Clary Jomlo Dadakan Bab 6-10

3
0
Deskripsi

Clary mendekat dengan berdebar. Senyum manis cowok itu seperti punya setrum, membikin jantungnya menggelepar. 

"Mas? Udah lama nunggu?"

.

Cerita ini publish tiap hari dan tamat pada 9 Februari 2023.

Jadi, jangan ragu untuk mengambil paket 30 hari.

.

.

6

Uang Pernikahan

 

Mata Clary sembab parah saat bangun tidur. Menangis semalaman telah menguras energi dan gairah hidup. Pagi ini, sebenarnya ia ingin berlari ke indekos Gendhis, kabur dari segala masalah. Namun, mata bengkak itu membuat niatnya tertahan. Apa kata temannya itu bila melihat kondisi ini? Oh, Clary belum sanggup bercerita. Foto Iyud kemarin telah menjadi gempa bumi bagi hidupnya.

Clary berjalan gontai keluar kamar. Hari masih gelap. Seperti biasa, ia menyelesaikan pekerjaan rumah dengan cekatan. Hari ini ia ada pesanan lagi. Sebuah kue ulang tahun untuk cucu Bu Nuh, istri Ketua RT mereka. Selain tar berhias, Bu Nuh juga memesan bolu dan risoles. Lumayan. Karena kasus uang hilang kemarin, Clary belajar menggunakan transaksi nontunai. Semua pembayaran pelanggan sebisa mungkin menggunakan transfer atau cara nontunai lain. Uang yang ada selalu disimpan baik-baik. Sebagian ia bawa ke mana-mana di dalam bra atau saku.

Clary melewati kamar tidur mama tirinya. Dengkuran Mama Suwi masih terdengar. Ia sedikit lega. Kalau wanita itu tidur, ia tidak perlu mendengar perkataan pedas.

Clary membuka kulkas, lalu mengambil beberapa stok makanan beku di sana. Ia mengumpulkan ayam, udang, dan ikan beku di baskom, lalu menggenangi bungkusan itu dengan air untuk membuatnya mencair. Biarpun memberikan uang belanja pas-pasan, Mama Suwi tidak mau menu yang murah. 

Tangannya bergerak lincah, mengupas bawang dan menyiangi sayuran. Kedua tangan itu bergerak otomatis karena kebiasaaan. Otaknya sendiri melanglang buana entah ke mana.

Empat tahun lebih ia menjadi kekasih Iyud dan baru kali ini merasa tidak dicintai. Akhir-akhir ini Iyud banyak berubah. Clary sempat dibuat heran. Entah ada apa dengan cowok itu, tiba-tiba tidak perhatian dan romantis seperti dulu. 

Kalau tidak salah, sejak sebulan sebelum magang, Iyud mulai jarang mengajak jalan. Bila jalan berdua, Iyud sering mengeluh lelah. Cowok itu juga berubah pendiam dan tidak fokus. Matanya selalu menerawang entah ke dunia mana. Ternyata oh ternyata, semua itu gara-gara pelakor.

Enam bulan yang lalu, tahu Clary hampir lulus, orang tua Iyud datang melamar. Dua bulan lagi mereka akan menikah. Biaya pernikahan sudah diserahkan oleh calon mertua ke Mama Suwi. Tapi, sekarang ia galau tingkat dewa. Foto-foto di IG Rika sangat gamblang. Mereka bertamasya bersama, bahkan saling peluk dengan mesra dan ciuman. Masa seperti itu bukan selingkuh?

Otaknya memang lola, alias lambat loading. Namun, melihat gambar tidak membutuhkan kecerdasan tinggi karena perasaan yang disampaikan melalui gambar langsung menyentuh hati, tanpa perlu mampir dulu untuk dianalisis otak. Dan, melihat gambar-gambar itu, hatinya langsung tahu bahwa mereka mesra sekali, mirip pasangan suami istri. 

Air mata Clary menetes ke telenan dan jemari. Sungguh, tak pernah ia bermimpi akan diduakan seperti ini. 

"Hei, melamun!" Teguran tiba-tiba itu membuat Clary terlonjak kaget. Mama Mammoth telah berada di sebelahnya. Cepat-cepat Clary menghapus air mata.

"Loh, kenapa matamu? Kamu nangis?" tanya Mama Suwi dengan memicing.

Clary tertegun. Ia harus menjawab apa? Malas rasanya membicarakan persoalan Iyud dengan mama tirinya. "Aku nggak bisa tidur, Ma. Alerginya kambuh lagi." Hanya alasan itu yang terpikir oleh Clary.

"Alergi kok bengkak mata. Bukannya alergi itu jadinya gatal-gatal, biduran?"

"Dulu malah bibir juga ikut bengkak. Aku udah minum obat, kok. Agak siangan nanti pasti hilang."

Mama Suwi mengangguk-angguk. "Ya udah. Eh, kamu masak apa?"

"Banyak. Oseng udang, bacem ayam, ikan masak saus asam manis."

"Ah, baunya enak. Tapi apa ya enak rasanya?"

Clary malas menjawab. ia pura-pura sibuk mengaduk gorengan di wajan.

Mama Suwi mencibir. Tangannya bergerak meraih sendok, lalu mengambil oseng udang yang telah matang. Ia mengomel tentang banyak hal sambil mulutnya mengunyah. Clary membiarkannya. Ia sudah hafal kebiasaan sang mama. Dijamin piring udang itu tidak akan sampai ke meja makan karena isinya dituntaskan Mama Suwi di dapur.

"Kurang gurih. Kamu kebanyakan asam!" kritik Mama Suwi.

Clary yang sedang menggoreng ayam menoleh. Ia mendapati sisa dua ekor udang di piring yang tadinya menggunung. Belum apa-apa, Clary lemas. Padahal oseng udang itu favoritnya. Ia malah diberi sisa secuprit.

"Ma, bisakah pernikahannya diundur?" tanya Clary hati-hati.

Mama Suwi kontan menatap tajam. "Jangan macam-macam! Mereka sudah memberi Mama uang panjar."

Clary mendesah. "Aku belum dapat kerjaan tetap. Iyud malah belum lulus. Kami nanti makan apa?"

"Kenapa kamu pusing? Orang tua Iyud kan punya perusahaan konsultan sendiri. Ya Iyud udah dapat tempat kerjalah. Kamu tinggal ikut Iyud sana. Enak, kan?"

Iyud memang sudah membeli tanah di pinggiran Jogja untuk rumah mereka setelah menikah. Gambar rancangan dan maketnya sudah dibuat. Bukan hanya itu, pondasi rumah sudah ada, tinggal 'menaikkan' bangunan saja. Tapi itu dulu, sebelum ada masalah perselingkuhan ini. Segala rencana memudar sekarang.

"Kayaknya Iyud selingkuh, Ma," bisik Clary. Ia lantas menunjukkan foto-foto Rika dan Iyud.

Wajah Mama Suwi menegang sejenak, namun segera melunak. "Ah, cuma begini, biasa itu!"

"Bi-biasa?" Clary mengerjap tak mengerti.

"Iya, biasa. Kayak kamu kemarin sama dokter itu. Biasa aja, kan?"

"Aku nggak ngapa-ngapain sama dia, Ma!" Kening Clary berkerut seketika.

"Halah, nggak ngapa-ngapain apa? Senyummu aja genitnya luar biasa gitu!"

Sontak, Clary menepuk-nepuk dada. "Mama tega banget! Aku nggak kayak gitu!"

"Udah, jangan macam-macam! Acara pernikahan udah diatur, kok, mau mundur. Kamu sengaja bikin malu keluarga kita? Nanti kalau ternyata nggak cocok, kalian bisa cerai, kok."

"Mama!" Dada Clary serasa mau meledak mendengar itu.

Inilah hal yang paling ditakutkan Clary. Mama Suwi tidak mau mengerti.  Masalah lain adalah uang panjar pernikahan. Sebagian memang sudah dipakai untuk DP gedung, perias, dan katering. Sisanya entah. Clary tidak yakin di mana keberadaan uang seratus juta itu saat ini. Padahal kalau pernikahan batal, Mama Suwi harus mengembalikan 50% dari uang itu.

"Terserah kamu mau bilang apa, yang penting ndak boleh batal! Ngerti kamu!" Mata Mama Suwi telah mendelik maksimal.

Clary sudah tidak bisa berpikir. Ia pun tak kalah emosi. "Kalau bener mau nikahan, mana persiapannya, Ma? Tinggal dua bulan lagi, kenapa adem ayem aja?"

Yang terjadi sungguh di luar dugaan. Mama Suwi melempar piring bersisi sisa udang begitu saja. Piring itu melayang lalu membentur dinding hingga pecah berkeping-keping.

"Maksudmu ngomong gitu tadi apa? Nuduh Mama ngutil uang besan?" bentaknya. (mencuri)

Tanpa memedulikan kekagetan Clary, perempuan itu kembali ke kamar dan menutup pintu dengan membantingnya.

☆☆☆

 

Hari sudah lepas Isya. Clary masih merenungkan sikap Iyud dan mamanya. Tiba-tiba saja panggilan 'Clary' berkumandang. Siapa lagi kalau bukan si Hitam Eksotis? Clary bangkit, lalu menyambar toples berisi kue jahe. Kalau dipikir-pikir, Gendhis itu mirip lokomotif. Lokomotif kan selalu butuh bahan bakar?

Wajah berbinar Gendhis muncul di pintu. Tanpa permisi, gadis itu menyeret Clary ke kamar, lalu bertengger di kasur sambil bersila. Siapa tamu, siapa pemilik rumah, Clary tidak jelas lagi.

"Clary, aku udah nggak jadi jomlo legend lagi!" Mata Gendhis melebar saat menunjukkan gawai tepat di depan ujung hidung Clary.

Seperti biasa, Clary menanggapi dengan senang, "Woow selamat ya, Ndhis. Sama siapa jadian?"

Gendhis menyeringai lebar, penuh kebanggaan. "Sama Belud dong!" Tak lama kemudian, matanya berkaca-kaca. "Barusan dia WA aku, Cla. Nggak sangka." 

Gendhis heboh sendiri. Ia menyambar toples kue jahe. Hatinya semakin hangat dengan kue jahe yang manis serta teman baik yang selalu mendengarkan keceriwisannya.

"Loh, kapan jadian? Nge-date-nya lewat jendela?" Clary terbengong karena rasanya belum lama Gendhis pindah ke indekos depan.

"Nggak salah aku ambil kamar kos itu. Jendela itu seolah gerbangku melangkah melepas gelar Jomlo Legend." Gendhis manggut-manggut sendiri, masih mengunyah kue, sambil membayangkan dia dan Belud saling memandang dari jendela. Nge-date dari jendela asyik juga, kan?

"Uwuwuwu, enak ya, punya cogan di sebelah jendela. Nggak kayak aku. Punya cowok tapi rasa jomlo."

Gendhis berhenti mengunyah. "Heh, kok bisa? Bukannya kamu mau nikah sama Iyud?"

Kini, ganti Clary yang berkaca-kaca. "Iyud kayaknya selingkuh, Ndhis. Ketahuan lagi, dia cium-cium sama temannya satu regu magang."

Mata Gendhis melebar. "Kok nggak cerita, sih?" Gendhis memeluk Clary. Menepuk punggungnya.

"Ndhis, kalau aku jadi jomlo legend juga kayak kamu gimana? Aku bisa dapatin belut juga nggak?" Clary terisak. "Atau dapat cacing sawah, ya?"

"Ya elah, Cla. Jangan Belud napa? Yang lain, kek. Gadis secakep kamu bisa dapat naga sekelas Naga anggota band Lyla yang ganteng itu. Belud cuma buatku ... hohoho!"

"Lila? Naga? Aku udah punya naga. Ada nagasari, jus buah naga, dan naga goyang. Kamu mau pesen buat Lud?" Jiwa bisnis Clary meronta-ronta.

Gendhis menepuk jidat. "Kasih aku aja. Gratisan. Siapa tahu dengan beramal, hubunganmu sama Iyud membaik." Gendhis mencoba mendapatkan makanan gratisan.

"Naga goyang, mau? Itu produk baruku, Ndhis. Masih percobaan." Tangis Clary berhenti. Kalau sudah bicara duit, ia semangat delapan enam. "Perutmu kan tahan segala makanan, nggak pa-pa buat cobain kripik baru."

"Boleh. Tapi kalau aku sakit, perut kamu tanggung jawab ya, Cla."

Clary kontan teringat Damai. Kalau Gendhis sakit, ia ada alasan untuk bertemu dokter ganteng itu lagi. "Kamu mau pedes level berapa? Ada level 30. Goyang beneran kalo makan itu, Ndhis."

"Boleh, boleh. Kasih bonus jus sirsak, yak!"

"Waaah, jus sirsak kosong. Adanya jus pace campur rumput lalang. Mau?" Clary teringat kambing dan sapi. Mereka sehat karena makan rumput.

"Jambret, kamu mau ngeracuni aku! Wes tak bawa kue jahenya ke kos. Makasih, ya, Cla."

"Loh, Ndhis. Lalang plus pace itu bagus buat asu."

"Aku manusia, Cla. Bukan asu atau penampakan!"

"Loh, asu itu singkatan asam urat."

"Kasih aja buat Tante Suwi." Gendhis merengut. "Tapi perutku siap kok menampung resep makanan barumu."

Clary keluar kamar, lalu mengambil setoples kripik tahu berbalur bubuk cabe. Gendhis langsung menyambarnya dan beranjak pulang. Clary cuma bisa menyaksikan punggung sang teman berlalu membawa serta dua toples camilan.

Lamunan Clary akan dua toples camilan yang dirampok Gendhis terputus karena teleponnya berdering. 

dr. Damai is calling ....

Dokter ganteng itu mengajak bertemu di rumah Pak Jito. Suara ramahnya enak sekali didengar. Tanpa pikir panjang, Clary menyanggupi. 

7

Konsultasi Salah

 

Malam yang mendung tanpa bulan melindungi sosok Clary yang mengendap keluar rumah. Cukup berjalan beberapa meter, ia sudah sampai di depan rumah Pak Jito. Damai menunggu di gerbang halaman indekos, di bawah lampu penerangan. Begitu melihat Clary datang, tangannya melambai.

Clary mendekat dengan berdebar. Senyum manis cowok itu seperti punya setrum, membikin jantungnya menggelepar. 

"Mas? Udah lama nunggu?"

"Baru aja keluar. Aku mau ke rumahmu, tapi takut bikin kamu kena masalah," sahut Damai. Ia juga bingung, kenapa tadi menelepon. Padahal niatnya sudah bulat mau menjaga agar hatinya tidak jatuh ke tempat yang salah seperti dulu. Tapi apa memang sudah nasibnya, suka pada cewek yang tidak tepat. Dulu ia cinta mati pada cewek yang ternyata setengah hati. Sekarang, jangan-jangan hatinya bakal retak lagi karena menginginkan tunangan orang lain.

"Iya, sih. Mamaku emang galak."

"Kok beda sama kamu, ya. Kamu kan lembut."

Wajah Clary memerah dipuji seperti itu. "Aku enggak lembut, Mas. Aku lola."

Damai terbahak. "Siapa yang ngomong kamu lola?"

Mata Clary melebar. "Jadi aku nggak lola?"

Damai mengaitkan kedua tangan di belakang tubuh, lalu mencondongkan badan mendekat ke Clary sambil berbisik, "Kamu nggak lola, Ry, tapi lola banget!"

Kontan Clary merengut. "Iiiiih! Mas Damai, ah! Kirain mau muji."

"Aaah, nggak usah baper, dong. Aku cuma bercanda." Tangan Damai mengulurkan kantung plastik. "Nih, aku punya sesuatu buat kamu."

Clary menerima kantung itu, lalu matanya melebar. "Ini tempuyak? Mas Damai dapat dari mana?"

"Dikirim mamaku dari Berau[1]."

"Oh! Mas Damai keturunan Dayak?"

Damai mengangguk. "Iya. Kalau kamu asli mana?"

"Mamaku juga Dayak Mas, dari Tanjung Selor. Dulu mama seneng banget bikin sambal tempuyak."

"Oh?" Damai agak bingung dengan keterangan itu. "Mamamu ...."

Clary mengangguk. Matanya meredup. "Iya, Mas. Mamaku udah nggak ada. Lalu papaku nikah lagi sama Mama Suwi. Dia itu dulu adik angkat mamaku."

Mulut Damai terbuka, lalu mengangguk. Ia kini mengerti kenapa ibunya Clary segalak itu. Benar-benar kasihan nasib cewek ini.

"Ya udah, kalau gitu kamu bisa kangen-kangenan sama masakan mamamu pakai tempuyak ini."

Clary mengangguk. "Iya, Mas. Makasih banget, ya. Kok tahu kalau aku juga keturunan Dayak?"

Damai menggeleng. "Aku nggak tahu. Tiba-tiba aja waktu dapat kiriman tempuyak aku ingat kamu. Kali aja kamu suka. Kamu kan sering cobain macam-macam masakan."

Ah, luka hati Clary sedikit terobati. Ada orang yang ingat dirinya, sementara cowok sendiri malah senang-senang dengan cewek lain. 

"Makasih banget, Mas," bisiknya.

Untuk sesaat, keduanya saling pandang dalam diam. Halaman yang temaram menyembunyikan wajah mereka yang merona merah.

☆☆☆

 

Hari itu Clary benar-benar gelisah. Ia jengah dengan mama tiri, itu satu hal. Ingatan akan Damai, itu hal lain. Bayangan wajah ganteng itu menemani terus setiap kali otaknya longgar tidak bekerja. Padahal otaknya jarang dipakai berpikir. Alhasil, benaknya kerap dipenuhi wajah Damai. Di luar kedua hal itu, ada satu lagi mengisi otak, yaitu gambar mesra Iyud dan Rika. 

Rika memosting lagi gambar-gambar mesra dengan Iyud di akun Instagramnya. Memang mereka tidak sentuhan, tapi tetap saja kelihatan mesra. Mereka makan bareng di kafe, selfie di taman, foto bareng di lobby perusahaan, atau sok kelihatan sibuk membuat maket bareng. 

Ah! Panas hati dan mata Clary. Begitu juga otaknya, mengepulkan asap. Mungkin telur bisa matang kalau ditaruh di ubun-ubun cewek itu. 

Clary benar-benar bingung harus bagaimana. Agaknya ia perlu bertanya pada seseorang. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia memutuskan menyelinap ke rumah depan setelah menyogok mamanya dengan satu toples nastar. Pasti Gendhis bisa memberi ide tentang tindakan apa yang harus ia lakukan. Ia mengambil juga bakpao yang baru saja dikukus, diletakkannya dalam nampan, lalu pergi dengan mengendap-endap untuk menjumpai Gendhis di kosnya.

Gendhis langsung girang. Aroma bakpao hangat itu sungguh menggoda. Air liur telah meluap dan cacing dalam perutnya telah demo minta jatah.

"Mau tanya apa?" tanya Gendhis setelah mereka duduk berdua di kamar Gendhis.

Ragu-ragu, Clary mengeluarkan ponsel. Dibukanya foto mesra Iyud. "Tapi janji, jangan bilang-bilang ke orang lain."

"Jaaann-jjiiiiiii!" kata Gendhis mantap. Matanya mengerling ke nampan Clary. "Bakpaonya udah boleh dimakan?"

Clary menyodorkan nampan itu, yang langsung disambut hangat oleh Gendhis. "Mmmm, enak banget! Makasih ya. Semua buat aku, kan?"

Clary mengangguk saja. Di rumah ada mama tiri yang bak vaccum cleaner. Di sini ada Gendhis yang kurang lebih serupa. "Ndhis," panggil Clary.

"Hm?" jawab Gendhis dengan mulut penuh bakpao.

Clary mengangsurkan ponsel ke gadis di depannya. "Kalau lihat kayak gini, menurutmu gimana?" tanya Clary lirih karena ragu-ragu.

Gendhis menjulurkan leher untuk melihat gambar itu. "Ganteng dan cantik!"

Clary membelalakkan mata, tak percaya teman lama ini justru memuji gadis di foto. "Dia cantik?"

"Iya, kan? Wajahnya bersih, rambutnya keren, bibirnya seksi."

"Ndis, ini selingkuhan Iyud." Clary mulai frustrasi.

Gendhis menatap polos. "Iya, aku tahu. Kalau dia memang cantik terus gimana?"

Clary mendadak mual. "Tapi ... tapi mereka ciuman," kata Clary lirih.

Gendhis sekali lagi mengamati ponsel Clary. Kali ini dengan mengerutkan kening. "Iya, ya. Kenapa mereka ciuman? Orang ciuman itu kan biasanya jatuh cinta."

"Trus ... trus ... gimana dooong?" Clary sudah hampir menangis. "Kalau mereka beneran jatuh cinta, aku gimana dong?"

Gendhis melihat kembali foto itu dengan saksama. Sejenak kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala. "Beneran selingkuh kayaknya," gumam gadis hitam manis itu.

"Kata Iyud cewek ini penyuka sesama jenis. Bener nggak, sih?" tanya Clary lagi.

"Ya enggaklah. Tuh, dia ciuman mesra sama Iyud gitu. Kalau yang dimaksud itu sesama jenis tukang selingkuh mungkin iya." Setelah menuntaskan kalimat itu, Gendhis meringis maksimal.

Tangis Clary runtuh sudah. "Kenapa Iyud tega banget cium-cium cewek lain?"

Gendhis memandang iba pada sahabatnya. "Yaaa, kamu harus tanya Iyud. Kan yang ciuman Iyud, bukan aku."

Clary semakin sesenggukan.

"Udah, jangan nangis dulu. Siapa tahu nggak seburuk yang kamu duga, Cla," hibur Gendhis. "Nih, makan bakpao dulu. Biar adem pikiranmu."

"Aku nggak selera makan, Ndhis," rintih Clary.

Entah ketempelan malaikat dari mana, tahu-tahu Gendhis merangkul Clary dengan lembut. "Yuk kita mata-matai mereka."

Secercah harapan berkelebat dalam benak Clary. "Kamu tahu cara memata-matai?"

"Enggak," jawab Gendhis dengan senyum manisnya. "Tapi aku punya tang. Kalau Iyud macam-macam, aku bisa cabuti giginya sampai ompong."

"Tapi ... tapi ... aku nggak mau punya suami ompong, Ndhis."

Jangan tanyakan lagi apa yang selanjutnya mereka bicarakan. Sudah tentu tidak sinkron satu sama lain. Seperti biasa. 

☆☆☆

 

Clary pulang dengan pikiran kusut. Malam itu juga ia menghubungi Iyud melalui video call.

"Ini kenapa, Yuud?" tanya Clary setengah meratap di depan layar laptop. Ditunjukkannya gambar-gambar Instagram Rika pada tunangannya.

Iyud nampak mengamati gambar itu, kemudian menatap cemas kepada sang pacar yang sudah berurai air mata. "Ah, itu nggak ada apa-apa, kok."

"Nggak apa-apa kok ciuman bibir ke bibir?" Clary setengah merintih.

"Ooohhh itu cuma akal-akalan teman-teman aja. Kami main kartu. Yang kalah harus mencium yang menang."

"Ah! Permainan apa itu?" pekik Clary. Iyud semakin terlihat bingung.

"Ryyy, denger dong. Masa kamu percaya gambar begitu aja? Masa aku selingkuh? Aku kan cuma cinta mati sama kamu."

"Tapi ... tapi ... kalian pelukan di pantai! Itu juga taruhan main kartu?"

"Iya! Klo yang itu, yang kalah harus foto pake pose ala-ala film India," jawab Iyud dengan wajah datar dan nada suara ringan.

Clary mengepalkan tangan. Benar-benar tidak masuk akal!

"Ry, kamu kan tahu gimana aku selama ini. Apa aku punya gejala tukang tikung?" tanya Iyud, kali ini suaranya lembuuut sekali.

Clary masih sesenggukan. Kata-kata Iyud ada benarnya juga. Selama ini, sikap Iyud sebagai cowok tidak pernah membuatnya kecewa. Clary tidak pernah dengar Iyud jalan dengan cewek lain. Cowok itu juga selalu perhatian dan melindungi. Ia selalu setia menjemput Clary ke kampus setiap hari bila tidak berbenturan dengan jadwal kuliahnya. Satu hal yang membuat hati Clary berbunga adalah Iyud kerja keras mengambil proyek-proyek lepas demi menepati janji membuat rumah bagi keluarga kecil mereka setelah menikah nanti.

"Kamu nggak percaya sama aku?" tanya Iyud sambil mengedipkan mata manja.

Tangis Clary sontak terhenti. Kedipan mata itu selalu berhasil membuat hatinya berdebar.

"Ry, jawab, dooongg? " tanya Iyud manja. "Kamu mau dibikinin gambar? Nanti aku bikin sketsa kita berdua yang romantis, ya?" Mata indah itu mengedip sekali lagi.

Ooo, jantung Clary nyaris copot. Walau hanya menatap layar laptop, getaran itu tetap terasa. "Iyyuuud! Jangan bikin aku malu!"

Iyud tertawa senang. Ia selalu tahu bagaimana memenangkan hati pacarnya. "Ryyy ...," panggilnya mesra. Ia tahu Clary selalu bergairah bila dipanggil begitu.

"Iiiyyuuuuddd, ah!" Clary kini balas merajuk manja.

"Iyyuudd apaaa?"

"Enggaaaakkk!"

"Enggaak apa?"

"Sebel!"

"Sebel apaaaa?"

"Sebel, sebel, sebel!"

"Kenapa?"

"Ayo pulang September!" pinta Clary.

Mata Iyud meredup. Senjata itu selalu berhasil melumpuhkannya. Dengan sedih, ia menjawab, "Maaf. Yang itu aku nggak bisa. Aku baru selesai magang bulan Oktober."

Bukan itu saja. Di belakang Iyud terlihat pintu terbuka. Seseorang mengintip dari balik pintu. Clary hafal wajah cantik berambut cokelat kemerahan itu. Siapa lagi kalau bukan Rika.

"Iyuuuud?" terdengar sayup-sayup gadis itu memanggil. Manja sekali suaranya.

Hati Clary sontak memanas. 

Iyud terlihat salah tingkah. "Eh, udah dulu ya, Sayang. Tuh ojek aku datang. Kita dipanggil meeting sama bos."

"Meeting apaan malam-malam begini?"

"Loh, kantor bos kan baru kejar deadline. Ya meeting kerjaanlah." 

Belum sempat Clary menjawab, Iyud sudah mematikan sambungan.

8

Serangan Telur

 

Pagi itu, Clary bangun dengan setengah sempoyongan. Maklumlah, semalam pasien dr. Arista membeludak. Mereka baru bisa pulang saat malam telah mencapai puncak. Sampai di rumah pun, tak bisa langsung tidur. Piring dan perkakas makan kotor menumpuk di dapur. Clary paling tidak bisa melihat benda-benda kotor ditumpuk melewati malam. Tangannya otomatis membereskan semua itu. Praktis pukul satu ia baru naik ke pembaringan. Bagaimana tidak oleng bila jam empat pagi sudah bangun kembali.

Setelah membereskan pekerjaan rumah, Clary bergegas ke pasar. Ia punya pesanan ayam kalasan dan satu loyang bolu. Ia juga punya rencana untuk membuat ayam panggang dengan rasa yang berbeda. Jadilah sepanjang pagi itu ia sibuk di dapur.

Mama Mama Suwi bangun ketika matahari telah tinggi. "Mana sarapan Mama?" tuntutnya begitu menemukan Clary di dapur. Lawan bicaranya tengah sibuk menata ayam goreng dalam kotak-kotak kemasan.

"Ada di meja makan, Ma." Tangan Clary terus bekerja di atas puluhan kotak yang berderet di meja dapur.

"Udah dingin. Buatin yang baru." Instruksi Mama Suwi meluncur begitu saja.

"Aku baru ngerjain banyak pesanan, nih," kilah Clary. Masa iya, harus memasak dua kali. Lantas untuk siapa sarapan yang sudah dibuat tadi?

Mama Suwi memang kerap mengidap tuli selektif. Ia sengaja tidak mendengar keluhan anaknya. "Pakai telur ini aja, biar cepat!”

"Jangan pakai yang itu, Ma. Itu telur buat kue." Tangan Clary gesit mengambil telur itu dari mamanya.

"Heh? Terus kalau Mama kepingin makan telur, pakai telur yang mana?"

Clary tidak mau dibikin susah lagi kali ini. Kalau sampai telur itu berkurang, kuenya tidak akan sempurna. "Nggak ada, Ma. Mama kasih uang dulu, biar kubelikan telur."

"Apa?" Mama Suwi mendelik. "Jadi kamu hitung-hitungan sama Mama gara-gara telur?"

"Iya. Soalnya itu telur pelanggan, bukan telur Mama."

Mata Mama Suwi berkilat. "Kalau gitu Mama mau makan ayam ini aja!" Jemari bulat besar itu bergerak ke salah satu kotak yang berisi ayam.

Kontan Clary memekik. Tangannya cekatan mengambil telenan untuk menghadang jemari Mama Suwi. Tak ayal, jemari itu batal menyentuh ayam dan membentur telenan.

"Kamuuuu!" dengkusan Mama Suwi menggema di seluruh ruang. Dengan amarah meletup, diambilnya sebutir telur. Niat hati ingin melempar ayam-ayam itu dengan telur hingga rusak. Apa daya, telenan di tangan Clary bergerak dengan tangkas menangkis sehingga telur itu jatuh ke lantai.

Mama Suwi kalap. Ia melempar telur kembali. Kali ini tangkisan Clary lebih keras. Telur itu terlempar tepat ke wajah wanita itu dan membuat pandangan mata kabur. Mama Suwi menyumpah-nyumpah tanpa ampun seraya membersihkan sisa telur dari wajah. Sebagai efeknya, sepanjang pagi itu ia tak berani mengganggu Clary.

Clary mengemas kotak-kotak makanan itu ke dalam kantung plastik. Dimintanya Pak Jito untuk mengantar. Setelah semuanya selesai, ia mulai memikirkan menu ayam yang baru. Tapi kalau suasana rumah seperti ini, ia harus mencari tempat yang aman buat mencoba menu baru. Kontan, dapur milik tetangga seberang terbayang dalam benak. Clary segera mengemasi perkakas masak dan pergi ke rumah indekos Gendhis diam-diam.

☆☆☆

 

"Masak apa, Cla?" tanya Gendhis saat menemui Clary di dapur indekosnya. Kepalanya terjulur untuk melongok isi panggangan teflon.

"Mau bikin sampel makanan buat dijual."

"Wow! Jualan apa kamu?"

"Ayam panggang saus kecombrang [1]."

Mata Gendhis membulat. "Aku mau! Boleh, kan? Sebelum dijual harus lolos tes tetangga dulu!"

"Boleh! Tapi makannya ntar setelah difoto."

"Ngapain difoto?"

"Mau dimasukin Instagram."

"Yey! Pesta lagi hari ini! Makasih Cla tersayang, aku padamu deh! Eh, ralat. Aku pada ayam panggangmu, ding." Gendhis girang sekali membayangkan makan gratis.

Aroma saus kecombrang menguar di dapur itu, membangkitkan tetesan liur. Clary mengangkat ayam dari panggangan dengan hati-hati lalu menatanya di pinggan dengan hiasan selada, tomat, dan ketimun. Gendhis turut nimbrung.

"Hih, kamu Ndhis girang banget kalau gratisan," gerutu Clary. Si gadis hitam manis cuma membalas dengan nyengir kuda.

Berdua mereka berfoto ria di dapur yang sempit itu. Setelah puas dengan hasil pemotretan, mereka mengambil piring dan nasi, bersiap untuk mencicipi ayam. Belum sempat menyantap, sesosok besar berdiri di ambang pintu.

"Mama?" Clary menelan ludah melihat siapa yang datang dengan wajah datar dan sinis.

"Jadi kalian yang ribut di sini?" Nada suara Mama Suwi membuat Clary dan Gendhis merinding.

Matanya Mama Suwi mengerling ke ayam di meja "Ayam siapa itu?"

"Ayam saya!" Gendhis menjawab spontan dengan lantang. 

Mama Suwi menatap tajam. "Clary masakin kamu?"

"Oh, bukan, Tante. Ini buat pacar saya." Gendhis meringis. 

"Aku jual ayam ke Gendhis, Ma," timpal Clary dengan cepat. Tumben otaknya lancar di saat genting begini.

Mama Suwi merengut. "Mama minta dimasakin, kamu nggak mau. Lha kok, kamu malah masakin si Lokomotif ini!"

"Lokomotif?" Gendhis terheran.

"Lah iya. Kamu kan item kayak lokomotif."

Gendhis meringis. "Item tapi banyak yang nunggu, loh. Tante, habis ini Cla masakin Tante, kok. Tante mau dimasakin apa?" Gendhis menyahut dengan manis tanpa tahu akibat perkataannya.

" Mama kepingin dimasakin sayur lodeh."

"Nah, tuh, Cla. Mamamu kepingin sayur lodeh," timpal Gendhis. 

Sontak Clary mendelik. Terbayang, pekerjaannya bertambah lagi satu.

Gendhis meringis saja dipelototi. "Loh, kenapa? Nggak salah kan kalo kamu masakin mamanya sendiri? Ya nggak, Tan?"

"Pinter kamu, Ndhuk. Siapa namamu?"

Gendhis mengulurkan tangan. "Kenalin, Tante, saya Gendhis."

"Gendhis? Namamu manis, semanis orangnya. Kuliah apa kamu?"

"Kedokteran gigi."

"Ow, calon dokter gigi? Boleh dong, Tante periksa gigi kapan-kapan?"

"Boleh banget, Tan! Kami sering bikin program cabut gigi masal gratis," jawab Gendhis ngawur.

"Tante kira cuma kawin dan sunatan aja yang bisa masal."

"Cabut gigi juga bisa masal. Tante mau minta dicabut berapa pun dilayani. Minta dihabiskan semua juga bisa. Gratis kok."

Clary langsung garuk-garuk pantat mendengar itu. Biar bukan anak FKG, ia juga tahu tidak bisa sembarangan mencabut gigi, apalagi dicabut semua.

"Hih, lucu kamu! Saya nggak mau ompong! Tapi Tante beneran suka sama kamu." Dalam hati, Mama Suwi benar berharap bisa berobat gigi gratis. Kalau bisa gratis kenapa harus membayar. Benar, 'kan?

"Hehehe, makasih Tante. Nanti saya jagain Clary biar nggak nakal."

"Nah, Tante suka itu! Pinter kamu!"

Mama Suwi tak menunggu lama untuk menghardik, "Bikin sayur lodehnya nggak pake lama!"

Kesal sekali Clary saat itu. Tanpa berpikir lama, ia mengambil pisau lalu pergi ke halaman. Diambilnya segenggam rumput, lalu dicampur dengan terung, kacang, melinjo, dan labu. Dimasaknya dengan santan dan cabai hijau. Lodeh rumput itu disajikan panas-panas dalam mangkuk. Tanpa banyak komentar, Mama Suwi melahap isi mangkuk hingga tandas.

________________

[1] Kecombrang, nama latinnya Etlingrea elatior, adalah tanaman rimpang yang bunga dan batang daun mudanya bisa dimakan. Aromanya yang tajam dan rasa yang khas membuatnya cocok dibuat sambal untuk menemani makan ikan atau daging. Di Kalteng, dikenal dengan nama potok.

9

Tidak Peka

 

Clary memenuhi janji untuk bertemu Damai di rumah Pak Jito. Dengan kepala penuh tanda tanya, kakinya melangkah dengan gegas. Tangannya menenteng satu kantung plastik puding. Begitu sampai di depan rumah, ia langsung disambut oleh Bu Jito. Perempuan yang seminggu ini mengerjakan paket-paket kateringnya itu menyapa dengan ramah. Tapi ada yang aneh. Bu Jito memang ramah seperti biasa, namun begitu keluar ke teras, ia cepat-cepat menutup pintu. 

Kok seperti ada yang disembunyikan, pikir Clary.

"Ada apa, Bu? Paketannya ada masalah?" tanya Clary. Matanya melihat sekeliling halaman untuk mencari keberadaan Damai. Sosok yang dicari tidak kelihatan batang hidungnya. Matanya malah menangkap tumpukan kotak makanan yang siap dikirim, diletakkan di kursi teras.

Clary menengok sebentar isinya, lalu meletakkan irisan puding sebagai ekstra. Membuat puding itu murah, namun tambahan sedikit camilan itu akan membuat makan siang terasa istimewa. Semoga dengan cara ini pelanggannya tidak bosan.

Clary mengirim pesan ke Bu Marini, kontaknya, bahwa siang ini ada ekstra puding. Wanita itu langsung membalas pesan teksnya.

Bu Marini_ Waw! Seneng banget! Makasih ya Mbak Clary. Kata teman, makanannya enak.

Begitulah balasan penuh suka cita dari Bu Marini yang dikirim melalui WA. Clary tersenyum puas. Memasak memang melelahkan, namun bila dibuat usaha, hasilnya juga lumayan. Sejenak ia sibuk dengan ponselnya.

"Kok senyum-senyum terus dari tadi, Mbak?" tanya Bu Jito. 

Clary nyengir. "Dapat orderan lagi. Kue ulang tahun."

"Wah, lancar nih bisnisnya. Semoga saya kecipratan rezeki juga."

"Amiiiin!" Clary celingukan sejenak, memindai keberadaan Damai. "Mas Damai di mana, katanya mau ketemu di sini?"

Mata Bu Jito mengerling penuh arti. "Maaf, lho, Mbak. Saya nggak enak sebenarnya."

"Ibu nggak enak? Ibu pernah dimakan siapa?"

Mata perempuan itu melebar. Ia tidak tahu Clary sebenarnya bertanya betulan, bukan bercanda. "Dimakan Bapak," jawabnya sambil terkikik-kikik.

"Hah?" Mata Clary melebar horor.

"Dih, Mbak Clary! Ibu cuma bercanda. Ayo cepat masuk." Bu Jito membuka pintu. Ditariknya tangan gadis itu untuk masuk ke ruang tengah.

Rumah kecil nan sederhana itu memiliki ruang tamu dan ruang tengah sempit yang hanya dipisahkan dengan gorden. Tanpa berpikir apa-apa, Clary menyibakkan gorden pemisah. Ia tertegun. Kejadian berikutnya membuat gadis itu terpaku di tempat.

"Happy birthday, Clary!" 

Lengkingan suara si Lokomotif Eksotis menembus pendengaran Clary. Detik berikutnya, tubrukan dan pelukan erat gadis itu membuat Clary sesak napas. Belum selesai memeluk, Gendhis mendaratkan ciuman di pipi kiri dan kanan Clary. 

"Selamat, ya, Cla. Semoga sehat, bahagia, dan diberkati Tuhan," ucap Gendhis.

"Makasih banget, Ndhis." Clary langsung meleleh. Ia baru ingat sekarang adalah hari ulang tahunnya. Oh, segala kesibukan mencari uang dan kekesalan dengan Mama Suwi telah membuatnya lupa waktu. Dengan mata berkabut karena haru, ia memandang sekeliling. Ada empat orang lagi di situ selain Gendhis.

"Pak Jito, Mas Damai, Gendhis, Lud." sapa Clary. Ia sungguh tak menyangka. Ternyata mereka begitu perhatian padanya. Benar, ya. Di saat susah dan terpuruk, selalu datang hiburan tak terduga. Ternyata hidup itu adil.

"Selamat, ya, Clary. Semoga sukses, sehat, dan bahagia selalu," kata Damai lembut. Cowok rupawan itu telah menunggu dengan kue tart mungil yang dihias dengan cokelat berbentuk rumah dan taman. Di sela-selanya, menyala dua buah lilin dengan angka 22.

Sorot mata Damai yang syahdu menerobos benteng pertahanan Clary sehingga tanpa terasa air matanya runtuh. "Makasih banget, Mas," bisiknya sambil terbata.

"Ayo tiup lilinnya dan make a wish!" seru Gendhis.

Clary mengusap kedua mata dengan tangan. Sambil memejamkan mata, ia membuat permohonan dalam hati. Setelah dirasa cukup, ia meniup kedua lilin hingga padam. Bu Jito memeluknya dengan sayang. Pak Jito dan Damai menyalaminya.

"Ayo potong kuenya!" pinta Damai lagi. 

Clary menurut. Dengan hati masih penuh haru, dibelah-belahnya kue itu dan dibagikannya kepada yang lain.

"Mas, aku nggak nyangka banget. Dari mana Mas tahu hari ulang tahunku?"

Damai tersenyum manis. "Kamu kan memberi fotokopi ijazah dan KTP sewaktu melamar kerja kemarin. Terus ada sohib terbaikmu yang nggak pernah lupa sama ulang tahun temannya."

"Oh, itu." Clary manggut-manggut. "Sekali lagi, makasih, Mas."

"Yuk, makan dulu. Aku sudah memasakkan makanan ala kadarnya. Yang jelas berbumbu rasa sayang untuk sahabat." Gendhis memberikan cengiran.

"Ya, ampun Ndhis! Kamu bisa masak?" seru Clary. Bertambah-tambah saja rasa bahagianya. Gendhis memasak untuknya! Pasti cewek itu sudah sangat menderita. Gendhis kan paling gagap soal urusan masak-memasak.

"Ih! Bukannya terima kasih, kamu malah menghina. Udah! Mau makan nggak? Kalau enggak, aku bawa pulang aja ayamnya!" protes Gendhis. Lud langsung menyikut pinggang Gendhis hingga cewek itu meringis malu. 

Ruang tengah Pak Jito yang sempit segera menjadi riuh saat keenam orang itu berebut mengambil makanan. Saat mereka tengah sibuk menyantap hidangan, Damai sengaja mendekati Clary, lalu mengajak gadis itu duduk berdua di ruang tamu. 

Sejenak, Clary tidak tahu apa yang harus dilakukan selain menyantap kue dengan perlahan. Duduk berhadapan dengan Damai sungguh menggoncang ketenangan. Jantungnya menderap seperti diajak lari maraton.

Bukan cuma kehadiran dan perhatian Damai yang mengusik hati. Ada satu hal lagi. Kue dan ulang tahun. Bukankah seharusnya ada seorang lagi yang mengucapkan selamat? Clary membuka ponsel dan mencari-cari notifikasi dari kekasihnya. Hasilnya nihil. Secuil sudut hati rontok di dalam sana. Kue yang seharusnya manis itu mulai terasa pahit.

"Gimana kuenya, enak?" Tiba-tiba Damai memecah keheningan.

"Enak, Mas," jawab Clary tanpa berpikir.

Damai terkekeh. "Sebenarnya lucu juga, ya. Pembuat kue diberi hadiah kue."

Clary ikut tertawa. "Aku senang kok, Mas."

Mereka kembali melanjutkan makan dalam diam. 

"Kamu cantik sekali," puji Damai setelah mengamati penampilan Clary yang datang dengan baju terusan katun renda berwarna biru muda. Kulitnya yang putih langsung terlihat terang.

Clary tersipu. "Mmm, Mas Damai juga kelihatan ganteng kali ini." Benar sekali penilaian Clary. Mengenakan kaus warna hijau toska, lelaki itu terlihat menawan. Apalagi rambut pendeknya ditata rapi. Ia semakin macho saja.

Mata Damai melebar dan senyumnya terkembang menerima pujian itu. "Makasih ya, Ri. Mmm, aku boleh ngomong sesuatu?"

"Boleh."

"Aku harap kamu nggak salah paham, ya," kata Damai dengan nada yang dalam. Matanya menyorotkan tatapan asing. 

Kata-kata Damai membutuhkan waktu untuk dicerna otak pentium Clary. "Salah paham apa?"

Damai mengangkat kedua bahu. "Ya, salah paham kalau aku punya maksud tersembunyi. Aku cuma kagum dengan kegigihanmu, Clary. Lalu tiba-tiba ingin memberi sesuatu yang membuatmu senang."

Rentetan kata itu sukses membuat Clary tersentuh. "Mas Damai, aku berterima kasih banget. Aku nggak sangka ada orang yang perhatian sama aku."

"Benar nggak papa?"

"Benar!"

"Syukurlah kalau kamu tidak mikir yang enggak-enggak. Yuk cepat dihabiskan. Nanti kalau pergi kelamaan, bisa-bisa dicari mamamu."

Mata Clary melebar saat mendengar mamanya disebut. "Mas, kayaknya aku nggak bisa bawa kue ini pulang. Takut Mama mikir macam-macam. Mas Damai nggak kecewa, kan?"

Damai terkekeh kembali, memperlihatkan deretan gigi putih nan rapi dan lesung pipit yang indah. "Enggak, dong. Nggak akan ada makanan mubazir di kos-kosan cowok."

Damai mengantarkan Clary sampai di depan rumah. Dengan malu-malu, Clary berpamitan, "Aku pulang."

"Hati-hati di jalan. Jangan nyasar."

"Kok nyasar, Mas? Rumahku cuma di seberang situ."

Damai terbahak. "Aku bercanda, Ry!" Entah mengapa, lambat loading-nya Clary itu terasa menggemaskan.

☆☆☆

 

Seharian itu, Clary menunggu ucapan selamat dari Iyud. Bolak balik matanya mengecek ponsel, berharap menemukan pesan ucapan ulang tahun entah di mana. Ia juga memeriksa akun media sosial miliknya dan kekasihnya, siapa tahu ada kiriman ucapan di sana. Semua upaya itu nihil. Semuanya sunyi. Kekecewaan itu terbawa hingga tidur. Ia gelisah sepanjang malam. Tidurnya tak nyenyak dan kerap terbangun.

Pagi hari, panggilan telepon berdering saat Clary menyiapkan pesanan kue ulang tahun. Matanya bersinar ketika tahu nama Iyud terpampang di layar. 

"Sayangku baru apa?"

Hati riang Clary mendadak berubah muram saat mendengar nada suara tanpa rasa bersalah itu.

"Bikin tart pesanan orang," jawabnya datar.

"Wow, bisnismu cair, ya? Selamat ya, Sayang. Kamu memang calon istri terbaik."

"Iya."

"Loh, kok sepotong-sepotong begitu menjawabnya? Kamu baru kesal?"

"Enggak." Malas sekali Clary memperpanjang pembicaraan.

"Tuh, kaaan? Kamu masih marah karena aku nggak bisa datang wisuda?" 

"Enggak."

"Aku begitu kan demi kuliah, Ry. Demi masa depan kita juga. Kamu nggak mau punya suami pengangguran, kan?"

"Iya, aku tahu."

"Nah, gitu dong. Sekarang mana kata-kata sayangnya?" Manja sekali suara Iyud. Rupanya pemuda itu benar-benar tidak sadar telah menyakiti hati kekasihnya.

"Aku sayang kamu," jawab Clary datar.

"Nah, gitu. Aku langsung meleleh nih."

"Hm."

"Ry, aku boleh nggak dikirim pulsa? Kantongku kempes. Kemarin banyak beli bahan buat bikin maket."

"Iya."

"Ah, makasih banget."

"Udah, itu aja?"

"Iya. Itu aja. Emang ada apa?"

Clary menggigit bibir dengan sangat merana. Kamu beneran lupa, Yud?

"Nggak ada apa-apa."

"Oh, ya. Mulai hari ini aku bantuin Rika buat nyelesain proyeknya bos. Kamu mungkin nggak bisa telepon aku sementara."

"Kenapa begitu?" Mendengar nama Rika, kepala Clary langsung berdenyut. Nyeri.

"Kami dapat tugas dari bos mengurus proyek di perkebunan teh. Kabarnya di sana nggak ada sinyal."

"Dengan siapa aja?"

"Cuma berdua." Santai sekali jawaban Iyud.

"Lama?"

"Empat hari."

Empat hari di pedesaan hanya berdua? Oh, bukan hanya kepala Clary saja yang berdenyut. Telinganya pun turut mendenging nyaring. 

☆☆☆

 

Terduduk lesu di kasur kamar kosnya, Iyud termangu menatap layar ponsel. Di sebelahnya, duduk dengan manis, Rika.

"Aku keterlaluan nggak sih, Rik?" desahnya dengan mata sendu.

"Enggak. Kamu sudah benar. Itu pilihanmu, kan?" Senyum lembut Rika terkembang. 

"Aku bisa merasa dia pasti hancur banget." Lirih suara Iyud seperti berkata pada dirinya sendiri.

Rika tidak menjawab. Ia bergerak mendekat lalu merengkuh Iyud dalam pelukan. "Aku sayang kamu, Yud. Sayang banget. Bahkan melebihi dia! Nggak cukupkah itu buat kamu?"

10

Saran Melantur

 

Setiap mengingat Iyud, hati Clary seperti diiris. Sekarang pacarnya itu tengah berduaan di pelosok bersama Rika! Menyedihkan sekali. Benarkah Iyud masih mencintainya? Sedang apa mereka berdua saat ini? Mata Clary sampai menghitam bagai panda karena sulit tidur. Banyak pekerjaan dan banyak pikiran membuat tubuhnya menyusut dengan cepat.

Prayoga, ayah Iyud, sempat datang dan menjelaskan bahwa foto-foto itu tidak benar. Ia meminta Clary bersabar menunggu Iyud pulang dan menjamin pernikahan akan tetap berlangsung. Ia juga meminta Clary untuk menjaga Iyud karena dirinya kerap bekerja ke luar kota dan sudah kewalahan mengatur anaknya. Clary paham. Iyud dan ayahnya tidak akur. Sebagai duda berumur 47 tahun, Prayoga nekat pacaran dengan cewek-cewek yang jauh lebih muda. Iyud protes keras karena malu banget punya bapak sugar daddy.

Clary hanya bisa mengiyakan. Otaknya bisa menerima alasan itu. Apa mau dikata, hati kerap punya kemauan lain. Celakanya, hatinya kini jelas-jelas berteriak tidak percaya pada Iyud. Barangkali kalau tidak sibuk bekerja dan memiliki teman, Clary bisa depresi.

Salah satu sumber hiburan Clary datang menjenguk sore itu. Gendhis. Gadis centil nan naif yang mengaku manis seperti gula.

"Cla, aku ada kabar gembira, loh!!" Kata-kata gegap gempita itu memenuhi kamar tidur Clary.

"Kabar gembira apa?" 

"Mau tahu aja, apa mau tahu banget?"

"Banget!"

"Gini, siapin hati dan otak, ya! Jangan lama-lama loading-nya dan jangan kaget, loh!" Mata Gendhis semakin terang dengan binar harapan. "Cla, gila ga, sih? Aku kan jadian sama Lud. Terus tiba-tiba orang tuanya mau ngelamar aku!"

"Ngelamar buat Lud?"

Gendhis berkerut kening seketika. "Buat kakeknya!"

"Hah? Kamu dapat kakek-kakek?" Clary ternganga tak percaya.

Kontan Gendhis menepuk jidat. Bicara dengan Clary kadang butuh kesabaran tingkat tinggi. "Ya buat Lud, Cla! Masak iya, aku mau sama kakek-kakek? Cakep-cakep koyo ngene?"

"Ooo! Beneran mereka mau ngelamar?"

Gendhis mengangguk berulang kali dengan sangat yakin. "Gimana, kabar baik banget, kaaan? Akhirnya predikat jomblo legend-ku lenyap. Oooh, terharu aku!"

Clary ikut mengangguk-angguk bingung. Kapan mereka pacaran? Apa Lud tidak terpaksa? Dirinya yang empat tahun pacaran saja tidak bisa mendeteksi kalau Iyud bisa selingkuh. "Kok cepet banget? Lud sehat, kan?" 

"Claryyyyyy!!! Kamu sama aja kaya teman-temanku yang lain, deh!" Wajah eksotis hitam manis itu merengut maksimal.

"Ya aku kan takut kamu salah pilih ... kayak aku. Mana tahu Lud punya kelainan sampai cepat-cepat dinikahin gitu."

Gendhis menepuk jidat untuk kedua kali. "Dia pejantan tangguh, kok." Suaranya setengah berbisik. Matanya celingak-celinguk. Sambil mendekatkan mulut ke wajah Clary, gadis yang tak pernah kehabisan energi itu melanjutkan kata-katanya, "Mami kepingin kami bikin banyak anak ...."

Clary terbengong heran. Apalagi sekarang Gendhis cekikikan sendiri dengan mata menerawang. Ia mulai khawatir dengan kesehatan rekan lamanya ini. "Kok tahu dia pejantan tangguh?" Ia ikut-ikut berbisik.

"Hehehe, nebak aja," jawab Gendhis sambil garuk-garuk kepala dan nyengir maksimal. Wajahnya mulai terlihat ragu.

"Cek dulu, Ndhis. Siapa tahu dia ACDC. Sakitnya tuh di sini!" Clary menepuk dada. 

Mata Gendhis mulai bergoyang. Clary hafal, itu artinya ia tengah berpikir. 

"Gimana ngeceknya Cla? Aku kan polos. Xixixi kamu lola gitu ternyata gercep masalah gituan. Tolong bimbing saya master." Gendhis memberi penghormatan ala-ala pendekar kungfu.

"Hah? Apa maksudmu minta bimbing aku? Aku harus ngecek Lud?" Mata Clary melebar maksimal. "Nggak mauuuu!"

"Kok nggak mau? Emang cara ngeceknya kaya apa?"

Cla kini bingung. "Dicobain sama seseorang kali, ya?"

"Gilaaakkkk Clary!"

"Kok gila?"

"Lha itu kamu bilang dicobain? Gimana nyobainnya?"

Clary semakin bingung. "Nyobain apa maksudnya?"

Gendhis kini yakin kalau dirinya telah salah mendatangi orang. "Maksudmu dicobain apa?"

"Dicobain tanya ke orang yang tahu. Emang kamu ngebayangin apa?"

Dengan nanar, Gendhis menatap mata bening Clary. Ia baru sadar si polos ini pasti tidak berpikiran aneh-aneh. Sekarang mengapa ia yang merasa menjadi manusia mesum?

Mereka termenung dan saling pandang sejenak, sibuk dengan pikiran masing-masing. Clary segera teringat masalah Iyud. Hatinya menjadi sesak dan ingin menumpahkannya pada seseorang.

"Ndhis, kalau pacarmu selingkuh, kamu bakal ngapain?" Clary bertanya dengan mata redup.

Iba juga hati Gendhis melihat itu. "Heh! Kalo aku, gak pake mikir, Cla. Langsung putus, cari yang lain!"

"Tapi papanya Iyud udah kasih uang ke Mama buat nikahan. Trus uangnya dikembaliin?"

"Iya, kembaliin aja! Kita nggak butuh merendahkan harga diri demi uang. Iyo gak?"

"Iya, sih." Lemas sudah tubuh Clary. Mana mungkin mama tirinya mengembalikan uang, bukan?

☆☆☆

 

Sudah beberapa hari Clary hilir mudik ke pusat perbelanjaan di daerah Babarsari untuk mencari kebaya. Karena masih belum menemukan yang cocok, akhirnya ia berniat kembali ke sana pagi itu setelah membereskan urusan rumah dan pesanan kue. 

Clary mengeluarkan sepeda motor dari garasi dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian mama tirinya. Apa daya, Mama Suwi memergoki. Segera saja wanita tambun itu memelotot. 

"Kamu ini, ya. Mama cuma izinkan pakai motor kalau pergi kerja. Sekarang pagi-pagi mau ngeluyur ke mana?"

"Mau cari kebaya, Ma. Lagian apa bedanya pagi sama malam?" sanggah Clary. Semenjak punya usaha dan pekerjaan, ia tak terlalu khawatir dengan kemarahan Mama Suwi. Dulu saat masih kuliah, ia benar-benar tergantung. Bila sampai diusir, ia terancam putus sekolah karena tidak akan sanggup membiayai diri sendiri. Oh, ia tidak mau DO. Biar bagaimanapun, ia membutuhkan ijazah itu untuk pijakan masa depan. 

"Makin pinter membantah aja kamu. Sekolah tinggi bukannya bikin kamu semakin santun malah semakin ngelunjak."

"Mama, aku nggak bermaksud begitu," kata Clary dengan tersenyum tenang. "Kalau kebaya Mama pas kupakai, aku pasti minjam punya Mama." Tangannya dengan sigap mengeluarkan sepeda motor warisan ayahnya yang sudah berumur tujuh tahun.

"Heh! Mama tahu Mama gendut!" sentak Mama Suwi. 

Clary cuma nyengir. Tanpa permisi lagi ia mendorong motor itu keluar garasi. Mama Suwi mendengkus keras. Sambil berbalik, ia menggerutu. Memang tidak keras, namun cukup nyaring untuk didengar Clary.

"Dasar anak haram!"

Clary terpaku di tempat. "Ma?" Mulutnya tetap terbuka saking kagetnya. 

Mama Suwi tidak menghiraukan. Ia menghilang ke dalam rumah. Akhirnya Clary tetap pergi dengan pikiran terganggu. 

Anak haram? Clary berulang kali menyebut kata-kata itu dalam hati. Ia memang anak bungsu yang jarak umur dengan kakak nomor dua cukup jauh, delapan tahun. Secara fisik penampilannya jauh berbeda dari Claudi dan Clara. Kedua kakaknya itu berkulit lebih gelap dan hidung mereka biasa saja. Ia juga tidak mirip kedua orang tuanya. Lihat saja, kulitnya putih sekali. Tulang rahang tegas dan hidung yang sangat mancung membuat orang kerap mengira dirinya memiliki darah Kaukasia. Benarkah ayahnya bukan ayah kandung? Lantas, siapa ayah biologisnya?

Tubuh Clary gemetar saat memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Tak sanggup melanjutkan perjalanan, akhirnya ia menepi dan memutuskan singgah di warung kopi di ujung gang.

Warung semipermanen itu sempit, namun memanjang. Di dalamnya berderet lemari pajang pendek yang memanjang, membentuk huruf L, penuh dengan aneka barang dagangan. Di depannya ada meja dan bangku dari kayu, memanjang mengikuti bentuk lemari pajang. 

"Mbak Clary, mau ambil uang bakpao?" tanya Bu Marsiyo, istri pemilik warung. Tanpa menunggu jawaban, perempuan itu menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Besok tambah sepuluh lagi, Mbak. Kayaknya banyak yang suka. Cepat habis."

"Makasih, Bu. Saya boleh pesan STMJ?" Clary sengaja memesan minuman campuran susu, madu, jahe, serta telur. Rasanya tubuhnya memerlukan tambahan energi.

"Wah, pesannya yang berat-berat. Kecapekan, ya, banyak pesanan?"

"Lumayan, Bu. Saya juga kerja ikut dokter praktik setiap malam."

"Wah, kalau Mbak Clary ini jaminan banget! Suaminya nanti pasti senang. Udah cantik, ulet, baik lagi."

Clary tersenyum miris. Siapa yang akan menjadi suaminya? Iyud semakin hari semakin menjauh. Tak ingin melanjutkan pembicaraan, Clary mengeluarkan ponsel lalu mengetik pesan untuk Clara.

Clary_ Mbak, aku sebenernya anak siapa, sih?

Lama ia menunggu balasan, sampai akhirnya bosan sendiri. Clary menyeruput STMJ-nya dengan mata menerawang. Bukan sekali ini saja Mama Suwi mengumpat anak haram. Semula ia hanya menganggap itu sebagai umpatan biasa. Semakin lama ia semakin penasaran. Mama Suwi selalu kejam padanya. Sementara kepada Clara dan Claudi, perlakuannya berbeda.

"Hai!" 

Bahu Clary ditepuk hingga membuatnya terlonjak kaget. Wajah rupawan dan aroma maskulin segera tertangkap indra Clary.

"Mas Damai? Nggak kerja, Mas?"

"Udah selesai magangnya, tinggal mengurus surat-surat." Damai duduk di sebelah gadis itu. "Bu pesan STMJ, ya," pintanya pada Bu Marsiyo.

"Oh, senangnya. Selamat ya, Mas." Diam-diam Clary suka mengamati tindak-tanduk dokter muda itu. 

"Kamu sendiri, kapan wisuda?"

"Kok tahu kalau aku mau wisuda?"

Damai tersenyum manis. "Pak Jito tahu apa saja tentang orang sekompleks ini."

"Naaah, bener itu!" timpal Bu Marsiyo sambil meletakkan gelas STMJ pesanan Damai. "Dia paling lama di sini. Sejak sekompleks ini masih pekarangan, Mbak, belum banyak rumah seperti sekarang."

Clary mengangguk membenarkan. "Minggu depan, Mas."

Damai mengangguk. "Kapan kamu menikah?" tanyanya lirih.

"Dua bulan lagi," jawab Clary lirih pula. 

"Oh, masih dua bulan."

Clary terheran. "Kenapa, Mas?"

Damai mengalihkan pandangan ke gelas. Ia tersenyum dan bergumam, "Banyak yang bisa terjadi dalam dua bulan."

Clary yang bingung dengan arah pembicaraan Damai hanya bisa terdiam.

"Kamu mau ke mana, Ry?" tanya Damai lagi.

"Mau mencari kebaya buat wisuda."

"Sendiri? Udah tahu cari ke mana?"

"Sendiri, Mas. Mau ke Babarsari. Udah dua kali ke sana tapi belum nemu yang cocok. Ini mau ke sana lagi."

"Babarsari? Masa nggak dapat? Banyak kan yang jual kebaya di sana?"

Clary cuma senyum-senyum saja. Emang banyak kebaya bagus sih, cuma uangku nggak cukup. "Mas sendiri mau ke mana?"

"Nggak ke mana-mana, emang sengaja mau nongkrong di sini," jawab Damai asal. Ia sebenarnya mau membeli keperluan sehari-hari di minimarket. Saat melihat sepeda motor Clary terparkir di samping warung, mendadak timbul keinginan untuk singgah.

"Gimana kerja di Dokter Arista? Lancar?"

Clary mengangguk. "Mula-mulanya bingung banget, Mas. Semua minta cepat. Tapi sekarang aku sudah lancar."

"Oh, syukurlah. Pekerjaan itu untuk batu loncatan aja, Ry. Kamu masih kepingin mengajar, kan?"

"Iya. Aku juga mau nabung. Siapa tahu bisa lanjut S2."

Mata Damai melebar. "Wah, cita-citamu tinggi. Seneng banget aku dengarnya." Ia sungguh-sungguh saat mengucapkan itu.

Clary tersipu malu. Entah kapan terakhir kali ia mendengar pujian tulus seperti ini. 

"Nanti malam pulang jam berapa?"

"Kayaknya nggak terlalu malam. Dokter Arista mau ngerayain ulang tahun."

"Oh, iya. Aku juga diundang. Kalian juga, kan?"

"Iya, Mas."

"Kalau gitu kita bisa ketemu lagi nanti malam."

Kalimat itu terdengar seperti janjian kencan bagi Clary. "Iya," jawabnya lemah. Tahu-tahu Damai menatap lekat-lekat. Ia sempat menahan napas. 

"Aku beneran seneng bisa kenal kamu, Ry." Kata-kata lembut itu diucapkan dengan sepenuh hati.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Clary
Selanjutnya Clary Jomlo Dadakan Bab 11-15
1
0
Iya, aku keluar. Nih, aku udah di lorong.Clary melangkah menyusuri lorong. Saat sampai di ujung, kakinya membeku. Seseorang berdiri di sana. Cowok yang gagah sekali, mengenakan setelan jas biru tua, tengah menatapnya sambil tersenyum manis, lengkap dengan sepasang lesung pipitnya. Mas Damai? .Cerita ini akan update setiap hari dan akan tamat dalam 10 hari. Karena itu, jangan ragu buat mengambil paket dukungan 30 hari...
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan