
BAB 6 - I MISS YOU
BAB 7 - TUNGGU AKU DI INDONESIA
BAB 8 - KEMBALI BERPISAH
BAB 9 - HALUSINASI
BAB 10 - PERSIAPAN MENGENAL CARLO
BAB 6 - I MISS YOU
Ketidak-hadiran Carlo di kantor selama seminggu membuat Dina tidak lagi khawatir, Dina mulai bisa menyesuaikan dirinya dengan lingkungan kantor Carlo dan hari ini adalah jadwal Dina untuk mengunjungi kantor pusat karena ada rapat dengan tim baru yang dibentuknya untuk mengerjakan proyek baru.
"Gimana kantor disana bu, enak?" Tanya salah satu dari anggota tim barunya.
"Tuan mudanya baik ga bu? Penasaran aku tuh sama tuan mudanya." Tanya anggotanya yang lain.
"Emang beneran ganteng ya?" Tanya anggotanya yang lain lagi.
Dina diserbu oleh pertanyaan-pertanyaan seputar tuan muda CEO yang ternyata gosipnya sudah merebak setelah seminggu ia meninggalkan kantor.
"Tuan muda jarang ke kantor." Jawab Dina.
"Oiya, itu kan bukan kontor pusat, CEOnya ke kantor pusat lah pasti." Tebak salah satu anggotanya.
Betul juga, Dina tidak terfikir bahwa ada kemungkinan Carlo kembali ke Swedia untuk mengurus bisnis keluarganya di kantor pusat. Rasa khawatir seketika menghantui hati Dina mengetahui Carlo berada di Swedia. Teringat saat pertama kali Carlo memutuskan untuk kembali ke keluarganya dan meneruskan bisnis keluarga, Carlo tidak kembali dan tidak ada kabar selama berbulan-bulan.
Saat itu hubungan mereka sudah berjalan hampir setahun dan tiba-tiba Dina mendapati kabar bahwa Carlo terluka parah hingga Dina dijemput untuk mengunjungi Carlo di Swedia karena Carlo sering menyebut nama Dina dalam komanya. Dina melihat Carlo yang ia kenal selau sehat dan kuat saat itu terbaring lemah dengan bantuan alat. Ada beberapa lebam ditubuhnya, bekas tusukan dan peluru. Kenapa bisa separah itu?
Saat itu papi dan mami pun tidak menjelaskan banyak, hanya memberi tau bahwa Carlo terlibat pertarungan dengan lawan masa kecilnya. Apa yang diributkan oleh anak kecil hingga bisa semengerikan ini begitu dewasa? Banyak pertanyaan dalam benak Dina yang tidak bisa ia tanyakan ke siapa pun kecuali kepada Tuhan. Selama di Swedia, setiap hari Dina hanya berdoa, menangis dan berharap Carlo segera sadar dan bisa melewati masa kritisnya.
"Sayang, aku cuma cuti satu minggu. Aku udah lima hari disini, kamu ga mau ajak aku jalan-jalan? Aku jauh loh dari Indonesia ke sini, cuma buat lihat kamu tidur?" Dina mulai stres dengan kondisi Carlo yang tidak kunjung sadar dan menyadari dirinya tidak bisa lebih lama lagi menemaninya.
Dina menangis di lengan Carlo, ternyata indra peraba Carlo merespon tetesan air mata Dina, tangannya bergerak. Mesin berbunyi karena menerima respon positif dari tubuh Carlo, dengan cepat dokter pribadi dan tenaga kesehatan lain yang ditugaskan khusus di rumah Carlo masuk memeriksa keadaan Carlo. Berangsur-angsur Carlo membuka matanya dan melihat Dina ada disampingnya. Tubuhnya masih lemah namun senyum pada wajah Carlo merekah melihat kekasih hatinya ada di rumahnya.
Kondisi tubuh Carlo semakin membaik dan dua hari kemudian sudah bisa duduk di kursi roda mengantar Dina ke bandara khusus pesawat pribadi untuk kembali ke Indonesia.
"Tunggu aku di Indonesia ya, masih ada yang harus aku selesaikan disini." Kata Carlo saat itu.
"Jangan berantem lagi." Kata Dina.
"Iya, love you."
Mereka kembali berpisah hingga kejadian yang sama kembali terulang dua bulan kemudian. Namun kali ini tidak separah sebelumnya, Carlo tidak kehilangan kesadaran hanya luka pedang di tubuhnya bertambah. Carlo memutuskan untuk menjalani pemulihan lukanya di Indonesia karena bisa dibilang urusan utamanya di Swedia sudah selesai, terlebih ia sangat rindu dengan Dina.
Dina terkejut mendapati kekasihnya pulang dengan luka. Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, bahkan hingga hari ini Dina tidak mengerti mengapa Carlo bisa terluka parah saat itu. Carlo tidak pernah mau menceritakannya dan selalu mengalihkan topik pembicaraan setiap kali Dina membahas luka-luka pada tubuhnya.
“Biasa, cowo kalo ga punya luka itu kurang cowo.” Jawaban Carlo.
Kejadian itu lah yang membuat Dina selalu khawatir setiap kali Carlo pulang ke Swedia, entah luka apa lagi yang akan bertambah pada tubuh Carlo kali ini.
***
"Dalam satu minggu ini kami siapkan penawarannya, nanti segera kami kirimkan." Kata Carlo pada pak Deon dan ka Sarah.
"Untuk urusan rumah pribadi, saya serahkan ke Sarah. Kamu langsung ke istri saya saja, selama istri senang - suami tenang." Kata pak Deon sembari merangkul ka Sarah dengan mesra.
Setelahnya selesai mencatat dan merekam semua informasi terkait rumah pribadi ka Sarah, Carlo dan tim studionya berangkat menuju Jogja untuk liburan. Rencananya Jumat dan Sabtu mereka di Jogja lalu Minggu ke Solo kemudian Senin Aanwijing di Surakarta dan sorenya kembali ke Tangerang.
Perjalanan jalur darat dipilih menggunakan mobil Alphard milik keluarga Carlo agar luas dan nyaman. Carlo pun menggunakan supir untuk perjalanan kali ini karena ia masih harus menyelesaikan beberapa urusan bisnis papinya selama dalam perjalanan. Mereka sampai di Jogja malam hari. Sebelum menuju kamar masing-masing, Carlo memberikan arahan..
"Besok pagi kita sarapan di restoran hotel jam 7 pagi, setelahnya kita jalan-jalan mengunjungi beberapa bangunan untuk kita pelajari bersama arsitekturnya. Sore hari kalian bebas mau kemana saja." Kata Carlo menjelaskan rencana besok.
"Oke pak." Jawab anggotanya kompak.
Anggota Carlo pergi menuju kamar mereka masing-masing untuk meletakkan barang, bersih-bersih dan kemudian mereka kumpul lagi untuk nongkrong di pinggir kolam renang.
"Hotel kita terlalu mewah ga sih?" Tanya Yossy saat mereka sedang nongkrong.
"Mobil kita juga mewah, gw perdana naik Alphard." Tambah Bian.
"Untuk ukuran bonus jalan-jalan, kayaknya proyek kita ga seberapa deh. Kalo proyek kita lebih besar mungkin kita bisa jalan-jalan ke luar negeri." Yossy berargumen menurut logikanya.
"Ga perlu punya proyek juga pak Carlo bisa ngajak kita ke luar negeri." Damar masuk dalam obrolan.
Semua mata menatap Damar yang selalu diam tapi sekalinya bersuara selalu mengejutkan dan biasanya info dari Damar cukup akurat.
"Pak Carlo itu memang dasarnya orang kaya." Tambah Damar.
"Iya sih kayaknya, tapi sekaya apa sampe bisa kasih kita fasilitas begini? Hambur-hamburin uang." Tanya Yossy.
"Kenapa dia ga bikin cafe lebih besar aja kalo emang orang kaya?" Tanya Bian.
"Selama di perjalanan, pak Carlo meeting menggunakan bahasa Inggris, sepertia dia punya bisnis lain. Lalu kalian sadar ga kalo driver dan pelayan hotel tadi memanggil pak Carlo dengan tuan muda?" Tambah Damar.
Mereka mulai bergosip dan mengembangkan teori cocoklogi terkait bossnya dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Sementara Carlo di lobby hotel sedang berbicara santai dengan manager hotel, membicarakan perkembangan hotel keluarganya ini.
Carlo dan timnya menginap di salah satu cabang hotel milik keluarganya yang ada di Jogja. Sebuah hotel bintang lima dengan gaya tropical, sangat sejuk dan asri. Lebih cocok untuk liburan daripada untuk perjalanan bisnis seperti yang anggota timnya rasakan.
Carlo melihat ada rombongan kecil yang baru tiba di hotelnya, mereka sangat heboh dan berisik membuat siapa saja yang ada di lobby mengalihkan pandangannya pada rombongan tersebut. Hanya 4 orang namun rasanya seperti 4 keluarga besar sedang berkumpul.
"Boss kita ga main-main kasih bonus hotel bintang 5 cuy..."
"Iya, ini gw kayaknya ngga usah kemana-mana deh. Di hotel aja udah seneng.."
"Setelah pulang dari sini gw berjanji akan semakin giat bekerja!"
Carlo menelaah 4 orang tersebut satu per satu dan pandangan matanya bertemu dengan mata Dina. Seketika tubuh Carlo terasa kaku, begitu pun dengan Dina yang hanya terdiam memandang Carlo. Jantung Carlo berdegup kencang. Seminggu terkahir Carlo memang sengaja tidak ke kantor untuk menghindari Dina tapi kali ini ia sudah tidak bisa kabur lagi karena mereka sudah saling melihat. Carlo pun menghampiri Dina dan timnya.
"Halo, kita bertemu disini.." Sapa Carlo.
Mereka terdiam memandang Carlo tak percaya.
"Santai aja, jangan tegang. Saya tinggal deh kalo jadi canggung gini.." Kata Carlo menyadari kecanggungan diantara mereka.
"Bukan gitu pak, eh tuan muda. Kita cuma kaget aja tiba-tiba ketemu di Jogja, kemarin selama di kantor malah kita ga ketemu." Salah satu anggota Dina menanggapi Carlo.
"Saya jarang ke kantor, tapi gimana kantornya? Nyaman?" Tanya Carlo.
"Nyaman, kantornya bagus." Jawab salah satu anggota Dina yang kebetulan ditugaskan di kantor Carlo.
"Kalo ada hal-hal yang perlu disampaikan di kantor, sampaikan ke asisten saya saja ya." Tambah Carlo.
"Siap."
"Saya ngga mau ganggu, saya tinggal ya.." Carlo memandang Dina dan tersenyum sebelum pergi meninggalkan rombongan kecil yang berisik itu.
***
Dina dan salah satu anggota yang menjadi teman sekamarnya terperangah melihat kamar mereka.
"Asli, kita dapet suite room. Luas bangeettt..." Seru salah satu anggota Dina begitu membuka pintu kamar.
"Ada kolam renang pribadi di kamar atuh gimana ini bu.. Besok kita foto-foto ya bu untuk konten Instagram, ini teh keren pisan.."
"Iya, baik bener ya bos kita." Dina menanggapi dengan ekspresi masih terkagum dengan kamar yang ia dapatkan.
*toktoktok* (kamar Dina diketok dari luar)
"Bu, Masyallah kamarnya bu..." Anggota timnya di kamar sebelah pun tidak kalah heboh melihat fasilitas bonus yang diberikan kantornya.
"Hahahaa.. Iya nih, saya juga ga nyangka. Dari pada hotel mewah gini saya mending dikasih uang aja. Hotelnya cari yang murah." Kata Dina menanggapi.
"Selamat malam.." Tiba-tiba pelayan hotel masuk karena pintu kamar tidak ditutup.
"Iya, selamat malam mba.." Jawab Dina.
"Kami mau menginfokan bahwa hotel kami memberikan 4 layanan spa gratis dan satu mobil plus supir untuk bisa ibu gunakan selama di Jogja. Jika ada hal-hal lain yang dibutuhkan, bisa hubungi resepsionis kami 24jam." Kata pegawai hotel tersebut.
"Baik, terima kasih mba.." Jawab Dina.
*ddrrttt ddrrttt* (telpon masuk)
"Sssttt.. Boss telpon." Kata Dina sembari menunjukkan HPnya.
"Loadspeaker bu, kita mau ucapin terima kasih." Kata salah satu anggotanya.
"Halo pak." Dina mengangkat telpon dari bossnya.
"Gimana, kalian sudah sampai di hotel?" Tanya Bossnya.
"Sudah pak, kamarnya baguss..." Jawab salah satu anggota Dina.
"Iya dong, hotel bintang 5 pasti bagus." Kata bossnya.
"Mantep pak, suite room pulak." Kata salah satu anggota Dina.
"Humm.. sepertinya bukan suite room yang dipesan. Kalian ga salah kamar kan?" Bossnya memastikan.
"Waduh." Mereka mulai panik jika ternyata mereka masuk ke kamar milik orang lain.
Boss kantor Dina memastikan bahwa yang merka pesan adalah standart room bukan suite room dan tanpa fasilitas spa apa lagi mobil plus supir. Boss Dina meminta mereka kembali memastikan agar tidak salah sehingga biaya reimburse masuk ke tagihan kantor.
"Coba bu, tanya orang hotel. Ngeri juga kalo kita senang-senang disini taunya bulan depan kita ga gajian karena tagihan hotel ini masuk reimburse." Salah satu anggota Dina panik.
"Oke, saya ke kantornya dulu. Kalian rapihin lagi barang-barang kalian biar kita pindah kamar." Kata Dina.
Dina keluar kamar mencari kantor pengelola hotel untuk menanyakan dan memastikan pesanan hotel yang dilakukan kantornya.
"Betul bu, 2 suite room untuk ibu Dina dan rekan ibu Dina beserta fasilitas spa dan mobil plus supir." Kata pegawai hotel.
"Tapi saya dapat info dari kantor, kalo kantor saya pesannya standart room." Kata Dina.
"Betul, pesanan tersebut menjadi suite room atas kebijakan pemilik hotel kami." Tambah pegawai hotel.
"Kebijakan jenis apa ini? Lagi promo ya mba? Masa hotel bintang lima ada promo beginian?" Dina bingung, tidak percaya.
Pegawai hotelnya hanya tersenyum melihat Dina kebingungan tapi Carlo sudah berpesan untuk tidak menyebut namanya jika Dina dan timnya bertanya.
"Siapa sih pemilik hotel ini, mba?" Tanya Dina.
"Maaf, kami tidak bisa memberikan informasi tentang pemilik hotel ini, bu." Jawab pegawai hotel.
"Humm.. Ini kita free charge kan ya? ga ada tambahan biaya lain-lain karena kebijakan promo ini?" Dina kembali memastikan.
"Tidak ada, bu." Jawab pegawai hotel.
"Humm.. Okedeh, terima kasih ya mba.."
"Sama-sama, ibu. Selamat beristirahat."
Dina kembali ke kamarnya dengan bingung namun hatinya senang.
"Jadi beneran bu kita di sini?" Semua anggota tim Dina sudah siap ingin pindah kamar, muka mereka nampak sangat lucu seperti imigran yang hendak diusir dari negara.
"Hahahahaha... Iya, rejeki kita nih kayaknya lagi ada promo atau apa. Yaudah lah, nikmatin aja toh kita ga kena tambahan biaya jadi bulan depan kita tetap gajian." Kata Dina.
"Yeaaa..."
***
"Selamat pagi, tuan muda.." Salah satu anggota Dina menyapa Carlo saat bertemu di restoran untuk sarapan pagi.
"Halo, selamat pagi." Jawab Carlo.
"Sendiri aja pak?"
"Tidak, saya sama tim saya." Carlo menunjuk anggotanya yang sedang sarapan.
"Ini ada bu Dina pak, ngga titip salam langsung?" Anggota Dina menggoda Carlo mengingat pesan yang dititipkan Carlo pada direkturnya saat penandatanganan MoU beberapa waktu lalu. Dina refleks menyenggol anggotanya supaya tidak berbicara yang aneh-aneh.
"Ahiya, kebetulan ya ada bu Dina. Huumm.. Nanti malam ada acara ga bu Dina?" Carlo mengalihkan pandangannya pada Dina.
"Ngga ada. Bu Dina malam ini free!!!" Anggota Dina menjawab pertanyaan Carlo tanpa instruksi dari Dina.
"Eh engga free, kita kan mau coba tempat ngopi bareng.." Jawab Dina.
"Kita bertiga aja bisa ko, tuan muda boleh ajak bu Dina bebas kemana aja." Kata salah satu anggota Dina.
"Oke, berarti ga masalah ya malam ini bu Dina sama saya?" Tanya Carlo.
"Terserah tuan muda."
Sebelum Dina sempat bersuara dan menolak, Carlo segera pamit pergi dan berkumpul bersama timnya membahas tujuan mereka siang ini sedangkan Dina terus digoda oleh anggotanya.
"Sikat bu! Ganteng dan tajir, kurang apa lagi?" Bisik salah satu anggotanya.
"Badannya juga keren, make kaos gitu kebayang dada dan perutnya pasti sixpack." Tambah yang lain sambil sesekali curi-curi pandang ke arah Carlo.
"Heh, pikirannya jangan kemana-mana." Dina risih melihat anggotanya mulai membayangkan tubuh Carlo.
Tubuh Carlo yang mampu membuat dirinya terkulai lemas di kasur. Dadanya yang bidang, perutnya yang sixpack dan lengannya yang kokoh saat memeluk dirinya. Pikiran kotor Dina melayang, ia melirik Carlo yang sedang bersama timnya membelakangi dirinya. Ah, punggungnya yang hangat untuk dipeluk dari belakang.
"Duh, mikir apa sih gw!!!" Dina berteriak dalam hati.
***
Setelah sarapan, mereka memulai aktivitas bersama tim mereka masing-masing. Dina melihat Carlo dan timnya masuk mobil lalu pergi.
"Silahkan, bu Dina. Mobilnya sudah siap." Mereka masuk ke mobil yang sudah disiapkan hotel.
"Wuaa.. mobilnya Alphard. Berasa bos banget kita nih." Seru salah seorang anggota Dina.
"Iya, malu nih kita kalo mampir warung tenda buat nanti makan siang." Tambah yang lainnya.
Mereka berangkat menuju tempat wisata yang sedang ramai dikunjungi netizen Indonesia. Bukan pemandangan indah yang mereka dapat melainkan kumpulan manusia yang memenuhi tempat wisata.
"Asli, mending di hotel aja ga sih kita? Rame banget." Keluh salah seorang anggota Dina.
"Pak, biasa orang kaya di hotel itu pergi kemana kalo liburan di Jogja?" Tanya anggota Dina yang lainnya pada driver hotel.
"Ibu mau wisata apa?" Tanya drivernya.
"Pantai pak.." Jawab anggota Dina kompak.
"Ada private beach dekat sini, bu." Pak driver memberi ide.
"Boleh ga kita kesana? Mahal ga pak disana?" Tanya salah satu anggota Dina.
"Sebentar bu, saya tanyakan aksesnya ke boss saya dulu." Pak driver keluar mobil menelpon bossnya dan kembali ke mobil.
"Aman bu, saya akan antar.." Kata driver hotel.
Mereka pergi ke sebuah pantai yang sepi dengan bentang pasir yang luas. Di sisi pantai terdapat cottage berjejer rapih yang bisa digunakan untuk santai dan berteduh dari panas matahari
"Selamat siang, bu Dina." Seorang pelayan menyapanya.
"Hm?" Dina bingung karena pelayan tersebut mengetehui namanya.
"Kami sudah menyiapkan reservasi ibu, mari saya antar.."
Mereka mengikuti pelayan tersebut ke sebuah tempat yang agak tinggi. Tidak dekat dengan pantai, harus menaiki beberapa anak tangga dan..
"Wuaaa... Keren banget." Semua terkagum dengan pemandangan yang mereka lihat.
"Silahkan bu, di meja sudah kami sediakan welcome drink. Ini buku menu untuk makan siang, nanti bisa hubungi kami jika sudah siap untuk memesan makan siang." Kata pelayan tersebut.
"Enak bener, bayarnya nih yang ngga enak." Celetuk anggotanya.
"Untuk pembayaran ditanggung oleh tempat ibu menginap." Tambah pelayan tersebut.
"Hah? Seriusan mba?" Tanya Dina kaget.
"Benar, ibu."
"Wah, ngga ngerti deh ini kita dapat promo jenis apa."
***
"Temen-temen, kita pisah disini ya. Kalian bebas mau kemana aja, nanti pak supir yang antar." Kata Carlo pada ketiga anggotanya.
"Pak Carlo naik apa?" Tanya Yossy.
"Saya gampang lah. Oke?"
"Oke pak.." Jawab ketiga anggotanya.
Carlo memisahkan diri dan naik mobil pribadi yang sudah disiapkan untuk menjemput Dina. Perjalanan Dina dan timnya cukup jauh dari hotel, Carlo sudah memperhitungan waktu tempuh beserta sifat Dina yang sulit konsisten dengan waktu. Jika tidak dijemput maka rencana mereka bersama malam ini akan hilang, Carlo tidak mau kehilangan kesempatan untuk bersama Dina.
"Halo, bu Dinanya sudah bisa saya bawa?" Tanya Carlo.
Dina dan timnya terkejut melihat Carlo sudah tiba di depan mereka saat mereka sedang asik menikmati pemandangan dan melepas lelah setelah sibuk foto buat konten mewah Instagram versi mereka.
"Loh, tuan muda di sini juga?" Tanya salah satu anggota Dina.
"Baru sampe, tadi saya keliling sama tim saya dan ini khusus datang mau jemput bu Dina." Jawab Carlo.
"Aku dekil banget nih dari pagi di pantai, kita balik hotel dulu yai?" Dina mengusulkan.
"Nope, yuk."
Tanpa basa-basi Carlo berjalan meninggalkan mereka, Dina mengikuti Carlo dari belakang meninggalkan anggotanya yang mulai bergosip tentang dirinya.
"Kita mau kemana?" Tanya Dina.
"Mandi dulu yuk, aku juga gerah nih dari pagi keliling." Kata Carlo.
"Mandi dimana? Balik hotel?"
"Disini aja, numpang kamar mandi penginapan ini."
"Emang boleh?"
"Boleh lah, kamu kan udah pesan banyak."
"Bang Carlo." Dina menarik tangan Carlo.
"Hotel tempat kita menginap itu punya keluarga kamu?" Tanya Dina.
"Iya." Jawab Carlo singkat.
"Kamu yang bikin kamar kita jadi suite room?"
"Iya."
"Fasilitas ini semua juga dari kamu?"
"Iya."
"Ngapain sih?"
"Biar kamu nyaman liburan sama tim kamu."
"Ga perlu segininya, bang."
"Tapi seneng ga?"
"Bukan masalah seneng atau engga, aku bayarnya gimana ke kamu?"
"Bayar dengan kinerja kamu di kantor. Ini baju ganti, handuk dan peralatan mandi ada di dalam tas. Yuk numpang mandi."
"Ini punya kamu juga cottagenya?"
"Bukan. Kamu mau? Nanti aku beli buat kamu."
"Ngga."
"Atau buat baru yang lebih bagus dari ini?"
Dina tidak menjawab, ia mengambil tas dari tangan Carlo dan berjalan mencari kamar mandi. Carlo melihat mantannya berjalan kesal tapi tetap mengambil barang yang ia berikan membuatnya gemas. Dia tidak menyangka memiliki kesempatan untuk berdua dengan Dina di Jogja, liburan bersama walau hanya semalam.
"Kita mau kemana?" Tanya Dina setelah mereka sudah rapih.
"Ke Prambanan yuk? Disana bagus dan sering ada pertunjukan kalo malem-malem." Carlo mengusulkan.
"Wes aku ikut aja." Jawab Dina.
Mereka pergi ke Candi Prambanan dan benar, sedang ada pertunjukan musik dengan latar belakang prambanan yang indah.
"Keren banget.." Kata Dina begitu melihat lokasi tujuan mereka.
Carlo tersenyum melihat Dina nampak menikmati pertunjukan musik dan suasana Prambanan malam itu. Mereka bernyanyi bersama dan sesekali bercanda seperti masa-masa mereka dulu bersama.
Selesai pertunjukan, mereka kembali ke mobil untuk pulang ke hotel, Carlo menggandeng tangan Dina seolah tidak siap jika harus cepat berpisah. Begitu tiba di dekat mobil, Carlo membukakan pintu untuk Dina dan sebelum Dina masuk mobil, Carlo mencium lembut bibir Dina. Dina menyambut ciuman Carlo dan mereka cukup lama saling berpaut dalam kenangan masing-masing.
"I miss you." Kata Carlo begitu bibir mereka terlepas.
"I really miss you." Dina menjawab dan kembali menarik Carlo dalam ciuman.
"Malam ini kamu sama aku ya?" Carlo meminta persetujuan Dina agar mereka bisa tidur bersama yang hanya dijawab oleh anggukan dan senyuman oleh Dina.
Mereka kembali ke hotel dan segera manuju kamar Carlo.
"Kamu tidur di standar room?" Tanya Dina begitu tiba di kamar Carlo.
"Ga peduli apa tipe kamarnya yang penting sama siapa."
Carlo menarik Dina ke kasur dan mencumbu Dina dengan agresif. Dina menikmati setiap ciuman dan sentuhan Carlo pada tubuhnya. Carlo membuka bajunya dan memperlihatkan tubuh seksi yang tadi pagi menjadi imajinasi anggota Dina.
Dina tersenyum mengingat orang lain hanya bisa melihat dan membayangkannya tapi dirinya bisa menyentuh dan menikmatimatinya. Dina memainkan rambut Carlo saat Carlo sibuk bergrilya mencium tubuh Dina, beberapa posisi mereka lakukan hingga puncak klimaks, mereka berbaring lemas namun puas.
Dina memeluk Carlo dan kepalanya ia letakkan di dada Carlo. Carlo mencium kepala Dina, membelainya lembut hingga mereka berdua tertidur.
BAB 7 - TUNGGU AKU DI INDONESIA
"Iya, hari ini aku balik Jakarta. Hhmm... Landing jam 20.35 WIB. Iya, beibh.." Kata Dina pada sambungan telpon.
Carlo terbangun mendengar Dina sedang telpon dengan seseorang yang diduga adalah mantannya eh pacarnya. Sekarang Carlo lah yang menjadi mantannya Dina. Suasana hati Carlo seketika menjadi buruk, Ia duduk di tempat tidur dan terdiam dengan muka yang nampak kesal. Setelah menutup telponnya, Dina berbalik badan dan melihat muka Carlo dengan kondisi tidak baik-baik saja.
"Selamat pagi.." Sapa Dina ragu.
Carlo memejamkan mata untuk menahan amarahnya. Ia tidak ingin membuat suasana pagi ini menjadi buruk jika ia marah pada Dina yang bukan lagi miliknya.
"Kamu duluan atau aku duluan yang mandi?" tanya Dina.
Carlo bangkit dari tempat tidur, ia menarik Dina ke kamar mandi dan menekannya dengan agresif. Dina hanya pasrah dengan perbuatan Carlo dan mencoba mengimbangi tekanan yang diberikan Carlo padanya, ia paham bahwa Carlo sedang emosi karena mendapati dirinya telponan dengan Satya. Dina sudah hafal dengan semua ekspresi Carlo dan menerimanya karena dirinya sangat menyayangi Carlo bahkan hingga detik ini.
Dina menangis saat Carlo menyusuri tubuhnya, bukan karena perbuatan Carlo tapi ia menangisi kondisinya. Ia merindukan Carlo, tidak ingin berpisah dan kembali ke Satya tapi kondisinya saat ini sangat rumit, ia tidak mengerti apa maunya Carlo.
"Kamu pagi ini harus ke Solo, kan?" Dina bertanya ditengah perbuatan Carlo padanya karena Dina merasakan tubuhnya sudah lelah.
"Hhmmhh.." Carlo masih sibuk menekan dan mencumbu tubuh Dina.
"Katanya kamu harus siap jam 8, ini sudah jam 8." tambah Dina lagi.
"Aagghh.." Dina mendesah keras karena Carlo menghentakan tubuhnya ke tubuh Dina saat tubuh mereka masih bertautan.
Carlo melepaskan Dina dan keluar dari kamar mandi. Dina membilas badannya sekali lagi lalu mengeringkan rambutnya. Setelah rambutnya sudah tidak terlalu basah, Dina menyusul Carlo keluar kamar mandi tapi Dina mendapati kamarnya sudah kosong, sepertinya Carlo sudah pergi menemui anggotanya. Lagi-lagi perpisahan mereka tidak dengan baik-baik.
Dina kembali mengeringkan rambutnya yang masih lembab hingga seorang pelayan hotel datang mengantarkan baju ganti pesanan Carlo untuk Dina. Carlo selalu tau kebutuhan Dina tapi mengapa Carlo tidak tau apa isi hati Dina? Selesai berbenah, Dina kembali menuju kamarnya. Ia sengaja melewatkan sarapannya hari ini untuk menghindari Carlo dan timnya yang kemungkinan sedang sarapan di restoran.
"Ciee bu Dina ngga pulang semalam, ngapain aja bu??" Goda anggota Dina begitu ia tiba di kamar.
"Kalian ngga sarapan?" Tanya Dina.
"Kita minta sarapannya diantar ke kamar, tuh lihat bu sarapannya di atas kolam." Kata salah satu anggotanya.
"Kamarnya besar banget jadi kemarin aku minta temenin mereka tidur di sini karena bu Dina ngga pulang-pulang." Kata anggotanya yang merupakan teman sekamar Dina.
"Hmm, saya minta ya sarapannya." Dina tidak menggubris anggotanya, ia menuju makanan yang ada di meja pojok dekat kolam renang dan melahap sarapan milik anggotanya.
"Laper banget kayaknya bu, ngga dikasih makan sama tuan muda?" Tanya salah satu anggotanya.
"Dikasih makan tapi tenanganya dikuras kayaknya nih semalam." Kata yang lain.
Anggotanya terus menggoda Dina.
"Kalian cuma bisa bayangin perut sixpacknya kan? Saya sudah pegang perutnya.." Ucap Dina membalas godaan anggotanya.
"Aaaaa.... seriusan bu?" Ketiga anggotanya histeris.
"Hahahaha.. Apa sih kalian.. Jangan mikir macem-macem, itu cepat foto sebelum makanan kalian tenggelam." Dina mengalihkan pembicaraan dengan mengingatkan anggotanya akan rencana konten mewah mereka untuk instagram.
Dina hanya tersenyum melihat tingkah anggotanya dan sesekali ikut foto jika diajak, selebihnya ia duduk menikmati berbagai macam sarapan yang dihidangkan dengan hati dan pikiran yang masih melayang mengingat kejadian pagi tadi.
Carlo dan timnya sudah tiba di Surakarta pada siang hari. Bian pamit untuk mampir ke rumah neneknya sedangkan yang lain Carlo izinkan untuk pergi menggunakan mobil dan supirnya. Suasana hati Carlo sedang tidak baik sehingga ia memilih untuk menyibukkan dirinya di hotel.
Esoknya pada hari Senin, mereka pergi menghadiri aanwizing Sayembara Masjid Raya Surakarta. Setelah aanwizing selesai, mereka mencari makan siang lalu kembali ke Tangerang.
***
Hari Selasa Carlo menyiapkan penawaran dengan timnya untuk desain proyek rumah tinggal ka Sarah. Setelah itu Carlo turun ke Cafe dan pulang cepat ke rumah untuk tidur.
*ddrrttt ddrrttt* (telpon masuk)
"Halo." Jawab Carlo.
"Dimana? Gw lagi di cafe lo nih.." kata ka Sarah.
"Gw di rumah ka, ga enak badan." Jawab Carlo.
"Aduh, kasian banget jomblo sakit-sakitan. Rumah lo dimana? Gw ke rumah lo ya?"
"Humm... Gw share loc."
"Oke."
Tidak lama, ka Sarah tiba di rumah Carlo karena memang jarak dari Cafe ke Rumah Carlo tidak terlalu jauh.
"Seru nih rumah lo. Kecil tapi ada kolam renangnya." Ka Sarah mengomentari rumah Carlo begitu ia masuk.
"Hmm.."
"Kamar cuma satu?"
"Iya, satunya jadi ruang gym."
Ka Sarah berkeliling mengamati rumah Carlo.
"Lo mau minum apa ka?" Tanya Carlo.
"Lo duduk aja, gw ambil sendiri."
"Langsung serasa rumah sendiri ya.."
"Iya dong, rumah adek gw masa ga bisa bebas?"
"Oke, bebas untuk kakakku.."
"Lo beneran lagi sakit ya?" Sarah mengecek suhu badan Carlo tapi suhunya normal.
"Hmm.." Carlo merespon dengan malas.
"Sakit hati lo ya? Kenapa? Cerita dong. Cewek mana yang nolak adek gw?"
Kini hubungan mereka menjadi adik-kakak. Carlo menceritakan kejadian kemarin saat di Jogja dengan Dina membuat ka Sarah penasaran dengan sosok Dina hingga bisa membuat Carlo uring-uringan.
"Kenapa ga balikan aja sih? Lo ngga gengsi tapi lebih ke tolol, tau ga?" Kata ka Sarah begitu mendengar cerita Carlo.
"Banyak hal yang belom lo tau tentang gw, ka.."
"Kasih tau dong, apa aja tuh yang belom gw tau tentang lo?
"Panjang lah ceritanya."
"Ga masalah, gw dengerin cerita lo sampe pagi."
"Males ah, nanti gw lagi cerita tiba-tiba lo mesti balik."
"Enggak, gw dengerin sampe lo puas ceritain semua. Gw udah belasan tahun ninggalin lo, sekarang gw mau update semua kabar tentang lo. Se-mu-wa!"
Pak Deon sedang tidak di Jakarta dan ka Sarah belum dikaruniai anak sehingga ka Sarah bebas untuk hari ini, tidak ada yang menunggunya di rumah.
Tiba-tiba Carlo membuka bajunya.
"Eh, ngapain lo buka baju? ngga aneh-aneh ya lo kalo cerita, cerita aja." Marah ka Sarah.
"Deg-degan ga lo, tiba-tiba gw buka baju?" Goda Carlo.
"Makin keren aja badan lo, tapi gw udah ngga nafsu lagi sama badan lo. Eh, sebentar. Badan lo kenapa berlubang? Itu bekas dibacok?" Sarah mendekatkan dirinya, memastikan penglihatannya.
Ka Sarah meyentuh bekas luka pada tubuh Carlo yang sudah tersamar namun tetap masih terlihat jika dilihat dari dekat.
"Ngeri banget, ko lo masih hidup ya?"
"Ini luka saat gw masih sama Siwi, yang ini dan ini saat gw sama Dina." Cerita Carlo.
"Lo berantem karena cewe? Secantik apa sih mereka?" ka Sarah penasaran.
"Mereka selalu menjadi tempat gw pulang ketika gw terluka tapi mereka selalu terluka karena gw."
"Mereka juga punya luka-luka begini?"
"Bukan. Banyak hal yang lo ga tau tentang siapa gw dan keluarga gw, ka."
Untuk pertama kalinya Carlo menceritakan tentang dirinya seutuhnya kepada seseorang. Ka Sarah, cinta pertamanya yang bertepuk sebelah tangan dan sekarang sudah ia anggap seperti kakaknya.
"Carlo, sori kalo gw potong sebentar. Gw pesen makanan dulu ya.." Ka Sarah ijin untuk memesan makanan karena hari sudah malam dan perutnya terasa lapar.
Mereka terus bercerita sembari makan hingga makanan mereka habis dan lanjut membuka beberapa botol alkohol untuk teman cerita. Ka Sarah mendengarkan dengan seksama dan sesekali bertanya jika ada hal yang tidak ia mengerti. Carlo menceritakan semuanya, sesekali ia meneteskan air mata karena akhirnya ada tempat untuk ia memuntahkan semua yang selama ini ia pendam hingga jam menunjukkan pukul 02.30 WIB. Ya, mereka bercerita hingga subuh.
"Gilingan sih lo. Tidak ada bisnis yang bersih, Carlo. Lo beneran cari mati kalo menarik diri dari mafia." Kata ka Sarah begitu Carlo selesai menceritakan tentang dirinya dan keluarganya.
"Gw mau meneruskan bisnis keluarga tapi gw ga mau bisnis keluarga yang dilanjutkan itu kotor, ka. Kelak, bisnis ini akan diteruskan ke anak-anak gw juga."
"Bokap dan nyokap lo gimana?"
"Awalnya mereka menentang keras, tapi gw buktikan hingga hampir mati."
"Sekarang semua udah selesai? Belom kan? Ngga akan ada selesainya lo berurusan sama mafia sebelum nyawa lo hilang."
"Gw lagi mencoba merapatkan bisnis gw ke jalur ‘benar’ sesuai prosedur ka."
"Itu pembuat dan penegak hukum aja mainnya sama mafia. Lo polos atau bodoh sih?"
"Itu kenapa gw lagi berusaha memindahkan pusat bisnis ini ke Indonesia."
"Lo cuma berpindah tempat, Carlo. Di Indonesia juga ada mafianya tersendiri."
"Setidaknya gw tidak akan bekerja sama dengan mereka."
“Non Sense! Sekalipun lo cuma buka cafe kecil, tiap bulan ada preman yang narikin iuran kan? Itu contoh mafia kecil, mereka tidak resmi secara prosedur!”
"Gw sempet kepikiran itu juga sih." Kata Carlo.
"Terus?"
"Tapi gw udah terlanjur manarik bisnis ini keluar dan sudah hampir berhasil. Cuma pemindahan ini yang sepertinya akan berdarah-darah lagi."
"Pasti. Mereka tidak akan mau kehilangan pemasukan dari bisnis besar keluarga lo."
"Gw tidak akan menutup bisnis disana, hanya memindahkan pusatnya."
"Lo tau ga? di dalam alkitab ada perumpamaan: Cerdik seperti ular - tulus seperti merpati."
Carlo terdiam.
"Gw tau niat lo baik, tapi dunia ini bukan surga yang isinya semua orang baik. Lo bisa kerja sama tapi pastikan kerja sama lo tidak merugikan mereka, tidak merugikan lo dan untuk kepentingan banyak pihak, bukan lo sendiri. Paham ga?"
Ka Sarah menjelaskan bagaimana dunia ini bekerja berdasarkan pengalamannya saat kuliah S1 dan S2 di Amerika mengambil ilmu sosial politik, berdasarkan pengalaman kerja keluarganya yang sebagian besar adalah aparat penegak hukum dan berdasarkan pengalaman keluarga suaminya yang sebagian besar adalah pebisnis. Carlo mendengarkan semua nasihat ka Sarah dan mulai mencernanya. Ia mendapat masukan baru dari sudut pandang yang selama ini belum pernah ia dapatkan.
“Dari semua cerita lo, jujur gw kaget dengan masa lalu lo terkhusus perjuangan lo di Indonesia. Tapi gw kagum lo bisa ada di titik ini.” Kata ka Sarah.
“Gw memang sehebat itu, ka.” Carlo memuji dirinya untuk mengurangi suasana haru yang tercipta.
“Huff.. Ga bisa dipuji anak ini. Lalu hubungannya dengan Dina apa?”
“Sebelum kita bahas Dina, ada hal yang mau gw ceritain lagi dan ini tentang lo.”
“Tentang gw?”
“Lo punya efek buruk dalam proses gw di Indonesia.”
Ka Sarah kaget dengan ucapan Carlo. Beberapa kali mereka bertemu setelah sekian lama hilang kontak rasanya semua baik-baik saja, kenapa sekarang dirinya masuk dalam skenario bahkan berperan sebagai sosok yang tidak baik?
“Lo inget ga perpisahan kita dulu seperti apa?" Tanya Carlo.
“Ha?” Ka Sarah mencoba mengingat kembali masa lalunya namun tidak terlalu banyak yang ia ingat.
“Pasti lo ga inget karena memang tidak ada perpisahan, tiba-tiba lo hilang tanpa kabar.”
“Sori..” Ka Sarah berkata pelan.
“Lo adalah wanita pertama yang masuk dalam hidup gw dan lo mencampakkan gw begitu saja.”
Carlo menceritakan bagaimana hancurnya dia saat ditinggal ka Sarah, anak kecil yang baru saja meninggalkan rumah dan merasa memiliki kenyamanan dengan seorang wanita lalu ditinggal tanpa kabar membuat dirinya menjadi liar dan tidak pernah lagi menaruh hatinya kepada wanita karena takut kembali ditinggal. Ka Sarah semakin kaget mendengar cerita petualangan hubungan asmara Carlo selama ini.
“Sebrengsek itu gw, ka.” Carlo mengakhiri ceritanya.
“Aduh, maaf..” Ka Sarah tidak tau harus berkata-kata apa.
“Tapi semua sudah berlalu dan..”
“Lo ada dendam ga sama gw?” Ka Sarah memotong kata-kata Carlo.
“Entah kenapa gw tidak berbakat menyimpan dendam, semua sudah berlalu.”
“Serius? Gw ngga enak banget dan jujur gw merasa bersalah.”
“Kalo gw masih dendam, malam ini lo udah gw bungkus!”
“Iihh, brengsek!” Ka Sarah memukul Carlo dengan bantal sofa.
“Hahahaha… Gw udah bisa mengatasi masa lalu gw.”
“Beneran brengsek ternyata lo ya! Tapi nilai positifnya, lo sadar bahwa diri lo ini brengsek!" Dengan gemas ka Sarah meninju lengan Carlo.
“Saat gw ketahuan selingkuh dan Dina menangis, saat itu gw sadar bahwa ternyata gw brengsek."
“Berarti selama ga ketahuan, lo ga akan sadar?”
“Gw ga tau ada apa dengan diri gw, tapi selama gw pacaran bahkan sama Siwi waktu itu, gw ngga pernah berpaling dengan wanita lain. Niatan untuk melirik wanita lain aja ngga ada, bener-bener rasanya satu sosok ini cukup untuk gw."
“Lalu akhirnya selingkuh, karena apa?”
“Sebenernya gw ga terlalu ingat kejadian malam itu karena mabok, anggap lah gw khilaf.”
“Tai kucing! Gw ngga percaya dengan alasan khilaf. Lo brengsek, titik!"
"Hummm... Jadi, itu pengalaman pertama yang tidak terdeteksi dan memang salah gw. Momen itu semua berjalan sempurna ka, hubungan gw dengan Dina mulus direstui semua pihak, hubungan dengan keluarga juga membaik, pekerjaan gw di studio dan bisnis terasa seimbang lalu gw terbawa euforia keberhasilan acara yang gw selenggarakan. Itu hanya momen satu malam dimana saat itu gw sedang sibuk menikmati semuanya tapi Dina sedang sibuk dengan urusan kantornya. Euforia itu tidak bisa gw tahan sendiri sehingga gw membaginya dengan orang lain. Bodoh banget, itu gw bodoh banget!!!"
“Bego emang. Pengendalian diri lo tipis! Tapi kita kembali ke kasus lo dengan Dina. Kalo sosok Dina ini bisa menjadi penawar kebrengsekan lo, kenapa ga diperjuangkan?"
“Gw takut bikin dia nangis lagi, gw terlalu brengsek.”
“Klise! Jujur, lo belom mau meninggalkan kebrengsekan lo dengan coba cewe sana-sini kan?”
“Setelah putus dengan Dina dan mengetahui Dina akan tunangan, gw sudah mengikhlaskan diri gw seperti kejadian dulu dengan Siwi. Kayanya takdir kehidupan asmara gw memang untuk terus berpetualang.”
“Maksudnya? Coba-cobain cewe?"
“Hu'um.”
"Lo kira cewe diciptakan untuk dicoba-coba?! Hah, adek gw memang bego! Lo mau kehilangan Dina?" Ka Sarah menoyor kepala adeknya dengan gemas.
“Gw sudah kehilangan dia ka, dia udah balikan sama mantannya.”
“Selama janur kuning belum melengkung, masih bisa ditikung. Kejadian di Jogja itu kurang jelas apa lagi sih? Dina itu nungguin lo.”
“Kalo nungguin gw, kenapa dia balikan sama mantannya?”
"Mana gw tau, lo tanya lah. Menurut gw, sebelum lo bener-bener kehilangan Dina, lo harus ajak dia ngomong serius dari hati ke hati, jangan cuma lo tidurin!"
Carlo terdiam, tidak menjawab.
"Lo pikirin baik-baik deh semuanya, lo ambil keputusan yang terbaik buat diri lo terlebih dahulu. Intinya, lo harus selesai dengan diri lo terlebih dahulu, oke? Gw mau tidur, gw pinjem kamar lo. Lo jangan tidur di sebelah gw, nanti gw khilaf." Ka Sarah bangkit meninggalkan Carlo dan masuk ke kamar Carlo.
Carlo masih duduk di sofa, menambahkan lagi alkohol dalam gelasnya dan meneguknya habis.
***
"Ka, lo gw tinggal ya? Gw ada urusan." Carlo ijin meninggalkan ka Sarah yang masih tertidur di kamarnya.
Hari ini Carlo berencana untuk ke kantor, mengurus bisnis keluarganya dan koordinasi dengan tim khusus yang ia bentuk untuk rencana terbarunya setelah ia mendapat beberapa pandangan baru dari ka Sarah.
"Pusat bisnis kita tetap akan kita pindahkan ke Indonesia, tapi bisnis di Swedia tetap kita buka besar tanpa mengurangi apa pun. Saya mau kita kembangkan bisnis kita di Indonesia lebih besar dari di Swedia. Tolong siapkan tim pengembangan bisnis termasuk dari seluruh anak perusahaan, kita rapat jam 13.00 WIB." Carlo memberikan arahan yang mengejutkan, rapat online dadakan tanpa peduli waktu di negara seluruh anak perusahaan yang tersebar di beberapa negara.
"Tadi pagi gw lihat tuan muda masuk kantor." Ucap seorang anggota Dina membuat telinga Dina refleks menajam untuk menguping gosip anggotanya.
"Ganteng ga? Gw belom pernah ketemu." Tanya anggota Dina yang lain.
"Asli, kayak..."
Saat mereka sedang berbisik, Carlo masuk ke ruangan Dina. Semua mata terkesima menyaksikan ketampanan Carlo. Dina yang sedang berpura-pura fokus pada komputernya penasaran kenapa tiba-tiba suara gosip anggotanya terhenti, Dina mengangkat kepalanya dan melihat Carlo sudah ada di depannya.
"Ikut saya." Kata Carlo.
Tanpa berkata-kata, Dina bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti Carlo menuju ruangannya. Carlo duduk di sofa ruangannya diikuti Dina yang duduk di sofa seberang Carlo. Carlo hanya duduk bersender di sofa, terdiam memejamkan matanya. Dina pun hanya duduk diam menunggu Carlo bersuara.
"Ada apa?" Dina memutuskan untuk bertanya karena ia sudah menunggu Carlo beberapa menit namun Carlo hanya duduk menutup matanya seperti sedang tidur.
Carlo masih duduk terdiam menutup matanya tanpa menjawab pertanyaan Dina.
"Kalo ngga ada apa-apa, saya balik ke ruangan saya." Kata Dina.
"Jangan." Jawab Carlo.
"Ada apa?"
"Aku butuh kamu disini."
"Untuk apa? Apa yang harus dikerjakan?"
"Duduk aja, temenin aku disini." Carlo menjawab Dina dengan mata yang masih terpejam.
Dina melihat wajah lelah dan mata sayu Carlo. Ia sedih melihatnya, ingin memeluk dan menyemangatinya namun Dina memutuskan untuk tetap duduk diam di posisinya seperti perintah Carlo. Tiba-tiba Carlo bangkit dan pindah duduk di sebelah Dina, menggenggam tangan Dina lalu bersandar dan kembali memejamkan matanya. Dina hanya terdiam melihat mantan kekasih yang masih ia cintai itu disebelahnya.
*toktoktok* (pintu ruangan Carlo diketok dari luar)
Dina menarik tangannya namun ditahan oleh Carlo.
"Masuk." Perintah Carlo.
Asisten Carlo masuk dan melihat Carlo terpajam sambil memegang tangan Dina.
"Tuan muda, sudah pukul 13.00 WIB. Ruangan sudah saya siapkan, tim kita sudah dalam ruangan dan seluruh anak perusahaan juga sudah bergabung dalam ruang rapat online." Lapor asistennya.
"Tolong sambungkan rapatnya ke ruangan saya. Saya rapat dari sini, kamu bisa kembali ke ruang rapat." Kata Carlo.
Carlo tidak membuka kameranya namun dia bisa melihat semua peserta rapat sudah lengkap, ia mulai membuka rapat mendadak kali ini dalam bahasa Inggris tanpa melepas tangan Dina. Dalam rapat, Carlo menjelaskan tentang gambaran besar rencananya dan memberikan arahan untuk semua anak perusahaan bisa satu visi terhadap rencananya, Carlo pun menerima beberapa masukan dari kantor pusat terhadap rencananya.
Dina merasakan perubahan tekanan dalam genggaman tangan Carlo, Dina tahu bahwa Carlo sedang cemas namun suaranya masih terdengar stabil dan santai. Dina segera menggenggam balik tangan Carlo dengan tangan satunya, mencoba memberi ketenangan dan kekuatan.
Untuk menutup rapat, Carlo meminta setiap anak perusahaan turut memberikan masukan terburuk dan terbaik dari rencannya dan meminta dalam dua hari kedepan ia sudah mendapatkan laporannya.
Dina memutar badannya menghadap Carlo dan membelai tangan Carlo dengan lembut.
"Aku ngga ngerti apa yang membuat kamu begitu cemas dengan rapat tadi hingga membuat kamu menggengam aku begitu kuat, tapi aku harap rencana kamu bisa berjalan dengan baik dan tidak berbahaya untuk kamu." Kata Dina.
Carlo pun menegakkan badannya dan berputar mengarahkan badannya pada Dina hingga mereka berhadap-hadapan.
"Tunggu aku di Indonesia ya?" Kata Carlo.
"Kamu mau kemana?" Tanya Dina.
"Aku mau balik ke Swedia untuk mengurus rencana ini." Jawab Carlo.
Kini gantian tangan Dina yang menggengam erat tangan Carlo, Carlo menggenggam kedua tangan Dina dengan kedua tangannya. Dina tidak mengerti hubungan apa yang sebenarnya ada di antara mereka saat ini tapi Dina ingin menunggu Carlo kembali ke Indonesia tanpa ada tambahan luka.
"Hal apa yang membuat kamu begitu cemas sehingga harus kembali ke Swedia? Kamu mau nambah koleksi luka di badan kamu?" Tanya Dina.
"Rencanaku kali ini bukan untuk menambah luka, tapi sepertinya butuh waktu untuk bisa menjalankan rencana ini." Jawab Carlo.
"Aku nunggu kamu untuk apa?" Tanya Dina lagi.
Carlo terdiam, ia sadar bahwa Dina bukan lagi miliknya. Carlo menarik tangan Dina dan mengajaknya ke luar kantor lalu masuk ke mobil tanpa melepas Dina dari genggamannya membuat semua mata yang melihat bertanya-tanya. Dina hanya pasrah mengikuti entah apa tujuan Carlo kali ini, pasrah dengan semua gosip yang akan beredar.
Ternyata Carlo membawa Dina ke sebuh toko perhiasan, memilih cincin untuk Dina dan memasangnya pada jari manis Dina.
“Apa nih?” Tanya Dina hendak protes.
"Ini cincin." Jawab Carlo.
"Cincin apa?"
"Ini cincin untuk mengikat kamu supaya kamu tunggu aku balik ke Indonesia."
"Ha?"
"Please, jangan terima cincin lain. Aku akan kembali memperbaiki semuanya."
Dina terkejut mendengar pernyataan Carlo, jantungnya berdegup kencang tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Selalu tidak terduga semua hal yang berkaitan dengan Carlo.
"Aku ngga mau." jawab Dina.
Carlo terdiam dan nampak mata sayunya semakin lemas mendengar jawaban Dina. Ia melepas tangan Dina dan menatapnya dengan tatapan sendu, Dina membalas tatapan Carlo.
"Aku ngga mau cincin yang ini, aku mau pilih sendiri." Tambah Dina.
Woaaa... Mata sendu Carlo lenyap berganti dengan mata yang berbinar, Carlo mempersilahkan Dina untuk memilih cincin yang ia mau. Dina memilih sepasang cincin sederhana untuk mereka berdua kenakan.
"Untuk sementara cincin ini dulu, nanti kita buat khusus ya.." ucap Carlo.
"Kita lihat nanti, pokoknya aku tunggu kamu pulang tanpa luka." Jawab Dina.
Hari ini menjadi momen terbahagia mereka berdua setelah putus, momen yang sungguh sangat singkat karena ternyata sore itu juga Carlo harus terbang menuju Swedia.
Dina duduk di ruangannya dengan tatapan kosong, semua yang berlalu siang ini benar-benar seperti mimpi. Ia belum sempat menikmati kebahagiaan karena hubungannya kembali namun Dina sudah harus merasakan cemas karena ditinggal Carlo ke Swedia.
***
Setelah siang tadi Carlo memberikan cincin dan langsung pergi ke Swedia, Dina berfikir rasa khawatirnya akan terobati jika ia tidur di kamar Carlo, menghirup aroma tubuh maskulinnya yang tertinggal di kamar. Namun sekarang ia menyesali perbutannya begitu mendapati seorang wanita cantik ada di rumah Carlo malam ini.
Ka Sarah mendapati Dina di pintu rumah Carlo sedang melihatnya dengan tatapan kesal seperti ingin menangis.
"Cari siapa, mba?" Tanya ka Sarah.
"Maaf, sepertinya saya salah rumah." Dina langsung membalikkan badannya.
"Cari Carlo ya? Masuk, masuk.." Kata ka Sarah.
Dina menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Bener kan cari Carlo? Masuk dulu aja sini..." Ajak ka Sarah.
Dina masuk karena penasaran, siapa lagi wanita ini?
"Mba bukan orang pertama yang nyariin Carlo ke rumah ini." Ucap ka Sarah santai membuat Dina emosi mendengar kata-katanya.
"Duduk dulu, mba.. Mau minum apa?" Ka Sarah menawarkan.
"Tidak perlu repot, terima kasih. Mba siapa ya?" Tanya Dina.
"Saya Sarah, cinta pertamanya Carlo. Mba siapa?" Ka Sarah mengenalkan diri dan bertanya balik.
"Dina." Jawab Dina singkat.
"Dina ya? Hhhmmm.. Carlo pernah cerita sih, tapi katanya udah putus. Ko masih dateng ke rumahnya sih udah putus?" Tanya ka Sarah penasaran.
"Tadi Carlo kasih ini sebelum pergi." Dina memamerkan cincin pada jarinya yang tadi siang ia terima dari Carlo.
"Dasar bajingan! Semalaman habiskan waktu sama gw tapi besoknya kasih cincin ke wanita lain!" Kata ka Sarah kesal.
Dina tidak heran dengan kata-kata ka Sarah karena melihat ka Sarah di rumah Carlo mengenakan baju Carlo. Dina ingin pulang tapi rasanya tidak punya tenaga lagi karena hari ini suasana hatinya seperti dipermainkan, siang tadi rasanya sangat bahagia dan malam ini rasanya seperti mendapat hantaman keras di kepalanya.
"Kamu yakin sama Carlo?" Ka Sarah bertanya pada Dina.
Dina masih terdiam dan tertunduk memandangai cincin yang tadi siang diberikan oleh Carlo.
"Kalo ga yakin, lepas aja cincinnya." Tambah ka Sarah.
Dina menatap ka Sarah, tidak mengerti apa maksud wanita di depannya sampai hati mengatakan hal tersebut.
"Mba Sarah mau cincin ini?" Tanya Dina.
"Boleh?" Tanya ka Sarah balik, memastikan.
Dina mengangguk, memberikan cincinnya pada ka Sarah. Ka Sarah langsung mengabil kesimpulan bahwa Dina sama bodohnya dengan Carlo. Hahahaha... Namun ka Sarah tetap menerima cincin dari tangan Dina dan mengambil HPnya untuk video call dengan Carlo.
"Mba Sarah mau telpon bang Carlo?" Tanya Dina.
"Iya."
"Bang Carlo masih di pesawat, penerbangan ke Swedia."
"Oya? Bajingan memang si Carlo! Setelah perbuatannya semalam dia ninggalin gw pagi-pagi, sekarang ga bilang kalo mau ke Swedia!"
Mendengar setiap kata yang keluar dari ka Sarah membuat Dina semakin yakin untuk melepaskan cincinnya.
"Halo.." Carlo mengangkat video callnya.
"Kamu dimana?" Tanya ka Sarah dengan suara manja yang dibuat-buat.
"Kangen ya??" Carlo terpancing candaan ka Sarah.
"Banget.. Dimana?"
"Di pesawat, mau ke Swedia."
"Ko ga bilang sih? Tadi pagi juga langsung ninggalin aku di tempat tidur sendirian.." Ka Sarah sengaja bermanja-manjaan sedangkan Carlo tidak tau bahwa disitu ada Dina.
Semakin menjadi, muka Dina merah padam menahan air mata dan emosinya.
"Gw udah bilang tadi pagi tapi lo diem aja, capek banget kayaknya."
"Iya lah capek, aku ladenin kamu sampe subuh.."
"Hahahahaha..." Carlo dan ka Sarah memang biasa bermain kata-kata nakal.
Dina tidak tahan lagi dan ia berdiri hendak pergi dari rumah Carlo. Melihat hal itu, ka Sarah langsung mengalihkan pembicaraan.
"Ada Dina nih, dia dateng ke rumah lo." Kata ka Sarah.
Dina berhenti dan kembali berbalik, penasaran dengan apa respon Carlo.
"Jangan bohong.." Kata Carlo.
"Kamu masih ada hubungan sama Dina? Katanya udah putus.." Ka Sarah kembali memancing.
"Mana Dina? Kasih lihat dong.." Carlo menjadi panik karena perbincangan absurdnya dengan ka Sarah yang kemungkinan di dengar oleh Dina dan bisa dipastikan membuat Dina salah paham.
"Jawab pertanyaan aku, kamu pilih Dina atau aku?"
"Apa sih lo, aneh banget dari tadi ka. Mana Dina?" Carlo mulai kesal.
"Jawab dulu, pilih siapa?" Ka Sarah tetap ingin ketegasan dari Carlo.
"Pilih Dina." Jawab Carlo mantap.
"Dia pilih lo nih, duduk." Perintah ka Sarah pada Dina membuat Dina secara otomatis kembali duduk.
"Ini cincin dari lo?" Ka Sarah menunjukkan cincin Dina pada Carlo.
"Iya. Ko sama lo? Dina mana?" Tanya Carlo.
"Dia udah lepas cincinnya, katanya buat gw."
"Serius? Lo ngomong apa sama Dina?"
"Ra – ha – si – ya!” Ka Sarah memberikan HPnya pada Dina.
"Din, yang kamu denger tadi cuma becanda. Aku kalo sama ka Sarah emang gitu, duh gimana ya jelasinnya.." Carlo mencoba menjelaskan tapi bingung karena bercadanya dengan ka Sarah memang tidak lazim.
"Jadi lo pilih Dina atau gw, cinta pertama lo?" Ka Sarah kembali masuk dalam frame video.
"Ka.. Lo memperkeruh, ka."
"Ko panik? Lo masih punya perasaan ya sama gw?"
“Kita kembali ke Jakarta.” Kata Carlo pada asistennya.
“Eh jangan, jangan balik.. Sayang avtur lo.” Ka Sarah langsung merebut HPnya dari tangan Dina begitu mendengar Carlo akan kembali ke Jakarta.
"Tenang dong.. Gegabah banget sih buat keputusan. Awas ya lo ke Swedia sia-sia karena gegabah. Dina urusan gw disini, lo fokus aja sama tujuan lo di Swedia." Tambah ka Sarah.
Mendengar ucapan ka Sarah, Carlo memberi kode ke asistennya untuk membatalkan arahannya.
"Oke, gw percaya sama lo, ka. Gw nitip Dina sama lo, bye.. Love you both."
Setelah curhatan panjang Carlo dan ka Sarah semalam, Carlo percaya bahwa ka Sarah tidak akan merusak hubungannya dengan Dina. Carlo memutus sambungan video call membuat Ka Sarah dan Dina terdiam canggung dan seketika rumah Carlo menjadi hening.
***
“Sori ya, tadi gw becanda.” Kata Ka Sarah memecahkan keheningan.
“Hm?” Dina tidak mengerti dibagian mana candaan wanita cantik di depannya ini.
“Manja-manjaan tadi pasti bikin lo salah paham kan? Hehehehe…”
“Oh..” Dina tetap tidak mengerti bahwa ada model candaan seperti itu.
"Benar kalo gw ladenin Carlo sampe subuh, tapi gw ladenin dia cerita. Semalam Carlo cerita semua sama gw sampe subuh makanya gw masih disini, ketiduran di rumah Carlo. Terus gw males pulang karena rumah Carlo nyaman banget." Ka Sarah menjelaskan.
Dina masih mencerna letak becanda yang dimaksud ka Sarah. Secara harafiah memang tidak salah bahwa ka Sarah ‘meladeni’ cerita Carlo namun karena kalimatnya tidak lengkap maka makna yang ditafsir bisa berbagai macam. Dina mulai sedikit memahami cara bercanda ka Sarah dan Carlo tapi tetap saja hatinya masih cemburu mendengar Carlo berbicara mesra dengan wanita lain.
"Gw memang cinta pertama Carlo, tapi sekarang gw udah anggap Carlo itu sebagai adek gw." tambah ka Sarah.
"Nih, cincin lo." Ka Sarah mengembalikan cincin Dina.
Dina masih terdiam, dia tidak tau harus merespon apa.
"Lo ngapain ke sini? Kan udah tau kalo Carlo ke Swedia." Tanya ka Sarah.
"Seperti yang kamu bilang, rumahnya nyaman." Jawab Dina.
"Humm.. Btw, itu gimana ceritanya Carlo kasih cincin?" Ka Sarah bertanya karena penasaran.
Dina bingung, apa perlu dia cerita ke orang yang baru pertama bertemu, bahkan merupakan cinta pertama Carlo?
"Nanti aja deh ceritanya. Gw laper, mau masak. Lo bisa masak ga?" Ka Sarah bangkit dari duduknya hendak menuju ke dapur.
"Bisa dikit." Jawab Dina.
"Bantuin deh, kita makan dulu. Belom makan kan lo?"
"Belom."
"Keliatan tadi langsung mau pingsan begitu gw bilang kalo gw ladenin Carlo sampe subuh. Hahahaha.. Sori ya.."
"Hahaha.." Dina tertawa canggung, bisa-bisanya ia mempermainkan Dina dengan hal semacam itu.
Masak adalah alasan ka Sarah agar bisa melakukan sesuatu bersama untuk lebih mengenal Dina. Kemampuan ka Sarah dalam mengakrabkan diri pada orang baru tidak perlu diragukan. Tidak butuh waktu lama, mereka sudah asik bercerita. Dina terpancing untuk menceritakaan perasaannya pada Carlo dan hubungannya pada Satya, membuat ka Sarah geleng-geleng kepala dengan hubungan dua manusia ini.
"Sama-sama bego sih lo berdua." Kata ka Sarah jujur di tengah makan malam mereka.
"Kalo aku ngga cari pelarian, semakin sulit lupain bang Carlo, ka.." Kata Dina.
"Kalo mau lupain orang itu menjauh, bukan malah satu kantor."
"Tadinya bang Carlo udah nolak kantorku untuk jadi vendor mereka, tapi aku ga terima penolakannya malah nangis di depan dia. Mungkin dia ga tega jadi kerja samanya diterima."
"Repot juga sih memang kalo presentasi lo ditolak, karir lo di kantor terancam."
"Sebenarnya bang Carlo sudah menghindar, dia ga pernah datang ke kantor sampe tiba-tiba kita ketemu di Jogja."
"Nah! Semesta mendukung kalian."
Mereka bercerita hingga pukul 22.00 WIB dan ka Sarah pamit, ia paham bahwa Dina butuh waktu sendiri dalam rumah Carlo untuk merilis rasa rindu dan khawatir yang ia ceritakan tadi.
BAB 8 - KEMBALI BERPISAH
Dina masuk kantor dengan gosip yang sudah beredar tentang dirinya dan tuan muda Carlo, namun dirinya sudah menyiapkan diri dan masuk menuju ruangannya dengan cuek. Anggota timnya ingin bertanya mengklarifikasi gosip yang beredar namun segan.
Waktu terus berjalan dan gosip pun memudar seiring berjalannya waktu. Sudah seminggu sejak Carlo meninggalkan Dina namun hubungannya dengan Satya masih berlanjut karena Dina ragu apa ia harus menyudahi hubungannya dengan Satya disaat Carlo masih tidak ada kabar selama seminggu?
Malam ini Satya sedang mengunjungi Dina di Jakarta. Fyi, Satya adalah seorang polisi khusus yang ditempatkan di perbatasan Indonesia sehingga Dina menjalin Long Distance Relationship (LDR) dengan Satya. Mereka pergi nonton bioskop dan setelahnya makan malam bersama. Dina menjalaninya dengan hambar seperti ia sedang jalan dengan teman biasa. Setelah makan, Satya mengantar Dina pulang ke kosannya.
"Beibh.." Satya menahan tangan Dina saat hendak keluar mobil.
Dina membalik badannya, Satya mendekatkan dirinya hendak mencium Dina namun Dina mundur menjauhkan dirinya.
"Kenapa?" Tanya Satya bingung dengan perubahan sikap Dina satu hari ini.
"Aku capek, mau langsung tidur." Jawab Dina.
"Oke. Selamat istirahat."
Satya membiarkan Dina turun dari mobil. Saat makan malam tadi, Satya melihat Dina mengenakan cincin pada jari manisnya, cincin apa itu? Sepertinya ia harus segera datang ke rumah Dina untuk melamarnya sebelum Dina kembali memutuskan hubungan mereka.
Benar saja, minggu berikutnya Dina dihubungi oleh papanya bahwa Satya akan membawa keluarganya ke rumah dan Dina diminta untuk pulang ke Lampung. Dina sungguh bingung terlebih Carlo yang tetap tidak ada kabar sudah dua minggu.
Dina pun kembali ke Lampung namun belum memutuskan apa akan menerima Sayta untuk melanjutkan hubungan mereka atau tidak. Dina ingin menguji hatinya apa benar ia bisa tetap teguh pada Carlo atau kembali bersama Satya?
Malam itu Satya dan keluarga sudah tiba di rumah Dina sedangkan Dina masih menyendiri dalam kamar, menangis. Ternyata sulit jika harus menolak disaat kedua orang tua sudah bertemu, ia ragu apa mampu menolaknya.
"Dina, ini Satya sudah datang.." Mama memanggil dari luar kamar.
Dina segera menghapus air matanya, merapihkan dandanannya dan keluar kamar. Papa menyadari bahwa putrinya sedang tidak baik-baik saja.
"Langsung saja, maksud kedatangan kami adalah untuk membicarakan niat daripada kedua anak kita." Ucap orang tua Satya.
"Niat apa itu?" Tanya papa.
"Niat untuk melanjutkan hubungan kedua anak kita ke jenjang yang lebih serius." Tambah orang tua Satya.
"Oh, sudah serius rupanya?" Tanya papa memastikan.
Kedua orang tua Satya memandang Satya.
"Kamu sudah serius dengan Dina? Sudah yakin?" Tanya ayah Satya pada anaknya.
"Sudah, pa." Jawab Satya mantap.
Papa Dina pun mengalihkan pandangannya pada Dina dan bertanya..
"Kamu bagaimana, Dina? Sudah yakin dengan Satya?" Tanya papa pada putrinya.
Dina tidak menjawab pertanyaan papa, ia hanya diam dan tertunduk menyembunyikan matanya yang ingin menangis. Mama berpindah, duduk ke sebelah Dina dan membelai punggung putrinya.
"Kamu belum siap?" Tanya mama lembut.
Mama menggenggam tangan Dina dan merasakan ada cincin pada jari manis Dina.
"Ini cincin dari Satya?" Tanya mama dijawab dengan gelengan kepala Dina.
Kedua orang tua Satya kaget, terlebih ayahnya. Wajah ayah Satya menjadi merah antara marah dan malu dengan situasi mereka saat itu.
"Papa suruh aku pulang ke Lampung, jadi aku pulang." Kata Dina lirih, masih tertunduk.
"Satya, kamu tidak sampaikan pada Dina kita akan datang ke rumahnya?" Tanya ayah Satya.
"Belum pa. Tapi Satya sudah bilang pada papanya Dina." Jawab Satya.
"Loh, bagaimana sih ini kondisinya?" Ayah Satya bingung.
"Mohon maaf, sekali lagi saya mohon maaf namun sepertinya belum ada kesiapan dari putri saya untuk menjalani hubungan lebih serius dengan nak Satya." Kata papanya Dina.
"Kalau begini lebih baik putus saja, Dina sudah menggunakan cincin dari orang lain." Ibunya Satya yang kecewa pun angkat bicara, tidak terima seolah-olah anaknya dipermainkan.
Satya memandang Dina dengan kesal dan emosi, benar ternyata bahwa cincin itu bukti bahwa Dina milik orang lain. Tapi kenapa ia masih menjalani hubungan dengan dirinya?
"Itu cincin dari siapa, beibh?" tanya Satya.
Dina tidak menjawab tapi kali ini air matanya yang sudah tidak terbendung pun akhirnya terjatuh.
"Selamat siang.." Tiba-tiba Carlo datang, menyapa semua yang ada di rumah DIna.
Dina mengangkat wajahnya yang sudah berurai air mata, ia refleks berdiri begitu melihat Carlo berada di rumahnya. Carlo berjalan ke arah Dina, menariknya perlahan untuk merapat ke sisinya.
"Jangan nangis." Kata Carlo sembari menghapus air mata pada kekasih hatinya.
Dina memeluk Carlo, tidak peduli dengan Satya dan keluarganya yang hadir saat itu. Ia sangat rindu dan khawatir pada Carlo karena tidak ada kabar selama dua minggu lebih.
"Aku harus bicara ke semua, kamu jangan nangis lagi." Carlo menenangkan Dina yang berada dalam pelukannya.
Dina melepas pelukannya dan menghapus air matanya.
"Maaf tulang, Carlo datang terlambat. Carlo belum sempat bicara pada tulang karena mendadak harus kembali ke Swedia. Maaf juga untuk bro Satya, gw belom sempat untuk berbicara langsung sama lo sebagai seorang pria. Untuk om dan tante juga saya minta maaf karena keterlambatan saya sehingga ini semua terjadi. Sekali lagi saya minta maaf." Carlo menundukkan badannya, sungguh bukan budaya Indonesia.
Semua nampak heran dan terkejut namun di dalam hati papanya Dina ada perasaan bahagia karena akhirnya Carlo datang. Berbeda dengan wajah kedua orang tua Satya yang merah padam karena malu. Jika melihat situasi saat ini, anaknya lah yang kalah set.
"Saya memang agak bingung dengan semua ini, tapi seperti ini adanya. Sekali lagi saya mohon maaf, mungkin ada kesalah-pahaman diantara anak-anak kita yang belum mereka selesaikan." Kata papa Dina memecah kebingungan yang terjadi di rumahnya.
"Jujur saja, saya sangat malu dengan situasi saat ini, saya marah!" Ayah Satya bangkit berdiri.
“Paa..” Satya memandang ayahnya berharap ayahnya tidak lepas kendali.
“Namun saya akan lebih malu jika harus mempertahankan wanita yang sudah jelas tidak memilih anak saya!” Ayah Satya menambahkan dan langsung pergi meninggalkan rumah Dina diikuti istrinya yang menahan air mata karena malu.
Satya masih duduk mematung tidak mengikuti ayahnya yang sudah pergi meninggalkan rumah Dina, ia tidak percaya bahwa ia kalah lagi. Ego lelakinya tidak terima jika wanita yang sudah lebih dulu menjadi miliknya direbut oleh orang yang sama untuk kedua kalinya. Carlo pun datang menghampiri Satya dan mengajaknya ngobrol di luar rumah Dina.
"Kita jangan ngobrol disini ya bro. Yuk." Carlo pamit kepada Dina dan kedua orang tua Dina, mengajak Satya ke sebuah tempat semi outdoor di Lampung agar ia bisa bicara sambil merokok, karena Carlo juga sudah pengap setelah melakukan penerbangan berjam-jam dari Swedia ke Lampung, ia butuh udara segar.
Begitu tiba di tempat tujuan, Satya menarik Carlo ke lapangan yang terletak di sebelah tempat parkir.
"Sorry bro, gw harus merebut Dina untuk yang kedua kali karena gw tidak bisa merelakan Dina bersama lo." Kata Carlo terlebih dahulu.
Satya tidak menjawab namun ia sudah mengepalkan tangan dan tinjunya pun melayang. Sebuah pukulan yang sangat mudah Carlo elak.
"Sorry gw masih jetlag, kalo memang mau dengan kekerasan kita di ring aja besok tanpa pelindung. Terserah, lo tentuin tempatnya dimana." Carlo menantang Satya.
Satya tidak bisa menahan emosinya jika harus ditunda besok, ia kembali melayangkan beberapa pukulan yang masih bisa dihindari oleh Carlo hingga satu tendangan tepat mengenai perut samping Carlo.
"Oke, gw terima tendangan lo. Udah puas atau harus gw ladenin?" Tanya Carlo.
"Ga usah banyak omong, kita adu saja." Jawab Satya.
"Oke." Carlo melepas kemejanya dan hanya menggunakan kaos oblong, siap untuk beradu.
"Lo ga mau lepas kemeja? Nanti kotor kemeja lo itu." Kata Carlo.
Tanpa menanggapi Carlo, Satya kembali melayangkan tendangan pada Carlo namun kali ini Carlo tidak tinggal diam. Satya memang jago bela diri silat namun sedari kecil Carlo sudah latihan militer oleh tentara khusus kerajaan. Tidak sampai 5 menit, Carlo sudah menendang wajah dan perut Satya serta kaki belakang Satya hingga Satya terjatuh dan sulit bernafas.
“Lo ga bisa melindungi Dina!” Ucap Carlo.
“Gw polisi, keluarga ada prioritas.” Jawab Satya.
“Lo ga akan bisa melindungi keluarga selama lo menerima uang yang bukan gaji lo!”
Satya terdiam karena tidak menyangka dengan perkataan Carlo, tanpa dijelaskan pun Satya mengerti maksud ucapan Carlo. Beberapa hari terakhir Carlo sempat menyerah dengan usahanya kepada Dina karena ia menyadari bisnis keluarganya sudah sangat kotor dan akan terus kotor, ia tidak mau mengajak Dina masuk menjadi bagian dalam keluarganya.
Carlo pun mulai mencari tau latar belakang Satya, apakah Dina layak dilepas pada sosok bernama Satya? Ternyata Carlo mendapati nama Satya dalam list petugas yang bisa diajak kerjasama dalam penyelundupan ilegal di perbatasan. Nama-nama tersebut sudah menjadi rahasia umum dalam bisnis perdagangan gelap. Carlo tidak rela melepaskan kekasih hatinya karena alasan bisnis kotor keluarganya ke orang yang juga melakukan pekerjaannya dengan kotor.
“Maaf sekali lagi, gw kembali merebut Dina.” Kata penutup dari Carlo sembari mengambil dan mengenakan kembali kemejanya lalu pergi meninggalkan Satya.
***
"Halo, kamu dimana?" Tanya Dina di telpon.
"Aku langsung balik hotel ya, besok aku ke rumah kamu lagi." Jawab Carlo.
"Hotel kamu dimana? Aku kesana."
"Ngga usah ke sini, kita ketemu besok aja."
"Ngga mau, hotel kamu dimana?"
Tidak bisa menolak, Carlo memberi tau hotelnya dan Dina segera bersiap untuk menyusul Carlo ke hotelnya.
"Ma, pa, aku ke hotel bang Carlo dulu ya.." Dina minta ijin pada kedua orang tuanya untuk menemui Carlo.
"Loh, Carlo ngga ke sini lagi?" Tanya mama.
"Besok katanya. Kayaknya dia berantem sama Satya makanya ngga kesini lagi, mungkin dia babak belur." Dina menceritakan dugaannya.
"Satya bukannya jago bela diri?" Mama menjadi khawatir dengan Carlo.
"Ah, kau tenang saja. Aku yakin kalo berantem, si Carlo yang menang." Tambah papa.
"Berantem preman pasti kalah sama juara silat se-provinsi Lampung, pa." kata mama.
"Yah, kita lihat saja nanti. Carlo itu bukan orang biasa." Kata papa.
"Apaan sih? ko malah adu jago." protes Dina.
Dina mengambil kunci mobil dan pergi menuju hotel tempat Carlo menginap.
“Kamu berantem ya sama Satya?” Tanya Dina begitu Carlo membuka kamar hotelnya.
“Sedikit.” Jawab Carlo.
“Kenapa harus berantem sih?”
“Dia mukul dan tendang aku bertubi-tubi, masa aku diem aja?”
"Ck. Kamu ngga apa-apa?"
"Mending kamu tanya Satya, kondisi dia gimana."
“Dia gimana?”
“Ga tau, tadi aku tinggal.”
Dina mengambil HPnya hendak menghubungi Satya namun dengan cepat Carlo mengambil HP Dina dan melemparnya ke kasur.
“Kamu beneran mau nanya dia?” Tanya Carlo tidak percaya pada respon kekasihnya.
“Ya karena kamu ngga apa-apa."
“Perut aku sakit, tadi kena tendang..” Carlo berkata manja sambil mengangkat bajunya dan menunjukan memar pada perut sampingnya.
“Ga cocok lebam gini doang manja-manja, malu sama bekas luka yang lain.”
Carlo menarik Dina dan memeluknya untuk menyerap energi dari kekasihnya.
"Kamu pulang gih. Aku masih jetlag dan tadi berantem, walau cuma sebentar tapi aku capek banget, aku mau tidur. Besok aku jemput, kita gereja bareng." Kata Carlo pada Dina yang ada dalam pelukannya.
“Satya gimana?” Tanya Dina dalam pelukan Carlo.
“Kamu lagi ada di pelukan aku masih nanya2 mantan kamu?”
“Maksud aku, tadi kamu tinggalin dia dalam kondisi sadar atau tidak atau gimana?”
“Sadar. Tapi aku tikam dia dengan kata-kata sampai ga berkutik.”
“Kamu bilang apa ke dia?”
“Itu rahasia lelaki.” Bisik Carlo pada telinga Dina.
“Ck, yaudah kamu ganti baju dulu sebelum tidur.” Carlo patuh pada perintah Dina untuk mengganti bajunya lalu segera berbaring di tempat tidur.
Dina menemani Carlo di hotel sampai tertidur lalu ia kembali pulang ke rumahnya.
Sedikit cerita satu hari sebelum hari ini, Carlo mendapat kabar dari papa bahwa orang tua Satya akan datang melamar, Carlo segera menyelesaikan beberapa pekerjaannya yang mendesak di Swedia lalu terbang ke Indonesia. Selama di pesawat ia tidak bisa tidur karena khawatir dan takut jika Dina memilih kembali kepada Satya. Tubuhnya sungguh sangat lelah dan sepertinya saat ini dia sudah bisa tenang karena kekhawatirannya tidak terjadi.
***
"Syalom.." Carlo tiba di rumah Dina, sudah rapih dan siap untuk pergi gereja bareng.
Dina menyambut Carlo dengan sangat-sangat gembira dan mengajak Carlo menuju ruang makan.
"Kamu sudah sarapan, Carlo?" tanya mamanya Dina.
"Sudah tadi di hotel, nantulang. Tapi kalo masakan nantulang, aku ga keberatan makan lagi."
"Duduk lah. Kau siapkan makannya, Din.." mama memberi arahan pada putrinya.
Dina mengambil piring dan sendok, menyediakan makanan untuk Carlo beserta minumannya. Dina pun mengambil untuk dirinya.
(Nantulang adalah sebutan untuk istri tulang.)
"Hei, tuan muda.." papa keluar dari kamar dan menyambut kedatangan Carlo.
"Halo tulang, sudah makan?" Carlo menyapa papa.
"Belum, ini mau makan. Siapkan dulu makanan bapak, Dina."
Dina kembali bangkit dari duduknya dan menyiapkan makanan untuk papa. Carlo dan papa akrab berbicara sembari sarapan sedangkan mama masih sibuk bersiap.
"Kalo kemarin kau terlambat datang sedikit lagi, sudah lah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa." Kata papa Dina.
"Ada yang aku harus selesaikan dulu kemarin di Swedia, tulang. Puji Tuhan tidak terlalu terlambat." Kata Carlo.
"Kemarin kau langsung dari Swedia ke Lampung?"
"Iya, tulang."
"Kapan balik lagi ke Swedia?"
"Sore ini, tulang."
"Bah.."
Sedari tadi Dina curiga melihat mereka berdua nampak akrab bercerita. Mama datang bergabung di meja makan dan masuk dalam obrolan.
"Cepat kali kau balik, Carlo?" Tanya mama.
"Iya nantulang, urusan disana belum selesai." Jawab Carlo.
"Tapi untunglah tulangmu ini kasih tau kalo keluarga Satya mau datang. Kalo ngga, nangis terus lah si Dina ini di kamarnya." Goda mama.
"Ha? Papa yang kasih tau bang Carlo?" Tanya Dina.
"Papa cuma kirim wa, kasih tau kalo keluarga Satya mau datang untuk yang kedua kali. Saat yang pertama masih bisa ku tolak tapi yang kedua sudah tidak bisa ku tolak. Ku bilang gitu tapi ngga dibalas si Carlo, tiba-tiba datang dia." Cerita papa.
"Jadi yang pertama papa tolak karena.."
"Gimana pulak kau bisa menerima lamaran orang tapi masih menangisi orang lain?" Papa memutus kata-kata putrinya.
Carlo memandang Dina dan menggenggam tangannya. Ia tidak menyangka bahwa Dina masih menangisi dirinya setelah berbulan-bulan mereka berpisah. Dina menarik tangannya karena malu pada Carlo, ketahuan masih menangisi dirinya.
"Ntah lah si Dina ini. Kemarin pun diam-diam aja, ngga ada suaranya. Jadi aku pulak yang deg-degan kamarin." tambah mama.
"Hahahaha... Jadi kemarin siapa yang menang kalian berantem?" Tiba-tiba papa bertanya.
"Tulang tau?" Tanya Carlo dan melirik Dina, Dina menjawabnya dengan mengangkat bahunya sambil terus memakan sarapannya.
"Tau lah, muka si Satya udah kayak mau menerkam orang begitu keluar dari rumah ini." Kata papa.
"Aku yang menang karena aku yang sekarang duduk disini. Hahahaha.." Kata Carlo.
"Nah, benar apa kataku. Pasti Carlo yang menang." Kata papa bangga.
"Apa sih pa.." protes Dina.
"Biasa laki-laki seperti itu, apa lagi perempuannya kayak kau diam-diam aja ga ada sikap." Tambah papa.
Dina semakin malu dan hanya duduk terdiam dengan cemberut. Carlo tersenyum melihatnya dan kembali menggenggam tangan Dina.
Setelah sarapan, Dina membantu mama merapihkan meja makan lalu berangkat ke gereja dengan mobil berbeda karena Carlo berniat membawa Dina jalan-jalan sepulang gereja.
Gereja berlangsung dengan hikmat dan mereka saling mendoakan untuk kelancaran hubungan mereka dan semua rencana mereka. Sepulang gereja, Carlo langsung pamit untuk membawa Dina jalan-jalan dan pamit untuk kembali ke Swedia.
"Kita mau kemana?" Tanya Dina.
"Ke hotel aja yuk?" Ajak Carlo.
"Ngapain?"
"Aku kangen.." Carlo menarik Dina dan menciumnya dalam mobil.
Dina mencoba melepaskan ciumannya namun ditahan oleh Carlo. Begitu ciuman mereka terlepas, Dina langsung marah.
"Gila ya? Ini masih di lingkungan gereja!"
Carlo tidak menjawab, hanya diam memandang Dina dan mengelus bibir Dina yang basah karena ulahnya.
"Kenapa kamu ga nolak kedatangan Satya ke rumah?" Tanya Carlo.
"Kamu cuma nyuruh aku nolak cincin dari orang lain, bukan nolak orang datang ke rumah." Jawab Dina.
"Bener." Carlo mengacak-acak rambut Dina dengan gemas lalu menjalankan mobilnya menuju restoran yang sudah ia pesan khusus untuk mereka makan berdua.
"Sepi banget restorannya." Tanya Dina begitu mereka sampai di restoran.
"Aku reservasi restorannya untuk kita berdua." Jawab Carlo.
"Boros."
"Duit keluarga aku banyak."
"Oke."
Mereka makan bersama sambil menceritakan banyak hal. Mulai dari urusan kantor, gosip di instagram hingga hubungan mereka kedepan.
"Gimana cara aku hubungin kamu selama di Swedia?" Tanya Dina.
"Sama seperti sebelumnya, aku ngga bisa fokus kalo kamu hubungin, pikiranku bisa langsung penuh sama kamu. Tunggu aku aja yang hubungin." Kata Carlo.
"Kamu dua minggu kemarin ngga ada hubungin aku. Nanti berapa lama lagi aku nunggu? Aku harus kasih kejutan mau dilamar orang dulu baru kamu datang?" Marah Dina.
"Oke, aku hubungi kamu seminggu sekali." Carlo memberikan usul.
"Bener-bener deh kamu pelit banget sama waktu kamu buat aku." Dina kesal dengan Carlo.
"Seminggu sekali aku dateng ke Indonesia."
"Serius?"
"Ya engga lah."
"Iihh..."
"Iya nanti aku hubungin kamu lebih sering." Carlo menenangkan Dina yang mulai kesal karena komunikasi mereka yang sangat sulit terjalin.
Selesai makan mereka ke hotel tempat Carlo menginap untuk mengambil barang-barang Carlo sebelum ia kembali ke Swedia. Hati Dina terasa berat harus kembali berpisah dengan Carlo karena ada banyak kemungkinan yang akan terjadi ketika mereka berpisah jauh. Dina duduk di sofa kamar menyaksikan Carlo sedang merapihkan barang-barangnya. Ia bangkit lalu memeluk Carlo dari belakang.
“Bang Carlo, berapa lama lagi urusan di Swedia selesai?” Tanya Dina.
“Humm… Aku belum tau.” Jawab Carlo.
Carlo menghentikan kegiatannya dan berbalik badan menghadap Dina, Dina hanya tertunduk tidak mau menatap Carlo karena takut air mata ketakutannya jatuh.
“Kenapa?” Tanya Carlo.
“Ngga, aku cuma masih kangen.” Jawab Dina.
“Humm… Setelah ini selesai, aku ga akan ninggalin kamu lama-lama lagi.”
Dina tidak menjawab, Carlo mengangkat dagu Dina agar dapat melihat wajah kekasihnya yang sejak tadi tertunduk.
“Kamu adalah alasanku memperjuangkan ini, agar aku bisa memindahkan rumahku ke Indonesia.”
“Aku ga masalah jika harus pindah dari Indonesia.”
“Semua keluarga dan teman-teman kamu ada di Indonesia, kamu akan jauh lebih nyaman di sini, sayang. Prioritasku adalah kenyamanan kamu, aku sudah merasakan sakitnya jauh dari keluarga.”
“Betul, semua ada disini. Tapi tanpa kamu?"
“Aku akan usahakan secepat yang aku bisa untuk menyeselaikan urusan di Swedia.”
“Bukan masalah cepat atau lambatnya, aku butuh kamu sehat!” Suara Dina mulai bergetar.
Carlo menyadari perubahan emosi dalam nada suara Dina.
“Aku selalu takut setiap kali kamu pulang ke Swedia.” Tambah Dina.
"I see.. Aku janji, kali ini aku tidak akan menambah luka dan aku akan ceritakan semua luka-luka ini ke kamu setelah aku pulang nanti."
Dina memeluk Carlo dengan erat.
“Jangan khawatir, kamu ga tau kalau pria tampan dalam pelukanmu ini jagoan?” Kata Carlo.
“Ohya??” Dina mendongakkan wajahnya menatap wajah Carlo.
Carlo melihat wajah kekasihnya sangat menggemaskan, mata Dina yang bulat dan bibir merahnya membuat hati Carlo mengembang, ia mencium bibir Dina dan menggendongnya ke tempat tidur.
“Jangan goda aku dengan tatapan seperti itu..” Kata Carlo.
"Pelan-pelan, yang.." Dina memperingati Carlo.
Gairah Carlo bertambah mendengar panggilan sayang dari Dina untuk dirinya sudah kembali setelah beberapa bulan ia haus dengan panggilan sayang dari bibir kekasih hatinya. Carlo melucuti baju Dina dan menciumnya, ia tidak mau melewatkan sejengkal pun. Hubungan intim mereka sangat bergairah, untuk Dina ini adalah pelepasan rasa rindunya sedangkan untuk Carlo ini merupakan penyemangat agar segera menyelesaikan urusannya dan kembali ke pelukan Dina.
"Aku sudah harus berangkat." kata Carlo selepas mereka bercinta.
Dina memeluk Carlo dengan manja. Aahh.. Rasanya Carlo ingin membawa Dina ke Swedia tapi tidak mungkin.
"Nanti begitu sampai Swedia, aku telpon." Kata Carlo membujuk Dina agar melepaskan pelukannya.
"Aku bersih-bersih dulu." Jawab Dina melepas pelukannya dan berjalan menuju kamar mandi.
Dina mengantar Carlo ke bandara dan terus menggenggam tangan Carlo selama perjalanan, Carlo pun sudah menyiapkan supir untuk mengantar Dina kembali pulang ke rumah. Carlo mencium singkat kekasihnya sebelum ia masuk dalam pesawat dan sekarang mereka pun kembali berpisah.
BAB 9 - HALUSINASI
"Selamat pagi non.." Sapa supir Carlo.
"Bapak ngapain pagi-pagi di sini?" Tanya Dina.
"Mulai hari ini saya diperintahkan tuan muda untuk antar - jemput nona Dina setiap hari."
"Haduh... Ngga usah pak.."
"Maaf non, tapi saya tidak bisa menolak perintah tuan muda."
Pesan Dina semalam masih belum dibalas dan kali ini ia menelpon Carlo pun tidak diangkat. Tidak mungkin ia meninggalkan supir Carlo yang sudah menjemput, terpaksa Dina berangkat ke kantor menggunakan mobil Carlo.
Di tempat yang berbeda, waktu sudah hampir subuh tapi Carlo masih berdiskusi dengan tim khususnya yang berada di Swedia. Carlo melihat HPnya ada panggilan masuk dari Dina, ia sudah tau apa yang Dina ingin sampaikan jadi Carlo tidak mengangkatnya.
"Pak, tuan muda punya mobil yang biasa aja ga?" Tanya Dina saat di perjalanan.
"Maksudnya gimana, non?" Tanya supir Carlo bingung.
"Avanza atau Xenia atau sejenisnya yang masuk kategori bukan mobil mewah gitu.."
"Ada Swift yang biasa tuan muda gunakan sehari-hari jika tidak ke kantor, non." Jawab supir Carlo.
"Yaudah, pake itu aja ya pak antar - jemput saya." Kata Dina.
"Baik non, siang ini saya ambil mobilnya di rumah tuan muda."
Swift adalah mobil kecil hasil jerih payahnya Carlo yang selalu ia gunakan sehari-hari selama tidak berurusan dengan kantor atau bisnis papinya. Carlo seperti menjalani dua kehidupan, menjadi bangsawan dan/atau menjadi warga biasa.
Sorenya Dina di jemput oleh supir pribadi Carlo menggunakan mobil Swift milik Carlo, hal ini membuatnya lebih tenang karena semua orang di kantor Carlo tidak ada yang tau mobil Swift ini, tapi supir Carlo tetap turun dan membukakan pintu untuk Dina.
"Pak, besok-besok saya masuk sendiri aja ke dalam mobil, tidak perlu dibukakan pintu." Kata Dina begitu ia masuk dalam mobil.
"Maaf non, itu protokol." Jawab supir Carlo.
"Tolong banget pak, ngga usah selama tuan muda ga ada." Pinta Dina.
"Baik, nona." Jawab supir Carlo.
"Besok-besok juga ga usah pake seragam ya pak, baju biasa aja.."
"Tapi non,"
"Pliisss... Saya ngga nyaman pak. Pokoknya selama tuan muda ga ada, santai aja."
"Baik, nona."
*ddrrttt ddrrttt* (telpon masuk dari nomor tidak dikenal)
"Halo." Dina mengangkat telponnya.
"Halo Dina, ini gw Sarah." Kata ka Sarah di seberang sana.
"Halo ka Sarah, kenapa ka?"
"Malam ini tidur di rumah Carlo yuk? Gw males pulang nih, di rumah sendirian."
"Humm.."
"Sekarang gw lagi di Cafe Carlo, lo kesini dulu aja.."
"Boleh deh, tunggu ya ka.."
"Oke.."
Dina meminta pak supir mengatarnya ke cafe, kebetulan ia juga sedang bosan di kosan sendirian. Lebih baik ia bertemu ka Sarah karena sejauh ini hanya ka Sarah orang yang bisa ia ajak cerita tentang Carlo.
"Hai Alex... Udah lama ga ketemu, makin ganteng aja." Sapa Dina begitu tiba di Cafe.
"Dinaa... Udah lama ga kesini, udah balikan sama boss gw?"
"Udah dong.." Jawab Dina sembari memeluk Alex karena mereka sudah lama tidak bertemu, lebih tepatnya sejak hubungannya dengan Carlo putus.
"Gw seperti biasa ya, kopi susu."
"Siap."
"Hai Din, sini-sini." Ka Sarah memanggil Dina.
"Halo.." Dina nampak bingung karena ada 3 orang lainnya yang tidak ia kenal.
"Ini anggota Carlo di studio, belom kenal?" Kata ka Sarah.
"Belom, aku ga pernah ke studio bang Carlo." Jawab Dina.
"Kenalin, ini calon istri Carlo." Kata ka Sarah mengenalkan Dina pada tim Carlo.
Dina menyalam tim Carlo bergantian lalu pamit memilih meja lain karena sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang tidak perlu dirinya ketahui.
"Sori ya jadi nunggu, gw lagi desain rumah make jasa arsitek studionya Carlo. Gila loh dia." Kata ka Sarah begitu ia bergabung di meja Dina.
"Kenapa ka?" Tanya Dina.
"Gw kira bakal dilepas gitu aja timnya karena dia lagi ribet banget di Swedia tapi ternyata masih terkontrol, desainnya keren.." Cerita ka Sarah.
"Timnya ngga dilepas tapi aku nih kayaknya terlepas." Kata Dina sambil cemberut.
"Ko gitu?"
"Dia tuh susah banget dihubungin ka.."
Dina menceritakan kejadian di Lampung beberapa hari lalu membuat ka Sarah tertawa terbahak-bahak.
"Hahahahahaha... Mendebarkan banget dong pasti situasinya?"
"Aku cuma bisa nangis ka."
"Bos gw emang gitu kalo lagi fokus sama kerjaan, semua dilupakan." Alex masuk dalam obrolan.
"Dia itu jago mengalihkan pikirannya ke pekerjaan. Kalo dia di studio sampe larut malam, tandanya dia lagi berantem sama Dina." Cerita Alex.
"Ohya?"
"Kalo ngga karena Cafe mau tutup, mungkin bisa sampe pagi. Tapi kayaknya cuma pindah tempat, dilajutin kerjaannya di rumah." Tambah Alex.
"Kasian banget adek gw." Kata ka Sarah.
“Kelemahan bang Carlo itu ada di Dina. Fokusnya bisa berantakan kalo Dina ganggu, makanya lebih baik dia tidak kontak sama sekali dengan Dina saat sedang fokus.” Kata Alex lagi.
“Emang aku sering ganggu?” Tanya Dina.
“Dina, Dina.. Lo itu kalo kangen ngajak ribut dengan hal-hal sepele dan begitu marah, lo menghilang.” Alex membocorkan.
“Hahahahahahaha…” Ka Sarah tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Alex.
Mereka bertiga asik bercerita hingga tidak terasa sudah waktunnya cafe tutup. Ka Sarah dan Dina pamit pada Alex dan pergi menuju rumah Carlo dengan mobil berbeda karena ka Sarah juga membawa mobil.
"Lo naik mobil Carlo?" Tanya ka Sarah.
"Nanti deh di rumah bang Carlo aku jelasin, ka." Jawab Dina.
Setibanya di rumah Carlo, mereka langsung duduk rebahan di Sofa dan Dina menceritakan alasan kenapa ia menggunakan mobil Carlo hingga ka Sarah kembali tertawa terbahak-bahak.
"Hahahahaha... Kalian tuh emang aneh sih." Komentar ka Sarah mendengar cerita Dina.
"Gitu deh ka. Ka Sarah dulu gimana bisa akrab sama bang Carlo?" Tanya Dina.
"Gw cinta pertama Carlo tapi Carlo bukan cinta pertama gw." Kata ka Sarah.
"Pasti lah, ka Sarah Cantik."
"Dulu Carlo masuk sekolah belom lancar bahasa Indonesia jadi ngga punya temen, cupu banget deh dulu dia itu." Cerita ka Sarah.
"Serius ka?"
"Iya, tapi ganteng makanya gw deketin."
"Ka Sarah duluan yang deketin?"
"Yo'i. Tapi dulu itu gw bener-bener iseng banget sih, Carlo cuma buat nemenin gw saat cowok gw ngga ada."
Dina terdiam, tidak meyangka bahwa seorang Carlo pernah dipermainkan oleh wanita.
"Dulu itu Carlo nembak dan gw tolak, jadi kita ga pernah pacaran. Tapi gw ga mau kehilangan dedek-dedek gemes makanya Carlo tetep gw gandeng sampe gw lulus SMA lalu pindah kuliah ke AS tanpa kasih kabar ke dia. Gw minta maaf banget sama lo dan wanita-wanita lain yang pernah Carlo isengin, itu balas dendamnya Carlo ke gw sebenarnya tapi dia lampiaskan ke cewe-cewe lain." Cerita ka Sarah.
"Serem banget ka.."
"Carlo cerita semuanya kemarin, gw juga ngga nyangka efeknya bisa begitu. Makanya untuk menebus dosa, gw bantuin dia sama lo biar dia berhenti lah isengin cewe-cewe. Kelakuan Carlo teredam jika bertemu satu sosok yang bener-bener bisa memenuhi hatinya dan itu elo." Tambah ka Sarah.
Dina tidak menyangka bahwa ka Sarah adalah awal mula petualangan cinta Carlo hingga akhirnya sampai pada dirinya saat ini. Mereka bercerita dan membahas banyak hal membuat mereka menjadi semakin akrab satu sama lain. Mereka tertidur di sofa dan keesokan paginya mereka kembali ke aktifitas masing-masing.
***
Hari berlalu seperti biasa, hanya bedanya sekarang Dina mengenakan cincin dari Carlo. Gosip di kantor pun sudah mereda dan saat ini Dina sudah kembali ke kantor pusat mengerjakan proyek berikutnya karena tim yang ditempatkan di kantor Carlo sudah bisa dilepas.
Carlo menelpon Dina saat Dina sedang serius mempelajari dan melakukan riset untuk proyek selanjutnya.
"Halo.." Jawab Dina.
"Halo. Lagi dimana? Ganggu ga?" Tanya Carlo.
"Lagi di kantor, ngga ganggu ko." Jawab Dina.
"Kamu udah ngga di kantor aku lagi, yang?"
"Engga, timku di sana udah bisa ditinggal."
"Sejak kapan kamu balik ke kantor kamu?"
"Udah seminggu, pak."
"Udah lama ya.."
"Makanya ditelpon kali pacarnya. berasa ga punya pacar deh."
"Sabar, kalo semuanya beres, minggu depan aku balik Indonesia."
"Beneran?"
"Iyap."
"Oke, aku tunggu.”
"Nanti jemput ya di bandara."
"Iya. Hmmm.. Weekend ini aku mau ke Bandung."
"Ngapain?"
"Main aja."
"Naik apa?"
"Mau coba naik kereta cepat."
"Oohh, hati-hati ya.."
"Siap, tuan muda."
Carlo sudah hampir selesai dengan urusannya di Swedia. Carlo telah bernegosiasi dengan beberapa mafia yang sudah lama memiliki kerja sama tidak tertulis dengan bisnis papi dan menemukan titik tengah terbaik dengan batasan-batasan yang sudah mereka sepakati.
Dengan jaringan yang dimiliki papi dan mami, Carlo pun sudah melakukan negosiasi dengan pihak pemerintah maupun kerajaan sehingga Carlo memiliki banyak akses jika suatu saat kondisi tidak baik terjadi pada salah satunya. Sisanya, Carlo sedang mengurus rencana dan mencoba relasi di Asia agar rencana bisnisnya bisa bergerak lebih pesat di Asia.
Kali ini papi tidak banyak berdebat dengan Carlo karena Carlo tidak lagi menjegal apa yang sudah menjadi kebiasaan perusahaan dan yang membahayakan dirinya, kali ini Carlo justru mengembangkan apa yang sudah ada, membuat papi semakin yakin pada Carlo.
***
Hari Jumat tiba, Dina dan teman-temannya sudah janjian sepulang kantor di stasiun kereta cepat menuju Bandung, tidak sampai sejam mereka pun sudah tiba di Kota Bandung.
Mereka langsung menuju hotel untuk bersih-bersih dan setelah itu pergi makan di sebuah restoran yang sedang hits se-Kota Bandung. Seperti tipikal cewe-cewe pada umumnya, mereka foto sebelum makanan datang, foto sesudah makanan datang, foto setelah makanan habis dan foto lagi setelah meja dibersihkan.
Mereka bercerita sembari sesekali posting foto kegiatan mereka hingga restoran mau tutup baru mereka kembali ke hotel untuk istirahat.
Besoknya mereka keliling kota Bandung, belanja, nongkrong di coffee shop hits kota Bandung dan sore harinya mereka kembali ke hotel untuk siap-siap karena rencananya malam ini mereka akan pergi clubing. Clubing bukan kebiasaan mereka tapi kali ini harus berbeda. Sudah lama mereka tidak menikmati kebersamaan mereka, terlebih setelah salah satu dari mereka menikah maka pergi menginap bareng adalah sesuatu yang harus dirayakan!
Mereka tertawa lepas, bergoyang lincah dan meneguk beberapa gelas cocktail yang mereka pesan. Malam itu terasa sangat panjang, sesekali pria iseng datang mencoba gabung tapi mereka menjaga circle mereka agar tidak disusupi orang baru supaya semua aman.
Pukul 02.00 WIB mereka tiba di lobby hotel dengan kondisi setengah mabuk, sudah tidak bisa berjalan lurus dan pandangan berbayang.
"Si Dina jago ya goyangnya, udah sering goyang dia kayaknya.." Ucap Vika.
"Iya, kalah gw yang udah nikah." Tambah Fitri.
"Stop! Ada pria tampan menghalangi jalan kita. Sesuai formasi, kita jangan tergoda." Kata Natasya.
Semua mata melihat sosok yang dimaksud.
"Tapi ini ganteng banget ga sih?" Tanya Natasya lagi mulai meragukan prinsip mereka.
"Iya. Formasi kita bisa berubah ga? Pengecualian buat yang ini." Tambah Vika.
"Duh gw nyesel deh nikah buru-buru." Fitri ikut menimpali.
Dina terkejut melihat sosok dihadapannya, berdiri tegap memasukan kedua tangannya ke saku celana dan menatapnya lurus. Carlo?
"Tadi kita cuma minum alkohol kan? Ko gw kayak berhalusinasi ya?" Kata Dina.
"Kayaknya cowo ganteng itu bukan halusinasi deh." Jawab Natasya.
Carlo berjalan mendekat ke arah Dina, menariknya dalam pelukan dan mencium Dina dengan dalam. Ketiga teman Dina tercengang melihat apa yang terjadi di depan mereka.
"Apa masih terasa seperti halusinasi?" Tanya Carlo setelah ia melepaskan ciumannya.
"Ka, kamu ko disini?" Tanya Dina gugup.
"Dari sore kamu ngga bisa dihubungin." Kata Carlo.
"Aku ngga bawa HP, semua HP kita ditinggal di kamar." Jawab Dina.
Carlo memandang teman Dina satu per satu, ia menyadari bahwa mereka sedang melakukan kegiatan yang namanya girls night out.
"Yaudah gapapa, yang penting kamu sudah sampe hotel. Kamu istirahat, besok kita sarapan bareng ya.." Kata Carlo membelai lembut rambut Dina lalu mengecup keningnya lembut.
Carlo menyuruh Dina dan teman-temannya kembali ke kamar untuk istirahat karena wajah mereka terlihat sangat tidak baik-baik saja a.k.a mabuk berat. Carlo pun kembali ke hotelnya setelah memastikan bahwa Dina baik-baik saja, ia tidak mau merusak momen kebersamaan Dina dengan teman-temannya.
Bukannya tidur, ketiga teman Dina kembali berkumpul meminta penjelasan atas kejadian yang tadi mereka saksikan.
"Dia cowo misterius yang selama ini identitasnya lo sembunyikan?" Tanya Fitri.
"Hhmmm.." Jawab Dina sambil meneguk segelas air mineral karena dirinya sendiri pun masih kaget dengan kejadian di lobby tadi.
"Ganteng, Din. Ngga heran sih kenapa lo lepasin Satya." Kata Natasya.
"Iya ganteng tapi posesif banget, langsung datengin ke Bandung karena ga bisa dihibungin." Tambah Vika.
"Lebih ke khawatir ga sih? Kalo posesif harusnya tadi dia marah-marah ga jelas tapi dia malah biarin kita istirahat." Kata Fitri.
"Iya juga sih, mantan gw yang posesif tuh ngga lihat situasi kalo marah." Vika kembali teringat salah satu mantannya.
"Tadi lo liat ga matanya khawatir banget?" Kata Fitri.
"Iya bener, sweet banget Dinaa..." Natasya mengingat-ingat kembali momen Carlo mencium Dina di lobby.
Mereka masih sibuk membicarakan Carlo disaat Dina sudah berbaring mulai tidak sadarkan diri.
"Diiiinn, lo cerita dulu dong!!" Teman-temannya membangunkan Dina.
"Pusing banget kepala gw, besok aja ceritanya.." Jawab Dina.
"Udah dapet ciuman panas masa maboknya ga hilang?" Kata Vika.
"Justru itu dia makin mabok kepayang." Tambah Natasya.
"Din, bangunn...." Dina terpaksa bangun dan duduk di kasur.
"Iya dia cowok gw, kalian mau nanya apa?" Tanya Dina kepada teman-temannya dengan mata yang tetap terpejam.
"Lo ketemu dimana cowo ganteng begitu?"
"Lo kapan sih ketemunya?"
"Dia kerja dimana, Din?"
"Kayaknya blesteran ya? Orang mana sih?"
"Dia punya abang atau adek ganteng ga yang bisa dikenalin ke gw?"
"Zodiaknya apa?"
"Kalian bisa gambreng dulu ga? Nanyanya satu-satu." Ucap Dina yang semakin pusing diserang banyak pertanyaan.
Setelah situasi kembali kondusif, mereka mulai gantian bertanya dan hanya ditanggapi seperlunya oleh Dina hingga pukul 04.00 WIB mereka baru benar-benar tertidur, mereka tertidur berempat di kasur yang sama.
***
"Halo yang, kamu dimana?" Dina menelpon Carlo.
"Di restoran hotel kamu." Jawab Carlo.
"Aku bangun kesiangan. Kamu tunggu ya, aku mandi sebentar."
"Iya."
Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB dan Carlo sudah di restoran sejak pukul 07.00 WIB tapi Carlo sengaja tidak menelpon Dina karena ia maklum setelah semalam mereka clubing hingga pukul 02.00 WIB.
Carlo menunggu sembari membaca berita dan memantau semua pekerjaannya di ipad hingga suara berisik 4 wanita yang merupakan Dina bersama teman-temannya tiba dihadapannya.
"Yang, kenalin ini temen-temenku." Dina mengenalkan teman-temannya.
"Halo, maaf ya kemarin kita perdana ketemu tapi kesannya kurang enak." Ucap Fitri.
"Gapapa, santai aja." Jawab Carlo.
Carlo mempersilahkan mereka duduk membuat suasana yang tadinya tenang menjadi ramai. Mereka sarapan bersama kecuali Carlo yang hanya minum jus karena ia sudah sarapan.
"Rencana kalian hari ini kemana?" Tanya Carlo.
"Ngga ada rencana sih hari ini, paling beli oleh-oleh terus balik Jakarta." Jawab Natasya.
"Naik kereta cepat lagi?"
"Iya, Lo naik apa bang?"
"Bareng aja nanti naik kereta cepat, mau nyoba juga."
"Harus coba bang, cepet banget."
Setelah sarapan, mereka check out dan manuju tempat oleh-oleh kemudian ke stasiun kereta cepat untuk kembali ke Jakarta. Supir Carlo membawa pulang mobil ke Jakarta sedangkan ia naik kereta cepat bersama Dina dan teman-teman Dina sembari mencoba mengenal teman-temannya Dina.
"Kita pasti nyampe duluan di Jakarta daripada mobil bang Carlo, nanti kalian naik taksi?" Tanya Fitri.
"Naik KRL." Jawab Carlo.
"Serius, yang?" Tanya Dina kaget yang hanya dijawab anggukan oleh Carlo.
Benar, begitu sampai di Jakarta, semua teman Dina memesan taksi tapi Carlo dan Dina memutuskan menggunakan KRL.
"Jauh tau yang jalannya.." Protes Dina.
"Jangan manja, itu haltenya udah keliatan."
"Itu awan di langit juga kelihatan, tapi jauh kan?"
"Hahahahaha... Terlalu dimanja ya kamu setiap hari dianter-jemput supir?"
"Bukan gitu.."
Dina tidak melanjutkan protesnya, ia mengikuti langkah Carlo dengan cemberut. Jujur saja, kepalanya masih pusing efek alkohol dan kurang tidur semalam tapi malah diajak jalan kaki dan menggunakan transportasi umum. Berbeda dengan Carlo yang rindu berada di jalan, menyaksikan orang-orang melakukan kegiatannya. Namun melihat Dina yang nampak masih pusing, Carlo memutuskan untuk memesan taksi online, tidak jadi menggunakan KRL. Ternyata Carlo tidak tega. Hahahahaha…
Setibanya di rumah Carlo, Dina masak untuk makan malam dan setelah makan malam, mereka berdua duduk di sofa menonton film yang sebenarnya tidak mereka tonton. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
"Aku minta ijin ke boss kamu supaya kamu cuti satu minggu kedepan." Kata Carlo tiba-tiba.
"Ha? Buat apa? Aku lagi mempersiapkan proyek baru, yang. Kamu ko ga nanya aku dulu sih?" Dina protes merasa Carlo sudah terlalu jauh bertindak.
"Aku baru minta kamu cuti loh, ko nadanya tinggi gitu. Gimana kalo aku minta kamu resign?" Kata Carlo.
"Aku ngga mau lah." Jawab Dina kesal.
"Kenapa?"
"Aku kerja 5 tahun dan udah ada di posisi dimana aku punya kebebasan untuk bentuk tim yang aku mau, ini susah banget didapetinnya di kantor aku. Terus aku tinggal?"
"Ketika kita menikah, kamu ngga mungkin tetap kerja disitu kan?"
"Iya kalo sudah mendekati acara pernikahan, aku akan resign. Tapi kita ngga nikah bulan depan kan?"
"Ngga, tapi ada banyak hal yang harus kamu siapkan sebelum menikah."
"Persiapannya ngga mengharuskan aku resign kan?"
"Sepertinya harus."
"Ha?"
Untuk pertama kalinya Carlo menceritakan tentang siapa dirinya, siapa keluarganya, bagaimana bisnis keluarganya berjalan termasuk semua luka yang ada pada tubuhnya. Mendengar semua cerita Carlo membuat isi kepala Dina seakan mau meledak. Ia tidak tau bahwa bisnis keluarga Carlo sebesar dan semengerikan itu, terlebih Dina tidak menyangka bahwa Carlo merupakan keturunan Kerajaan.
"Kamu jangan khawatir, aku akan selalu ada selama persiapan itu." Kata Carlo.
"Kamu.. Aku.. Duh aku bingung.."
"Malam ini kamu terima dulu aja gambaran besarnya, seminggu kedepan aku jelasin kamu perlahan lebih rinci lalu aku kasih waktu untuk kamu urus kerjaan kamu sebelum resign dan setelahnya kita siapkan sama-sama."
"Bang, serem banget.."
Carlo memeluk Dina dan mengusap punggungnya agar kekhawatiran Dina berkurang.
"Kita jalani perlahan saja, kamu percaya sama aku. Persiapan ini sudah aku siapkan dan tidak sulit, tapi aku butuh kamu serius karena kamu yang akan jadi partner aku kedepannya, satu-satunya orang yang paling aku percaya."
Dina memejamkan matanya dalam pelukan Carlo.
"Ya Tuhan, aku sayang banget sama manusia ini tapi kenapa hidupnya berat banget sampai harus ada pelatihan khusus untuk bisa bersama dengannya?" Ucap Dina dalam hati.
Sebenarnya bisa saja Dina tidak melalui proses persiapan, tapi Carlo tau siapa yang akan Dina temui kedepan ketika mereka sudah menikah. Keluarga bangsawan, rekan bisnis dan lawan bisnisnya. Carlo mau Dina memiliki bekal dan siap menghadapinya dengan percaya diri, menjadi partner yang bisa mengimbanginya.
BAB 10 - PERSIAPAN MENGENAL CARLO
Hari Senin tiba, hari dimana Carlo akan mulai menjelaskan dan mengenalkan Dina tentang kehidupan yang akan mereka jalani kelak ketika mereka sudah menikah. Rencana persiapan ini murni ide Carlo yang sudah disiapkan setelah ia yakin akan menjadikan Dina pendampingnya, yaitu saat Carlo memberikan Dina cincin dua bulan lalu.
Hari ini Carlo mengajak Dina untuk keliling melihat beberapa apartemen dan rumah milik keluarganya yang ada di Jakarta yang akan mereka jadikan tempat mereka tinggal bersama sebelum menikah. Carlo memutuskan bahwa mereka akan tinggal bersama karena Dina adalah titik lemahnya, sangat memungkinkan menjadi sasaran oleh lawan bisnisnya.
"Kita tinggal di apartemen aja ya?" Pinta Dina.
"Kenapa?" Tanya Carlo.
"Rumah kamu terlalu besar, apartemen ini aja udah besar menurutku."
"Oke. Mana yang kamu nyaman aja. Tapi nanti kalo udah nikah, kita tinggal di rumah ya?"
"Iya, perlahan ya.. Aku masih merasa aneh tinggal di tempat mewah."
Carlo dan Dina memilih salah satu apartemen milik keluarga Carlo yang terletak di kawasan Senayan. Carlo pun sudah mengundang desainer interior untuk menyiapkan isi apartemen mereka sesuai keinginan Dina, dibantu sedikit masukan dari Carlo. Ia membebaskan Dina menentukan isi apartemennya agar Dina nyaman selama persiapan nanti.
Setelah mereka siap berdiskusi tentang tempat tinggal, Carlo menjelaskan pada Dina bagaimana protokol keamanan yang akan jadi keseharian mereka kelak. Dina akan didampingi ajudan minimal 2 orang setiap harinya, bisa lebih jika terjadi suatuasi darurat. Carlo juga menjelaskan, ada orang khusus yang akan selalu membersihkan rumah serta semua keperluan Dina.
Setelah urusan domestik selesai, Carlo mengajak Dina ke showroom mobil. Carlo membebaskan Dina memilih mobil apa yang kelak akan Dina gunakan sehari-hari.
"Aku suka sih mobil yang ini, tapi kemahalan ya kayaknya.." Kata Dina.
"Ngga. Kalo kamu mau itu, kita pilih satu lagi yang mana?" Kata Carlo.
"Harus dua?"
"Kamu mau tiga?"
"Bukan, satu aja."
"Satu lagi untuk jaga-jaga jika mobil kamu diservice."
"Berlebihan banget sih ini." Dina masih segan mengingat harga satu mobil yang ada di showroom ini bernilai miliaran rupiah.
"Aku sudah jual semua mobilku, setidaknya kita butuh 3 mobil. Satu untuk standby."
"Terserah kamu aja, aku cuma suka yang satu itu."
"Oke."
Kemudian Carlo mengajak Dina untuk menentukan fitur-fitur tambahan apa saja yang diperlukan dan diinginkan Dina. Setelah selesai, mereka kembali ke rumah Carlo untuk beristirahat.
"Persiapannya begini, yang?" Tanya Dina.
"Emang kamu kira gimana?" Tanya Carlo balik.
"Ini kita buang-buang uang ga sih?"
"Hahahaha... Kenyamanan kamu yang pertama, besok kita mulai persiapan lainnya."
"Aku baru ngerasain kalo buang-buang uang ternyata capek."
"Hahahahaha..." Carlo mengecup kening Dina.
Hari pertama cukup menguras ide kreatif Dina terlebih saat menentukan interior untuk apartemen, membuat tubuh Dina terasa sangat lelah.
***
Hari Selasa tiba. Setelah sarapan, Carlo mengajak Dina ke kantor dan langsung menuju ruangannya sehingga tidak banyak karyawan yang mengetahui kedatangan mereka.
Carlo dibantu asistennya mengenalkan semua bisnis yang keluarga Carlo miliki kepada Dina. Mulai dari bisnis hotel & resort bintang lima yang sudah merambah hampir di seluruh dunia, bisnis transportasi udara dengan pasar khusus di Eropa dan Amerika, bisnis teknologi daur ulang yang sudah menguasai pasar Eropa dan bisnis senjata yang dipasarkan khusus baik legal maupun ilegal.
Kelak Dina akan mempelajari semua secara umum, bagaimana semua bisnis ini berjalan agar Dina bisa lebih jeli menilai situasi kedepan ketika harus mendampingi Carlo untuk perjalanan bisnis atau jamuan bisnis. Setidaknya Dina bisa membedakan mana kawan dan mana lawan. Carlo pun tidak menutup kemungkinan jika kelak Dina ingin bergabung menjadi bagian dalam rantai bisnis keluarganya karena latar pendidikan Dina saat kuliah adalah manajemen bisnis. Carlo sangat senang jika ada orang yang ia kenal bisa menjadi bagian dalam urusan bisnisnya.
Setahun terakhir Carlo sudah merombak sebagian besar struktur bisnis keluarganya dengan mengisi posisi-posisi strategis dalam bisnis dengan orang pilihannya. Setelah Carlo memegang kendali bisnis keluarganya, orang yang ia pertahankan adalah orang lama yang Carlo audit sendiri berdasarkan masukan dari beberapa orang kepercayaan papi, selebihnya Carlo mengganti dengan orang baru hasil rekrutmen dimana Carlo sendiri yang turun tangan menjaringnya.
Tentu suasana sempat memanas, terlebih ketika sepuh dalam salah satu perusahaan papi harus Carlo geser posisinya. Bukan Carlo jika tidak memiliki strategi, Carlo sudah memperlajari seluruh lini dalam bisnis keluarganya dan membentuk tim khusus dalam perusahaan tersebut yang kira-kira cukup solid dalam menangani pemberontakan sesepuh tersebut sehingga tidak terlalu mengganggu jalannya bisnis, hanya saja Carlo beberapa kali mendapat teror personal. Bukan hal yang sulit juga untuk Carlo menangani teror dari mantan bawahan papinya karena sejak kuliah dia sudah sering mendapat teror dari orang yang tidak dikenal.
Carlo mengenalkan satu orang pilihannya yang kelak akan menjadi asisten pribadi Dina, ia akan membantu Dina menyiapkan semua keperluan Dina dan akan selalu siap sedia selama 24jam. Asisten ini juga yang akan menyusun dan mengingatkan Dina akan semua kegiatan Dina sehari-hari. Asisten ini sudah menjalani latihan khusus, sama seperti asisten Carlo sehingga kemampuan mereka bisa dibilang hampir sama walau tidak setangguh asisten Carlo.
"Kepalaku mau pecah, pulang yuk?" Pinta Dina begitu semua rantai bisnis keluarga Carlo sudah dikenalkan.
"Kamu tunggu sebentar disini ya, aku koordinasi dulu di ruang rapat." Kata Carlo.
Dina memasrahkan dirinya di sofa ruang kerja Carlo, membiarkan Carlo mengurus urusannya di ruangan sebelah. Dina baru dikenalkan kulit luarnya tentang semua bisnis kelaurga Carlo tapi kepalanya seperti tidak sanggup menampung. Kepalanya terasa penuh, rasanya tidak siap mencerna semua informasi yang ia terima hari ini.
Setelah urusannya selesai, Carlo datang menghapiri Dina di ruangannya dan menggenggam tangan Dina, mengajaknya pulang. Ia tau bahwa hari ini rasanya cukup berat untuk Dina.
"Yang, aku mampu ga ya? Baru dikenalin aja kepalaku sudah penuh." Kata Dina di mobil.
"Kamu ngga perlu menguasi semua. Kamu terima saja informasinya, nanti insting kamu akan terasah sendiri. Kamu akan jadi pendamping aku bukan pengganti aku, jadi cukup tau informasinya saja." Jelas Carlo.
Dina memeluk Carlo erat, rasanya ia butuh energi Carlo dipindahkan sedikit untuk dririnya. Ia mulai sadar kenapa selama ini Carlo sulit dihubungi jika sedang berurusan dengan bisnis keluarganya, karena memang sesulit itu mengurus semuanya. Carlo baru kembali ke keluarganya dan menangani semuanya, tentu butuh fokus ekstra mempelajari dan memahami situasi terkini dari semua bisnis keluarga yang ia emban saat ini.
***
Hari Rabu tiba. Hari ini agak santai, Dina duduk dipinggir kolam renang melihat Carlo bulak-balik berenang sejak tadi.
"Berapa banyak sih energi kamu?" Tanya Dina dari ujung kolam.
Carlo berenang menuju tempat Dina dan mencium bibir Dina.
"Kamu adalah energi aku." Jawab Carlo.
Carlo keluar dari kolam, mengambil handuk dan mengeringkan badannya lalu rebahan dipinggir kolam, meletakkan kepalanya di pangkuan Dina. Dina mengusap rambut Carlo yang basah, menatap Carlo dengan tatapan kagum.
"Kemarin sudah cukup berat buat kamu, hari ini kita santai aja." Kata Carlo.
"Aku setuju." Jawab Dina cepat.
Santainya Carlo ternyata tidak santai untuk Dina. Siang hari, Carlo mendatangkan orang yang akan mengajarkan Dina tentang bahasa yang kelak akan ia gunakan, bahasa dalam bisnis dan bahasa dalam lingkungan kerajaan. Tentu semuanya akan di pelajari dalam bahasa Inggris dan bahasa tradisional Swedia yaitu bahasa Jemanik Utara yang terkait erat dengan bahasa Norwegia dan Denmark.
Lagi-lagi Dina tidak menyangka bahwa bahasa pun berbeda-beda penggunaannya. Rasanya Dina mau menangis namun ia bertekat akan berusaha semampunya agar ia pantas menjadi pendamping pria yang ia cintai ini.
"Hari ini ga terlalu berat kan?" Tanya Carlo saat mereka sudah di tempat tidur.
"Ngga seberat kemarin tapi cukup buat aku degdegan." Kata Dina.
***
Hari kamis tiba. Carlo memeluk Dina yang ada disebelahnya, masih tidur dan tidak berbusana, hanya ditutupi selimut. Dina terbangun karena merasakan ciuman bertubi-tibu dari Carlo.
"Semalam rasanya lebih capek dari hari-hari sebelumnya, yang.” Kata Dina.
Carlo nampak gemas dan kembali mencium Dina membuat gairah Dina terpancing. Mereka memulai hari dengan bercumbu di tempat tidur mereka yang sudah berantakan akibat permainan mereka semalam.
"Hari ini kegiatan kita apa? Aku udah keburu capek kamu buat pagi-pagi." Kata Dina setelah mereka selesai bercinta.
"Hari ini kamu temenin aku ke Cafe dan Studio, setelah itu kita lanjutkan persiapannya." Kata Carlo.
"Siap, tuan muda."
Dina bersiap di kamar mandi sedangkan Carlo menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Setelah sarapan selesai dibuat, Dina bersiap dan gantian Carlo yang mandi lalu setelahnya mereka sarapan bersama.
Setelah sarapan, mereka pergi ke Cafe, mempersiapkan Alex untuk rencana buka cabang kedua. Lalu Carlo naik ke studio menyiapkan timnya dan koordinasi untuk semua pekerjaan yang sedang mereka kerjakan. Kemudian Carlo dan Dina beserta anggota studionya pergi ke rumah ka Sarah untuk presentasi final desain mereka kepada kontraktor sebelum minggu depan mulai konstruksi.
Dina melihat semua aktivitas Carlo hari ini sangat berbeda dari biasanya yang ia lihat di kantor. Jujur, Dina sangat menyukai Carlo saat sedang menjalankan profesi arsiteknya. Carlo mengeluarkan semua auranya, memang terlihat jelas bahwa Carlo mencintai profesinya sebagai arsitek tapi tidak bisa meninggalkan tanggung jawab pada bisnis keluarganya.
"Ya Tuhan, kenapa ada pria sekeren ini? Aku makin cinta." Puja Dina dalam hati.
"Hei, bengong aja liatin Carlo.” Sapa ka Sarah.
"Dia lebih keren ketika jadi arsitek daripada jadi CEO, ka." Kata Dina.
"Walaupun duitnya lebih banyak ketika jadi CEO?"
"Iya."
"Hahahaha… Gimana hubungan aneh kalian, masih aneh ga?"
"Sejauh ini, air mataku rasanya ngga sia-sia untuk dia."
"Waduh, cinta berat kayaknya. Udah diajak nikah?"
"Belom."
"Lah.. Jangan terlalu cinta kalo belom diajak nikah."
"Aku baru tau semua kalo hidupnya tidak mudah."
"Carlo udah cerita semuanya?"
"Udah. Kagum banget aku sama pria yang sering buat aku nangis itu."
"Hahahahaha... Gw juga kaget denger cerita dia waktu itu. Lo harus kuat bahkan harus lebih kuat, Din. Karena lo yang akan jadi rumah untuk dia pulang ketika dia lelah dengan semua beban yang dia tanggung." Ka Sarah menasihati.
"Iya ka, makasih ya."
"Buat apa?"
"Udah buka mata bang Carlo, kalo bukan karena ka Sarah mungkin bang Carlo masih bego sampe sekarang dan aku udah nikah sama orang lain." Kata Dina.
"Ngomongin gw ya?" Carlo tiba-tiba muncul.
"Cinta banget dia katanya sama lo." Kata ka Sarah.
"Cewek mana yang ngga jatuh cinta sama gw?" Carlo membanggakan dirinya.
"Gw ngga jatuh cinta sama lo." Jawab ka Sarah.
"Bener juga."
"Hahahahaha... Gimana kontraktornya, udah paham belom?" Tanya ka Sarah mengalihkan topik ke tujuan awal pertemuan mereka.
"Udah gw jelasin ke mereka, nanti selebihnya tim gw bantu handle." Jawab Carlo.
"Okei, thank you ya.."
"Siap ka."
Setelah selesai dengan proyek arsitekturnya, Carlo mengajak Dina ke sebuah tempat pusat kebugaran. Carlo mengenalkan Dina kepada seorang dokter spesialis dan seorang pelatih kebugaran khusus yang akan membantu Dina menjalani pola hidup ala kerajaan.
Pola hidup ala kerajaan? Yap! Berat tubuh harus stabil dengan bentuk tubuh yang ideal. Dina akan ikut latihan kebugaran dan diajarkan tentang pola makan, pola tidur dan segala hal tentang pola hidup yang kelak harus menjadi keseharinnya.
"Pantes aja badannya bagus-bagus, seketat itu pola hidupnya?" Tanya Dina saat perjalanan pulang dari pusat kebugaran.
"Yup, pola makan dan pola tidur ku selama ‘keluar dari rumah' berantakan banget tapi aku tetap jaga dengan olahraga, setidaknya badanku tetap terjaga." Jelas Carlo.
"I see.."
"Justru menurutku, ini yang kelak paling berat kamu jalanin karena pola hidup kamu akan diubah."
"Kalo aku bisa seanggun Kate Middleton, aku akan berusaha!"
"Kamu harus berusaha!"
Sejauh ini semangat Dina masih terjaga, dalam hati Carlo berharap agar semangat Dina akan terus terjaga begitu semua proses latihan berjalan serentak karena Carlo tau persiapan ini akan berat untuk Dina yang tidak terbiasa dengan segala sesuatu yang diatur.
***
Hari Jumat tiba. Pagi hari rumah Carlo sudah didatangi orang khusus yang akan mengajarkan Dina tentang kepribadian dan gaya hidup ala kerajaan.
"Sekarang apa lagi, yang?" Tanya Dina.
"Ini pengenalan hari terakhir." Carlo mencium pipi Dina untuk menyemangatinya.
Dina akan diajarkan tentang cara makan, cara berjalan, cara duduk, cara menyambut tamu, cara berpakaian dan banyak cara-cara bersikap lainnya yang berlaku khusus di lingkungan kerajaan maupun saat bertemu orang-orang penting untuk urusan bisnis maupun urusan kenegaraan.
Setelahnya Dina dikenalkan dengan seorang fashion stylist yang akan mengurus seluruh keperluan outfit Dina. Kelak Dina harus selalu modis menggunakan baju-baju dari desainer terkenal atau baju-baju dengan brand terkemuka beserta sepatu, tas, perhiasan dan perintilan lainnya. Kemudian ada satu lagi orang yang akan mengurus tata rias dan tata rambut Dina.
Kelak Dina tidak perlu mengitari mall untuk mencari pakaian, sepatu, tas atau perhiasan yang ia inginkan. Dina hanya perlu memanggil fashion stylistnya untuk mengurus semuanya, memanggil brand atau desainer yang ia mau untuk datang ke rumahnya.
Carlo menggenggam tangan Dina karena melihat Dina mulai cemas, sedari tadi Dina tidak berhenti menggigit bibir bawahnya. Dina mulai merasakan tekanan yang cukup besar pada dirinya setelah ia menyatukan semua hal yang perlu ia pelajari. Benar bahwa dirinya harus resign untuk persiapan ini.
"Aku akan selalu ada sampai kamu selesai melewati semua proses persiapan ini." Carlo menguatkan kekasihnya.
Dina bersender pada bahu Carlo karena ia merasa tubuhnya lemas.
"Semuanya sudah aku kenalkan, besok kita rehat dua hari sebelum kamu balik kantor. Kamu mau kita jalan-jalan kemana?" Tanya Carlo.
"Aku boleh pulang ke Lampung ga? Aku mau tidur di rumah, Senin pagi aku balik langsung ke kantor buat ngurus sisa kerjaan dan persiapan resign." Ijin Dina.
"Oke, kamu sendiri atau aku temenin?" Tanya Carlo lagi.
"Sendiri aja naik pesawat komersil, ga usah naik pesawat kamu." Pinta Dina.
"Aku pesan tiketnya ya, besok pagi?"
"Iya."
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
