang menjadi tokoh utama dalam video itu, seolah pembunuh itu adalah aku. Sedangkan aku yang masih terpaku dan mencoba mencerna apa yang terjadi, hanya berdiri gemetar.Jo tampak linglung, aku tahu selama ini dia sepercaya itu padaku. Jadi sangat wajar jika Jo keget sekaget-kagetnya melihat gadis yang mirip dengan adiknya melakukan hal sekeji itu. Ekspresi Jean pun tak jauh berbeda dengan Jo, suaminya. Sementara Ray yang aku tebak pasti mengetahui hal itu sejak kemarin-kemarin, hanya menunjukkan ekspresi datar.Setelah beberapa saat mencerna segalanya dan memastikan bahwa apa yang terjadi bukanlah sekedar mimpi buruk, dengan tergesa-gesa aku menjelaskan kepada mereka bertiga bahwa apa yang mereka pikirkan itu tidak benar. Aku bukanlah gadis itu. Mengesampingkan segala kemiripanku dengan gadis itu, aku dengan lantang menyerukan bahwa aku tidak pernah melakukan hal keji seperti itu. Bukan aku.Tapi sayang, mereka telah hilang kepercayaan. Keraguan mereka ternyata lebih besar dari pada kasih sayang yang selama ini mereka miliki untukku. Sebanyak apa pun aku mengelak, mereka malah memintaku jujur. Aku sudah sepenuhnya jujur, lalu apa lagi kejujuran yang harus kukatakan? Namun mereka tetap tidak percaya.Bahkan Jo dan Jean memintaku untuk pindah rumah dan tinggal bersama mereka. Aku yakin itu mereka lakukan dengan tujuan agar bisa setiap waktu mengawasiku. Bahkan aku disuruh mereka untuk cuti kerja. Aku menuruti semua keinginan mereka dengan harapan agar mereka percaya, tapi ternyata sulit sekali mendapatkan kembali sebuah kepercayaan.Dan yang lebih mengecewakanku, mereka secara tidak langsung mengurungku di rumah Jo agar bisa sewaktu-waktu diinterogasi oleh Ray. Bahkan Ray yang dulu mempertemukanku kembali dengan Jo setelah kami terpisah selama sepuluh tahun, sejak kasus itu dia menjadi pribadi yang berbeda di depanku. Dia dingin dan tak bersahabat, setidaknya itu yang tertangkap di mataku meskipun kadang aku tak sengaja menangkap ekspresi lelah dan frustrasi di wajahnya.***
IIIKetukan keras di pintu kamar membuat tidurku yang baru sebentar, terusik begitu saja. Aku tahu itu bukan ketiga orang yang sudah hilang kepercayaan padaku, mengingat mereka sangat tahu betul bahwa aku tidak akan bisa memejamkan mata lagi jika tidurku sudah terganggu. Kalau begitu, siapa yang datang? Sedangkan penghuni rumah berlantai dua milik Jo ini hanyalah kami bertiga. Ketukan itu terdengar makin keras, hingga lebih seperti suara gaduh.Aku mendengus kesal, kemudian memutuskan untuk turun dan mencari tahu siapa yang berani mengganggu tidur pendekku. Oke, tidur panjang terlalu mainstream jadi tidur pendek lebih pas untuk menggambarkan waktu istirahatku yang sudah dikurangi insomnia terlebih dahulu. Saat membuka pintu, aku langsung terlonjak ke belakang saat tiga pria berseragam polisi sudah berdiri di depan kamarku. Mereka memandangku garang dan waspada, seolah aku ini adalah penjahat kelas kakap yang sedang mereka coba untuk bekuk. Aku menarik-embuskan napas, mencoba untuk tenang.Ada yang bisa kubantu? tanyaku tenang, meski di dalam sana dadaku bergemuruh hebat.Anda Nona Annaliza Jenner, benar? tanya polisi wanita di depanku dengan tatapan seolah-olah berniat membunuhku dengan laser matanya.Aku mengangguk kaku. Y-ya, benar. Ada yang bisa kubantu?Kami mendapat perintah untuk membawa Nona guna memberikan keterangan terkait kasus pembunuhan dan penganiayaan yang terjadi beberapa bulan terakhir. Salah satu polisi pria angkat bicara, yang tentu saja langsung membuat bola mataku hampir copot.Aku mundur beberapa langkah. Entah kenapa tiba-tiba di kepalaku terlintas wajah Ray, dan hatiku terus bergumam bahwa Ray yang menyuruh orang-orang ini datang. Aku benar-benar tidak menyangka Ray bisa melakukan hal ini padaku, padahal sejujurnya ucapanku kemarin sore hanyalah untuk menggertaknya saja.Huh! Aku sangat menyesal telah menyimpan ketertarikan pada pria itu. Dan lagipula, di mana Jo dan Jean hingga kedua pria dan satu orang wanita ini bisa masuk rumah dengan mudahnya? Atau ... Jo dan Jean memang bersekongkol dengan Ray? Jadi ini artinya aku dikhianati oleh keluargaku sendiri? Benar-benar tidak bisa dipercaya!Un-untuk apa? Aku … aku tidak ada hubungannya dengan kasus itu. Sial, suaraku bergetar!Nona bisa menjelaskannya di kantor. Mari ikut kami, ucap sang polisi wanita.Tidak! Aku tidak mau ikut kalian. Sudah kubilang aku tidak ada hubungannya dengan kasus itu! Aku menggelengkan kepala dengan cepat sembari berucap panik.Ketiga orang itu terus berjalan mendekat sementara aku terus mundur untuk menghindar. Salah satu tanganku meraih kenop pintu, berniat menutupnya sebelum orang-orang itu sampai di ambang pintu.Mari ikut kami, Nona Annaliza.Tepat saat salah satu polisi pria menyelesaikan ucapannya, aku membanting pintu dan menguncinya dari dalam.Pergi! teriakku panik.Jangan melawan hukum, Nona!Teriakannya itu terdengar diiringi gedoran keras, dan kenop pintu yang diputar-putar.Pergi! teriakku lagi, sambil meraih ponsel dan mencari nomor telepon Jo.Aku harus menghubunginya, memastikan bahwa kakakku tidak ada hubungannya dengan ini. Tapi sialnya Jo tidak bisa dihubungi, nomornya tidak aktif. Kucoba hubungi nomor Jean, namun lagi-lagi sama seperti Jo yang tidak bisa dihubungi.Nona Annaliza! Polisi pria berteriak lebih keras dengan gedoran yang sama kerasnya.Pergi! Aku tidak mau ikut kalian!Aku berteriak lagi, kali ini suaraku makin bergetar. Kupandang dengan cemas pintu yang digedor-gedor dari luar.Nona Annaliza, sekali lagi kami peringatkan untuk membuka pintu dan serahkan diri baik-baik, atau terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!Aku tidak mau ikut! teriakku sebelum satu isakan keluar.Aku semakin bergerak gelisah. Kedua tanganku sudah berkeringat dingin, tubuhku makin gemetar ketakutan.KELUAR ATAU KAMI DOBRAK PINTU INI! teriak salah satu polisi pria, membuat tubuhku makin gemetar.Oh tidak! Kenop pintu itu bisa-bisa copot kalau mereka terus mencoba memutar-mutarnya seperti itu. Dan apa tadi katanya? Mereka akan mendobrak pintu ini? Tidak! Aku harus melakukan sesuatu.Aku bangkit dari dudukku, berjalan mendekati meja belajar dan menyeretnya menuju pintu. Meja ini bisa kujadikan beban agar mereka kesulitan untuk mendobrak pintunya. Tunggu, kalau hanya meja saja tidak akan cukup berat kan? Maka aku kembali menyeret kursi dan nakas, lalu kugabungkan dengan meja yang tadi.Ann!Itu suara Ray. Tiba-tiba aku merasa terluka, bisa-bisanya Ray melakukan ini padaku! Tanpa sadar tanganku melempar vas bunga ke arah pintu, menjadikannya hancur berkeping-keping setelah jatuh di lantai.Ann, jangan bertindak bodoh dan cepat buka pintunya!Aku semakin kehilangan akal dengan melemparkan semua benda yang bisa kugapai.Pergi, Ray! Kau jahat! Sudah kukatakan kalau aku tidak bersalah. Kenapa kau mau memenjarakanku?! teriakku terisak-isak.Tidak, Ann. Kau salah paham. Buka pintunya, kita bicarakan baik-baik.Tidak! Kau jahat, Ray! Aku terduduk, memeluk lutut dengan isak tangis yang makin keras.Ann, kumohon mengertilah. Ray membujukku dengan suara lembut.Suaranya itu mengingatkanku pada tingkah Jo saat membujukku untuk makan dan minum obat waktu sakit. Tapi aku tidak akan percaya pada Ray maupun Jo, seperti sebulan ini di mana mereka dengan teganya tidak mau mempercayaiku.Kau terlalu banyak bicara, Ray! Dobrak saja pintunya! Teriakan marah polisi pria itu membuatku spontan berdiri.Bugh! Terdengar bunyi pukulan. Apakah mereka berkelahi?!SUDAH KUBILANG DARI AWAL JANGAN IKUT CAMPUR DENGAN KASUSKU, THOMAS! Jelas sekali suara Ray amat murka, tapi aku terlalu tenggelam dalam rasa takut sehingga tak ada waktu untuk menghiraukannya.BERSIKAPLAH PROFESIONAL! DIA PEMBUNUH, RAY!SUDAH KUBILANG DIA BUKAN PEMBUNUH. SETIDAKNYA AKU AKAN MEMBAWANYA KE PSIKIATER SEBELUM BENAR-BENAR YAKIN BAHWA DIA MELAKUKANNYA DENGAN SADAR!AKU BUKAN ORANG GILA, RAY! Aku berteriak garang, menyahuti adu mulut yang terjadi antara Ray dengan polisi pria bernama Thomas itu.Aissh kau terlalu lembek dan pengecut hanya karena dia saudara temanmu, Ray! KAU TAK PANTAS JADI KETUA TIM KAMI!DIAM, BODOH! Ray balas membentak keras. Ann, buka pintunya. Kita ke psikiater bukan karena kau gila, tapi kita akan buktikan kalau kau tidak bersalah.Aku sudah tidak percaya lagi padamu, Ray! sahutku dengan suara yang masih tersisa.Sam, bantu aku dobrak pintu ini sekarang juga. Tidak ada gunanya mengurusi pengecut ini!Celaka! Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari celah untuk melarikan diri. Melihat pintu kamar mandi, aku berlari masuk tanpa mempedulikan adu mulut yang masih terjadi antara Ray dan Thomas. Segera kukunci pintu kamar mandi, dan kunyalakan shower.Aku sudah terlalu lelah untuk mendengarkan semuanya. Gadis itu benar-benar kejam telah menjadikanku sebagai kambing hitam. Apa salahku padanya sampai dia melakukan itu padaku? Kami bahkan tidak saling kenal. Ingatkan aku untuk memberinya pelajaran jika aku sudah lolos dari orang-orang di depan kamarku itu! Aku berjengit kaget saat pintu di luar benar-benar didobrak. Aku harap semoga mereka tidak mencurigaiku berada di sini.Tapi ternyata harapanku sia-sia, saat kenop pintu kamar mandi diputar-putar. Dan disusul gedoran yang keras.Nona Annaliza, jangan main-main dengan kami!Suaraku sudah tak tersisa, bahkan hanya untuk menyahuti bentakan Tomi. Aku melangkah mundur hingga punggungku terantuk dinding kamar mandi. Tubuhku luruh ke lantai, tulang-tulangku serasa tercabut dari kulit. Gedoran semakin keras. Aku semakin panik, dan tidak bisa melakukan apa-apa.Tubuhku tiba-tiba menggigil, seiring dengan umpatan dan bentakan yang diberikan Ray pada Tomi. Tubuhku sudah gemetar hebat. Guyuran air shower yang dingin seakan menambah siksaan yang kurasa.Tanpa diminta, isak tangisku keluar dengan keras. Dan tepat saat pintu kamar mandi didobrak dari luar, pandanganku memburam lalu semuanya gelap.***Dukung untuk membaca lebih lanjut ♡
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan