
Keberadaan nasi pecel di alun-alun kota itu bukan tanpa alasan. Ia di sana sedang menunggu seseorang yang entah kapan akan pulang. Besok, lusa, atau ia tak akan kembali. Dan nasi pecel yang sudah lama berdiam mulai basi, tak enak lagi dimakan. Baunya tak seharum ketika pagi, maka boleh jadi saat sore datang ia berbau busuk dan orang-orang enggan datang membelinya. Akhirnya, ia di buang. Dikembalikan ke bumi.
Di keramaian muda-mudi yang betebaran di sekitarku. Aku duduk termenung menatap seberang jalan. Pandanganku kabur dan lama-lama jelas. Semakin jelas jika ada seseorang yang amat menarik perhatian. Seorang nenek yang duduk tenang menghadap jualannya. Asumsiku beliau berjualan nasi dan lauk-pauk. Terlihat dari termos nasi yang tutupnya ditutup kain lap kotak-kotak dan beberapa piring tertumpuk rapi di meja sebelah kanan.
Kuperhatikan nenek itu duduk dan hanya menatap kosong dagangannya. Kemudian beralih ke sekitar memerhatikan orang-orang lalu lalang. Pemandangan itu membuatku harus beranjak. Setidaknya membeli seporsi dagangan si nenek.
“Nek,” mataku mengedar ke meja yang penuh dengan berbagai macam sayur dan beberapa macam sambal. Barulah tertampak tulisan kecil nama jualan si nenek, “Pecelnya boleh satu nek.”
“Oh, neng iya-iya,” nenek itu tersadar dan sebuah senyum terbingkai di wajahnya. Mungkin sejak tadi belum ada yang laku. “Pedes atau ngga ini neng?” tanyanya.
“Pedes nek,” aku masih fokus pada meja itu, sebuah tulisan membuat dahiku berkerut. Seporsi hanya 10.000 bonus Rindu. Biasanya bonus es teh atau mungkin free gorengan. Dan ini? Rindu? Aku masih bertanya-tanya hingga sepiring pecel pesananku sudah siap. “Makasih nek,” nenek itu duduk tak jauh dariku.
Kusendok beberapa kali menu yang kini terhidang. Rasanya tidak asing dengan makanan buatan beliau. Khas nasi pecel rumahan dan pastinya berbumbu medok. Dengan harga sepuluh ribu tentu sangatlah murah, melihat porsi nasinya luar biasa banyak. Itu pun sudah termasuk segelas air putih, peyek, dan dua gorengan mini.
Dalam kunyahan yang belum usai, aku nyeletuk “Nek, bonus rindu itu maksudnya gimana?” kuselesaikan kunyahan. “Biasanya orang jualan mah paling bonus es teh atau mungkin gorengan,” tambahku.
Suara tarikan napas panjang terdengar, terlalu berat. Suara itu membuatku menengok ke wajah si nenek. Baru kusadari, jika garis muka nenek lebih muram dari perkiraanku. Bukan muram karena keriput di wajahnya. Ada sesuatu lain yang nampak berat di wajah itu.
“Kamu tanya kenapa rindu? Bukan es teh atau gorengan?” aku mengangguk dan menyendok lagi nasi pecel. “Beberapa orang sangat senang melakukan pekerjaan hingga lupa pulang. Atau lebih tepatnya mungkin tak sempat pulang hingga membuat mereka harus melakukan berbagai hal di luar rumah, termasuk makan. Dan nenek lihat anak-anak sekarang, entah tua- - muda atau bahkan yang sudah berkeluarga suka sekali beli makanan di luar.”
“Hubungannya apa ya nek sama rindu?”
“Neng teh beneran mau lihat maksud kata rindu di sana?”
Aku mengangguk dengan mulut yang penuh.
“Neng bisa ikut nenek ke rumah.”
Dahiku berkerut. “Rindu yang nenek maksud ada di rumah, dan ini adalah rindu yang ikut serta nenek jual,” menunjuk ke arah dagangannya.
“Aku ngga paham nek? Nasi pecel itu rindu?” aku masih geleng-geleng.
“Gimana? Neng mau dateng?”
“Boleh deh nek, aku juga ga ada kerjaan,” kutandaskan nasi pecel dan segelas air putih. Si nenek membereskan dagangannya. Di saat bersamaan aku berpikir tentang rindu. Rindu jenis apa yang beliau maksud. Sampai-sampai rela menutup dagangannya padahal baru laku seporsi dan mengajak seorang asing berkunjung ke rumah?
Pada perjalanan ke rumah nenek, beliau banyak bercerita tentang masa mudanya. Terutama tentang kisah cinta dengan sang belahan jiwa. Mulai dari awal kenal hingga masa menuju pernikahan. Saat masuk ke pembahasan tentang buah hati mereka, kami sudah sampai di depan rumah beliau. Sebuah rumah dengan pelataran yang sejuk penuh dengan tanaman hias. Di pojok halaman bahkan ada kolam ikan yang dipercantik dengan air mancur.
“Ayo, neng masuk. Maaf ya, sempit gini,” si nenek membuka kunci rumah. Dipersilahkannya aku masuk. Dan aku hanya disuruh masuk. Tapi tidak untuk duduk. Nenek itu terus menyuruhku mengikutinya.
Mataku yang memang terbiasa jelalatan menyisir berbagai sudut rumah. Semuanya tersusun rapi dan bersih. Terasa teduh berada di rumah beliau. Nampak pula sebuah sepeda motor yang terparkir di ruangan itu. Masih baru. Bungkus joknya pun belum dilepas, adapun plat nomor yang dibiarkan di atas motor. Bukan hanya ada satu plat, namun ada tiga dengan nomor plat yang sama. Hanya saja tanggal pajaknya berbeda. Motor itu sudah berusia lima belas tahun, lebih dari setengah usiaku? Aku keheranan dengan keberadaan motor yang selama lima belas tahun tapi joknya masih dilapisi plastik.
Masuk ke ruang tengah nampak foto-foto keluarga. Ada beberapa foto anak kecil dan foto pernikahan beliau. Foto anak-anak kecil cukup banyak. Yang membuatku berhenti adalah sebuah sisi dinding yang sepertinya khusus untuk anak kesayangan si nenek. Seorang anak laki-laki dengan senyum menawan. Setiap foto dengan pose yang sama dicetak beberapa kali, bahkan aku hitung-hitung ada yang sampai sepuluh kali. Aneh. Pikirku kala itu. Untuk apa mencetak foto yang sama dalam rumah sebanyak itu?
Di sisi lain ada lemari yang penuh berisi piala-piala besar kecil dan terpampang pula beberapa piagam kertas. Aku amati beberapa piala tercantum satu nama. Maurab. Nama yang unik. Kebanyakan piala itu miliknya, begitu pula dengan piagam.
“Mari neng duduk sini,” sebuah dapur kecil yang sekaligus ruang makan menjadi tempat pantatku mendarat rupanya. Sepiring kue kering, segelas susu hangat, dan ada camilan-camilan yang berjajar menyambut kedatanganku.
“Wah, kayak lebaran aja nih nek. Ada banyak banget camilannya.”
“Nenek selalu nyetok neng, takut-takut kalau ada tamu gaada suguhan,” ia duduk sembari meletakknya segelas teh hangat. Lagi. Dahiku berkerut. Setahuku tamu biasanya disuguhkan teh hangat. Bukan segelas susu. Agak aneh memang nenek ini. Bahkan sekelebat pikiran konyolku berasumsi jika si nenek agak gila mungkin.
“Sudah lihat rindu yang nenek maksud kan neng?”
Dahiku yang baru saja rileks lagi-lagi berkerut. Gelengan kepala lagi-lagi jadi solusi.
“Neng pasti heran kenapa ada motor baru di depan, ada foto yang dicetak rangkap, dan segelas susu yang nenek sajikan,” kupandangi susu yang kini aromanya memaksaku untuk segera meneguknya.
“Tahun ini genap sudah 20 tahun anak nenek pergi neng,” menggenggam tangan gelisah. “Maurab, anak nenek. Meninggalkan rumah ini dan sampai sekarang tak pernah sekalipun menengok nenek. Dia bilang pergi pamit kerja, mau cari uang katanya, biar bisa beli motor sendiri. Padahal Maurab itu cuma lulus SMP neng, dia ngga mau lanjut sekolah karena gaada motor,” isaknya mulai terdengar. “Nenek yang salah di sini, ngga seharusnya nenek beda-bedakan mereka.”
“Mereka siapa nek?”
“Anak-anak nenek neng. Nenek punya tiga anak dan tiga-tiganya laki-laki semua,” ditariknya napas panjang. “Dua anak nenek yang pertama anaknya rajin banget di sekolah, nilainya bagus, selalu dapet peringkat. Kakek dan nenek ngerasa bangga banget neng, rasanya di hati itu lega bisa ngedidik anak. Tak ada satupun dari mereka yang attitudenya jelek, selalu nurut apa yang diminta nenek sama kakek.”
“Dulu kami sengaja memasukkan mereka ke sekolah swasta bagus, kebetulan rezeki kami saat itu sedang deras-derasnya. Sekalian saja buat investasi ilmu anak-anak, biar kelak bisa jadi orang neng. Sampe lahirlah Maurab, anak terakhir kami. Sebenarnya kami hanya berencana memiliki dua anak saja, laki-laki dan perempuan. Tapi, rencana yang di atas lain. Kami hanya diberi dua anak laki-laki dan bertambahlah satu si Maurab,” diusapnya air mata yang mulai deras mengalir, sedang aku mendengarkan dengan hikmat sembari menyesap susu hangat yang mulai dingin dipeluk angin.
“Ketika lahir, kakek sangat menyesal karena yang terlahir lagi-lagi anak laki-laki. Bahkan, Maurab hanya digendong dan diadzani sebentar. Kemudian sudah. Nama yang dipakai Maurab pun didapat bukanlah dari kakek yang selaku ayahnya. Bahkan aku, ibunya tak ikut andil memberikan nama. Maurab diberi nama oleh paman jauhnya yang kebetulan saat itu sedang berkunjung ke rumah.”
“Nenek sama kakek pengen banget ya punya anak perempuan?” tanyaku.
“Iya neng, pengen sekali dari dulu. Setelah kelahiran anak pertama, Sanusi. Terutama kakek.”
Kudekatkan gelas berisi teh ke arah nenek, agar mau meneguknya. Setidaknya bisa memberikan perasaan tenang. Selepas itu nenek melanjutkan lagi bercerita. Nenek sebenarnya tak jauh berbeda dengan kakek yang mendamba anak perempuan, namun apa boleh dikata. Yang Kuasa memberi anak laki-laki lagi. Ditambah saat itu kondisi ekonomi mereka mulai memburuk. Kebutuhan suka tak tercukupi, padahal si kakek sudah bekerja lebih keras dari sebelumnya dan nenek mulai membuka warung di rumah. Semua itu tak bisa menutup kebutuhan mereka. Alhasil kebutuhan Maurab hanya bisa dipenuhi seadanya, kadang malah jauh dari kata layak. Jika dulu kedua kakaknya selalu mendapat baju baru, tidak dengan Maurab. Ia hanya mendapat baju bekas kakaknya saja. Maurab seperti dilahirkan dalam keprihatinan.
Melihat situasi yang demikian kakek merasa kelahiran Maurab hanya membawa bencana, menyumbat rezeki. Bahkan, sempat kakek sampai hati berniat untuk menitipkan Maurab pada saudara jauhnya agar dirawat. Sebab beliau merasa Maurab benar-benar merepotkan. Namun, hal itu batal terjadi karena nenek setengah mati membujuk kakek agar Maurab tetaplah dirawat mereka. Memanglah kakek mengiyakan tapi hal lain terjadi dalam hati kakek. Ia memberi perlakuan berbeda pada Maurab.
Seiring berjalannya waktu Maurab mulai masuk sekolah. Tidak seperti kakak-kakaknya, Maurab dimasukkan ke sekolah negeri. Tidak sekolah favorit seperti kakak-kakaknya. Ini terjadi karena memanglah belum bagus ekonomi mereka. Menurut kakek, sekolah yang disediakan pemerintah lebih menekan biaya pengeluaran mereka dan bisa dialihkan untuk dua kakak Maurab yang saat itu sudah terlanjur dimasukkan di sekolah favorit.
Pada awalnya Maurab memang tak mempermasalahkan hal itu. Toh dia memang sudah diberi pengertian oleh nenek dengan baik-baik. Sehingga ia tak menuntut banyak. Selama di bangku pendidikan Maurab kurang suka belajar teori, ia cenderung menyukai ekstrakurikuler atau kegiatan lain di luar sekolah. Maurab pernah berkata pada nenek jika ilmu yang ia dapat di sekolah tentu perlu dipraktekkan agar tahu hasilnya seperti apa. Alhasil nilai Maurab hanya sedang-sedang saja, tak seperti kedua kakaknya yang selalu menduduki peringkat pertama di sekolah. Namun prestasinya di berbagai bidang seperti seni dan olahraga tak diragukan. Berkali-kali ia menjuarai berbagai pertandingan. Piala dan piagam ia bawa pulang, tak lupa sedikit uang untuk jajan. Tak jarang Maurab membantu keuangan warung nenek dari hasil yang mungkin tak seberapa. Selain lomba yang dijembatani sekolah, Maurab sangat up to date dengan lomba-lomba luar sekolah. Biasanya lomba-lomba seperti membuat poster, lukisan, puisi, atau cerpen ia datangi. Lumayan sekali uang dari lomba itu, bisalah untuk membeli tas hingga sepatu sendiri. Maurab pun tak pernah meminta uang jajan jika tak diberi oleh nenek.
Kondisi ekonomi keluarga yang serba terbatas menumbuhkan benih kemandirian di diri Maurab. Ia juga banyak dikenal orang sebab prestasinya itu, pun ia tak pelit ilmu. Maurab juga senang sekali kegiatan berkumpul-kumpul. Bahkan baru menginjak kelas satu SMP ia sudah ikut serta kegiatan volunteer kepedulian yang saat itu lebih banyak di dominasi anak-anak SMA. Meski sibuk dengan kegiatan ini dan itu ia tak pernah meninggalkan salatnya dan tentu membantu nenek. Sebab setiap kali hendak membantu kakek yang terjadi hanya cek cok belaka. Alhasil Maurab tak dekat dengan kakek.
Hingga sampailah di ujung masa SMP. Maurab hendak bersekolah di sekolah milik pemerintah lagi. Ia masuk lewat jalur prestasi keolahragaan. Tak perlu biaya seragam ataupun uang SPP. Semuanya gratis. Namun jaraknya lumayan jauh. Jika naik sepeda tentu lumayan juga menguras tenaga, dan kendaraan umum ketika itu masihlah jarang. Akhirnya Maurab memberanikan diri meminta sepeda motor kepada nenek, ia sudah menimbangnya berhari-hari, dan akhirnya ada kesempatan untuk berbicara. Ketika itu ia sedang membantu nenek membuat es lilin dan utarakanlah keinginannya memiliki sebuah sepeda motor. Memang cukup terkejut pula nenek. Mengingat seminggu yang lalu kakak pertama Maurab, si Sanusi berkata hendak melanjutkan studi S2-nya dan itu butuh biaya. Kemudian, kakak kedua Maurab, Mas Adib juga masih kuliah dan hendak ganti semester pula. Belum sempat nenek menjawab, kakek membentaknya dengan keras.
“Belum cukup kamu habiskan semua hartaku?! Kakakmu butuh biaya! Tak usah gegayaan pake motor segala! Sepeda kan juga ada!”
Mendengar itu Maurab hanya diam, begitu pun dengan nenek. Ia tak mampu membela sang anak, sebab keras sekali hati suaminya itu jika berbicara tentang si bungsu.
“Kelahiranmu itu sudah meruntuhkan kejayaanku! Kalau kamu tidak lahir, kakakmu gaakan kurang uang kuliahnya. Bisa kubelikan mobil untuk berangkat kuliah!” mata ayah Maurab merah menyala ketika itu dan tangan Maurab masih sigap menali es lilin. Bibirnya masih bungkam. Tak nampak ada banjir air mata. Namun nenek sebaliknya.
“Pak, Maurab sekolah sudah tanpa biaya. Semua dikasih sama negara. Maurab juga tak pernah minta uang jajan jika tak dikasih. Sepedanya juga sudah tua. Sering sekali aku lihat ia pulang dengan tangan penuh oli karena rantai sepeda sering lepas. Apa nda kasian to pak? Dia sudah banyak membantu warung juga. Maurab baru minta sesuatu baru kali ini pak. Kan bisa to si mas lanjut S2-nya ditunda? Sekalian nyoba nyambi kerja,” disabar-sabarkan suaminya itu.
“Engga bisa! Si mas harus lanjut S2! Masa bodoh dengan Maurab, tak sudi aku biayai hidupnya!” ditepis pula tangan nenek. Pecah sudah tangis nenek saat itu, Maurab hanya diam memeluk tubuh nenek.
“Bu, ayo lanjut buat es lilin. Maurab nda bisa klo ngisiin sendiri,” hanya itu yang keluar dari mulut Maurab.
“Ya Allah le, maafkan ibu yo. Maafkan bapakmu juga,” diciuminya Maurab.
Sejak saat itu Maurab cenderung diam. Selama libur sekolah ia juga lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Ikut kegiatan dan kadang bisa pulang larut malam. Maurab masih membantu nenek. Namun, tak sesering dulu. Sampailah pada satu waktu, saat adzan subuh berkumandang, tubuh Maurab tidak ada lagi di kamarnya. Dipanggil-panggil tak ada sahutan. Nenek bilang ke semua orang di rumah jika sudah dicarinya kesana kemari, namun nihil. Si bungsu tidak ada. Sepedanya masih ada di garasi. Saking paniknya nenek keluar rumah meneriakkan nama Maurab. Tak dijumpai juga batang hidung Maurab. Seketika satu rumah panik, termasuk kakek. Ia ikut panik sesaat setelah nenek menangis makin jadi ketika kembali ke kamar Maurab. Dengan secarik kertas yang didekap nenek terus meraung tak terima. Pada surat itu tertulis jikalau Maurab hendak pergi bekerja. Ia hendak merantau saja. Nanti jika sudah terbeli sepeda motor ia berjanji akan pulang. Pada surat itu juga tertulis jika saat pulang nanti ia ingin dimasakkan nasi pecel kesukaannya dan segelas susu hangat. Tak lupa ia berpesan kepada Sanusi dan Adib untuk membantu ibu menalikan es lilin. Tak ada pesan untuk kakek.
Melihat itu kakek langsung jatuh terduduk, memeluk nenek yang meraung. Para tetangga pun berdatangan karena keributan sudah menjalar dibawa angin. Pada hari itu juga semua warga ikut serta mencari si bungsu. Ketua RT dan kepala desa ikut menemani ke kantor polisi. Namun karena belum 24 jam maka laporan belum bisa diproses. Setelah beberapa hari nyatanya Maurab tidak bisa ditemukan dimana-mana. Segala upaya dilakukan nenek dan kakek. Bahkan kawan-kawan Maurab dari berbagai organisasi juga ikut turun tangan. Namun sayang, jejak Maurab tak bisa terendus juga. Maurab seperti hilang ditelan bumi.
Sejak saat itu, kakek lebih banyak diam. Bekerja tak seperti biasa. Mukanya lebih banyak muram. Jarang sekali ia bercengkrama dengan dua anak laki-lakinya. Padahal setiap hari tak ada waktu tanpa berbagi cerita dengan anak-anak kesayangannya itu.
Segalanya terasa sunyi. Tak ada lagi teriakan Maurab saat pulang dari perlombaan dan mengacungkan piala atau medali yang dibawanya. Tak ada lagi yang meminta dibuatkan bekal nasi pecel tapi porsi pecelnya lebih banyak dari porsi nasi. Tak ada lagi yang meminta dibuatkan susu hangat seminggu sekali. Dan tak ada lagi anak laki-laki yang gemar menjemur baju yang habis dicuci nenek.
Semuanya terasa berat. Kedua anak nenek yang lain tak pandai membantu pekerjaan rumah. Sekalinya membantu lebih banyak dipegangnya ponsel. Kalau tidak, ya hanya banyak berceloteh tentang kuliah yang tak dimengerti nenek.
Nenek sudah susah hati kehilangan anak. Masih pula pekerjaan rumah disokongnya sendiri. Warung juga merugi. Tak ada dana cadangan. Nenek biasa mengandalkan Maurab. Namun, Maurab sudah pergi mencari makannya sendiri. Terasa pula ekonomi makin merosot. Ditambah kakek jatuh sakit. Pekerjaan semua bertumpu pada nenek. Si sulung Sanusi batal kuliah sebab dana sudah habis untuk pengobatan kakek. Anak kedua nenek, si Adib terpaksa bekerja untuk biaya kuliah.
Barulah terasa beratnya kehidupan tanpa Maurab. Saat Maurab masih di rumah uang saku kedua kakaknya selalu ada. Dan sekarang sebaliknya. Pandai-pandailah kedua kakaknya itu mencari uang jajan sendiri. Sebab nenek sudah menua dan tak bisa jika harus menghidupi dua anak yang sudah ada di masa dewasa.
Tak lama kakek meninggal. Sebelum kepergiannya, kakek sempat mengatakan jika ia ingin meminta maaf pada Maurab. Makin beratlah kehidupan nenek. Meski kedua anaknya sudah bekerja dan mulai memenuhi kebutuhan masing-masing. Tak ada seorang pun dari mereka yang bisa diajak bercerita. Setiap hari terasa sekali jika nenek macam pembantu saja. Menyiapkan sarapan, mencuci pakaian, menyetrika, membersihkan rumah, dan dapat uang bulanan. Tak ada kedekatan yang terjalin, mereka sibuk semua.
Alhasil nenek memutuskan berjualan ke luar rumah dan dipilihlah alun-alun sebagai tempatnya. Ia berharap bisa bercengkrama dengan orang-orang. Bukan lagi berjualan kebutuhan rumah seperti garam, penyedap, atau kecap. Tapi dicobanya berjualan nasi pecel. Makanan favorit si bungsu. Nenek selalu berharap Maurab melihat tempat jualannya dan tak sengaja mampir. Biarlah jika si anak tak mau pulang ke rumah tapi setidaknya memakan seporsi nasi pecel buatannya.
Jualan nenek saat itu laku keras. Hingga dalam kurun waktu tiga tahun bisa ia belikan satu motor baru. Motor yang diinginkan Maurab. Nenek meniatkan itu sejak lama dan terbeli juga. Si sulung, Sanusi merasa punya hak atas motor itu, begitu pun Adib. Keduanya saling berebut hingga pecah sudah keluarga itu ketika dengan tegas nenek berucap, “Sudah?! Ini milik Maurab. Kalian sudah menikmati banyak kemewahan. Memang, aku akui kalian sudah berbakti padaku sebagai ibu walaupun hanya dari uang. Tapi, apa kalian pernah membantu ibu? Ibu merasa menjadi pembantu di rumah sendiri dan tuan ibu adalah bocah yang lahir dari rahimku pula.”
Sejak saat itu, kedua anaknya memilih pergi meninggalkan rumah. Selama beberapa minggu keduanya tak kembali. Dan diputuskanlah jika keduanya akan tetap mengirimkan biaya hidup untuk nenek setiap bulan. Tapi untuk tinggal satu atap tidak lagi. Sanusi tak sudi jika harus satu rumah dengan Adib. Begitupun sebaliknya. Mereka hanya datang sesekali saja. Pada suatu percakapan dapat ditangkap pula jika mereka merasa tak disayang nenek. Hanya Maurab yang dipikirkan, bahkan jikalau anak itu sudah menghadap Tuhan.
“Nek, yang sabar…Insyaallah Maurab segera pulang,” aku memeluk nenek. Tentu berat sekali rasanya ditinggal orang-orang terkasih. Diasingkan anak sendiri. Tentu lebar sekali luka di hati nenek.
“Iya neng…Nenek cuma bisa berdoa, Maurab pulang dan bisa coba pakai motornya, nda perlu lagi kerja di rantauan, cukup bantu nenek saja menjemur baju. Nenek sudah senang,” tangisnya pecah kala itu. Begitu pun aku yang ikut meneteskan air mata. Bagaimana bisa dua anak lainnya tega tak kembali sedang ibunya hanya butuh ditemani, sekadar berbincang tentang suasana pagi atau berita terkini. Terlalu nelangsa hati nenek.
“Itulah neng,” diusapnya air mata itu hingga kering. “Nenek jualan nasi pecel itu untuk Maurab, nasi pecel itulah rindu yang bisa nenek jual. Rindu yang berat sekali. Ketika terjual seporsi ada kesenangan di hati nenek. Artinya nenek nda akan mati ditimpa rindu. Kalau yang itu,” menunjuk foto-foto Maurab. “Tentu tak akan laku dijual, apalagi itu,” menunjuk piala-piala dan piagam usang. “Kalau yang itu,” menunjuk motor. “Memanglah bisa dijual, tapi kalau Maurab pulang gimana?”
Dan lagi. Tangis nenek pecah. Sampai petang aku temani nenek. Semua perbincangan itu membahas Maurab. Membahas kesenangan Maurab terhadap susu hangat. Sebab dulu ekonomi sedang sulit Maurab hanya bisa minum seminggu sekali. Maka dari itu nenek selalu menyediakan susu di rak. Takut-takut Maurab pulang minta dibuatkan susu. Nenek juga sengaja pergi menuju alun-alun dengan meninggalkan baju yang selesai dicucinya. Ia berharap suatu ketika Maurab pulang dan menjemurkan baju-baju itu. Semua serba sengaja disiapkan. Sebab nenek selalu percaya Maurab masih hidup diperantauan, mengais rezeki untuk membeli motor, dan saat pulang akan menagih seporsi pecel dan segelas susu hangat.
Aku akhirnya berpamitan setelah salat isya. Sungguh berat meninggalkan nenek itu yang kuketahui bernama Nek Arum. Namun, melihat wajahnya yang tak semuram tadi, aku putuskan untuk beranjak pulang. Toh, tak mungkin kutemani sampai pagi menjelang. Aku punya pekerjaan dan kehidupan. Dan nenek adalah salah satu kisah yang membuatku ingin segera pulang. Bertemu ibu dan nenek di rumah.
Ketika bersiap, Nek Arum memberi bingkisan. Beberapa sayur mentah dan sambal pecel buatannya. Ia berkata jika nanti sayurnya dikukus sendiri ya neng, kalau sisa jualan tadi tentu sudah nda enak. Tak lupa satu kotak susu berwarna kuning dimasukkannya kantong. Dua hal favorit milik Maurab diberikannya padaku. Sungguh aku berterima kasih, sebenarnya ingin kutolak. Tapi Nek Arum memaksa. Ia merasa berhutang waktu padaku. Seorang muda yang mau menyambangi rumah nenek sebatang kara. Tak lupa didoakannya aku agar selalu bertemu kebaikan dan mengingatkan jika ibuku pastilah panjang umur apabila aku sering mengajak berbincang. Tentang jalanan yang macet atau peningnya menghadapi kerjaan. Itu cukup sekali untuk seorang ibu. Nek Arum juga berpesan jika ada waktu luang aku disuruhnya datang ke warung nasi pecel atau langsung bertandang ke rumah. Ia selalu ada. Setelah itu semua aku berpamitan. Kucium tangannya dan memberikan pelukan hangat. Pada Tuhan aku berharap semoga segera Maurab pulang dan aku berharap bisa menemui Nek Arum lagi segera. Hari itu benar-benar panjang, seperti mengayuh sepeda melintasi sejarah bertahun-tahun lalu. Panjang dan tak ada habisnya.
Dua minggu setelahnya aku baru bisa datang ke alun-alun. Kesibukan di kantor membuatku gila dan sore itu akhirnya selesai juga. Lapar perutku menggema, sebab bekalku tertinggal di meja makan. Sehingga kuputuskan mencari nasi pecel Nek Arum. Sekalian mengunjungi nenek penjual nasi pecel berbonus rindu.
Sudah sampai aku di tempat Nek Arum biasa berjualan. Sayangnya, tak kutemukan beliau di sana. Awalnya aku hendak pulang dan pesan makanan lewat aplikasi saja. Namun langkahku terhenti di sebuah stand makanan korea. Ada yang janggal. Aku putuskan bertanya mengenai Nek Arum, sebab aku tak tahu jadwal libur jualan Nek Arum hari apa.
Aku kaget bukan main. Nek Arum ternyata sudah meninggal seminggu yang lalu. Menurut penuturan penjual makanan korea itu, berdasarkan autopsi dari pihak kepolisian, ada kemungkinan jika Nek Arum meninggal karena kelelahan. Sebab beliau ditemukan meninggal dengan posisi duduk di depan dagangannya yang hari itu ludes.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
