LOVE SHOT Bab 1-3

6
0
Deskripsi

Luka jangan disimpan karena akan memburuk dan membusuk. Terimalah, dan biarkan semesta membasuhnya.
------------------

Hati Rika Arselia sudah dingin setelah cintanya kandas dan ayahnya selingkuh. Ia sangat yakin hidupnya akan lebih bahagia bila tanpa kehadiran polutan alam semesta, yaitu makhluk bernama laki-laki.

Namun, semesta juga yang mempertemukan Rika dengan dua bujangan paling valuable, Janu dan Damai.

Harjanu Hadinata adalah bos Rika yang seksi dan terang-terangan menyatakan perasaan suka,...

1

Jomlo Lantai 17

Rika setengah berlari untuk mencapai lift yang akan mengantarnya ke Lantai 17 Bagoes Tower di mana ia harus menghadiri rapat siang ini. Setelah mengecek pembangunan sebuah gedung bertingkat, ia dikejar waktu untuk mempresentasikan desain interior rumah seorang klien.

Pintu lift sudah bergerak menutup saat ia sampai. Dengan gesit dipencetnya tombol lift beberapa kali. Beruntung rekan kerjanya, Heru, sudah lebih dulu berada di dalam dan melihat kedatangannya. Dengan sigap, pemuda berusia menjelang kepala tiga itu menekan tombol pembuka sehingga pintu kembali terbuka.

“Makasih,” ucap Rika sembari menenangkan napas yang memburu akibat berlarian dari area dropping zone di depan gedung. Wajahnya kemerahan setelah terbakar sinar matahari dan keringat membulir di keningnya.

“Dari mana, Rik?” tanya Heru.

“Dari Bintaro,” jawab Rika singkat. Ia tidak sempat memandang Heru karena sibuk mengelap keringat menggunakan tisu.

“Oh, proyek gedung kampus itu, ya?”

Rika mengangguk. Sekarang ia baru bisa mengamati Heru. Ternyata lelaki itu juga terlihat lusuh. “Kamu dari proyek hotel? Sendiri?”

“Iya, sendiri. Novan ditugaskan ke Kaltim. Tadi pengecekan terakhir sebelum serah terima.”

“Sudah beres?”

“Hadeh, CEO-nya bawel warbyasah, minta tambahan ini itu yang nggak ada di kontrak. Katanya buat bonus.”

“Lalu?”

“Aku harus lapor bos dulu lah.”

Mereka saling pandang, lalu tersenyum bersama karena sudah tahu perangai atasan mereka yang senang mencari muka di hadapan owner.

“Ya sudah, santai saja. Bukan uang kita juga,” hibur Rika.

“Hehe, iya. Padahal owner Grant Sadhana sendiri baik banget, loh. Kamu tahu, kan, Bu Herlina, pemilik rumah yang sedang kita kerjakan?"

Mata Rika melebar. "Bu Herlina kita itu owner Grant Sadhana?"

"Aku juga baru tahu tadi," sahut Heru. "Pantas saja kontraktor sekelas Bagoes Contractor masih mau menerima proyek rumahan.”

“Harus mau lah! Pak Bagus pasti nggak akan mengambil risiko Bu Herlina membatalkan kontrak lima hotel dan empat resor yang akan datang.”

Mereka terdiam sejenak saat lift bergerak naik dengan cepat. Beberapa detik kemudian, mereka telah menapakkan kaki di Lantai 17. Keduanya disambut suasana kantor yang tak pernah sepi dari kesibukan.

Ruang rapat yang mereka tuju terletak di ujung lorong. Ukurannya hanya memuat sepuluh orang, namun didesain cantik dengan jendela lebar yang menampilkan pemandangan Kota Jakarta dari ketinggian. Seperti biasa, gedung-gedung diselimuti kabut tipis yang kemungkinan besar berisi materi polutan. Ada sebuah meja oval besar berwarna keperakan di tengah ruang. Di atasnya, langit-langit diberi penerangan lampu keliling yang posisinya sejajar dengan lampu di bagian bawah jendela sehingga membuahkan kesan simpel, terang, dan futuristik.

“Rika, Heru! Akhirnya datang juga kalian!” sambut seorang gadis cantik yang tinggi semampai dan berambut panjang kecokelatan. Namanya Kimmy, desainer eksterior yang berbakat. Ia sedang menyambungkan proyektor dengan laptopnya.

“Pak Janu minta kita untuk siap setengah jam sebelum acara,” lanjut Kimmy.

“Setengah jam? Buat apa?” Rika duduk di sebelah Kimmy, lalu menyerahkan flashdisk berisi materi miliknya kepada gadis itu.

“Wah, makin lama makin lebay ya si Bos,” komentar Heru. Seringai penuh artinya dipertegas dengan kedipan. “Aku tahu maksudnya. Apa lagi kalau bukan kepingin melihat cewek-cewek cakep?"

Kimmy kontan tersenyum malu-malu, sedangkan Rika pura-pura tidak mendengar. Bukan rahasia lagi bila atasan lajang berusia 38 tahun itu menjadi topik gosip di kantor mereka.

Pintu ruang pertemuan terbuka. Wajah Janu muncul, menyeruak dengan tiba-tiba. Mata lelaki itu langsung bergulir ke segenap orang yang hadir, kemudian berhenti tepat di wajah Rika. Begitu menemukan orang yang ia cari, seringainya semakin lebar, hingga sepasang mata sipitnya membentuk dua garis lengkung. Hanya sedetik, kemudian ia masuk dengan gaya berwibawa seperti biasa.

Orang-orang kantor kerap memuji sosok Janu. Kata mereka, lelaki yang memegang jabatan project manager itu adalah jomlo paling valueable di Lantai 17.

Rika sama sekali tidak setuju. Lihat saja, rambut berponi yang dipomade klimis tampak seperti playboy berpengalaman. Tulang pipi tegas, hidung runcing, dan bibir tipisnya semakin menegaskan kesan licik. Belum lagi cara tersenyum dan menatapnya mengingatkan Rika pada raja tega yang egois.

Rika mendadak merasa akan mendapat masalah. Benar saja, lelaki itu mendatangi tempat duduknya dan meminta Kimmy bergeser ke kursi sebelah. Alhasil, Janu kini diapit oleh kedua wanita itu, dengan Rika di sisi kiri dan Kimmy di sisi kanan.

“Waah, Bapak mirip raja yang diapit dua permaisuri,” celetuk Heru.

Janu hanya menoleh sebentar ke arah Rika dan Kimmy, kemudian berdeham kecil. "Permaisuri apanya? Ini mah dayang-dayang.”

Kontan saja, Kimmy memekik protes sambil memukul bahu Janu. Sedangkan Rika hanya bisa melengos karena jengah.

“Tumben Bapak ikut presentasi proyek kelas teri,” ucap Heru. “Biasanya proyek hunian begini Bapak lepas ke kami.”

“Proyeknya teri, tapi kliennya kakap,” jawab Janu. “Mana boleh saya tidak hadir?”

“Oh, saya tahu itu,” jawab Heru sambil mengangguk-angguk.

Janu menggerakkan jari telunjuk beberapa kali, menuding hidung Heru. “Paham, kan? Keluarganya Bu Herlina punya jaringan hotel dan rumah sakit berstandar internasional di hampir semua provinsi.”

“Paham, Pak!”

“Biarpun proyek teri, kita harus mengerjakannya dengan sebaik mungkin. Jangan sampai menjadi duri bagi mega proyeknya Pak Bagus.”

“Saya jamin kami akan memberikan yang terbaik, Pak!” ucap Kimmy segera.

Hih, dasar penjilat! Rika sudah paham, bagaimana perilaku Kimmy selama ini. Entah apa yang terjadi bila mereka tahu bahwa Bagus Harsono, pemilik perusahaan ini adalah adik kandung ibunya.

Alis Janu terangkat-angkat dan tatapannya mendadak semakin menyengat, terutama saat menoleh ke arah Rika. “Jangan mengecewakan saya ya, Rik!”

“Semua sudah beres, Pak Bos. Bapak mau melihat materi yang kami siapkan?” Kimmy langsung menyerobot. Tanpa menunggu jawaban Janu, gadis berusia 26 tahun itu segera mengeklik presentasi di layar laptop dan mengoceh tanpa diminta.

Memang benar, materi presentasi itu disiapkan oleh mereka bertiga. Namun, bagian Kimmy adalah lanskap halaman yang akan dipresentasikan belakangan. Seharusnya Rika yang memulai paparan hari ini.

“Hmm, konsepnya American Style, ya,” komentar Janu sambil mengamati gambar-gambar desain interior di layar.

“Benar, Pak, sesuai permintaan Bu Herlina sendiri,” sahut Kimmy.

“Sebentar, kenapa ukuran meja makannya sebesar itu? Apa tidak kebesaran?”

“Saya juga merasa agak aneh, Pak,” sahut Kimmy. “Mungkin Rika bisa menjelaskan?” Kepala Kimmy berpaling melampaui Janu untuk melihat wajah Rika. Mata bulatnya—yang dinaungi bulu mata palsu hasil sulaman yang meliuk ke atas dengan congkak—bergulir ke Rika.

Nah, kan? Sudah kuduga. Pasti melempar kotoran ke aku! gerutu Rika dalam hati.

Janu seperti mendapat angin, memutar tubuhnya ke kiri hingga menghadap Rika. “Kamu suka yang besar, ya?”

Heru kontan berdeham keras, lalu terkikik. “Dia masih polos, Pak, jangan diracuni.”

“Polos apanya? Berapa umurmu, Rik?” tanya Janu tanpa melepas tatapan pada wajah manis yang kini memberengut.

“Dua delapan.” Lagi-lagi, Kimmy menjawab untuk Rika.

“Aha! Usia matang. Itu wajah biasa aja kali, tidak perlu sampai merah padam begitu. Apa yang salah dengan kata besar? Atau kamu lebih tertarik dengan kata panjang?”

Rika hanya berdecak sambil melengos ke arah jendela. Dalam kondisi seperti ini, pemandangan langit Jakarta yang dihiasi awan kelabu cukup membantu meredam hawa panas di dalam dada.

“Ayolah, Rik. Jangan kelamaan jomlo. Cari cowok, dong. Tidak serius juga boleh. Buat senang-senang saja.” Janu kembali mengukir seringai di bibir tipisnya.

“Bapak sendiri jomlo!” bantah Rika setelah tidak tahan terus bungkam.

“Saya jomlo happy. Nah, kamu jomlo kesepian.”

Kali ini Rika memutar tubuh ke kanan sehingga berhadapan langsung dengan Janu. “Kita masih membicarakan desain kan, Pak?”

“Aha! Ini yang saya suka dari kamu. Semangat dan dedikasi pada pekerjaan yang tidak ada habisnya.”

“Pak!” protes Rika.

“Hmm, semakin marah kok semakin menggemaskan? Kamu punya pesona yang lain dari yang lain.”

Rika kembali melengos. Sebelum itu, ia sempat melihat wajah Kimmy berubah keruh. Ada senyum dipaksakan di bibirnya yang tebal dan membulat. Gadis itu memang tidak pernah memandangnya dengan benar.

“Kapan-kapan kita ke kafe, yuk. Blue Lounge-nya Hotel Mandalika di depan itu terkenal bagus live music-nya.”

“Saya boleh ikut, Pak?” tanya Kimmy.

“Boleh!” Janu menoleh ke Rika. “Kamu dilarang menolak lagi. Hidup jangan dijalani terlalu serius, nanti cepat mati. Sesekali bersenang-senang dengan teman itu bagus.”

“Maaf, Pak. Saya lebih senang menyendiri.”

“Saya penasaran apa kamu sama sekali tidak pernah punya pacar? Saya memang tidak ingin menikah, tapi bukan berarti saya tidak tertarik untuk punya kekasih.”

“Ehm! Pak Janu mah banyak pengalaman,” komentar Heru.

Janu melempar tatapan petir pada pemuda itu. “Apa maksudnya pengalaman? Saya bukan playboy. Saya ini sangat pemilih,” tegurnya. Heru kontan terlihat salah tingkah.

“Rika, saya ingin menasehati kamu. Tidak baik perempuan itu terlalu mandiri."

“Bapak sudah puas dengan materi kami?” Rika berusaha mengembalikan fokus ke pekerjaan.

“Saya percaya dengan kemampuanmu, Rika.” Nada suara Janu yang mendadak mesra membuat bulu kuduk Rika berdiri. “Silakan lanjutkan presentasi.”

Napas Rika terembus, lega. Ternyata itu hanya berlangsung beberapa detik karena Janu tak mau memindahkan tatapan intensnya dari raut bulat telur sang anak buah. Langsung saja, gadis itu merasa hawa ruangan memanas, begitu pula wajah dan telinganya.

Janu tersenyum, lalu dengan perlahan mendekatkan mulut ke telinga Rika. Suaranya lirih dan terdengar lembut. “Sebelum kamu lanjutkan, saya mau bilang kalau saya kepingin banget sesekali keluar berdua dengan kamu.”

2

Jomlo Pesaing

Sorot mata Janu yang bagai pejantan etawa super[1] tengah birahi mendadak meredup saat ponselnya berdering. Lelaki itu berdiri dan berjalan keluar ruangan sembari menjawab panggilan. Untuk sejenak, ganjalan dalam dada Rika sebagian terangkat. Suara lantang pria itu di balik pintu yang setengah terbuka membuat semua orang di dalam ruangan dapat mendengar pembicaraan mereka. Rika tak habis pikir buat apa pula Janu keluar bila tidak berusaha meredam kata-katanya.

“Oh, Bu Herlina tidak bisa hadir?” ucap Janu. “Ah, tidak masalah. Kami akan jadwalkan ulang.”

….

“Tidak, tidak. Saya siap kapan saja buat mendampingi presentasi. Saya tidak akan mengecewakan Bapak!”

Mendengar nada suara Janu, Rika yakin yang menelepon itu Big Bos Bagus Harsono. Diam-diam ia mencibir. Dasar lebay!

Tak lama kemudian, Janu kembali ke ruangan dengan wajah kembali sok berwibawa. “Pak Bagus barusan telepon. Bu Herlina tidak bisa datang hari ini.”

“Yah, padahal sudah begadang buat mempersiapkan presentasi ini,” ujar Kimmy.

Begadang? Materi kamu kan dikerjakan Samsudin, gerutu Rika dalam hati.

Samsudin adalah pemuda periang berusia dua puluh tahun. Ia lulusan SMK yang sehari-hari membantu mereka mengerjakan segala hal. Istilahnya pembantu umum. Bukan hanya membuat presentasi, Samsudin juga piawai memasak mi dan nasi goreng untuk menemani mereka lembur. Andai saja ia menggenggam ijazah arsitek, barangkali nasibnya akan berbeda.

Janu kembali duduk di antara Rika dan Kimmy. “Jangan kecewa. Presentasi akan tetap jalan karena putra Bu Herlina akan menggantikan beliau.”

Mata Kimmy kontan melebar. “O, si pemilik rumah! Dokter, kan? Ganteng nggak, Pak? Kalau lihat Bu Herlina secantik itu, seharusnya anaknya juga cakep.

“Kimmy, ingat kita sedang kerja!” tegur Janu.

Kontan saja Heru dan Rika saling melempar pandangan dan mengembuskan napas bersamaan. Janu memang serba bisa. Bisa memelintir situasi maksudnya. Lain di mulut lain pula yang dikerjakan.

“Bapak nggak adil. Bapak sendiri sedari tadi menggoda cewek. Kenapa saya nggak boleh melirik cowok?” Kimmy protes, dengan gaya manja-manja judes.

“Karena kaum wanita itu harus menjaga akhlak di depan umum,” sahut Janu dengan senyum kemenangan seorang lelaki.

“Dasar patriark!” gumam Rika sambil melengos ke arah lain, mengira suaranya terlalu lirih untuk didengar Janu.

Ternyata perkiraannya meleset.

“Apa kamu bilang?” Janu menoleh dan mencondongkan wajah ke arah Rika. Tentu saja, saat gadis itu menoleh wajah mereka menjadi begitu dekat, sampai-sampai Rika dapat merasakan embusan napas lelaki itu di kulitnya.

“Mmm ….” Rika mendadak kehilangan kata-kata. Sementara Kimmy yang melihat adegan itu langsung merasakan tikaman bambu runcing di jantungnya.

Beruntung situasi canggung itu segera berakhir karena suara ketukan pintu. Detik berikutnya, Samsudin muncul dan mempersilakan seseorang untuk masuk. Lelaki yang datang bersama Samsudin itu jangkung, tegap, dan terkesan “wah” walau hanya mengenakan kemeja putih bergaris abu-abu dan celana kain abu-abu tua tanpa ikat pinggang. Sepasang sepatu pantofel bermodel moccasin menjadi alas kaki. Tidak ada apa pun di kedua tangannya. Bahkan jam tangan yang biasa digemari para pria pun tidak. Barangkali raut wajah yang terkesan dingin itulah yang membentuk aura kewibawaan.

Melihat siapa yang datang, Janu dengan sigap bangkit dan mendatanginya. “Oh, Dokter Damai? Silakan, Dok!”

Orang itu tersenyum tipis. “Terima kasih.”

“Wah, Pak Janu dapat saingan berat,” bisik Heru kepada Rika.

Gadis yang dibisiki kontan memelotot. “Apaan, sih?”

Heru meringis lebar sambil memberi isyarat dengan dagu ke arah Kimmy. Rika ikut menoleh. Ternyata Kimmy seperti orang yang terkena hipnotis, duduk tegak dengan tatapan melekat erat pada tamu yang tengah berjalan mendekat ke meja mereka.

Lelaki yang menyita perhatian seisi ruang itu duduk di ujung meja yang menghadap ke layar. Janu dengan sopan menempatkan diri di sisinya.

“Perjalanannya lancar, Dok?” tanya Janu untuk mencairkan suasana.

“Sedikit macet di Slipi, tapi selebihnya lancar. Oh, ya. Karena kita tidak di rumah sakit, mohon jangan memanggil Dok. Panggil nama saja. Saya kan lebih muda dari Bapak.” Damai tersenyum seramah mungkin, sembari mencuri pandang ke semua yang hadir. Ada seseorang yang wajib ia amati secara saksama di sini, sayangnya, dengan berat hati.

Janu mengangguk setuju. “Wah, kalau begitu, jangan panggil saya Bapak. Usia kita mungkin tidak selisih jauh. Kalau tidak keberatan, panggil saya Abang.”

“Boleh banget, Bang,” sahut Damai. Ia sudah menemukan gadis yang sesuai dengan foto yang ditunjukkan sang ibu. Senyum tipis kembali terulas. Ternyata lebih jelek dari fotonya.

Janu kemudian meminta anak buahnya memperkenalkan diri satu per satu.

“Saya Kimmy,” ucap Kimmy dengan gaya manjanya. “Saya yang merancang taman dan kolam renangnya.”

Damai tersenyum dan mengangguk santun. “Hai, Kimmy.”

Mendengar suara bas itu, wajah Kimmy kontan merona.

“Saya Heru, bagian MEP.”

“Saya Rika, desainer interior,” ucap Rika dengan cepat. Sedari tadi ia mendapat firasat buruk. Entah mengapa, ia merasa Damai tidak menyukai kehadirannya. Tatapannya seperti merendahkan. Apakah ia terlalu sensitif dan paranoid?

Janu menggerakkan tangan ke anak buahnya. “Kalian boleh lebih santai kali ini. Anggap ketemu teman.”

“Asyiap, Bos!” sahut Kimmy dan Heru bersamaan.

“Tiga orang ini tim andalan saya. Mereka yang bertanggung jawab langsung pada proyek ini,” imbuh Janu. “Kita langsung mulai? Tim kami sudah menyiapkan yang terbaik.”

Damai mengangguk kecil. “Silakan. Sebenarnya saya kurang memahami arsitektur. Ibu saya yang mendesak untuk membangun rumah ini. Saya sebenarnya lebih senang tinggal di apartemen yang praktis. Jadi, semua urusan pembangunan saya serahkan kepada ibu saya.”

“Oh, begitu. Tapi investasi rumah itu tidak ada ruginya. Bu Herlina sudah tepat mempersiapkan rumah tangga Dik Damai di masa depan,” ucap Janu.

Damai mengangguk kecil. “Ah, saya belum berencana menikah dalam waktu dekat. Sebenarnya, saya malas memikirkannya.”

Janu tertawa kecil. “Loh, kita satu frekuensi. Saya juga lebih senang tetap menjomlo.”

“Oh ya? Kenapa?” Damai terlihat antusias.

“Yah, alasan utama pasti kebebasan. Jomlo boleh apa saja, tidak ada yang melarang ini-itu. Mau pulang pagi, oke. Tidak pulang pun tidak diomeli. Coba lihat para pria yang menikah. Biar setinggi apa pun jabatannya di kantor, kalau hari Minggu tetap menjadi tukang mengangkat belanjaan istri di pasar.”

Alis Damai terangkat. “Bisa tolong jelaskan itu kepada ibu saya?”

Mereka semua tertawa. Hanya Rika yang tersenyum kecut. Ia beberapa kali memergoki mata Damai terarah padanya dengan sorot yang dingin. Jelas sekali bukan pandangan tertarik seperti milik Janu. Ia merasa tengah dipantau.

“Rika, silakan mulai,” instruksi Janu beberapa saat kemudian.

“Baik, Pak. Kita sekarang sudah masuk tahap perancangan interior. Sesuai permintaan Bu Herlina, gaya yang dipilih adalah American Style dengan warna dominan putih dan aksen cokelat natural dari kayu.”

“American Style?” potong Damai. “Hm, sebenarnya saya lebih suka gaya minimalis dan warna monokrom.” Wajahnya terlihat datar. Ditambah kedua tangan bersedekap, udara ruang mendadak terasa berat.

“Maaf, Dok. Ini permintaan Bu Herlina,” sahut Rika. Ia langsung mendapat pelototan dari Janu.

“Saya tahu. Saya cuma komentar saja. Silakan dilanjutkan,” balas Damai.

Mendengar nada tidak simpatik itu, otak Rika seketika blank.

Janu yang memahami situasi segera bertindak. “Oh, masalah itu bisa diatur. Ini kan masih rancangan. Kalau Dik Damai suka gaya minimalis, kami akan membuat ulang desainnya.”

“Boleh begitu?” Sekali lagi, Damai mengangkat alis. Sebuah senyum tipis kembali terulas. Sekilas, matanya melirik ke Rika yang setengah ternganga.

“Boleh banget!” sahut Janu.

“Tapi ibu saya sudah telanjur—“

“Ah, itu soal kecil. Yang penting bagi saya adalah kepuasan klien. Tim saya ini hebat, kok. Mereka bisa menyulap apa pun dalam sekejap.” Janu mengangguk beberapa kali sambil memberi kode dengan kedipan mata kepada anak buahnya.

Rika tertegun. Jerih payah begadang beberapa hari dibuang begitu saja dan harus membuat ulang dari awal? Isi dadanya kontan mendidih.

Dasar Bos penjilat!

“Kita skip dulu desain interior, langsung ke desain taman. Kimmy, tolong presentasikan lanskapnya.”

“Siap!” Kimmy dengan riang berdiri dan berjalan ke depan.

Rika terpaksa kembali ke tempat duduk sembari sekuat tenaga meredakan napas yang memburu. Kursinya pun terasa panas. Seperti ini nasib rakyat jelata, bisa ditindas dengan semena-mena oleh orang berduit.

Presentasi Kimmy berjalan lancar tanpa interupsi. Damai tertarik dengan konsep kolam renang yang mengisi sebagian besar halaman belakang.

“Saya suka model kolam renangnya. Simpel.”

“Benar, Bang,” sahut Kimmy. “Desainnya selaras dengan konsep ruang keluarga yang terbuka.”

“Saya juga suka jendela-jendela besar yang minimalis itu,” sahut Damai.

“Memang pilihan interior minimalis lebih cocok buat rumah ini.” Wajah Kimmy semakin cerah saat mengucapkannya, seolah mendapat angin segar kemenangan.

“Soal desain minimalis, Rika jagonya,” sahut Janu. “Sewaktu kuliah dulu, dia beberapa kali menjuarai lomba desain.”

“Oh, begitukah?” Damai kembali melirik Rika.

Rika kebetulan tengah memandang lelaki itu sehingga tatapan mereka sejenak bersirobok. Entah mengapa, ia merasa jengah. Hasil kerjanya dilihat pun tidak, sekarang malah ditatap dengan dingin.

Di tengah presentasi Kimmy, perhatian Rika teralihkan oleh getaran ponselnya. Gadis asli Yogyakarta itu segera meraih gawainya dari dalam tas. Ternyata Bagus Harsono mengirim pesan gambar dan teks.

Om Bagus_ Tolong orang ini ditemui baik-baik, ya. Namanya Damai Aryasatya Belawan. 30 th. Asli Kaltim. Dokter, S2 Administrasi Rumah Sakit. Sekarang mau mengambil spesialis jantung. Masih perjaka, bukan duda. Bungsu. Kakak 1, perempuan, sudah menikah.

Lalu di bawahnya muncul foto Damai yang tersenyum dengan teramat damai. Sungguh sangat berbeda dari penampilan dinginnya saat ini.

Sekarang Rika mengerti mengapa lelaki itu memperhatikan dirinya sedari tadi. Pasti ia juga tahu tengah dijodohkan. Pantas saja sikapnya dingin.

Kalau nggak mau tinggal bilang, nggak perlu menyusahkan orang seperti ini!

____________________

[1] Ini maksudnya si Togog, kambingnya Roy di cerita Gula Jawa, Cabe Rawit, Bawang Bombai

3

Biasa Saja

Damai menghentikan mobil di depan gerbang sebuah rumah di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Hunian itu berupa bangunan tua berlantai dua yang merupakan peninggalan kakek buyut dari pihak ibu. Melihat jejak keanggunan arsitektur Belanda dan luas tanahnya, rumah itu pasti tergolong mewah di zamannya. Ia punya properti di tempat lain, namun selalu pulang ke bangunan penuh kenangan ini.

Seorang satpam membuka gerbang dan mobil pun bergerak memasuki halaman. Bagian depan rumah yang megah dengan tembok dan kolom-kolom yang tebal, berikut jendela dan pintu berkusen kayu jati tua nan eksotis menyambut Damai, menghadirkan suasana khusus yang tidak didapat di tempat lain.

Damai menyukai gaya lama bangunan itu. Walau sudah direnovasi, namun tetap mempertahankan ciri khas arsitektur aslinya. Atapnya sudah diganti genting keramik mengilap berwarna abu-abu tua sehingga semakin menambah kesan mewah. Ada carport besar dan luas yang berada di depan pintu utama. Melihat desainnya, pasti rumah ini dulu digunakan pejabat tinggi kolonial Belanda. Karena selera rumah itulah ia kerap digoda teman-temannya. Kata mereka, gaya rumah mencerminkan kepribadian pemiliknya. Sepertinya mereka tidak asal menuduh. Buktinya ia memang susah beranjak dari masa lalu, termasuk soal wanita.

Mobil berhenti di carport. Tidak seperti biasa, ibunya telah menunggu di pintu depan. Wanita cantik yang sebentar lagi memasuki usia kepala enam itu tersenyum dan menatap putranya penuh harap.

"Bagaimana? Sudah ketemu Kimmy?" Herlina menggamit lengan sang putra dan langsung menyeretnya ke ruang tengah.

"Sudah," jawab Damai singkat. Ia membelokkan langkah menuju kamar tidur.

Herlina segera menahannya. "Eh, duduk dulu! Mama mau mendengar ceritanya!"

"Nanti saja, Ma! Badanku lengket oleh keringat."

Herlina menyeret Damai ke tempat duduk. Pemuda jangkung itu terduduk dengan keras. Tubuhnya memantul di sofa besar yang empuk.

"Ayolah! Mama nggak sabar menunggu lebih lama lagi!" ucap Herlina tanpa melepaskan pegangan dari lengan putranya.

Damai terpaksa membalas tindakan sang ibu dengan tersenyum dan mengangguk. Sepasang lesung pipit tercetak di pipinya, menjadi pelengkap bibir yang kemerahan. "Mama mau tanya apa?"

"Cantik, kan?"

Damai menghela napas panjang. "Biasa," sahutnya datar.

Mendengar itu, Herlina merenggang untuk mengamati wajah Damai dengan lebih teliti. "Masa sih, biasa? Mama rasa cantik."

"Baiklah. Aku nggak akan mendebat pendapat Mama."

"Kalian sempat mengobrol? Kalau hati sudah klik, wajah seperti apa pun akan terlihat menawan."

Damai mengerutkan kening sembari menahan geli. "Tahi kucing pun kelihatan seperti kue cokelat. Begitukah maksud Mama?"

Herlina menepuk pundak Damai dengan keras. "Jangan kasar seperti itu. Masa anak gadis orang disamakan dengan tahi kucing?"

"Mama, aku boleh mandi dulu, ya?" Damai bergerak hendak bangkit. Namun, Herlina belum mau melepaskan lengannya.

"Mama sudah beberapa kali ketemu Kimmy. Mama rasa, dia pilihan yang terbaik di antara yang ada selama ini. Keluarganya terpandang. Ayahnya diplomat dan mempunyai kenalan luas. Ibunya dosen. Anaknya juga sangat profesional. Dia melayani permintaan Mama dengan sabar padahal Mama cerewet sekali."

Damai mengangguk kecil. "Lalu?"

"Lalu, Mama nggak habis pikir kenapa kamu nggak tertarik sedikitpun padanya."

"Kalau pikiran Mama belum habis, silahkan melanjutkan berpikir sampai habis." Damai terkekeh sambil memaksa bangkit. "Malam ini aku punya setumpuk jurnal yang harus dibaca."

"Loh, kamu langsung masuk pendidikan?"

"Belum, masih tiga bulan lagi. Tapi aku mau mempersiapkan materi lebih awal supaya saat penelitian nanti, aku nggak bingung memilih topik."

"Ya ampun, Nak! Kamu baru lulus Master. Pendidikan spesialis pun masih belum dimulai. Cobalah santai sedikit tiga bulan ini."

Damai mengedikkan bahu. "Sayang waktunya cuma dipakai menganggur."

"Kalau sekolah terus, kapan kamu punya waktu untuk mencari istri?"

Damai mengurungkan niat untuk melangkah menuju kamar. "Mama, coba lihat anak Mama ini. Apa yang kurang?"

Herlina ikut berdiri, lalu dengan gemas mencubit pipi Damai. "Mana ada kurangnya? Anak Mama ganteng, pintar, karirnya bagus pula!"

"Nah itu Mama sudah tahu! Anak Mama ini husbandable, value-nya tinggi."

"Lalu?"

"Lalu, jangan pernah Mama memberi saran buat mencari istri. Itu sangat merendahkan aku. Sekarang ini aku dalam posisi menunggu cewek-cewek datang dan tinggal menyeleksinya."

Herlina hanya bisa berkedip mendengar pernyataan itu. Memang benar, banyak wanita cantik yang memandang penuh harap pada putranya.

"Tapi, Nak, cewek yang mengejar cowok itu biasanya cewek nggak benar."

"Ah, prinsip itu sudah kuno, Ma. Apa yang benar dan nggak benar itu tergantung zamannya. Dulu, perempuan menjadi pelayan suami adalah hal yang paling benar. Tapi lihat sekarang. Mama pasti nggak mau dianggap pembantu Papa."

"Suami istri memang posisinya setara, Damai."

"Nah, sekarang cewek mengejar cowok itu sudah dianggap biasa."

"Mama belum terbiasa dengan itu!"

"Dibiasakan, dong. Terima saja perubahan zaman, Mama. Biarkan mereka berusaha keras menarik hatiku. Cewek jual mahal mah lewat aja!" lanjut Damai sambil menepuk dada.

"Kimmy jual mahal? Dia nggak tertarik padamu?"

"Menurut Mama?" Damai segera meninggalkan ibunya yang masih terbengong untuk masuk ke kamar.

Rupanya Herlina segera tersadar dari kebengongan dan menyusul Damai. "Nak tunggu!"

Damai batal membuka pintu dan membalikkan badan. Ia harus bersabar menghadapi orang tua tersayang ini. Apalagi sekarang dirinya adalah satu-satunya lelaki yang tersisa dalam keluarga inti mereka. Sang ayah, Bertinus Belawan, sudah berpulang akibat serangan jantung tiga tahun yang lalu.

"Besok, tolong sempatkan menengok lokasi pembangunan. Mereka sudah memasang dak beton lantai dua."

"Aku nggak paham bangunan, Ma. Bagaimana kalau Mama saja yang ke sana?"

"Eh, itu kan rumah kamu. Masa sama sekali nggak ditengok?"

"Mama yang mengotot membuat rumah baru. Padahal rumah ini sudah lebih dari cukup."

"Jangan berdebat lagi, deh! Mama sudah bilang rumah itu untuk investasi dan mas kawin calon istrimu nanti." [1]

Damai menjawab dengan anggukan kecil. "Kita lihat kondisi besok, deh."

"Kok begitu? Kamu harus datang besok!" Herlina kembali mendesak. Dalam otaknya telah terangkai sebuah rencana untuk mempertemukan Damai dan Kimmy kembali.

Melihat wajah berharap sang ibu, Damai tidak tega menolak. "Iya, besok aku ke sana."

Wajah Herlina kontan berbinar. "Mama punya firasat anak Mama yang value-nya tinggi akan segera menemukan jodoh."

Damai terkekeh. "Aku masih malas menikah. Udah, ah. Aku kebelet pipis."

"Iya, iya!"

Damai menghilang ke dalam kamar. Ketika pintu telah tertutup rapat dan kesendirian menjadi kenyataan, sebuah kenangan lama menyeruak ke permukaan.

Lelaki dengan value tinggi.

Damai tersenyum getir. Benarkah itu? Bila setinggi itu harga dirinya, mengapa ada dua luka yang masih meneteskan darah di dalam dada? Setiap mengingat torehan sembilu itu, hatinya semakin rapuh. Bahkan bila berusaha melupakannya, rasa nyeri itu justru semakin menggigit.

Cinta pertamanya adalah gadis cantik yang ceria. Mereka telah menjalin hubungan sejak kelas satu SMA. Damai berharap itulah cinta pertama dan terakhirnya karena hubungan mereka bertahan hingga masa kuliah. Namun, kisah manis itu harus berakhir saat mereka KKN. Gadis itu terpikat rekan satu grup. Rupanya kebersamaan di pedesaan terpencil itu sanggup menghapus jalinan cinta yang telah tujuh tahun dirajut.

Damai membutuhkan tiga tahun untuk menerima luka itu hingga akhirnya bertemu dengan kisah kedua. Ternyata ia kembali gagal. Cintanya bahkan disia-siakan begitu saja.

Perselingkuhan dan penolakan.

Ah!

Damai mendesah panjang demi menghentikan arus kenangan. Dengan cepat, ia melepas pakaian yang menempel di tubuh, kemudian masuk ke kamar mandi. Guyuran air shower dibiarkan menerpa kepala dengan deras sambil berharap bayangan sosok lembut berkulit putih dan bermata sebening Danau Labuan Cermin ikut larut ke saluran pembuangan. Namun apa daya, semakin besar keinginannya untuk menepis memori lama itu, semakin kuat rasa terhina kembali padanya.

Clary ….

Damai membenci dirinya karena nama itu. [2]

___________

[1] Dalam budaya Dayak ada kebiasaan untuk memberikan mas kawin berupa sepetak tanah

[2] Kisah tragis Damai bersama seorang gadis asal Yogyakarta bisa dibaca dalam Clary - Sang Jomlo Dadakan

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Love Shot
Selanjutnya LOVE SHOT Bab 4, 5, 6
2
0
Bab 4. Tekanan HidupBab 5. Rayuan Jomlo BerpengalamanBab 6. Damai Itu SulitSpoiler: “Baiklah, maafkan saya. Saya sungguh menyukaimu, Rika. Datanglah kapan saja kamu membutuhkan saya.” Kali ini, Janu mengucapkannya dengan sepenuh hati.Rika pun melihat itu sebagai niat baik. “Saya boleh meminta satu hal?”“Ya, tentu saja boleh.”“Jangan merayu saya di kantor, Pak. Itu membuat saya tidak nyaman.”Kedua alis Janu bertaut. “Jadi, selama ini saya sudah membuatmu tidak nyaman di depan staf yang lain? Kalau begitu, saya minta maaf. Selanjutnya, saya akan menjaga sikap selama di kantor”“Mm, terima kasih.”“Itu berarti kalau kita tidak berada di kantor, saya boleh merayumu?”.Hayuuuk, langsung ke TKP!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan