
… Sagara dan Daren segera mengalihkan pandangan mereka ke layar dan merasakan jantung mereka berdegup kencang. Kecurigaan mereka ternyata benar. Perawat itu kemudian berkata, “Pasien saat ini sedang mengandung. Usia kandungan diperkirakan sekitar 5 minggu." …
-HAPPY READING-
Seminggu sejak percakapan Yara dengan Sagara dan Daren, keadaan Yara semakin memburuk. Ia hampir tidak pernah keluar dari kamarnya. Sagara, Daren, dan Aidan dapat merasakan betapa sunyinya rumah mereka tanpa tawa dan canda dari Yara. Mereka tahu Yara hampir tak pernah tidur. Kalaupun Yara tertidur, tidurnya tak pernah bisa nyenyak. Yara selalu terbangun dengan air mata mengalir di pipinya. Mimpi-mimpi buruk menghantuinya, terutama mimpi tentang Arion yang selalu membawanya kembali ke dalam kamar itu. Membawanya kembali ke peristiwa yang ingin ia lupakan.
Hari Minggu itu, Daren memberanikan diri untuk mendatangi Yara di kamarnya. Sudah seminggu ini Yara tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hal itu membuat Daren sangat khawatir. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar dan menemukan Yara duduk di kursi di samping jendela. Sorot matanya kosong, menatap ke luar dengan tatapan kosong. Aidan duduk di samping Yara, menggenggam tangannya sambil membacakan buku Harry Potter kesukaan Yara, yang mungkin tidak pernah didengar Yara. Ia selalu berusaha menemani Yara, tidak pernah meninggalkan sisinya, berharap bisa menghiburnya. Sarapan yang dibawa oleh Aidan belum tersentuh sama sekali.
“Yara.” Daren memanggil dengan lembut, “Kenapa nggak dimakan sarapannya?”
Yara tak menjawab. Daren pun tak terkejut ataupun kecewa. Semakin hari rasanya Yara semakin jauh dari jangkauannya.
Aidan menghela nafas panjang dan menutup bukunya. Sakit rasanya melihat saudara kembarnya seperti ini. Terlebih dia tak tahu apa yang bisa dilakukannya untuk menolong Yara. Bahkan membaca buku pun sepertinya tak berpengaruh banyak. Yara seakan tenggelam dalam dunianya yang semakin hari semakin gelap.
“Besok pagi dr. Yasmin, psikolog yang nanganin kamu di Bali, akan datang.” Daren menginfokan dengan hati-hati.
Sagara telah meminta dr. Yasmin untuk menemui Yara, berharap pertemuan itu bisa membantu adiknya untuk sedikit terbuka. Daren melanjutkan, “Mungkin akan lebih mudah buat kamu buat bicara sama dr. Yasmin, mengingat kalian udah pernah melakukan sesi konsultasi sebelumnya.”
Aidan menatap Yara dengan harapan. “Ra…” ucapnya penuh harap. “Kita coba ya?” Suara Aidan bergetar, menahan tangis. Namun, Yara tetap diam, wajahnya tampak pucat dan kosong. Dia terus memandang keluar jendela, seolah ada dunia lain yang lebih baik di luar sana, dunia yang tidak lagi dapat ia jangkau. Aidan menundukkan kepalanya, menggenggam tangan Yara dengan kedua tangannya. Air mata mengalir di pipinya.
“Ra, please. Tolong balik, Ra.” Aidan memohon, suaranya bergetar. “Balik sama aku seutuhnya. Aku nggak bisa terus lihat kamu kayak ini.” Aidan meletakkan kepalanya di pangkuan Yara.
Dengan lembut, Aidan menggenggam tangan Yara kembali, membiarkan semua perasaan duka dan harapan terluapkan dalam genggaman tangan mereka. Yara membalas genggaman tangan Aidan. Dia meremas tangan Aidan dengan perlahan, lalu semakin keras seiring ekspresi wajahnya yang berubah.
Aidan merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Dia mendongakkan kepalanya, menatap Yara dengan cemas. “Kenapa, Ra?” tanyanya dengan nada khawatir. “Kamu kenapa?”
Yara tidak menjawab, tetapi tubuhnya bergetar. Satu tangannya memegangi perutnya. Daren, yang melihat ada sesuatu yang tidak beres pada adik perempuannya, bertanya, “Perut kamu sakit?” Kepanikan tergambar jelas dari wajah, gestur dan suaranya.
Yara tetap tidak menjawab, tetapi isak tangisnya semakin keras. Tanpa ragu, ia membopong tubuh Yara dan membaringkannya di tempat tidur. Yara masih terus terisak, mengerang kesakitan. Gadis itu meringkuk sementara Daren mengelus punggungnya, mencoba meredakan rasa sakitnya.
Di sisi lain Aidan berdiri di tempatnya. Dia terkejut saat melihat sesuatu yang tak pernah dia bayangkan. Tubuhnya mematung sejenak. Ia melihat banyak darah di tempat Yara duduk sebelumnya. “Kak, ada banyak darah!” serunya, panik.
Daren mengerutkan keningnya. Dia segera beranjak untuk mengecek apa yang dilihat oleh Aidan. Benar saja. Tempat duduk Yara yang awalnya berwarna putih kini penuh dengan noda merah.
Jantung Daren seakan berhenti berdetak untuk sesaat. Ia memiliki satu dugaan terburuk mengenai apa yang mungkin terjadi pada adiknya, tetapi ia takut untuk mengungkapkannya. Takut jika apa yang menjadi dugaannya adalah benar. Daren menatap Yara yang masih meringkuk di atas tempat tidurnya. Seberat apa beban yang ditanggung oleh gadis kecil itu?
“Kita harus bawa Yara ke rumah sakit, Kak.” Aidan membopong tubuh Yara dengan mudah. Dia bergegas keluar dari kamar Yara.
Daren mengekor di belakang Aidan. Dia segera menelepon Sagara yang sedang mengurus beberapa pekerjaannya. Dia meminta Sagara untuk menemuinya di rumah sakit.
Mobil meluncur cepat, tetapi tak secepat yang diharapkan oleh Daren dan Aidan. Aidan memangku kepala Yara di kursi belakang sementara Daren menyetir dalam kecepatan tinggi.
Sagara tiba di saat yang bersamaan dengan mereka. Yara segera ditangani di ruang gawat darurat. Sementara para perawat memberikan pertolongan pertama, seorang perawat bertanya mengenai apa yang terjadi.
“Banyak darah di tempat Yara duduk.” Dengan tak beraturan Aidan menjelaskan pada perawat. Napasnya terengah-engah. “Mungkin itu yang bikin dia kesakitan.”
Mendengar pernyataan Aidan, Sagara menatap Daren penuh makna. Daren tahu bahwa Sagara berpikir tentang hal yang sama, tetapi mereka sama-sama tak mau mengucapkannya, terutama saat ini Aidan masih sangat panik.
Daren kemudian menjelaskan secara rinci apa yang baru saja terjadi pada perawat. Perawat itu bertanya lebih lanjut, “Apa hubungan kalian dengan pasien ini?”
“Kami adalah kakak-kakaknya. Dia saudara kembarnya.” jawab Sagara, suaranya tegas meskipun wajahnya tampak cemas.
“Apakah sebelumnya pasien memakan sesuatu yang tidak biasa dia makan?” tanya perawat itu.
Daren menggeleng. “Yara baru aja mengalami kejadian traumatis yang bikin dia berada dalam kondisi mental yang kurang baik. Dia hampir nggak makan dan minum apapun sejak saat itu.”
Perawat itu mencatat semua yang diucapkan oleh mereka bertiga, lalu meminta mereka untuk menunggu sementara mereka melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Yara mulai tenang setelah mendapatkan suntikan pereda rasa nyeri. Para perawat mulai melakukan prosedur USG untuk mengetahui dari mana asal pendarahan yang ia alami.
Sagara, Daren, dan Aidan menyaksikan semua itu dengan penuh perhatian. Perawat menggerak-gerakkan alat ultrasonic probe di perut bagian bawah Yara, seolah mereka mencari sesuatu. Tiba-tiba, alat tersebut berhenti dan fokus pada satu area. Perawat itu memandang ke arah Sagara, Daren, dan Aidan, lalu mengalihkan pandangannya ke layar USG.
Sagara dan Daren segera mengalihkan pandangan mereka ke layar dan merasakan jantung mereka berdegup kencang. Kecurigaan mereka ternyata benar. Perawat itu kemudian berkata, “Pasien saat ini sedang mengandung. Usia kandungan diperkirakan sekitar 5 minggu.”
Mata Aidan membelalak mendengar ucapan perawat itu. Tubuhnya seolah kehilangan semua tenaga yang ia miliki, hingga terduduk di lantai. Dia merasakan dunia di sekelilingnya runtuh. Dia menjambak rambutnya sendiri, merasakan kemarahan dan kekesalan memenuhi dalam hatinya. Seharusnya hari itu tidak pernah meninggalkan Yara untuk berlatih. Seharusnya dia bisa mencegah semua ini terjadi.
“Maaf sebelumnya, tapi apa Yara memiliki pacar atau hubungan dengan lelaki?” tanya perawat yang menangani Yara.
Daren menggelengkan kepalanya. “Ini… berkaitan sama kejadian traumatis yang baru saja dia alami.” ucap Daren.
“Kalau begitu, sesuai prosedur kami harus melakukan tes tindak pelecehan. Dan kalau sampai hasil tesnya menunjukkan adanya tindak kriminal asusila, maka kami wajib melaporkan hasil tes itu pada pihak kepolisian.” Perawat itu menjelaskan.
“Tidak perlu. Kasus ini sudah kami serahkan pada pihak berwenang.” ucap Sagara. Tentu saja dia tidak pernah menyerahkan kasus ini pada pihak kepolisian. Dia hanya tidak ingin adiknya merasakan privasinya kembali terganggu. “Berikan saja hasil USGnya sebagai tambahan barang bukti.” tambah Sagara untuk menghindari kecurigaan. Dia memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalah ini. Cara yang bahkan pihak kepolisian pun tak akan berani ikut campur.
Perawat itu mengangguk paham. “Kami akan segera memproses datanya. Untuk saat ini pasien harus segera ditangani oleh dokter spesialis obgyn karena pendarahannya tidak kunjung reda.” ucap perawat itu sebelum kembali melanjutkan proses penanganan pada Yara.
Sagara dan Daren kemudian mengalihkan perhatian mereka pada Aidan yang kini masih terduduk di lantai ruang gawat darurat. Aidan menyandarkan tubuhnya di tembok. Kepalanya tertunduk lesu. Kedua tangannya mengepal di kepala menandakan betapa frustasinya dia saat ini.
Daren, yang melihat keadaan Aidan, segera berjongkok di samping adiknya itu. “Kamu harus kuat.” katanya tegas. “Jangan sampai Yara lihat kamu kayak gini.”
Aidan hanya terdiam. Air mata perlahan menetes di pipinya. Semua kenangan bersama Yara terlintas dalam pikirannya. Tawa, canda, dan segala hal yang mereka lewati bersama. “Aku nggak bisa, Kak.” jawabnya putus asa. “Ini semua salahku. Kalau aja waktu itu aku nggak ikut latihan. Kalau aja waktu itu aku langsung jemput dia di kelas. Kalau aja waktu itu aku ada di sana buat dia.”
Daren mengangguk memahami perasaan Aidan. Dia juga merasakan hal yang sama, tetapi mereka tidak bisa berlarut-larut dalam kesedihan. Yara membutuhkan mereka. “Apa yang udah terjadi nggak bisa kamu balikin, Dan. Apa yang terjadi sama Yara sama sekali bukan salah kamu.” kata Daren. “Kamu nggak bisa kayak gini sekarang. Yara butuh kita. Kita harus ada di samping Yara. Kita harus kuat buat Yara.” Daren berusaha menyalakan kembali semangat Aidan.
Tak lama kemudian, dokter spesialis obgyn datang untuk memeriksa Yara. Dia kemudian meminta para perawat untuk membawa Yara ke ruang pemeriksaan.
Selama Yara berada di ruang pemeriksaan, Sagara, Daren, dan Aidan menunggu di luar. Mereka berdoa dalam hati agar penanganan Yara berjalan dengan lancar. Suasana hening menyelimuti mereka, hanya terdengar suara langkah kaki para perawat dan pasien yang berlalu lalang. Terdengar juga suara mesin-mesin administrasi. Hal itu membuat ketiga lelaki itu gelisah.
Dalam hatinya, Aidan terus merutuki dirinya sendiri. Baru saja dia menemukan sebagian dirinya yang hilang begitu lama. Baru saja dia merasa utuh. Kini dia sendirilah yang tak bisa menjaga apa yang sudah kembali padanya.
Daren melihat kegelisahan Aidan. Dia menepuk bahu Aidan, berusaha menguatkannya. “Kita bisa laluin ini bareng-bareng. Kita harus percaya Yara bisa ngelewatin semuanya. Kita akan bantu dia untuk pulih sepenuhnya dan bangkit lebih kuat lagi.”
Sagara mengangguk setuju. “Kita akan menjaganya, apapun yang terjadi. Ini bukan akhir.”
Apa yang dikatakan Sagara benar. Aidan akan menjaga Yara apapun yang terjadi. Dia tidak akan mengulangi kelalaiannya. Yara adalah separuh dari dirinya. Apapun yang terjadi nanti, Aidan tidak akan meninggalkan adik kembarnya itu.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Wajahnya serius. Ketiga bersaudara itu langsung berdiri dan menatapnya dengan penuh harap.
“Yara membutuhkan perawatan intensif. Pendarahan masih belum berhenti. Kami akan memantau kondisinya dan memberikan perawatan yang diperlukan. Kami perlu berbicara lebih lanjut mengenai kehamilannya dan apa langkah yang perlu diambil selanjutnya. Untuk saat ini kami belum bisa memastikan apakah kandungannya akan bisa dipertahankan atau tidak.”
Aidan ingin berteriak, ingin marah pada dunia yang tidak adil ini. Mengapa semuanya harus terjadi? Daren menggenggam tangan Aidan, mencoba memberikan dukungan dalam diam.
Sagara menatap dokter. “Lakukan apapun untuk menyelamatkan Yara.” ucapnya penuh penekanan.
Dokter menatap Sagara beberapa saat. Dia kemudian mengangguk. “Kami akan melakukan yang terbaik untuknya. Kami memerlukan persetujuan dari keluarga, bahwa kalau sampai terjadi apa-apa, maka kami akan mendahulukan keselamatan Yara. Dan itu artinya, bisa jadi kandungannya mungkin tidak bisa diselamatkan.” ucap Dokter itu, kembali meminta pertimbangan.
Daren menatap Sagara yang tampak berpikir sejenak. Dia melihat Sagara mengangguk mantab. “Keselamatan Yara adalah prioritas utama kita.” jawab Sagara.
“Kalau begitu kami akan menyiapkan beberapa surat yang harus ditandatangani.”
-TO BE CONTINUED-
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
