After Ten Years (bab 48-49)

6
0
Terkunci
Deskripsi

Konten ini berisi bab 46-47 cerita After Ten Years. Di Wattpad baru dipublikasikan sampai bab 42. Dukung di Karyakarsa untuk bisa baca lebih dulu dibanding di Wattpad. 

Isi:
48. Panti Asuhan 

49. Pelacak

*

Blurb: Arbita Princessa hanya pernah satu kali percaya kepada seseorang, dan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Seseorang yang membuat Bita takut untuk menjatuhkan hati kembali. Pria yang bukan hanya menggoreskan luka batin, tapi juga fisik.

Di tengah tuduhan Gadis bahwa ia menjadi...

3,697 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
40
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Favorite Person (full)
6
1
New PDF by Septi Nofia SariJudul: Favorite Person  Harga normal: 35k (35 koin)Isi: 440 halaman  Bonus PDF Unspoken selama masa promo (14-31 Juli 2023) Harga promo: 30k (30 koin) Gunakan kode voucher SEBASTIAN untuk mendapatkan potongan harga  Blurb: Atas rekomendasi seorang pembaca, Naura menjadikan Bhaga sebagai cast untuk karakter utama dalam salah satu novelnya. Naura yang awalnya tidak mengenal siapa Bhaga, mulai stalking akun Instagram-nya. Ia jadi sering mengikuti keseharian fotografer itu melalui sosial media. Dan tanpa bisa dicegah, Naura mulai tertarik pada kepribadian Bhaga.Hanya saja, beberapa hal membuat Naura sadar bahwa jatuh cinta secara virtual tanpa mengenal di dunia nyata adalah kesia-siaan. Jadi sebelum ketertarikannya makin besar, Naura bertekad untuk menghapus rasa penasaran. Naura menutup segala akses yang ia punya dengan unfollow dan memblokir akun Bhaga.Namun ketika kehidupan Naura kembali seperti sebelumnya, ia justru dipertemukan dengan sosok Bhaga yang nyata. Ternyata Bhaga Sebastian adalah mahasiswa yang pernah bertemu Naura ketika gadis itu masih kecil.*PDF Unspoken by Septi Nofia SariHarga: 5k atau gratis bersyarat  Isi: 55 halaman  Tema: friendshipBlurb: Setelah Jaden mengakhiri hidup, baik Rayn maupun Lexi mengalami duka mendalam. Rayn mendorong Lexi menjauh, sementara Lexi diliputi kebingungan. Rayn punya alasan tersendiri, yang jika diungkapkan mungkin akan melukai Lexi. Karena ini berhubungan dengan kematian Jaden.*(Preview)1. Jenis CintaJatuh cinta itu bisa datang melalui banyak jalan. Ada yang karena kasihan seperti penuturan Buya Hamka. Ada yang karena terbiasa seperti ungkapan witing tresna jalaran saka kulina. Ada juga yang dari mata turun ke hati atau love at the first sight. Dan banyak cara lain bagi cinta untuk datang dan menjajah hati kita.Dalam kasusku, cinta itu datang melalui perantara pembaca yang bahkan belum pernah kutemui di dunia nyata. Bagaimana bisa? Begini ceritanya. Sekitar setahun lalu, aku sedang mengerjakan novel bergenre romantis yang on going di sebuah platform baca tulis gratis.Di sana, kebanyakan pembaca memang lebih suka jika aku memberikan saran cast untuk karakter utama yang kubuat agar imajinasi mereka lebih kuat. Karena aku pencinta drama Korea garis keras, maka kebanyakan cast yang kugunakan adalah artis atau aktor dari negeri ginseng itu. Namun tak jarang aku juga menggunakan idol kpop.Namun saat itu, ada satu komentar yang sangat menarik perhatianku. Salah seorang pembaca mengatakan bahwa tokoh utama pria dalam novelku mengingatkannya pada seorang fotografer yang pernah ia gunakan jasanya. Dia bilang, baik wajah maupun kepribadiannya sangat cocok dengan karakter yang kuciptakan.Entah kenapa saat itu aku merasa begitu penasaran hingga mengirim pesan DM kepada pembaca itu. Dan dengan senang hati dia memberitahuku akun sosial media fotografer itu. Dari situlah rasa penasaranku berubah bentuk jadi ketertarikan.Ketertarikan yang nggak normal.Aku yang sedang tersenyum-senyum memandangi foto terbaru Bhaga, langsung menoleh ke arah perempuan yang sedang menyesap secangkir kopi itu.Apa?Apa? Dia membeo dengan gerakan bibir mencibir. Kapan rencana berhenti sama obsesi anehmu itu?Aku memutar bola mata. Udah sering kan aku bilang, ini tuh bukan obsesi.Terus apa?Salah satu jenis cinta.Dia mendecih. Jenis cinta nggak ada yang begitu.Kamu yang nggak mau ngerti. Meletakkan ponsel di atas meja, aku kini fokus hanya menatapnya. Padahal kamu ngertiin kpopers yang cinta sama idolnya, tapi kenapa nggak mau ngerti aku yang naksir dia?Ya karena naksirnya kamu beda jauh sama naksirnya kpopers. Aku juga udah sering bilang gitu, kan? Dia menyesap kopinya lagi dengan kuat hingga menimbulkan suara. Kpopers tahu betul kalau dia cuma halu. Dia nggak berharap memiliki atau apa pun. Sedangkan kamu? Udah halunya di luar batas nalar, berharap suatu saat ketemu dan bisa memiliki, lagi. Di mana letak kewarasannya?Apa salahnya, sih, Pia Alfia? Aku tak mau kalah. Dia tinggal di kota yang sama dengan kita. Dia juga seiman sama kita. Peluang buat berjodoh itu lebih gede dibanding sama idol kpop.Sekota, oke. Seiman, juga oke. Tapi, Pia mendekatkan wajah sambil mengangkat kedua alis, yakin, dia seamin sama kamu?Skakmat. Aku hanya bisa merengut sambil meneguk es cokelatku yang tinggal setengah gelas. Melihat kekalahanku, Pia terbahak.Bangun, Dek, bangun! Pia menepuk-nepuk pundakku, yang langsung kutepis. Dia tahu kamu napas di kota ini aja enggak.Dia follback akunku.Dia juga follow banyak orang, tuh. Kamu nggak seistimewa itu.Dia juga pernah notice komenku di live.Komen selamat malam yang udah lama banget itu? Halah, udah lupa, dia. Udah aku bilang, jangan merasa istimewa.Aku kembali merengut. Sejak awal Pia memang tak pernah menyetujui ketertarikanku kepada fotografer itu. Dibanding mendukung, sahabatku sejak SMA ini justru lebih memilih untuk mengolok-olok dan menyiramiku dengan kalimat menohok agar aku cepat bangun. Padahal dia selalu memintaku membuka hati agar gelar jomloku yang karatan sejak sekolah menengah ini berakhir, tapi ketika aku benar-benar naksir seseorang, dia malah menentang. Maunya apa, coba?Biarin aja, Kak, kenapa sih? Alfio, adik Pia—kembar nama beda usia—yang tadi sibuk melayani pengunjung, kini menimbrung dan duduk di sebelahku. Kalau Kak Naura bisa bahagia dengan cara mengagumi Bhaga Bhaga itu, biarin aja. Nggak merugikan, ini.Pia mendengus saat aku tersenyum senang sambil menepuk-nepuk bahu Pio. Cinta bertepuk sebelah tangan itu pasti merugikan.Punyaku bukan cinta bertepuk sebelah tangan, tapi cinta dalam diam, elakku.Halah! Pia mengibaskan tangan. Kita lihat aja, kalau si Bhaga bikin postingan sama cewek, apalagi sampai ngakuin dia punya gandengan. Baru kamu ngerasain ruginya, Nau.Aku hanya mengangkat kedua bahu. Lagi pula, fotografer itu tak kelihatan dekat dengan siapa-siapa. Bahkan dia hanya tersenyum dan menggeleng saat ada yang bertanya tentang statusnya setiap dia live Instagram. Asistennya pun pernah bilang kalau dia adalah jomlo karatan. Jadi ... aku masih punya kesempatan, kan?***2. PostinganBhaga Sebastian. Itulah nama lengkapnya. Akun pribadinya tidak terlalu terkenal, bahkan hanya mempunyai kurang dari sembilan ribu followers. Namun Bhagasbas Studio, tempatnya bekerja sebagai fotografer, memang sangat terkenal. Banyak publik figur menggunakan jasa di studio itu untuk pemotretan pre wedding, wedding party, maupun momen-momen lain.Bhaga bukan orang yang punya ketampanan di atas rata-rata. Kata Pia, asistennya bahkan jauh lebih tampan. Dia tinggi, cukup tegap. Kulit kecokelatan khas orang Jawa. Hidungnya tidak terlalu mancung. Yang pasti, dia sangat jauh dari tipe pasangan idamanku yang setidaknya mirip oppa-oppa. Bhaga juga bukan orang humoris. Tidak pandai bicara atau bercanda kepada followers. Dia kalem dan jarang bercanda. Saat live pun, dia hanya membahas tentang dunia fotografi atau menjawab pertanyaan-pertanyaan penonton tentang dunianya itu. Penonton live-nya pun tidak pernah lebih dari seratus orang.Harusnya tidak ada yang menarik darinya, bukan? Ada banyak sekali selebgram Indonesia yang jauh lebih tampan, easy going, dan bertabur visual sehingga bisa dijadikan bahan halu daripada seorang Bhaga. Namun apa dayaku? Aku tidak bisa mengontrol hatiku sendiri untuk jatuh kepada siapa.Aku menyukai Bhaga apa adanya. Rutin menonton live-nya, aku bahkan jadi tertarik dengan fotografi. Padahal tadinya aku sama sekali tidak tahu menahu tentang hal itu. Namun karena penjelasan Bhaga sangat mudah dipahami, aku jadi suka. Aku menyukai caranya bicara. Aku menyukai caranya tersenyum kalem. Aku juga selalu meleleh setiap kali dia melakukan kebiasaannya yaitu menekan bagian dalam bibir bawah dengan lidah saat ada yang memuji. Reaksi alami yang jauh dari kesan menggoda, tapi justru terlihat lucu.Lucu, kamu bilang? Dari mananya? Dia udah tua, Nau. Itu yang selalu dikatakan Pia tiap kali aku memuji Bhaga.Tua apanya, sih? Masih muda, gitu.Dari mukanya aja udah kelihatan jelas kalau dia tiga puluh lebih.Artinya masih muda, kan? Belum empat puluh, ini.Orang dengan umur tiga lima yang kamu kenal juga kamu panggil 'Om'.Itu beda cerita. Om Bram aku panggil 'Om' karena dia adiknya Ibu, bukan karena umurnya udah tua.Halah.Selalu seperti itu jika aku dan Pia membahas (baca: berdebat) tentang Bhaga. Aku yang memuji dan membela, sementara Pia selalu memaparkan satu demi satu kekurangan Bhaga agar aku berhenti menyukainya. Sejujurnya aku tahu betul maksud Pia baik. Dia hanya tidak mau aku terlalu berharap tinggi dan akhirnya mengalami kekecewaan yang mendalam. Namun bagaimana lagi? Aku sulit menahan diri jika sudah kasmaran.Seperti saat ini, di mana aku tersenyum-senyum hanya dengan melihat foto unggahan Redi—asisten Bhaga—beberapa menit lalu. Dia menandai Bhaga karena di situ ada wajah fotografer itu juga. Bukan video spesial. Hanya momen di mana Bhaga dan Redi sedang mengobrol sambil melihat hasil jepretan di kamera. Bagi orang mungkin bukan apa-apa, tapi bagiku cukup istimewa. Wajah seriusnya saat berkutat dengan kamera adalah poin yang  paling menarik untukku.Kutekan tombol love pada postingan itu, sebelum keluar dari aplikasi Instagram. Meski menyukainya, aku bukan orang yang mudah mengirim komentar. Dulu pernah berkomentar di live saja hanya satu dua kali, itu pun sepertinya aku dalam kondisi gila. Karena setelah komentar itu terkirim, aku merasa malu setengah mati.Ya meski akhirnya tetap berdebar-debar saat Bhaga menjawabnya dengan kalimat 'selamat malam juga, justnaura'. Namun sejak remaja, aku memang lebih suka menjalani cinta dalam diam. Aku memilih berharap takdir menjodohkanku dengan seseorang yang kusukai, daripada harus beraksi sendiri. Aneh? Aku tahu itu.Aku beralih membuka pesan dari Ibu yang baru masuk. Beliau bertanya apakah aku sudah sampai, yang membuatku spontan memandang ke luar jendela taksi online yang kutumpangi.Sudah sampai, Kak.Kebetulan, mobil memang baru menepi ke depan pintu lobi gedung apartemen studio tempat Om Bram tinggal.Oh iya, kataku kepada driver perempuan itu sambil mengambil tote bag yang kutaruh di bangku. Saya bayar di aplikasi, ya, Mbak.Siap, Kak.Setelah berterima kasih, aku segera turun dari mobil. Sambil membawa tote bag dengan tangan kanan, aku mendial nomor Om Bram. Namun yang menjawab justru suara perempuan. Tante Mila, istri Om Bram.Udah sampai, Kak?Udah di lobi, Tante, jawabku sambil melangkah masuk ke lobi. Om sama Tante udah di apart, kan? Aku nggak mau nunggu, ya, di luar maupun di dalam. Serem.Tante Mila tertawa di seberang sana. Dasar penakut.Biarin.Tawa Tante Mila terdengar lagi. Udah, kok. Ini baru sampai, belum ada sepuluh menit. Om Bram lagi mandi, tuh.Oke. Aku bergeser saat seorang pria berjaket hitam keluar dari lift. Ya udah, aku naik, ya.Iya. Hati-hati ketemu mbak-mbak gaun putih muka pucat rambut berantakan di lift.Mataku membulat. Tante!Tante Mila terbahak, sementara aku langsung memutuskan sambungan telepon sambil cemberut. Untungnya, seorang perempuan ikut masuk ke lift yang aku naiki, jadi ada teman. Setelah mengangguk kepada perempuan itu untuk menyapa, aku kembali menyalakan ponsel. Kali ini membuka aplikasi taksi online dan bermaksud memberi bintang lima sekaligus tip untuk driver yang mengantarkanku dengan selamat tanpa kekurangan apa pun tadi.Namun saat selesai dengan niatku, notifikasi di atas layar menarik perhatianku.bhagasebastian_ membuat postingan baru.Apa yang kulakukan? Tentu saja langsung mengeklik notifikasi itu. Postingan Bhaga langsung muncul. Berupa foto sebuah buku yang dipegang tangan kiri. Tidak jelas judul apa dan siapa penulisnya karena sepertinya Bhaga sengaja memburamkannya. Namun caption yang tertulis membuat dahiku berkerut. Sebuah kalimat berbunyi 'see you when i see you' dilengkapi emoji hati berwarna biru.Rasa penasaranku meningkat. Bukan hanya soal judul buku yang kemungkinan sedang Bhaga baca, tapi juga seseorang yang dia maksud pada caption itu. Siapa, ya, kira-kira?Ting!Lift terbuka. Aku mengangguk kepada perempuan tadi, sebelum keluar dan berbelok menuju unit milik Om Bram. Tidak sulit menemukannya, karena aku beberapa kali datang meski jarang sebab jaraknya cukup jauh dari rumah. Satu kali memencet bel, pintu itu langsung terbuka dari dalam. Tante Mila menyambutku dengan senyum ramahnya.Haii!Aku membalas pelukan Tante Mila dengan erat. Seperti sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Namun kalau dipikir-pikir, dibanding tante dan ponakan, hubunganku dengannya memang justru lebih terasa seperti sahabat. Salahkan Om Bram kenapa mencari istri yang lebih muda lima tahun darinya, yang otomatis juga lima tahun lebih tua dariku. Panggilan 'Tante' itu hanyalah untuk kesopanan karena urutan hubungan keluarga saja.Ada hantu, nggak, di lift? ledek Tante Mila saat mengajakku masuk.Aku memutar bola mata. Jangan gitu, Tan, sama orang yang takut hantu. Nanti Tante ketemu hantu baru tahu rasa.Anaknya siapa ini beraninya doain yang jelek buat istri saya?Aku menoleh ke arah suara, di mana Om Bram yang mengenakan kaus dan celana pendek tengah menggosok rambut. Dia menatapku dengan kedua alis menukik, yang kubalas dengan juluran lidah meledek.Nggak boleh gitu, kamu, Kak. Tante Mila mendorongku duduk di sofa. Tante lagi hamil, loh. Emang tega entar adek kamu ikut kaget?Terkikik, aku mengelus perut Tante Mila yang masih rata. Jangan, deh. Nggak jadi doanya.Om Bram mendekat dan sentilannya langsung mendarat di dahiku. Aku merengut, tapi dia malah menjulurkan lidah sambil duduk di sebelah istrinya. Jadilah Tante Mila berada di tengah-tengah kami.Ini gudeg dan kue spesial dari Ibu, buat bumil muda yang lagi ngidam. Aku mengeluarkan tumbler bertingkat dari dalam tote bag.Wah asik. Tante Mila menerima dan memeluk tumbler itu sambil tersenyum senang. Makasiih!Makasihnya sama Ibu.Itu jelas, dong.Lalu aku membuka ransel kecil yang kubawa dan mengeluarkan setumpuk buku. Kusodorkan kepada Om Bram. Ini yang katanya pengen bagiin buku thriller karya ponakan kesayangannya ke temen-temennya.Om Bram tersenyum menerimanya. Dia menaik-turunkan kedua alis. Gratis, kan, Kak?Menaruh kedua tangan di atas pangkuan, aku tersenyum manis sekali. Bapak sutradara tega, minta gratisan sepuluh eksemplar novel sama ponakan yang baru bisa menghasilkan uang dari jerih payah sendiri?Om Bram dan Tante Mila saling pandang, sebelum keduanya terbahak. Sementara aku merengut.Bercanda, Jelek. Om Bram mengacak rambutku, yang kubalas dengan pelototan. Transferin, Sayang, biar anak kecil nggak ngambek.Tante Mila tertawa sambil mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Menyandarkan punggung ke sofa, pandanganku beralih ke arah meja. Dan satu box besar donat beraneka toping menarik perhatianku. Isinya baru berkurang sedikit. Kenapa aku tidak sadar ada makanan kesukaanku itu di sini?Wah, Tante abis beli donat?Enggak. Tadi sepupu Tante bawain, jawab Tante Mila. Abisin, Kak, Tante udah kenyang.Aku menatap pasangan itu dengan mata berbinar. Boleh?Nggak perlu minta izin. Tante Mila mengusap puncak kepalaku. Sayang, ambilin minum buat Naura.Om Bram bangkit, sementara aku melempar cengiran. Mau minum apa, Lek?Panggilannya membuatku merengut. Jadi aku menjawab, Cokelat anget.Om Bram berdecak. Air putih aja, yang gampang.Sayang.Iya, deh, iya.Aku terkikik sambil mencomot donat bertoping saus stroberi dan taburan choco chip. Dasar suami takut istri!Hm enak! seruku sambil mengunyah donat. Jadi sepupu Tante abis dari sini?Iya. Sekalian mampir karena abis ada kerjaan di daerah sini, katanya.Oh. Aku mengangguk-angguk. Meski dekat dengan Tante Mila, tapi aku tak terlalu kenal dengan keluarganya, entah orang tua maupun kerabat. Jadi kemungkinan aku juga tidak tahu sepupu mana yang Tante Mila maksud.Cek notif, Kak. Tante udah transfer.Oke. Aku segera menyalakan ponsel dengan tangan kiri dan memeriksa notifikasi. Mataku membelalak melihat nominal yang masuk. Wah, kok dua kali dari total harga, Tan?Nggak apa-apa. Buat jajan. Tante Mila berbisik, Jangan bilang Om.Cengar-cengir, aku mengacungkan jempol. Om Bram adalah satu-satunya adik Ibu. Beda umur mereka sangat jauh, yaitu lima belas tahun. Dan karena Allah memanggil Nenek saat melahirkan Om Bram, jadi Ibu menggantikan sosok ibu untuk adiknya itu. Ibu merawat Om Bram seperti merawat anak sendiri. Apalagi Kakek juga juga dipanggil Allah saat Om Bram berumur lima tahun. Jadi mereka berdua hanya bisa saling bergantung satu sama lain.Dan karena aku adalah satu-satunya anak Ibu, maka sekarang gantian aku yang jadi keponakan tersayang Om Bram. Apalagi usia yang hanya terpaut sepuluh tahun, membuat kami sangat dekat bagaikan kakak adik sejak kecil. Beruntunglah aku karena istri Om Bram tidak punya adik perempuan, sehingga aku juga dimanja oleh Tante Mila.Silakan diminum, Tuan Putri Jelek.Aku menerima mug berisi cokelat hangat yang disodorkan Om Bram. Makasih, Om Jelek.Om Bram mendengus, lalu mencomot sebutir kweku dari salah satu tupperware  yang baru saja dibuka Tante Mila.Enak, nih, Sayang. Om Bram mendekatkan sisa gigitannya ke mulut Tante Mila. Coba.Tante Mila langsung memakannya, kemudian mengangguk. Enak.Coba singkong kejunya, Sayang.Sini aku suapin.Aaa~Aku memajukan bibir saat menyaksikan tingkah dua orang yang seakan lupa dengan eksistensiku di antara mereka. Jiwa ngenasku meronta. Kapan aku bisa romantis-romantisan seperti itu?Kak, makan di sini sekalian, ya? Tante nggak sabar cobain gudegnya, nih.Aku menggeleng. Tante sama Om makan aja. Aku mau ngabisin donat.Om Bram mendengus. Dari kecil donat mulu donat terus, lama-lama muka kamu bulet kayak donat.Aku hanya menjulurkan lidah. Begitulah. Meski jadi kesayangan, aku dan Om Bram tidak bisa untuk tidak saling ejek. Dulu saat Om Bram masih tinggal bersama kami, Ibu sampai kesal jika menghadapi keributan kami. Jadi biasanya Ibu akan meminta Ayah untuk turun tangan.Ketika Om Bram dan Tante Mila berlalu ke meja makan yang tak diberi penyekat dengan ruang tamu, aku kembali menyalakan ponsel. Aku memotret donat di atas meja dan mengirimkannya kepada Ibu sebagai laporan. Setelah pesan terkirim, aku membuka Instagram. Sambil menyantap donat, aku menghabiskan waktu dengan menggulir postingan akun yang kuikuti.Entah berapa lama scroll dan like, tiba-tiba ada postingan baru dari Redi. Aku bersemangat membukanya. Namun saat melihat foto yang diunggah dengan caption emoji jempol, aku tercenung. Di sana, Bhaga tengah berdiri bersisian dengan seorang perempuan. Keduanya melihat ke arah kamera dan tersenyum.Telingaku mendengar bunyi retak tak kasatmata. Dari mana itu?***3. Ayo BangunCoffee shop milik Pia adalah satu-satunya tempat yang bisa aku datangi ketika sedang galau maupun senang. Tentu saja karena di sana ada Pia, bonus Pio jika anak itu sedang tidak ada jadwal bimbingan skripsi. Hanya kepada mereka aku bisa curhat sesuka hati tanpa khawatir dihujat. Ya walaupun sebenarnya Pia lebih sering menghujat atau melontarkan kalimat menohok, sih. Tapi itu pengecualian, karena dia sahabatku.Seperti sekarang ini, di mana aku sedang curhat tentang hal yang membuatku galau selama beberapa hari ini hingga sedikit banyak mempengaruhi fokusku dalam bekerja. Reaksi Pia sebenarnya sudah bisa kuduga, tapi aku tetap nekat bercerita.Walaupun orang bilang kita seumuran, tapi gimana pun aku lebih tua dua bulan dari kamu. Itulah kenapa harusnya kamu nggak ngeremehin omonganku. Kualat, kan?Menyesap es cokelat, aku hanya merengut mendengar ceramahnya yang sudah ke sekian kalinya hingga telingaku terasa panas.Dari dulu nggak percaya ruginya jatuh cinta secara virtual, sekarang baru ngerasain, kan? Enak?Aku menggeleng sambil memajukan bibir.Kecewa itu datangnya dari ekspektasi yang tinggi. Kalau kamu, udah bukan tinggi lagi, tapi di luar nalar, bikin nggak habis pikir. Sebelum jatuh nggak nyiapin matras di bumi. Sekarang nyungsep, sakitnya nggak kira-kira, kan?Menggigit sedotan, aku mengangguk.Sekarang mau gimana? Masih mau pertahanin salah satu jenis cinta yang sia-sia itu?Menaruh dagu di meja, aku menerawang. Kuhela napas berat sebelum berkata, Nggak tahu. Bingung. Galau.Pia yang sedari tadi berdiri sambil berkacak pinggang, bergeser ke sampingku. Dia mengusap-usap kepalaku sambil berkata, Gini amat anak tunggal. Dua kali jatuh cinta, ngenes semua. Kayaknya kamu kudu diruqyah deh biar energi-energi negatif yang menghalangi jodoh itu ilang semua.Mendongak, kutepis tangannya. Aku nggak ketempelan!Pia mengangkat kedua bahu dengan ekspresi cuek. Aku menghela napas lagi. Selama dua puluh lima tahun menumpang hidup di bumi, aku memang hanya pernah dua kali menyukai seseorang. Maksudku yang benar-benar jatuh suka, bukan cuma naksir ringan saja.Pertama saat kelas 2 SMA, aku pernah menyukai senior yang sekaligus pemimpin redaksi majalah sekolah. Namanya Badra. Itu adalah jenis cinta dalam diam yang juga tak terbalas. Sebelum ujian, Kak Badra jadian sama teman sekelasnya yang bernama Stefi. Dan kini, aku mengulang pengalaman yang sama. Jatuh suka dalam diam, tak terbalas, bahkan parahnya, aku tak tahu seperti apa dia di kehidupan nyata. Sedih sekali, bukan? Sepertinya aku memang tak bisa berjodoh dengan orang-orang berinisial B.Lonceng angin di atas pintu berbunyi, pertanda ada pengunjung datang. Ada sekitar empat remaja perempuan datang sambil tertawa-tawa. Pia yang sedang mengotak-atik ponsel, langsung mengulurkan benda itu kepadaku.Tonton ini dulu. Dia menaruh ponselnya di telapak tanganku. Resapi. Masukin ke otak.Sebelum aku sempat protes, Pia sudah berlalu. Untuk sesaat kuperhatikan sahabatku yang sedang melayani dengan senyum ramah itu, lalu beralih ke Pio yang tengah membersihkan meja-meja yang ditinggalkan pengunjung coffee shop. Anak itu melambai saat menyadari tatapanku. Aku menghela napas. Di sore hari ini mereka sangat sibuk, tapi aku di sini malah mengganggu. Tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya punya mereka. Curhat masalah cinta kepada Om Bram itu bukan pilihan yang bagus. Aku tidak mau diledek.Kembali menghela napas, aku mengalihkan pandangan pada layar ponsel Pia. Di situ, ada sebuah video yang dijeda. Kutekan tombol play karena penasaran apa yang Pia ingin kupelajari dari isinya.Lo bukan jatuh cinta sama dia. Lo jatuh cinta sama sebuah idea yang lo bayangin sendiri, orang ini tuh seperti ini, orang ini tuh sempurna, orang ini tuh baik banget, orang ini tuh ganteng, keren, perhatian, dia tuh mapan. Semuanya tuh tentang idea yang lo bangun sendiri atas cerita-cerita dari dia. Dan itu bisa jadi berbeda dengan aslinya dia seperti apa.Kutekan tombol pause, hanya untuk melongo sejenak. Tatapanku langsung terlempar ke arah Pia, yang dibalas oleh senyum penuh ejekan saat dia menyadari tengah kuperhatikan. Aku kembali menekan tombol play.Itulah bahayanya jatuh cinta secara virtual. Boleh lo jatuh cinta secara virtual. Wajar lo sayang sama seseorang walaupun belum ketemu tapi harus dibawa ke ranah yang lebih serius. Maksud gue, lo harus naik step. Naik stepnya apa? Ketemu!Kumatikan video itu dan mendesah keras. Kenapa kalimat yang diungkapkan Raden Rauf—si pembuat video—sangat menohok sekali? Aku merasa tertampar. Dan lagi, bisa-bisanya Pia menemukan video seperti ini?Kak.Mendongak, aku menemukan Pio sudah menghampiriku. Dia tersenyum kecil, lalu duduk di kursi sebelahku.Galaunya masih?Aku hanya menyengir. Udahan kerjanya?Pio mengedikkan bahu. Tinggal anak-anak itu aja.Pio menunjuk gerombolan anak SMA yang sedang bercanda ria itu. Memang hanya mereka, pengunjung yang tersisa. Mungkin karena di luar sedang turun hujan lebat, jadi orang-orang malas mampir.Kak Nau suka banget sama fotografer itu, ya?Pertanyaan Pio membuatku tercenung. Bertopang dagu, kutatap laki-laki yang tiga tahun lebih muda dariku ini. Dia juga mengcopy paste poseku, membalas tatapanku.Bisa dibilang gitu? Aku mengernyit karena jawabanku sendiri.Cinta?Aku bergumam. Sebenarnya ini masih agak ambigu posisinya. Tingkatnya tuh udah di atas naksir, tapi nggak sedalem jatuh cinta secara nyata. Paham, nggak? Pokoknya gitu.Pio mengernyit, tapi akhirnya mengangguk-angguk. Terus sekarang patah hatinya ambigu juga?Aku menerawang. Sebenarnya nggak patah-patah banget. Cuma ... apa ya? Kecewa, lebih tepatnya?Karena harapan yang ketinggian. Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Pio tertawa saat aku merengut. Terus rencana Kak Nau apa?Aku menggeleng. Jalani kayak biasanya, mungkin?Pio bergumam. Gimana kalau intensitas ngikutin akunnya dikurangin? Langkah awal, bisa coba matiin notifikasi postingan dia. Biar Kak Nau nggak nunggu-nunggu.Tersenyum kecil, aku mengangguk. Mau nggak mau.Pio terkekeh. Jangan lama-lama galaunya. Kak Nau manis. Banyak yang suka.Aku mencibir, sedikit geli karena dipuji anak kecil. Diajarin siapa, gombal begitu, Dek?Ganti Pio yang merengut. Aku bukan dedek-dedek lagi.Aku tertawa kecil. Buatku, kamu selalu jadi anak kecil.Pio berdecak kecil, lalu memainkan ponselnya masih sambil merengut. Melihat tingkahnya itu, aku hanya tertawa-tawa. Aku bercanda kok. Pio sama sekali tidak kelihatan seperti anak kecil. Bahkan mau tidak mau harus kuakui bahwa sifat dan pemikirannya jauh lebih dewasa dariku. Pribadinya yang tenang, tidak mudah emosi, dan berpikiran positif membuatku nyaman berdiskusi hal penting dengannya. Aku yakin di kampus, Pio punya banyak penggemar.Mengenai Bhaga, dengan terpaksa aku harus mengatakan bahwa ini titik akhir. Bukan hanya soal postingan Redi saja yang membuatku seperti ini. Saat itu aku stalking akun perempuan yang ditandai Redi. Ternyata dia adalah penulis. Dan menghubungkannya dengan foto buku yang diunggah Bhaga, pasti itu ada benang merahnya. Kemungkinan besar buku itu adalah karya si penulis. Kemudian caption Bhaga menjelaskan segalanya. Penulis itu adalah orang yang sedang dekat dengannya, entah apa hubungan mereka.Dimulai dari hal itu, beberapa hari ini aku jadi merenung. Satu per satu ucapan menohok Pia yang dari awal kuabaikan, mulai masuk di akalku. Bahwa jatuh cinta secara virtual itu sia-sia. Bahwa aku hanya buang-buang waktu dengan menaruh harapan kepada orang yang bahkan tak kukenal di dunia nyata. Bahwa setelah hampir setahun tenggelam dalam halusinasi, mungkin ini saatnya aku berhenti dan kembali bangun dari fantasi yang kubangun sendiri. Meski aku sadar bahwa itu mungkin cukup berat.Nonton, yuk.Aku yang tenggelam dalam lamunan, langsung menoleh ke arah Pia yang baru saja datang. Keningku berkerut. Nonton?Pia mengangguk sambil melepas apronnya. Mumpung Rayyan lagi di darat. Kita double date.Rayyan adalah kekasih Pia. Mereka sudah dua tahun menjalin hubungan. Laki-laki itu bekerja di pelayaran, dan kebetulan kemarin baru pulang karena dapat jatah libur.Aku sama Kak Nau? Pio menyahut.Ngedate kan nggak harus sama pacar.Pio menatapku, lalu terkekeh. Oke.Aku ikut mengangguk. Oke.Pia tersenyum lebar. Aku menghabiskan es cokelat sambil mendengarkan Pia yang mulai bercerita tentang Rayyan. Tentu saja tentang pengalaman Rayyan selama di laut. Ada yang horor, menegangkan, tapi kebanyakan berisi pengalaman konyol. Aku cukup terhibur.Masalah Bhaga seharusnya bukan apa-apa bagiku, kan? Aku punya orang tua lengkap dan rukun, punya om dan tante yang baik hati, juga sahabat pengertian. Itu harusnya sudah cukup untuk membuatku bersyukur.***4. SepupuKe arah sana, Kak.Mengangguk, aku mengikuti arah yang ditunjukkan Pio. Kami berdua melangkah dengan cepat, berusaha agar cepat sampai ke ruang persalinan. Tante Mila melahirkan. Itu adalah kabar yang kuterima saat aku sedang rebahan setelah dari pagi hingga sore menghabiskan waktu dengan mengetik.Tentu saja aku kaget dan khawatir. Orang tua Tante Mila berdomisili di luar provinsi. Butuh setidaknya sepuluh jam untuk perjalanan ke sini. Sedangkan orang tuaku saat ini berada di luar kota untuk menghadiri acara pernikahan rekan kerja Ayah. Saat Om Bram menelepon tadi, aku begitu cemas hingga dadaku berdebar. Belum pernah aku mendengar suara omku sebergetar itu.Karena itu, aku bergegas pergi ke rumah sakit. Untungnya Pio sedang luang, sehingga aku bisa minta tolong untuk diantarkan. Menunggu ojek atau taksi akan memakan waktu lama karena hujan yang sangat lebat.Itu Om Bram.Mengikuti arah telunjuk Pio, dadaku berdesir ketika mendapati Om Bram sedang duduk di depan ruang persalinan dengan kepala menunduk. Tanpa pikir panjang lagi aku segera berlari menghampirinya.Om.Om Bram mengangkat kepala. Dia tampak kaget, tapi setelahnya mengulas senyum tipis yang membuatku justru makin cemas. Melangkah hingga berdiri dekat sekali di sampingnya, aku segera memeluk pundak omku itu.Nggak apa-apa, Om. Kuusap-usap punggung Om Bram ketika merasakan pundaknya bergetar. Semua akan baik-baik aja, Om.Om Bram memegang lengan bawahku di lehernya. Dia mengangguk berkali-kali, tapi suaranya bergetar saat dia berkata, Om pengecut, Kak.Aku menggeleng. Nggak apa-apa, Om. Nggak apa-apa.Mila di dalam sendirian, Kak. Om justru di sini, nggak berani masuk. Om Bram menunduk lagi. Pundaknya makin bergetar. Om ... Naura, Om benar-benar pengecut.Kudongakkan kepala ke atas, berusaha untuk tidak kelepasan menangis. Om Bram butuh dukungan. Dia butuh suntikan keberanian agar sanggup untuk masuk menemani Tante Mila. Di sisi lain aku juga sangat khawatir kepada Tante Mila. Dia sendirian di dalam sana, padahal pasti butuh dukungan psikis dari suaminya.Aku tahu dengan jelas dan pasti bahwa Om Bram juga tidak mau seperti ini. Dia tidak pernah mau memiliki trauma terhadap orang yang melahirkan seperti ini. Namun semua terjadi begitu saja, sejak kecil.Awalnya, ini akibat perkataan segelintir tetangga yang tak pernah memikirkan perasaan Om Bram. Setiap kali melihat tumbuh kembang Om Bram di masa kecil, mereka melontarkan kekaguman, sebelum akhirnya mengucapkan kalimat-kalimat penuh rasa iba karena Nenek meninggal saat melahirkannya. Sering sekali orang mengungkit tentang kepergian Nenek di depan Om Bram langsung. Hal itu memicu kecemasan dan mimpi buruk untuk Om Bram.Saat Ibu mengandungku, Om Bram sempat protes dan marah. Mengandung berarti melahirkan. Dia ketakutan karena berpikir bahwa akan ada kemungkinan Ibu bernasib seperti Nenek. Om Bram tidak mau kehilangan lagi. Namun setelah Ayah memberi pengertian, Om Bram bisa sedikit lebih tenang. Hanya saja saat tiba hari di mana Ibu melahirkanku, Om Bram kembali diserang kepanikan. Apalagi saat itu Ibu harus menjalani operasi caesar. Semua berjalan lancar, tapi ketakutan itu tak pernah hilang dari pikiran Om Bram.Belum cukup berat di situ, Om Bram juga mendapatkan pengalaman yang membuatnya trauma saat SMA. Hari itu dia kebagian piket kelas, dan dilakukan setelah kelas berakhir. Sekolah sudah sepi. Sehabis menyelesaikan piket, Om dan kedua temannya keluar menuju gerbang bersama. Namun saat melintasi toilet guru, mereka mendengar suara rintihan minta tolong. Mereka bergegas mengecek, yang ternyata itu adalah guru mereka yang hamil besar. Mereka kaget luar biasa saat melihat darah menggenang di kaki guru itu.Itu adalah hari paling buruk untuk Om Bram, yang berhubungan dengan hamil dan melahirkan. Karena guru itu tidak selamat. Beliau meninggal saat perjalanan ke rumah sakit, dalam keadaan duduk bersandar pada Om Bram. Saat itu untuk pertama kalinya aku melihat Om Bram pulang dalam keadaan kacau. Sesampainya di rumah, dia memeluk Ibu sambil menangis kencang seperti seorang anak mengadu kepada ibunya. Aku yang saat itu berusia tujuh tahun, bahkan ikut tersedu-sedu melihatnya menangis seperti itu.Jadi aku tahu betul bagaimana ketakutan Om Bram saat ini. Aku tidak bisa menghakimi atau memandangnya pengecut karena takut menemani Tante Mila.Waktu tahu Tante hamil, om kamu sempat diem, Kak. Tante tahu apa sebabnya, tapi jujur aja waktu itu Tante tetep sakit hati. Tapi alhamdulillah cuma beberapa waktu, karena setelah itu Om bisa ngerti. Tapi kalau di hari lahiran, Om masih takut nemenin Tante, jangan dimarahin. Kalau bisa, tenangin dia. Okay?Pesan dari Tante Mila sebulan lalu itulah yang membuatku bergegas kemari tadi. Beruntung sekali Om Bram memiliki istri sebaik dan sepengertian itu, kan? Walaupun aku juga paham sekali, Tante Mila pasti memiliki kekecewaan tersendiri di situasi seperti ini. Aku merasa bersalah untuk itu.Makasih, Kak. Om Bram berucap sembari menepuk-nepuk lenganku. Makasih juga, Pio, sudah antar Naura ke sini.Iya, Om.Mendengar jawaban Pio, barulah aku sadar situasi. Tadi aku mengabaikan sekitar dan hanya fokus kepada Om Bram saja. Jadi sembari melepas pelukan kepada Om Bram, aku menegakkan badan. Menoleh ke arah Pio, aku mengerutkan kening. Anak itu berekspresi agak aneh, yang membuatku terheran-heran. Namun melihat arah lirikannya, aku menoleh.Dan di situlah badanku mematung, sementara mataku sulit berkedip. Sosok yang tengah berdiri menyandarkan punggung di dinding dekat pintu ruang persalinan itu membuatku lupa bernapas. Meski sudah lama tak melihat wajah itu, aku masih bisa mengenalinya. Namun ... kenapa dia di sini? Apa aku sedang bermimpi?Hoksina gwaenchantamyeonJamkkan sigan doelkkaMannal su isseulkkaByeorireun anigo geunyang  bogo sipeo geuraeUtji malgo daeda~Suara itu membuatku terperanjat. Dengan tergesa, kukeluarkan ponsel dari dalam tas secepatnya. Volume yang nyaring membuatku gelagapan untuk menjawab telepon itu. Astaga, bodoh sekali aku!Assalamu'alaikum.Mendengar suara Ibu di seberang sana, aku menghela napas lega. Sambil mengusap dahi, aku memandangi sekeliling. Pio menatapku sambil meringis. Om Bram menggelengkan kepala, sementara orang yang masih bersandar di dinding itu ... lupakan. Aku tidak lihat apa-apa!Wa-wa'alaikumsalam, Bu, jawabku, agak terbata.Sudah sama Om?Udah, Bu. Bentar. Aku menoleh ke arah Om Bram. Ibu, Om.Om Bram mengulurkan tangan, dan ponselku langsung berpindah ke tangannya. Dia menempelkan benda itu di telinga, lalu bangkit. Sepertinya Om Bram butuh tempat untuk berbicara privasi dengan Ibu. Adanya Pio di sini kemungkinan agak membuatnya kurang leluasa.Namun baru berjalan tiga langkah, Om Bram menoleh ke arah orang tadi. Gha, ini Naura. Kemudian menatapku. Kak, ini Bhaga, sepupu tante kamu.Om Bram berlalu begitu saja seolah-olah perkataannya tadi bukan masalah besar. Sementara aku terkesiap, nyaris seperti kejatuhan bom. Astaga, ini harusnya hanya mimpi, kan? Sepupu Tante Mila? Apa-apaan!***Lanjutannya bisa dibaca dengan cara mendukung karya. Terima kasih ♡
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan