
Bersamamu, Tanpa Rasa ; enam
hey kita bertemu lagi, Bebi. wkwkwkk
yang minta cerita ini full aja karena warga Karyakarsa ternyata nggak sanggup ngikutin ongoing, maaf bebi, permintaan itu nggak bisa eike kabulkan. hahahaa.
ya, gimana yes. orang memang belum kelar ngetiknya.
yauding, kalian sabarudin ajalah pokoknya.
happy reading beb.
***
“Well, good job, Anjani.”
Anjani nyaris terlonjak begitu keluar dari rumah orangtuanya. Sebuah suara yang mengagetkan muncul bersamaan dengan tepuk tangan yang mendera. Dirinya yang masih diliputi amarah, tentu saja tak siap dengan serangan yang mengejutkan itu. “Tama?!” matanya melotot mengenali sosok yang membuatnya terkejut setengah mati. “Ngapain kamu di sini?!” ia tidak sadar bahwa pertanyaannya terdengar histeris. Kemarahan yang masih membelenggu memintanya segera mencari pelampiasan. Dan orang yang ia butuhkan sedang ada di depan mata. “Kamu mulai mata-matain aku lagi?!” cercanya tanpa menurunkan tensi suara.
“Ck, kamu nggak sepenting itu, Jan,” ujar Tama mencemooh. Dengan kemeja yang lengannya telah tergulung hingga siku, Tama memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ekspresinya semenyebalkan biasa. Seringai tipis, tentu tak ketinggalan dari bibirnya. “Ternyata kamu masih seenggak rasional itu, ya, Jan?” sunggutnya meremehkan. “Keegoisan kamu bikin huru-hara. Bikin aku repot harus ngurusin jejak yang kamu tinggalkan,” decak Tama sambil menggelengkan kepala. “Bukannya berterima kasih, kamu justru benci aku? Astaga, luar biasa sekali, Anjani,” dengkusnya sok tersakiti.
Menyugar rambutnya, Anjani menyesal membiarkan surai tersebut terberai. Demi Tuhan, ia kerap merasa gerah tiap kali menghadapi suaminya ini. “Andai kamu tahu, kalau tiga tahunku yang sia-sia itu karena kamu. Aku yakin, kamu nggak akan sesombong ini.”
“Oh, ya?” kening Tama langsung berkerut. Netranya berpendar jenaka. “Bukannya di sini, kamu yang kelihatan sombong, ya?”
Mengeratkan rahang, Anjani menahan keinginan tuk membalas olok-olok suaminya. Bertengkar di teras kediaman orangtua, bukanlah sesuatu yang membanggakan. Jadi, ia memilih bersabar. Tak meladeni omong kosong tersebut, Anjani melengos meninggalkan pria itu.
“Bener, Jan. Tetap tutup mulut aja sampai di rumah,” suara Tama berubah rendah dan dingin. Ia melewati istrinya, berjalan cepat menuju di mana mobilnya berada. “Masuk,” perintahnya pada Anjani tanpa melihat.
Anjani tak akan menurut dengan mudah. “Aku bawa mobil,” desisnya mulai terpancing emosi.
Dan Tama meladeni riak emosi sang istri dengan sangat baik. Ia banting kembali pintu mobil yang telah ia buka. Rahangnya berkedut menahan emosinya sendiri. “Mobil kamu udah dibawa pulang supir,” tatapannya berubah tajam. “Masuk, Anjani,” suaranya tidak berubah. Malah kini, tatapnya pun penuh ancaman. “Mari bertengkar di rumah,” ujarnya pelan.
Anjani bisa saja menolak sekeras batu. Ia juga dapat mengabaikan permintaan suaminya dan pergi ke mana pun ia mau. Tetapi suaminya benar, lebih baik mereka bertengkar di rumah. Saling mengutuk dan berteriak tanpa ada yang berani memisah. Jadi, dengan tatap yang tak kalah tajam, ia ajak kakinya mengentak keras. Sebelum kemudian berjalan cepat menuju mobil suaminya. Membuka pintu mobil secara kasar, tak lupa juga ia banting pintu kala menutupnya.
“Anjani iblis Wihelmina,” decak Tama yang memilih melakukan hal yang sama.
Jangan harap ada obrolan di antara mereka.
Saling menoleh pun, mereka enggan.
Namun Tama sedang berada dalam mode gila. Ia tidak bisa berdiam diri dalam keheningan. Sengaja menambah kecepatan, wajahnya yang tadi bertekuk masam, kini mulai berbinar ketika ekor matanya tak sengaja melihat istrinya mulai panik.
“Tama, kamu gila?”
“Iya,” balas Tama santai. “Kan kamu yang suka mancing kegilaan aku,” imbuhnya sambil tertawa. “Nah, selamat! Akhirnya, kamu dapat kegilaanku secara permanen,” sindirnya telak.
Anjani yang semula enggan memakai sabuk pengaman, terpaksa mulai melilitkan tali tersebut ke tubuhnya. “Kalau kamu mau mati, jangan ajak-ajak aku!” bentak Anjani karena Tama sama sekali tak menurunkan kecepatan. “Tama!” jeritnya ketika sang suami nekat mengebut sambil memotong dua truck container yang semula berada di depan mereka.
“Wuhuuuuu! Kamu suka ‘kan, Jan?” ejek Tama tertawa lepas. “Gimana? Mau nambah kecepatan lagi? Biar kamu cepet ketemu sama mantan kekasihmu yang busuk itu,” kembali ia lontarkan sindiran.
“Kamu mau kita benar-benar mati?!” teriak Anjani berang.
“Lho, bukannya itu yang kamu tunggu?” balas Tama kian menyebalkan. “Biar kamu bisa cepat ketemu sama pacar kamu yang parasite itu. Supaya kalian bisa meniti jembatan di neraka sama-sama. Terbakar api neraka, terus jadi abu,” celoteh Tama makin ngawur saja.
“Berhenti, Tama! Berhenti!”
“Oke,” dan tiba-tiba saja Tama menghentikan mobilnya tepat di tengah jalan raya. Mengerem mendadak hingga membuat kepala Anjani terantuk dashboard mobil. Tapi, Tama tak peduli. Ia malah kembali bertepuk tangan untuk merayakan kesakitan Anjani. “Nah, kita udah berhenti.”
“Sinting kamu!” raung Anjani kesetanan. “Kenapa kamu harus terus begini, Tama?!” serunya sembari memukuli lengan laki-laki itu.
“Ck, kamu ini maunya apa sih, Jan? Tadi katanya minta berhenti,” Tama begitu terampil mempermainkan emosi seseorang. Dan kali ini, giliran emosi Anjani yang ingin ia mainkan.
“Tama,” Anjani menipiskan bibirnya. Dengan napas memburu, ia coba tenangkan gemetar di tubuh. “Please, kita selesaikan di rumah. Jangan di jalan gini, Tam.”
Seringai Tama terbit tak lama kemudian. Yeah, inilah yang ia tunggu. Anjani memohon padanya. “Oke, honey. Mari kita pulang,” ledeknya penuh kemenangan.
***
Dan mereka tidak membuang-buang waktu begitu sampai di rumah.
Melanjutkan konfrontasi, bahkan sejak kaki-kaki keduanya memijak teras.
Para asisten rumah tangga yang tadi berniat menyapa demi menanyakan ingin makan malam dengan menu apa, refleks mundur teratur. Kembali menjadi yang tak terlihat. Mereka semua sudah sangat hafal dengan suasana yang dibawa kedua majikannya bila sudah berada dalam mode cek-cok begini.
“Jadi, bisa kasih tahu aku alasan sebenarnya yang ngebuat kamu tega bohongin aku?” Tama memulai dengan pertanyaan yang sengaja ia dramatisir. “Kesannya, aku dizholimi istri sendiri, Jan,” lanjutnya masih dengan mimik wajah suami-suami menderita. “Tiga tahun kamu bohongi aku, Jan. Sementara aku selalu percaya sama kamu.”
Mendengkus jijik, Anjani ingin meludah saja mendengar omong kosong itu. “Alasan pertama, karena aku benci kamu. Alasan kedua, aku tetap benci kamu. Dan kalau kamu nunggu alasan yang lainnya, jawabanku tetap sama,” jelas Anjani dengan dagu terangkat tinggi. Mereka masih berada di ambang pintu, dan telah sama-sama berkacak pinggang. Namun yang paling menyebalkan dari suaminya ini adalah, Tama terlalu mahir memprovokasi emosi seseorang dengan komentar-komentar nyelenehnya.
“Hati-hati, Jan. Setiap kalimat yang mengandung kata terlalu di dalamnya, bisa berakibat fatal. Entah itu akhirnya kamu bakal balik cinta mati sama aku. Atau justru kamu rela mati karena mencintai aku,” ledek Tama tertawa.
“Nggak sudi!” balas Anjani memasang wajah tak bersahabat.
“Oh, tenang aja, aku juga nggak bakal sudi kok nerima perasaan kamu kalau hal itu benar-benar terjadi,” kekeh Tama yang membiarkan sang istri berjalan memasuki rumah terlebih dahulu. “Ngomong-ngomong, kamu hari ini nggak ziarah ke makam mantan pacar kamu yang parasite itu?” tanyanya kembali memancing huru-hara, Tama hanya menyeringai kala Anjani berbalik dan menatapnya tajam. “Karena asisten pribadi kamu udah aku pecat. Ayo deh aku temani ke sana.”
“Kamu apa?” tanya Anjani yang merasa sangsi dengan apa yang ia dengar.
“Kutemani ke makam masyarakat biasa yang merepotkan itu.”
Well, karena Tama adalah salah satu dari Hartala. Ia jelas bukan rakyat jelata biasa. Karena sesungguhnya, ia merupakan budak bertakwa yang dipelihara kakeknya.
Astaga, lebih menyedihkan ternyata.
Sudahlah, jangan sampai Anjani mendengarnya.
“Kamu tadi bilang apa, Tam?”
“Bilang apa?” Tama berlagak linglung.
Mengentak sepatunya keras-keras, Anjani menerjang suaminya sambil melayangkan pukulan-pukulan ke tubuh pria tersebut dengan tas yang semula berada di lengannya. “Berengsek kamu, Tam!” makinya berang. “Berhenti campuri hidup aku!” raungnya marah. “Kamu nggak punya hak buat mecat Lolita! Panggil dia ke sini, Tama! Panggil!”
“Aku berhak!” balas Tama setelah berhasil menangkap kedua tangan istrinya. “Lolita tercatat sebagai salah satu karyawan dari agency bobrok itu. Dan sebagai pihak yang menanggung semua kerugian, aku berhak memecat semua karyawan kamu,” desis Tama dengan suara yang tak main-main. “Termasuk Lolita,” imbuhnya lagi. “Aku tahu, dia adalah satu-satunya orang yang tahu betul ke mana kamu pergi. Dia juga kaki dan tangan kamu selagi kamu berada di rumah. Jadi, supaya kamu nggak melakukan kesalahan yang sama lagi, udah seharusnya aku mulai menjauhkan kamu dari dia.”
“Berengsek!”
“Ya, memang,” Tama menyetujui hal itu. “Satu hal yang pasti, aku benar-benar nggak peduli sama apa yang kamu lakukan di luar sana selama tiga tahun ini. Tapi, kalau nanti mama dan papaku ke sini untuk tanya soal itu, bilang aja kamu lagi sakit keras dan mau mati. Makanya, kamu ngejalanin pengobatan selama tiga tahun tanpa sepengetahuan siapa pun. Paham ‘kan?”
“Bajingan!”
Tama hanya menyeringai, ia lepaskan kedua tangan istrinya seraya mendorong wanita itu menjauh darinya. “Heran, ya, Jan, udah tua tapi kelakuan kamu masih aja kayak Lyra,” ejek Tama dengan membandingkan sang istri dengan adik bungsunya. “Eh, tapi nggak juga sih, kamu ‘kan begonya mirip Poppy. Jatuh cinta sama parasite busuk yang jelas-jelas cuma manfaatin kalian.”
Ngomong-ngomong, Tama memiliki dua adik perempuan dan satu adik laki-laki. Dan Poppy merupakan adik perempuan Tama yang bodohnya serupa dengan Anjani.
“Galang nggak kayak gitu!” Anjani maju selangkah dan mendorong suaminya. Ia tekan telunjuknya di dada pria itu dengan tampang yang menunjukkan permusuhan hebat. “Galang adalah korban! Kalian yang bikin dia mati!” teriak Anjani kalap.
“Oh, ya?” Tama sama sekali tak gentar menerima luapan kemarahan sang istri. “Si berengsek itu kecelakaan bukan demi ngejaga narasumber tetap aman dari jangkauan Opa. Sebaliknya, dia justru ngejual narasumber itu ke Opa. Supaya apa? Ya, supaya Opa ngasih dia duitlah,” beber Tama penuh cemooh.
Anjani sontak menggeleng. Ia tidak akan percaya pada apa pun yang keluar dari bibir suaminya. Laki-laki itu pembohong. Semua keturunan Hartala adalah sampah.
Ya, benar.
Semua Hartala adalah sampah.
Termasuk juga … sosok itu.
“Kamu nggak percaya ‘kan?” Tama menatap istrinya dengan pendar penuh tantangan. “Kamu harusnya cek dulu, berapa jumlah uang di rekeningnya sebelum dia mati. Well, Opa kasih dia ratusan juta. Dan sekarang, uang itu pasti udah habis dimakan adik-adiknya.”
“Kamu bohong!”
“Terserah,” jawab Tama santai. “Siapa tadi namanya? Galang?” ia pura-pura tidak mengingat pemuda berengsek itu. “Benar-benar parasite yang udah selayaknya dihancurkan.”
Anjani tercenung lama demi mencerna kata-kata Tama barusan. “Jadi,” matanya sontak berkaca-kaca. “Menurut kamu, Galang pantas mati?” ia tercekat sendiri ketika menanyakan hal itu.
“Tentu,” balas Tama tanpa berpikir dua kali.
“Baik,” Anjani mengangguk mengerti. Tanpa kata, ia lantas berbalik meninggalkan suaminya.
Jadi, Galang layak dihancurkan?
Oke, Anjani paham cara mainnya sekarang.
Tenang saja, ia akan membalas laki-laki itu.
Ia butuh seseorang yang bisa ia hancurkan demi meremukkan hati suaminya. Tapi siapa? Para pelacur peliharaan sang suami? Ck, Tama tidak peduli pada mereka semuanya.
Jadi, siapa, ya?
Shanza ….
Deg.
Meremat pegangan tangga, Anjani mematung seketika.
Haruskah?
Memutar tubuh menghadap Tama yang masih berada di tempat yang sama, jantung Anjani berdentam kuat kala pikiran gila mulai menghasut dendamnya.
Haruskah?
Haruskah ia menghancurkannya?
“Kenapa? Mau ngajak berantem lagi?”
Dan Anjani melengos dari tatapan suaminya.
***
kemarin banyak yang komen, di mana ada nama Shanza di sebut. Padahal part cerita ini baru beberapa aja lho. masa udah pada lupa sih. syediiihh aku tuh.
yaudah lah ya, see u semuanya. tengkyu yaaa yang udah mau ngikutin aku sampe di sini juga.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
