Dipaksa Menikahi Pria Lumpuh

1
0
Deskripsi

๐ŸŒทDIPAKSA MENIKAHI PRIA LUMPUH๐ŸŒท6

6. Pov.  Alisha

"Nyonya, Non Alisha sudah bangun!"

Samar-samar kudengar teriakan Bi Imah Memanggil Oma. Setelah itu kulihat Oma terengah-engah memasuki kamar seakan habis berlari jauh.

"Kamu sudah sadar Sayang?" Tanya Oma sembari mengelus kepalaku.

"Iya Oma, memangnya aku kenapa?" Tanyaku bingung dengan apa yang terjadi.

"Kamu baru saja pingsan, tapi kata dokter tak ada masalah serius di kepalamu, jadi kamu tak perlu khawatir." Jawab Oma lagi.

Aku baru ingat kalau tadi melihat tangan Mas Rendi berdarah, hal itulah yang membuatku pingsan. Sejak kecil aku memang takut darah, trauma lebih tepatnya.

Setiap melihat darah, seakan mengingatkanku tentang kematian ibu. Hari itu, seperti biasa ibu menjemputku di SD tempatku sekolah. Kebetulan kelasku pulang lebih awal sehingga ibu telat menjemput. Melihatku sudah menunggu di seberang jalan, ibu berniat untuk menghampiriku.

Mungkin karena terburu-buru, ibu tak melihat kalau ada motor yang sedang melaju kencang. Ibu yang terkejut tak sempat menghindar hingga kecelakaan itu tak terelakkan.

Ibu terlempar beberapa meter sebelum akhirnya jatuh bersimbah darah. Melihat kejadian itu, aku sangat shock hingga membuatku trauma jika melihat darah.

Kematian ibu meninggalkan duka yang mendalam untukku dan juga ayah. Hariku terasa hampa, apalagi ayah tak bisa selalu menemaniku di rumah karena harus bekerja.

Aku juga tak memiliki banyak teman, hanya ada seorang anak laki-laki, Fian namanya yang selalu setia menemaniku.

Fian adalah anak yang pintar dan ceria. Dia baru beberapa bulan ini pindah ke komplek kami. Meski baru kenal, namun kami sudah sangat akrab. Karena itu, Ayah sering menitipkanku pada orang tuanya setiap kali harus bekerja ke luar kota.

Setelah kematian ibu, berhari-hari aku tak berani ke sekolah. Setiap melihat tempat kejadian itu, aku pasti akan berteriak histeris, karena mengingat di tempat itulah ibuku meninggal dunia.

Akibat tak pernah masuk sekolah, aku tak bisa mengikuti pelajaran hingga pernah tak naik kelas.

Tak ingin melihatku terus terpuruk, ayah berinisiatif untuk memindahkanku ke sekolah lain. Ayah juga menjual rumah kami yang lama, kemudian membeli lagi rumah baru yang lebih dekat dengan sekolahku.

Ketika kami pindah, Fian terlihat sangat kehilangan. Dia menangis sedih melihat ke arah mobil yang kami tumpangi. Sebenarnya akupun sama, namun apa yang bisa aku lakukan, apalagi kami masih kecil saat itu. Aku hanya bisa pasrah demi masa depanku.

Di tempat baru itu, aku mulai bisa mengikuti pelajaran. Yang terpenting tak selalu dihantui bayang-bayang kematian ibu.

Aku mulai belajar mandiri, apalagi waktu itu sudah kelas 6 SD, sudah bisa kalau hanya menggoreng telor atau membuat mi instant.

Lambat laun, temanku semakin banyak. Aku juga mulai bangkit dan melupakan kematian ibu. Meski rasa rinduku pada ibu tetap menggebu, namun dengan memandang foto dan mengirim do'a untuknya, rinduku bisa sedikit terobati.

Kehidupanku dan ayah mulai normal meski ada yang kurang karena tak ada lagi kasih sayang dari ibu. Namun kami mulai bisa menerima bahwa jodoh, hidup dan mati adalah takdir yang sudah Allah tetapkan.

Setelah sekian lama mengurusku seorang diri, kupikir Ayah tak akan menikah lagi. Rupanya apa yang aku pikirkan tak seperti yang ayah inginkan, hingga suatu hari ayah mengajakku bertemu dengan Bu Rosma, calon ibu tiriku dan juga Rista anaknya.

Aku tentu saja menolak keinginan ayah. Menurutku dengan menikah lagi, artinya ayah sudah mengkhianati ibu. Aku tak ingin ibu bersedih, tak ada seorangpun yang boleh menggantikan posisinya di hati ayah maupun aku.

Mengetahui penolakanku, ayah hanya pasrah tanpa perlawanan. Kupikir awalnya beliau akan memarahiku, namun ternyata dugaanku salah. Apalagi sepertinya ayah sangat menginginkan perempuan itu.

"Ayah tidak marah kalau tak jadi menikah?"
Tanyaku saat itu.

"Tidak Sayang, tujuan Ayah menikah adalah untuk membahagiakanmu. Ayah ingin ada orang yang bisa mengurusmu, karena tak setiap saat aku bisa menemanimu. Tapi kalau kamu sendiri tidak bahagia dengan pernikahan Ayah, buat apa pernikahan itu dilaksanakan?"

Meski ayah berkata demikian, namun terlihat ada kekecewaan pada sorot matanya. Aku sudah sangat lama mengenal ayah, sejak ibu tiada hanya ayah tempatku berkeluh kesah, sehingga aku tahu kalau ayah tengah membohongiku.

Setelah kejadian itu, ayah terlihat lebih sering melamun. Aku jadi merasa bersalah karena menjadi penghalang niat ayah untuk menikah lagi.

Dengan berat hati, akhirnya aku menyetujui keinginan ayah. Seketika raut bahagia terpancar jelas dari wajahnya. Rupanya janda beranak satu itu benar-benar telah memikat hati ayahku.

Setelah pernikahan dilaksanakan, Bu Rosma dan Rista mulai tinggal bersama kami. Rista juga sekolah di sekolah yang sama denganku. Usia kami hanya terpaut dua tahun, karena itu ayah berharap kami bisa menjadi teman.

Merasa sudah ada yang mengurusku, ayah dengan leluasa bisa bekerja ke luar kota hingga berminggu-minggu. Ayahku bekerja sebagai mandor bangunan di sebuah perusahaan terkenal di kota kami.

Ketika ada di depan ayah, Bu Rosma dan anaknya akan bersikap baik kepadaku. Namun saat ayah pergi, mereka kerap menyiksaku dengan banyaknya pekerjaan yang harus aku selesaikan sendiri.

Bu Rosma tak peduli meski aku sudah mengeluh capek, yang dia inginkan hanyalah semua pekerjaan beres tanpa campur tangan mereka. Dengan kehadiran mereka berdua di rumahku, otomatis pekerjaanku bertambah banyak.


Dari mulai bangun tidur hingga mau tidur lagi, semua pekerjaan menjadi tanggung jawabku. Aku bisa istirahat hanya ketika berada di sekolah saja, karena begitu pulang ke rumah, setumpuk pekerjaan sudah menanti. Namun ketika ayah ada di rumah, aku diperlakukan layaknya ratu. Aku tinggal duduk, semua pekerjaan mereka yang melaksanakan.

Mereka begitu licik menutupi kebusukannya, hingga kalau aku mengadu pada ayahpun, maka ayah tak mungkin percaya.

Waktu itu aku sudah lulus SMA dan rencanaku ingin melanjutkan kuliah seperti yang lain. Namun keinginanku ditentang keras oleh ibu tiriku. Katanya untuk apa kuliah, toh akhirnya akan menikah juga. Menurutnya dengan kuliah, aku hanya menghambur-hamburkan uang ayahku saja.

Aku tak terima dengan ucapannya itu, dan kuadukan segala keluh kesahku pada ayah. Lagi-lagi ayah tak mendengarkanku, menurutnya apa yang Bu Rosma katakan benar adanya. Padahal dulu sewaktu ibu masih ada, ayah yang selalu mendorong semangat belajarku agar kelak aku bisa menjadi orang yang sukses.

Mendengar penolakan ayah, hatiku bertambah sakit. Untunglah waktu itu ada Erik, pria tampan yang bersedia menikah denganku dalam waktu dekat. Dia adalah kakak kelasku yang sudah bekerja dengan gaji yang lumayan menurutku.

Setelah kupikir-pikir, memang sebaiknya aku menikah saja, itung-itung agar bisa lepas dari jeratan ibu tiriku. Sayangnya, harapanku tak seindah kenyataannya.Impian indah yang kubangun, runtuh seketika setelah Erik membatalkan pernikahan sesaat sebelum ijab kabul dilaksanakan.

Hidupku kembali hancur, apalagi waktu itu ayah sempat jatuh sakit dan membutuhkan banyak biaya. Entah bagaimana caranya, Oma menjadi orang dermawan yang bersedia menanggung pengobatan ayah, dengan aku sebagai jaminannya dan harus menikah dengan cucunya yang lumpuh.

Kadang aku merasa ujian selalu datang menghampiriku, namun aku tetap yakin di balik semua ini ada hikmah yang tersembunyi.


"Kok malah ngelamun, kamu kenapa Dayang?" Tepukan Oma di lenganku membuyarkan semua lamunanku.

"I ... iya maaf Oma." Jawabku kikuk.

Sementara di ujung kamar, tampak Mas Rendi memandangku dengan tatapan yang entah, dari atas kursi rodanya.

Next???


Terima kasih buat yang udah bersedia baca cerbung receh saya. Selamat membaca. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Dipaksa Menikahi Pria Lumpuh
1
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan