
๐ทDIPAKSA MENIKAHI PRIA LUMPUH๐ท
Bab 8. Dia Bicara Dengan Siapa?
Hari ini adalah jadwal terapi Mas Rendi. Sebagai istri, aku harus siap menemani dan mendukungnya, meski kehadiranku sering tak dihiraukannya.
Setelah beberapa kali terapi, kondisinya semakin membaik. Jari-jari kakinya perlahan mulai bisa digerakkan. Oma adalah orang yang paling bahagia mengetahui kabar tersebut.
Menurut Oma, kondisi psikologisnya juga semakin membaik, karena sekarang sudah tak pernah berteriak-teriak dan menyakiti dirinya sendiri lagi. Padahal sekarang saja menurutku masih galak, karena sering memperlakukanku dengan kasar. Kalau seperti ini saja sudah dikatakan membaik, lalu seperti apa kondisi sebelumnya, pasti lebih menyeramkan, batinku.
Hal itu mungkin wajar karena disaat Mas Rendi sedang terpuruk, justru sang istri mengajukan gugatan cerai demi bisa menikah dengan pria lain yang lebih segalanya dan tidak cacat tentunya.
Sejak saat itu Mas Rendi berubah menjadi sosok yang kasar dan pemarah. Hanya kepada Oma saja dia mau menurut, karena Oma adalah satu-satunya pengganti orang tua setelah kedua ayah dan ibunya tiada.
Mobil yang kami tumpangi sedang berhenti di lampu merah. Mas Rendi yang duduk di bangku depan tampak tenang sembari mendengarkan musik. Sedangkan aku sendiri, terkantuk-kantuk di jok belakang karena bosan.
"Tiin ... tiiiin!"
Tiba-tiba aku terkejut karena Mas Rendi menekan klakson begitu keras. Sepertinya dia sangat emosi, itu terlihat dari rahangnya yang mengeras. Pandangannya menoleh ke samping, ke arah sepasang pria dan wanita yang sedang asyik suap-suapan di dalam mobilnya.
Siapa mereka, kenapa Mas Rendi tampak emosi? Meski penasaran, namun aku malas untuk bertanya daripada nanti aku yang menjadi sasaran kemarahannya.
Mengetahui perubahan wajah Mas Rendi, Oma juga ikut memperhatikan ke arah mobil tersebut. Mendadak raut wajah Oma juga berubah, namun sebentar kemudian Oma memalingkan wajahnya ke arah lain. Hanya terdengar desahan pelan dari mulutnya.
Mungkinkah mereka mengenal dua orang tersebut? Aku sendiri tak tahu dan tak ingin mencari tahu.
Beberapa menit kemudian, mobil yang kami tumpangi sampai di rumah. Seperti biasa, Mas Rendi langsung masuk ke dalam kamar. Sementara aku, setelah mencuci tangan dan berganti baju memilih menghampiri Zahra yang sedang bermain bersama Mbak Susi, pengasuhnya.
Bayi 11 bulan itu sudah mulai belajar jalan. Begitu melihatku berjalan ke arahnya, bocah kecil itu segera menampakkan senyum manisnya.
Aku sangat senang melihat bayi mungil itu, melihat senyum ceria dan celoteh manjanya dapat sejenak melupakan beban yang ada. Ah, andai saja Mas Rendi bisa sedikit lebih manis kepadaku, rasanya lengkap sudah kebahagiaanku.
Meski Zahra bukan anak kandungku, namun aku menyayanginya dengan tulus. Bersamanya, seakan hidupku lebih berwarna. Bayi itu juga yang membuatku masih bisa bertahan di rumah ini.
Pernah aku berniat untuk mundur saja dari pernikahan ini, namun ketika melihat bayi malang itu menangis, rasanya tak tega membuatnya semakin terluka.
Aku selalu berpikir, bagaimana kalau nanti dia mencariku? Bagaimana kalau setelah aku pergi dan Mas Rendi menikah dengan wanita lain namun tak bisa menerima Zahra? Aku tak ingin anak ini mengalami nasib yang sama sepertiku. Cukup aku saja, tidak untuk Zahra.
Selama ini, bocah mungil itu mulai bergantung kepadaku. Kalau sedang rewel, dia sering tak mau di gendong oleh siapapun. Namun begitu coba aku gendong, bocah itu langaung diam bahkan tak jarang langsung tertidur.
Hal itulah yang selalu membuatku berpikir ulang untuk meninggalkannya. Karena aku tahu bagaimana rasanya di tinggalkan oleh seorang ibu. Aku tak ingin setelah aku pergi dari rumah ini, kemudian dia mendapat ibu tiri yang jahat seperti Bu Rosma ibu tiriku.
Meski keberadaanku di rumah ini tak di harapkan oleh ayahnya, namun aku akan bertahan demi buah hatinya. Aku akan berusaha menjadi ibu sambung yang baik untuk Zahra.
Mungkin dengan mendapatkan hati Zahra, aku juga bisa melunakkan hati ayahnya. Berharap kan tak ada salahnya, apalagi dia sekarang sah menjadi suamiku.
Padahal aku sendiri juga tak tahu, mencintai Mas Rendi atau tidak. Selama ini yang aku lakukan sekedar menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Namun sepertinya tak ada salahnya kalau aku juga belajar menerimanya sebagai suamiku.
Ketika sedang asyik bermain dengan Zahra, tiba-tiba Bi Imah datang memanggilku.
"Non, di cari Aden tuh di kamarnya!"
"Baik Bik, terima kasih." Jawabku sembari menyerahkan Zahra kembali kepada Mbak Susi.
"Nda ... Nda ...."
Melihatku hendak pergi, Zahra merengek untuk ikut denganku. Bayi mungil itu berontak dari gendongan Mbak Susi dan mengulurkan tangannya ke arahku.
"Jangan Sayang, Bunda lagi repot. Zahra ikut sama Mbak aja ya,"
Berbagai cara sudah Mbak Susi lakukan namun Zahra tetap ingin ikut denganku. Tak tega melihatnya menangis, aku putuskan mengajak Zahra bersamaku.
"Biar kuajak saja Mbak, nanti kalau kira-kira aku kerepotan, akan kuantarkan balik sama Mbak." Kataku pada Mbak Susi yang dijawab dengan anggukan.
Setelah aku gendong, seperti biasa Zahra langsung diam dan berceloteh manja kepadaku.
Sesampainya di kamar, kulihat Mas Rendi sedang menonton televisi. Melihat kedatanganku, segera dimatikannya televisi itu.
"Zahra sini Sayang, ikut sama Ayah!"
Melihat kedatanganku bersama Zahra, Mas Rendi berusaha mendekatkan diri. Sayangnya Zahra justru merajuk tak mau ikut dengan Ayahnya.
Mungkin karena tak biasa dekat dengan Ayahnya, Zahra merasa asing ketika Mas Rendi ingin mencoba mengajaknya bermain.
Melihat penolakan Zahra, Mas Rendi tampak kecewa. Wajah yang semula ceria, tiba-tiba diselimuti mendung.
"Kata Bi Imah tadi, Mas manggil aku ya, ada apa?" Tanyaku memulai pembicaraan agar tak semakin canggung.
"Sepertinya Zahra sangat nyaman sama kamu. Apa yang kamu berikan padanya?" Tanya Mas Rendi seakan sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
"Maksud Mas apa ya, aku tak mengerti?" Tanyaku penasaran.
"Iya, kamu beri mantra apa sama dia, sampai-sampai Zahra bisa nurut banget sama kamu!"
"Maaf Mas, aku tak melakukan seperti apa yang Mas tuduhkan. Zahra ini masih kecil, dia tahu mana yang tulus menyayanginya dan tidak." Jawabku membela diri.
"Jadi maksudmu aku tak menyayanginya sebagai anakku!"
Aku terkejut mendengar bentakan Mas Rendi, begitupun Zahra. Bocah kecil itu sepertinya ketakutan, kedua tangannya mencengkeram erat memeluk tubuhku.
"Maaf Mas, sebaiknya jangan berteriak di depan Zahra. Kasihan dia ketakutan."
"Kamu mau nasihatin aku, hah!"
Ya ampun, ternyata susah benar ya ngomong sama Mas Rendi. Emosinya sering meledak-ledak tak terkendali.
"Maaf Mas, aku permisi keluar dulu. Kamu sudah membuat Zahra ketakutan."
Tanpa menunggu jawabannya, gegas aku keluar meninggalkan kamar Mas Rendi. Aku tak ingin Zahra semakin ketakutan sehingga membuatnya trauma dengan ayahnya sendiri.
"Iya Nyonya, akan aku pantau terus. Tapi Non Zahra sekarang semakin lengket dengan perempuan itu."
Ketika melewati depan kamar Mbak Susi yang pintunya sedikit terbuka, aku terkejut mendengar kalimatnya tadi. Sepertinya dia sedang berteleponan dengan seseorang, dan 'perempuan' yang di maksud dalam ucapannya tadi adalah aku. Namun dengan siapa dia menelepon?
Mungkinkah sedang berbicara dengan Oma, karena tadi memang Oma pamit untuk pergi sebentar. Tapi kalau memang benar dengan Oma, kenapa sepertinya dia sedang memata-matai aku?
Next???
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
