
⚠️CW//harsh words, please be wise⚠️
Keberuntungan sepertinya tidak berpihak pada Kiara hari ini sampai ketika team leadernya menelpon dan meminta Kiara untuk ke ruangannya. Dan, ya…. Kiara tidak tau harus menyebut berita dari leadernya itu sebagai ‘keberuntungan’ atau tidak.
Kiara merasa hari ini berjalan sangaaaat lambat. Kegiatannya pun memang itu-itu saja; pergi ke kantor - bekerja - pulang. Entahlah, ia juga tidak merasa semangat sama sekali saat hendak berangkat ke kantor tadi pagi. Untuk memesan ojek online menuju stasiun saja ia harus memaksakan diri setengah mati.
Saat ini Kiara termenung menatap jam dinding yang ada di depannya. “Lama banget sih nunggu jam 4!” keluhnya dalam hati.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, tadi pagi sewaktu ia baru saja memasuki ruangan kerjanya setelah menempelkan id cardnya di tempat absen, tanpa sengaja ia mendengar suara obrolan setengah berbisik dari dua perempuan yang sudah duduk di meja kerjanya. Lantai kerja Kiara memang masih cukup sepi mengingat masih ada 30 menit sebelum jam kerja dimulai. Langkah kakinya terhenti begitu ia mendengar namanya disebut.
“Sumpah? Si Kiara urusan sepele gitu aja masih salah?” ujar orang pertama yang duduk di sebelah kiri — membelakangi Kiara. Wajahnya mungkin tidak terlihat, namun Kiara tetap bisa mengenali suaranya.
“Tau, ya, padahal waktu itu udah pernah kena tegur, tapi masiiih aja diulangin lagi,” jawab orang di sampingnya. “Ngerasa aman gara-gara dia timnya Zaidan kali, tuh.”
Tak dapat dipungkiri bahwa kini jantungnya berdegup lebih kencang, telapak tangannya berkeringat namun terasa dingin karena terkena sejuknya pendingin ruangan yang ada di dinding.
Ada 3 hal yang membuat Kiara sebal saat mendengar percakapan tersebut; (1) ini masih terlau pagi untuk bergosip—ya tak bisa dipungkiri bahwa Kiara pun pasti sesekali bergosip dengan Ghista, namun tidak di tempat umum dan sepagi ini juga! (2) mereka sok tau, masalah yang sedang mereka bicarakan sebenarnya sudah ‘diluruskan’ oleh leadernya, Zaidan, kemarin. Karena yang mereka sebut ‘urusan sepele masih aja salah’ itu bukanlah kesalahan Kiara, melainkan kesalahan orang yang sama dengan yang waktu itu juga sempat membuat huru hara tentang hal serupa; orang divisi desain! (3) Mereka membawa nama team leadernya yang mana menurut Kiara tidak ada sangkut pautnya sama sekali dalam hal tersebut. Emang kenapa kalo gue di timnya Kak Zidan? Bilang aja lo iriiii!!
Huh. Kiara tak habis pikir dengan orang-orang yang dengan lancarnya membicarakan orang lain tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Setelah mendengar percakapan tadi, mood Kiara semakin hancur lebur berantakan. Namun ia sadar bahwa masih ada beberapa pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikannya di hari Jumat yang menyedihkan ini. Maka alih-alih emosi dan menyanggah percakapan dua perempuan itu, ia memilih untuk menghemat energinya (yang tersisa sedikit itu) dan melanjutkan langkah menuju meja kerjanya namun dengan hentakan kaki yang sengaja dibuat lebih keras dari semestinya. Dua perempuan itu seketika diam karena menyadari bahwa ada orang lain — orang yang sedang mereka bicarakan lebih tepatnya — di ruangan ini.
Sesampainya di meja kerja, Kiara meletakkan tasnya di kolong meja seperti biasa setelah mengambil ipad dan stylus pen kesayangannya. Lalu tidak lupa ia menyalakan layar komputer di hadapannya dan langsung membuka beberapa tab sosial media perusahaannya guna mengecek hal-hal yang berkaitan dengan laporan mingguan yang akan ia buat hari ini.
Mouse yang ada di tangannya dengan cekatan berpindah dari sosial media yang satu, ke sosial media yang lain, sambil sesekali ia membuka tab google docs sebagai laman untuk membuat laporan evaluasi mingguannya.
Setelah beres, kini ia sedang memeriksa ulang hasil desain konten di google drivenya sambil mengecek jadwal postingan masing-masing. Dengan teliti, ia mengunggah konten pertama untuk pagi ini berserta caption yang telah ia buat beberapa hari lalu ke sosial media. Dan begitu seterusnya sampai beberapa jam ke depan, sesuai dengan jadwal postingan kontennya.
Sebagai seorang social media specialist, tentu ia dibayar untuk berurusan dengan dunia digital. Brainstorming, drafting, sketching konten, dan membuat laporan evaluasi sosial media merupakan hal yang sangat dekat dengan keseharian Kiara. Kalau dibilang jenuh, ya nggak juga sih. Mungkin karena pada dasarnya Kiara memang tipe orang yang suka ngonten kali, ya? Namun meskipun demikian, pasti ada momen dimana Kiara sedang kehabisan ide untuk konten dalam waktu 6 bulan kerjanya ini, padahal tenggat waktu drafting sudah lewat dan harus segera naik ke agenda sketching desain.
Jika sedang seperti itu, kadang Kiara memilih untuk bekerja di creative room atau taman yang memang sudah difasilitasi kantor untuk karyawannya. Dan karena pekerjaannya sangat dekat dengan dunia desain, tidak jarang Kiara mengajak salah satu karyawan divisi desain (yang sudah akrab dengannya) (dan tentu saja bukan karyawan yang sering salah colour palette itu!) untuk berdiskusi mengenai sketch yang ia buat.
Seusai berjam-jam menyibukkan diri dan membuat laporan evaluasi mingguan (dan karena pekerjaan di hari Jumat memang cenderung lebih banyak, sih), akhirnya waktu pulang yang ditunggu Kiara tiba. Bahkan, ia sudah mulai merapikan meja kerjanya dari 10 menit sebelum waktu menunjukkan pukul 4 sore. Ia sangat tidak sabar untuk pulang dan rebahan di kasur sambil menyetel plalist kesukaannya di spotify. Namun di saat tangannya sedang sibuk membereskan barang-barang, ponselnya bergetar cukup lama—menandakan kalau ada panggilan masuk. Pundak Kiara langsung merosot ketika mengetahui siapa yang menelponnya.
“Halo, Ra.”
“Iya, kak. Gimana? Laporanku ada yang kurang, kah?”
Zaidan tertawa di ruangannya. “Kagak, elah. Sini ke ruangan gue bentar. Ada yang mau gue omongin.”
Kiara sedikit panik sampai-sampai ia memilih untuk duduk di bangkunya dan totebag yang tadi sudah tersampir di pundaknya, ia letakkan kembali di meja. “Ada apaan kak… gue nggak dipecat kan???”
“Hahaha, lo gue pecat kalo nggak ke ruangan gue sekarang. Buru ah!”
Mendengar ancaman—yang Kiara tau bahwa sebenarnya itu hanya candaan—dari Zaidan, Kiara langsung bergeas ke ruangan yang dimaksud tanpa menghiraukan barang-barangnya di meja kerja.
“Iya, iya, ampunnn! Otw nih nggak pake rem."
Tok tok tok.
“Masuk, Ra!”
Saat pintu terbuka, aroma yang sangat familiar bagi indera penciuman Kiara selama 6 bulan terakhir menyeruak ke dalam hidungnya; aroma white musk dengan sedikit sentuhan woody yang menenangkan. Di ruangan berukuran 5x5 itu, terlihat Zaidan yang masih setia duduk di meja kerjanya dan menghadap ke layar komputer. Entah apa yang masih ia kerjakan di waktu orang lain sedang berlomba-lomba untuk pulang seperti Kiara tadi. Zaidan mempersilakan Kiara duduk dengan tatapan yang masih fokus ke layar komputer. “Duduk, Ra. Wait, ya.”
Kiara mengangguk dan langsung duduk di bangku yang telah tersedia. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang bernuansa putih tersebut sambil menunggu apa yang akan disampaikan oleh leadernya.
Sebenarnya Kiara sudah sering bolak-balik masuk ruangan ini, namun hingga saat ini ia masih merasa kagum dengan bagaimana Zaidan menata ruangannya. Temboknya sepi, hanya terdapat satu jam dinding dan satu lukisan abstrak berwarna hitam putih. Di pojok ruangan terdapat satu tanaman janda bolong — kiara tau betul itu karena itu salah satu tanaman yang dirawat ibunya di rumah — yang selalu terlihat segar karena Zaidan rajin menyiramnya dengan air.
“Nah, okeh,” Zaidan menghempaskan tubuhnya ke sandaran bangku. Kini atensinya sudah sepenuhnya menghadap ke Kiara. Namun alih-alih bicara, Zidan justru tertawa terbahak-bahak saat mendapati ekspresi Kiara yang seperti tidak punya semangat hidup. Ekspresi yang terlalu lucu baginya. “Heh! Gue nggak bakal mecat lo, anjir!”
Kiara ikut menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Wajahnya merengut karena ditertawakan. “Ya abisannn! Ada apaan sih kak sebenernya? Sumpah tadi gue udah mau balik, loh.”
“Buset, tenggo banget, bu?”
Melihat ekspresi Kiara yang tak berubah, Zaidan memilih untuk langsung mengutarakan maksud mengapa ia memanggil Kiara tadi. “Jadi, lo kan udah lulus probation, nih,”
“Hmm— UDAH APA?” Kiara menegakkan tubuhnya. “Udah apa kak tadi lo bilang?” Ia takut salah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Zaidan tadi.
“Udah lulus probation, Kiara Nareswariiii. Selamat yaaa!”
Kiara buru-buru bangkit sambil menjabat kedua tangan leadernya secara dramatis. “Bos, makasih bos! Aduh, saya terharu beneran ini bos, gimana dong bosss?”
“Lebay banget, monyettt.” Zaidan terkekeh dan melepas jabatan tangannya.
Kiara menutup mulutnya tak percaya. Mode dramatisnya masih aktif ternyata. “BOS? KOK MONYET SIH!! Gue aduin pak direktur lo ya!”
Zaidan berani sumpah, melihat Kiara yang dramatis lebay seperti ini lebih membuat ia lega daripada versi tidak semangat hidup seperti tadi. “Lagian lo lebay banget, dah. Iye, iye, sama-sama ye. Kerja yang bener lu abis ini!”
“Lah, emang selama ini gue nggak bener kerjanya?!” protes Kiara.
Lagi-lagi Zaidan hanya tertawa. “Itu buktinya, urusan se-sepele colour palette aja masih salah.”
Kiara menyenderkan tubuhnya sambil bergumam. “Walah si Daffa beneran monyet ini mah,”
Satu pulpen sukses mengenai tubuh Kiara, “ADUH! Sakit kak!!”
“Monyat monyet monyat monyet. Nanti gue aduin bapak lu ya!”
“HAHAHAHAHAHAHA, KAK!”
Kiara tidak kuat melihat ekspresi jenaka leadernya yang satu ini. Mungkin kalau bukan leader, sudah Kiara lempari tisu bekas berkali-kali. “Kak, asli, ekspresi lo biasa aja bisa nggak sih?” Kiara masih terkekeh. Orang di hadapannya hanya mencibir namun tidak tahan akhirnya ikut tertawa juga. “Dah ah, setoppp! Gue mau ngomong beneran tadi.”
Kepala Kiara mengangguk-angguk di sela-sela tawanya yang tersisa, mempersilakan Zaidan untuk bicara. “Jadi tuh, divisi desain lagi kekurangan orang. Sebagian ada yang cuti, sebagian lagi emang udah resign dari sebelum lo kesini. Makanya, pas lo masuk sini tuh emang mereka kayak keteteran banget ngerjainnya,”
Kiara masih fokus mendengarkan.
“Keteteran bukan karena lo nyusahin, tapi emang udah lama aja social media kita nggak seaktif 6 bulan belakangan ini, Ra.”
“Ini lo lagi muji gue nggak sih kak?” tanya Kiara.
“Iyaaa, elah. Haus validasi banget anak-anak tim gue kenapa yak,” Zaidan terkekeh.
Kiara ikut tertawa mendengarnya. Zaidan mengecek ponselnya sekilas lalu kembali melanjutkan kalimatnya tadi. “Nah, karena emang butuh, tadi leader mereka ngabarin gue kalo akhirnya mereka narik orang luar. Freelance, sih, jatohnya. Tapi nanti dia yang bakal kerja sama kita beberapa waktu ke depan.”
Kiara menatap lurus leader di hadapannya. “Terus, si Daffa gimana?”
“Oke, urusan Daffa dan segala permasalahan yang dia buat—”
“Yang berujung nama gue yang jelek,” sahut Kiara.
“Iya, itu. Semua permasalahan yang dia buat udah naik ke bos. Dan setelah diskusi juga, gue denger-denger sih dia dipindahin ke tim lain ya, bukan di tim produk kita lagi. Karena emang sebelum lo masuk, dia udah lumayan sering bikin huru-hara sih, Ra.”
“Monyet emang. Dia yang huru-hara, gue mulu yang difitnah.”
Zaidan melotot. “Gue sentil bibir lu kalo sekali lagi ngatain monyet, ya! Cuma gue doang yang boleh begitu disini.” ujarnya. Sebenarnya, umpatan dan ledekan sudah sangat lazim terdengar dari tim yang dipimpin Zaidan saat mereka sudah berada di luar jam kantor seperti saat ini. Maka tak dapat dipungkiri bahwa Kiara juga sedikit banyak tertular kebiasaan tersebut.
Kiara mengangkat kedua jarinya, membentuk logo peace. “Terus, terusss?”
“Nabrak. Ya mulai Senin besok lo kerja sama si freelancer lah,” Zaidan menggulung lengan kemejanya sebelum meraih tumblr dan meneguk kopi di dalamnya. Orang di hadapannya hanya mengangguk-angguk. Wajahnya tampak sedang berpikir.
Karena belum ada respon, akhirnya Zaidan berinisiatif untuk membereskan meja kerjanya yang sedikit berantakan. Tangan Zaidan memegang mouse dan mengarahkan kursor di layar komputernya menuju turn off. Matanya kemudian melirik ke sosok yang ada di hadapannya.
“Heh, cil. Kok malah bengong aja sih? Respon, kek. Jawab oke, gitu, atau apa kek, halo halo bandung???”
Posisi duduk Kiara kian merosot dari tempat duduknya. Sebenarnya ia memiliki banyak pertanyaan yang tersimpan di otaknya terkait rencana baru tersebut. Namun energinya sudah keburu habis. Kalau boleh jujur, Kiara senang mendengar berita bahwa ia tak lagi bekerja dengan staff desain yang sering membuat huru-hara itu. Namun di sisi lain, ia juga merasa ada sedikit PR baru yang harus ia selesaikan, yaitu menjelaskan semua detail dari a sampai z tentang ketentuan konten kepada sang desainer grafis. Bagaimana kalau freelancer ini tidak bisa diajak kerjasama? Tidak bisa diajak diskusi? Atau lebih parahnya, tidak bisa menyesuaikan pace pekerjaan Kiara yang memang dituntut harus serba cepat, tepat, dan meningkat oleh perusahaan?
Seakan dapat membaca pikiran anggota timnya, Zaidan menjawab semua pertanyaan yang ada di pikiran Kiara. “Tenang aja. Orangnya baik, nggak kuper, enak diajak ngobrol sama diskusi, cepet tanggap juga alias nggak lemot. Udah profesional dia,” tangannya memasukkan ipad dan beberapa file ke dalam tasnya. Kiara menatapnya dengan tatapan bingung. “Gue udah kenalan soalnya. Udah liat portofolionya juga.” sambungnya.
Meja kerja Zaidan kini sudah tampak lebih rapi dibanding sebelumnya. Yang tertinggal kini hanyalah sebuah ponsel berwarna silver. Merasa ucapannya tak dihiraukan, Zaidan merasa gemas dengan anggotanya ini. Ia takut kalau tiba-tiba Kiara kesambet jin kantor dan mereog di hadapannya karena Kiara sama sekali tidak memberi respon terhadap ucapannya selain dengan tatapannya yang kosong dan terlihat lelah itu.
“Kiara, heh! Gue ngeri lu kesambet!”
Suara Zaidan memecah lamunan Kiara. “Iya, kak. Gue oke aja kok, sumpah. Sori ini gue lemes banget soalnya emang energi gue udah abis total buat hari Jumat yang menyedihkan ini,” ia menghela napas berat. “Lo harus tau kak semenyedihkan apa Jumat gue hari ini.” sambungnya dengan wajah yang masih ditekuk.
“Kasian, mana masih muda.” ledek Zaidan.
“Lo udah tua ya kak?”
“Gue baru 25 kalo lo lupa.” Zaidan menekankan kata DUA LIMA di kalimatnya. Kiara terkekeh pelan. Lantas ia membenarkan posisi duduknya. “Kak, gue izin pamit boleh ya… udah selesai kan yang mau diomongin tadi kak?” tanya Kiara hati-hati.
“Lo nggak kepo siapa freelancernya? Namanya? Umur? Cowok apa cewek? Nomor whatsappnya?” Kiara semakin pusing mendengar rentetan pertanyaan dari leadernya yang sedang mode bawel ini.
“Sorry, kak, bukan maksudnya nggak sopan. Tapi, energi gue tinggal nyisa buat dempet-dempetan di KRL doang.. boleh nggak kalo semua informasi yang gue butuhin kayak yang ada di pertanyaan lo tadi itu dikirim ke email atau whatsapp gue aja….?” dalam satu tarikan napas Kiara berhasil berbicara panjang lebar menyampaikan maksud dan tujuannya. Ia tidak enak untuk mengabaikan leadernya. Tapi, sungguh, dia sudah tidak sanggup apabila harus lebih lama di ruangan ini sambil membahas tentang urusan pekerjaan yang tidak ada habisnya.
Zaidan mengangguk. “Iye dahh buat si bocil.”
Kiara mengehela napas lega. Ia bersyukur sudah ditempatkan di sebuah tim yang memiliki leader sebaik dan sepengertian Zaidan. Walaupun tidak jarang Kiara menjadi bulan-bulanan timnya karena memiliki usia yang paling muda, namun hal tersebut justru meningkatkan semangatnya untuk bertahan dan memberikan yang terbaik pada pekerjaannya.
“Sekali lagi, thank you yaaa leader gue yang baik hati dan sering nraktir anak-anaknya walaupun kadang ngeselin juga kayak mo—”
Melihat Zaidan melotot ke arahnya, Kiara langsung berdiri dan kabur ke arah pintu secepat kilat. “MONTIR, KAK. MONTIR MAKSUD GUEEE!”
“KIARA JANGAN SAMPE GUE BERUBAH PIKIRAN BUAT MECAT ELU YAAA!”
Yang diteriaki sudah hilang dari pandangan menyisakan suara gelak tawa yang masih terdengar jelas di telinga Zaidan.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
