
Sebuah perjalanan seseorang menyelesaikan sebuah masalah yang membuat ia terpuruk selama 3 bulan terakhir. Ramadhan yang menyelesaikannya. Doa pertama yang ia panjatkan kepada Tuhan di bulan Ramadhan merubah segala sudut pandangnya tentang dunia. Menghentikan sayatan yang tergores di hati dan tangan kirinya. Selamat membaca!
April ;
Akhir dari Segala Kesedihan
1 April 2022 merupakan hari terakhir aku menyayat diriku sendiri.
Jumat, 1 April 2022, sepulang sekolah aku dan beberapa anggota keluargaku menyempatkan diri membeli perlengkapan untuk memeriahkan Ramadhan tahun ini. Dalam keadaanku yang berada pada ujung tanduk, mulai ku merasa bahwa ada sesuatu yang harus kusampaikan kepada salah satu anggota keluargaku. Aku tak kuat menahan ini semua. Aku seperti terikat dalam sebuah ikatan tali, sesak, tak dapat menghembuskan napas layaknya orang lain. Adanya keinginan untuk membeli benda tajam baru sebagai koleksi untuk menyayat tangan kiriku. Aku menawarkan benda itu pada diriku sendiri. Terlihat bodoh bagiku sekarang, namun bagiku dahulu merupakan suatu barang yang harus ada di sampingku untuk hal-hal yang harus dilampiaskan.
Tak sadar, selama kurang lebih 3 bulan aku telah menghabiskan 4 buah benda tajam, beratus-ratus tisu dan beribu-ribu tangisan di malam hari maupun di siang hari. Untuk menutupi tangisan pada siang hari, biasanya aku melampiaskannya di sebuah kamar kecil rumahku untuk mengeluarkan kesesakan-kesesakan di dada. Terkadang aku juga meluangkan waktu untuk menyendiri di teras. Teras rumah yang penuh kedamaian, hanya seorang diri. Tak sengaja tangisan itu membasahi pipiku, napasku mulai terbata-bata sebab banyaknya air mata yang aku keluarkan.
Beberapa jam pun terlewat begitu saja berdampingan dengan sesaknya di dada, “Aku harus berkata, jika tidak, mau sampai kapan? Besok bulan Ramadhan, kan?”.
Sore hari, sesampainya dirumah, aku menyayat tangan kiriku yang masih terdapat bekas yang lalu. Puluhan sayatan ku lampiaskan pada tanganku yang tak bersalah. Gumpalan darah berkucur dari serat-serat dagingku. Dari sisi manapun ku sayat dengan semidikian rupa. Tak terdapat celah dari berbagai sisi tanganku.
“Aku tak berguna”,
“Siapa yang akan peduli?”,
“Harus banget aku mati terlebih dahulu baru kalian semua peduli?”,
“Lingkungan manakah yang dapat menerimaku seutuhnya dengan kondisi tangan yang penuh darah ini?”,
“Kapan ini semua akan berkesudahan?”,
“Hal apakah yang dapat menghentikan ini semua?”, ucapku dalam hati.
Jauh disana terdapat seseorang yang mendoakanku lewat pesan di WhatsApp, “Semoga bulan April jauh lebih baik daripada bulan Maret”.
Aku hanya meremehkan kata-kata itu. Aku berkata dalam hati “April? Jauh lebih baik?”.
Kalimat itu hanya memperburukku. Berprasangka buruk kepada Tuhan, diri sendiri, dan orang lain. Bagiku dahulu, orang-orang tak peduli atas yang kurasakan, enggan menolong, tak berguna, dan hanyalah sebuah pajangan di dinding yang penuh dengan debu, tak lebih dari itu.
Bodohnya, disaat keadaanku yang mulai lumpuh, Tuhan bukanlah sebuah prioritas. Berprasangka buruk, mengeluh atas takdir yang telah ditentukan pada saat itu. Dan aku hanya membutuhkan pelukan manusia yang tak ada artinya. Yang tak ada artinya di atas pelukan Tuhan. Yang tak sehangat pelukan Tuhan. Yang tak seleluasa dan tak senyaman pelukan Tuhan. Bodoh. Mengenaskan. Pelukan manusia tak jauh lebih buruk daripada liur anjing.
Di saat keadaan mulai sepi, tak terdapat seorang pun yang peduli denganku, aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk memikirkan kedepannya. Waktu yang tepat untuk menyembuhkan lebam di dada. Waktu yang tepat untuk jauh lebih baik di bulan kesayangan sejuta umat Islam.
Kala itu 1 Ramadhan 1443 H jatuh pada tanggal 2 April 2022. Ada satu doa yang kupanjatkan pertama kali di bulan Ramadhan, “Tuhan, izinkan aku untuk berkata kepada mereka bahwa aku butuh pertolongan” dan “Redakan segala emosi yang selalu memenuhi kepalaku”.
Doa-doa itu terkabul setelah 3 hari berlalu. Dengan menerima saran dari beberapa orang, aku memberanikan diri berkata kepada mereka. Dengan menunjukkan surat pernyataan psikolog atas keadaanku, aku diterima seutuhnya. Awal Ramadhan disambut dengan pembersihan tangan kiriku yang sudah sangat kotor. Sayatan-sayatan itu perlahan mulai mengering. Hanya terdapat sedikit bekasnya hingga saat ini. Keesokannya, setelah berbicara mengenai sayatan dan penyebabnya, aku disuguhi langit yang sangat cantik yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku menganggap ini sebagai hadiah dari Tuhan atas keberanianku dalam berkata. Berkata bahwa aku butuh, aku harus menyelesaikan ini semua. Tuhan hadiahkan langit yang sangat cantik kala itu.
Pada bulan April khususnya bulan Ramadhan, aku mulai diajarkan kembali sebuah ajaran yang pernah kupelajari sejak kelas 3 Sekolah Dasar lalu. Diingatkanlah aku atas segala yang terjadi. Bahwa ini semua merupakan sebuah skenario yang Tuhan rancang sedemikian rupa dengan segala kesempurnaan didalamnya. Kesempurnaan yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Kesempurnaan yang harus diakui seluruh manusia di dunia.
Di bulan Ramadhan pula, setiap sehabis sholat Subuh, aku selalu menyempatkan diri untuk melihat milikNya yang selalu cantik di setiap bulannya. Benar, ia langit. Langit di pagi hari pada bulan Ramadhan selalu cantik. Cerah, pernak-perniknya selalu nampak jelas pada bulan kesayangan umat Islam sedunia. Aku selalu mempunyai waktu untuk menikmatinya sendiri. Tenang, damai, berbanding terbalik dengan aku sebelumnya. Mengayuh sepeda beberapa menit untuk mengunjungi sawah dengan lahan terbuka. Kulihat dari arah timur, matahari menyambut dengan semangat, mencipta gradasi langit yang tak dapat dijiplak oleh siapapun.
Malam hari pada bulan Ramadhan, ku sempatkan diri untuk bercerita kepadaNya. Dan seperti biasa, langit menjadi perantaranya. Langit dan pernak-perniknya melajukan air mataku keluar dari kantong mata yang mulai sembab. Isi kepalaku pada saat itu hanyalah sebuah ajaran yang baru kupelajari lagi. Membuat hati terenyuh atas keagunganNya. Terlalu banyak air mata yang ku keluarkan untuk sebuah ajaran mengenal Tuhan yang disampaikan oleh idola lelakiku. Mungkin ini merupakan suatu alasan mengapa aku suka sekali mengabadikan langit di setiap bulannya.
Ramadhan usai pada tanggal 1 Mei 2022. Perayaan kemenangan umat Islam sedunia kurayakan dengan sepenuh hati. Berharap Ramadhan tak kunjung usai. Namun apalah daya, waktu akan terus bergulir, menyisakan kenangan pada masa lampau. Banyak pelajaran yang kudapat pada Ramadhan tahun ini. Bulan yang mengembalikan pada ajaran lamaku. Bulan yang menghentikan sayatan pada tangan kiriku. Bulan yang menghentikan kucuruan darah pada serat-serat dagingku. Bulan yang memperkenalkanku keajaiban langit. Hingga bulan yang mengajarkan bahwa pelukan terhangat dan cerita yang paling leluasa adalah kepada Tuhan, bukan kepada makhluk Tuhan.
Berteman dengan sedih disandingi lagu-lagu dari Banda Neira, Kunto Aji, dan Nadin Amizah,
24 Oktober 2022
nayfaa
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰