
"Kamu mutusin Iyud, ha?" tanya Mama Suwi dengan mendelik. "Anak tak tahu diri! Kamu pikir kamu udah paling cantik sedunia? Sadar, Clary! Kamu itu bukan siapa-siapa! Jadi mantu Pak Prayoga itu udah kayak dapat durian runtuh, tahu!"
"Iyud selingkuh, Ma," jawab Clary sambil menahan air mata.
"Terus gimana Mama harus bayar kembali uang pernikahannya, ha?" Mama Suwi menatap tajam. "Kamu udah bikin Mama malu banget, Clary!"
"Ma? Apa aku harus maksain menikah sementara Iyudnya udah sama cewek lain?" Clary...
Prolog
Mata Clarisa Wanda bengkak. Wajah dengan tulang rahang tegas dan hidung mancung mirip blasteran itu kusut masai. Tak terbayangkan dirinya bakal terlunta, didepak dari rumah sendiri. Untung ada sahabat yang berbaik hati memberi tumpangan.
Clary terngiang pembicaraan dengan mamanya beberapa jam yang lalu.
"Kamu mutusin Iyud, ha?" tanya Mama Suwi dengan mendelik. "Anak tak tahu diri! Kamu pikir kamu udah paling cantik sedunia? Sadar, Clary! Kamu itu bukan siapa-siapa! Jadi mantu Pak Prayoga itu udah kayak dapat durian runtuh, tahu!"
"Iyud selingkuh, Ma," jawab Clary sambil menahan air mata.
"Terus gimana Mama harus bayar kembali uang pernikahannya, ha?" Mama Suwi menatap tajam. "Kamu udah bikin Mama malu banget, Clary!"
"Ma? Apa aku harus maksain menikah sementara Iyudnya udah sama cewek lain?" Clary nyerocos begitu saja. Ia terlalu sedih untuk berpikir.
"Makanya, jadi perempuan itu harus perhatian dan melayani laki-laki. Kalau judes kayak kamu, siapa yang tahan jadi suami kamu?"
Judes? Ia judes? Geregetan juga Clary. "Ma, masa gitu, siiiiih?" pekiknya frustrasi.
"Dikasih tahu malah mendelik saja! Anak macam apa kamu? Mama nggak sudi punya anak kamu!"
Clary terkejut oleh perkataan itu. Ia memang jarang melawan, tapi kali ini ia sudah terpojok hingga ke batas terakhir.
"Aku memang bukan anak Mama, kok. Aku anak haram, kan, Mama bilang?"
Clary mendesah. Setiap teringat perdebatan dengan sang mama, ia tak sanggup membendung air mata. Semua sudah hancur. Ia diusir dari rumah. Semua ini gara-gara Iyud. Setelah menghilang beberapa minggu, pulang-pulang cowok itu malah membuat hati Clary jungkir balik. Bagaimana tidak? Di depan matanya, Iyud memeluk cewek lain!
Iyuuud!
Teganya kamu!
Rasanya sakit banget, Yuuuud!

1
Iyud
Clary tengah menonton siaran TV kesukaannya, Spongebob Squarepants. Siang itu, ia telah menyelesaikan tugas-tugas rumah yaitu bersih-bersih dan memasak. Gadis bertinggi sedang namun ramping itu tidak sadar ibu tirinya, Sukma Dewi, mengawasi sedari tadi. Semenjak menunggu wisuda, pekerjaannya seperti ini, di rumah saja.
Mama Suwi—begitu Clary menjuluki perempuan tambun berbobot lebih dari satu kuintal itu—memandang keponakan sekaligus anak tirinya dengan pandangan tajam. "Belum dapat kerjaan? Honor di mana kek? Capek lihat kamu nganggur kayak gini."
Gadis berkulit putih dan bermata besar indah itu sontak berdiri. "Iya, Ma. Udah aku masukin kok lamarannya. Tapi aku pakai ijazah SMA."
"Ya ditanya lagi, jangan didiemin aja."
"Iya, Ma."
"Ya udah. Usaha jualan kue kamu udah ada orderan?"
"Ada, Ma. Tadi laku dua kilo nastar."
"Mana untungnya?"
"Ada, Ma."
"Sini, Mama simpan."
"Kok gitu? Aku mau pakai buat modal besok."
"Kamu nggak percaya sama Mama?"
Clary diam saja. Mama Suwi mendengkus dengan marahnya.
"Ya udah. Gitu aja nggak percaya. Emang Mama ini kurang uang apa? Mama kan cuma bantuin kamu menabung!" Sesudah mengomel begitu ia berlalu dengan langkah terhuyung. Maklum, dengan lemak berlimpah di tubuh, ia sulit berjalan mulus.
Clary mengembuskan napas lalu menjatuhkan diri di sofa ruang tengah. Lama-lama, ia ingin juga melarikan diri dengan bekerja di luar kota, seperti kedua kakaknya, Claudi dan Clara. Diraihnya koran hari ini. Itulah hiburan untuk membunuh waktu selain memasak.
Ia masih tercenung memandangi deretan iklan lowongan kerja di koran saat terdengar suara kecil dari arah pintu depan.
"Clary!"
Hati Clary seketika mengembang. Ia kenal suara itu! Dari kejauhan sudah terlihat sosok cewek berdiri di depan jendela, sedang mematut dandanan di kaca depan yang gelap. Bibirnya tak dapat menahan senyum. Gadis itu masih sama seperti dulu, narsis! Serta merta ia tinggalkan ruang tengah.
"Ndhis, stop! Kebiasaanmu manyunin bibir tu bikin cowok-cowok lari," tegur Clary sambil merengkuh tubuh gadis yang dipanggil Gendhis itu. Tampak sekali ia kangen.
Gendhis adalah teman kosnya dulu. Gadis hitam manis yang suaranya riuh itu mahasiswi kedokteran gigi. Sejak ayah Clary membeli rumah di Jogja, ia terpaksa berpisah dari sahabatnya itu.
Bertahun lalu, ayah dan mama tiri Clary tinggal di Semarang karena tugas sang ayah. Clary sempat kos selama dua setengah tahun. Kemudian ayah Clary pindah tugas di Yogyakarta dan membeli rumah itu sehingga ia tidak perlu kos. Baru menempati rumah setahun, ayahnya meninggal dunia.
"Ya ampun," protes Gendhis. "Bibirmu tolong dong dikasih filter. Bisa nggak sih nggak naburin garam di luka mengangaku?"
Clary melepaskan pelukan lalu memandangi wajah sobatnya dengan heran.
"Bayangkan Cla, hatiku ini kaya remah rengginan di toples hari raya. Ancur lebur tak berbentuk," keluh Gendhis lagi. Tangannya meremas kaos bagian dada.
Clary terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Gendhis masih selebay dulu.
"Ayo masuk," ajaknya.
Gendhis mengangguk. Clary menutup pintu depan. Saat ia berbalik, Gendhis sudah tak terlihat. Ia segera menyusulnya ke ruang tengah.
Dan di sanalah Gendhis, duduk manis di meja makan dengan sebelah tangan mengangkat tudung saji dan sebelah lagi mencomot tahu isi yang masih panas.
"Gendhis, please, cuci tangan dulu kenapa?" tegur Clary.
Yang ditegur cuma nyengir, lalu dengan tahu tergigit di mulut ia ngacir ke wastafel.
"Cla ... awu wau winwah wi ...," katanya tak jelas.
Bukan sekali saja ia melakukan hal seperti itu. Clary yakin sobatnya belum mati tersedak itu murni karena belas kasihan Tuhan YME.
"Telan dulu tahunya, baru ngomong."
"Cla, aku mau pindah. Aku udah nggak tahan tinggal di kos setelah kejadian Bima malu-maluin aku di warung Mbok Jum. Tahu info indekos nggak?"
Clary terpana. Otak lolanya tidak bisa menganalisis. Hah? Siapa Bima? Siapa Mbok Jum?
Biarpun begitu, telinga Clary masih jelas mendengar Gendhis mencari indekos. Pucuk dicinta ulam tiba! Serta merta Clary membayangkan komisi dari Bu Nuh yang akan masuk ke rekeningnya. Sambil nyengir lebar, ditepuknya punggung Gendhis dengan girang.
"Beneran kamu mau cari indekos?" tanyanya.
Gendhis mengangguk.
"Ada! Tuh di seberang," kata Clary sambil memberi isyarat dengan dagu.
Gendhis mengikuti arah yang ditunjuk. Seketika matanya membulat dan dia ... coba tebak. Demi jin-jin penunggu pohon beringin di alun-alun, dia jingkrak - jingkrak! Clary hanya meringis saja melihat kelakuan kekanakan Gendhis.
Begitulah. Siang itu, Clary menghabiskan waktu dengan menemani sahabatnya merampok meja makan. Bahkan saat pulang, Gendhis tanpa malu merengek minta kue nastar yang Clary siapkan untuk Mama Suwi. Tidak tanggung-tanggung, dua toples. Dua toples saudara-saudara! Bisakah kalian percaya itu?
"Ndhis, bantuin aku nyari kerjaan, dong?" Clary ganti minta bantuan.
Gendhis berkedip-kedip saja memandang mantan teman kosnya. Dasar memang.
🌻🌻🌻
Sore itu, cowoknya Clary, yang punya nama lengkap keren sekeren orangnya, Yudinata Abiyaksa menghubungi. Clary senang walau hanya bisa melihat wajah lelaki berambut bergelombang itu melalui video call. Ia terlihat tampan dengan hidung besar mancung dan mata indah yang membangkitkan rindu.
"Baru apa, Sayang?" sapa Iyud, panggilan akrab orang-orang pada cowok itu.
"Baru nungguin kamu pulang."
"Waduh, belum-belum udah nyindir. Iya, aku tahu kamu kesepian. Tapi kamu nggak sendiri, aku juga kesepian di sini." Mantap sekali rayuan Iyud, membuat hati Clary meleleh.
"Kamu di mana ini?"
"Hmm, di warung makan."
"Itu warteg? Ntar kalo diare gimana?" Diam-diam Clary prihatin. Waktu di Jogja, Iyud sering makan masakannya. Sudah pasti terjamin kebersihan dan nutrisinya.
"Ya, nggak semua makanan warteg bikin diare. Habis mau beli yang branded nggak sanggup dompetku." Terlihat Iyud terkekeh.
"Jangan gitu. Pilih yang bersih dan nggak ada lalatnya dong. Kalo kamu sakit di sana kan repot."
"Uangku mepet, Ry. Ntar aku bikin mi instan aja di kos, biar bersih dan murah meriah."
Mata Clary mendelik. "Jangaaaaan! Keseringan makan mi instan itu nggak sehat, Yud!"
"Kata siapa?" Iyud mencibir. "Kirimin aku uang jajan, dong?"
Clary bingung. Ayah Iyud punya perusahaan konsultan arsitek. Masa anaknya kekurangan uang? Tapi Clary selalu lemah menghadapi Iyud. "Iya deh, ntar kutransfer uang saku, ya. Tapi janji, beli makanan yang sehat."
Iyud meringis girang. "Cewekku emang terbaeekk!"
"Ih, kalau dapat kiriman aja memuji." Clary manyun panjang, masih setengah menggondok. Ia tidak mengerti mengapa selama di Jakarta cowok itu berubah drastis. Seperti bukan Iyud yang selama ini ia kenal.
"Ngomong-ngomong, aku kangen nasi goreng terasi dan sayur lodeh bikinan kamu," ucap Iyud lagi.
"Masa?"
"Aku juga kangen sama camilan eksperimen kamu yang rasanya ajaib-ajaib itu," lanjut Iyud.
Mata Clary melebar. Ia selalu lupa diri setiap membahas kue dan masakan. "Mau aku kirimin eksperimen baru? Aku bikin kripik telur dilapis bubuk cabe."[1]
Iyud mengangguk. "Mau."
Bibir kemerahan nan seksi milik Iyud melengkung membentuk senyuman. Iyud dikaruniai dagu panjang dan terbelah yang membuat rautnya sangat nyaman dipandang berlama-lama. Sekesal apa pun, kalau sudah melihat senyum Iyud, hati Clary meleleh.
"Kirimnya ke alamat kantor magang, ya. Soalnya aku mau pindah kos. Yang sekarang berisik, bikin bete."
"Tapi kamu cepetan pulang, dong?" rengek Clary.
"Iya. Kamu sudah tahu jadwalnya, kan?"
"Berarti bisa nemenin aku wisuda?"
Iyud tampak tersenyum lebar yang dibuat-buat. Clary langsung merengut.
"Tuuuhhh, kan? Kenapa sih nggak usaha pulang, minta izin gitu?" Rajukan Clary dimulai sudah.
Iyud terlihat menghela napas panjang. "Sayang, aku kan masih mahasiswa magang. Ya nggak bisa semaunya gitulah. Ntar nggak lulus magang terus nggak cepet wisuda, gimana? Kamu mau punya cowok mahasiswa abadi?"
Clary melengos dan mendengkus. Mereka tadinya seangkatan, namun beda fakultas. Clary di FKIP Jurusan Bahasa Indonesia, Iyud di Fakuktas Teknik, Jurusan Arsitektur. Entah karena apa, Clary selesai terlebih dulu, sedangkan Iyud masih tertunda.
"Laaaah, kok gitu? Terus aku wisuda ditemenin siapa? Awas, biar aja kamu nggak datang. Aku bisa cari teman lain!" Rajukan Clary semakin kencang. Mulutnya sudah maju beberapa senti.
Iyud terbahak. "Iyaaa, silakan cari teman. Aku juga mau cari teman di sini, nggak mau kalah sama kamu."
Clary mendelik. "Kamu! Awas, ya, kalau berani!" rutuknya. Namun, sebentar kemudian ia tertunduk sambil berkaca-kaca. Tidak tahukah Iyud bahwa ia merana sendirian di sini?
"Loh, loh, jangan mewek, dong? Setiap kita ngobrol kok mewek? Dulu kamu nggak kaya gini, deh."
"Itu karena dulu kita nggak jauhan, Iyuuuuddd!" tangis Clary pecah sudah.
"Iya, iya, aku tahu. Berat banget, ya, sendirian di sana? Iya deh, ntar aku usahain datang pas wisudamu. Tapi nggak janji dulu ya, takutnya nggak bisa," bujuk Iyud dengan kesabaran tingkat tinggi.
"Nggak janji, nggak janji. Apaan, tuh!"
"Kalau marah gitu kamu tambah cantik deh."
Clary kembali mendelik, tapi kali ini dengan senyum terulas di bibir.
"Kutunggu transfermu, ya!"
"Dasar!"
"Ry, kuota internetku juga mau habis. Besok kita sms-an aja, ya. Aku punya kuota sms gratis banyak, sayang nggak dipakai."
"Iyuud! Berhenti merokok, dong, biar bisa beli kuota!"
"Udah, Sayang. Nih, sampai kepalaku pusing."
"Masa?"
"Beneran, kok."
"Nah, gitu dong!"
"Iya. Aku kan tahu merokok itu merusak paru-paru dan bikin impoten. Aku bela-belain gitu demi kamu."
"Masa?"
"Iyaaaaa. Enakan video call. Yekan, Ry? Kirimin kuota sekalian, dong?"
"Iya! Iya!"
"Kok nadanya sewot gitu? Kan Papa udah kasih uang panjar nikahan ke mama kamu. Dipakai dikit buat beli kuota sama kirimin uang saku kan nggak ngaruh."
Kalau sudah menyangkut uang panjar pernikahan, Clary menggigit bibir. Tak sekali pun ia tahu di mana uang itu dan untuk apa. Bagaimana mau mengeluh pada Iyud kalau begini?
_____________
[1] Makanan ini nge-halu, ya. Jangan dianggap serius ada.

2
Gendhis dan dr. Damai
Pukul empat sore, Clary menunggu dengan gelisah. Ia memang sudah hafal kebiasaan Gendhis yang senang jam karet. Tapi, tetap saja jantungnya dag-dig-dug. Pasalnya, Bu Nuh sudah terlihat mondar-mandir di halaman indekos. Itu berarti beliau tengah menunggu kedatangan mereka sesuai janji kemarin.
Benar saja, setelah molor tiga puluh menit, Gendhis baru muncul batang hidungnya. Kontan ia disambut dengkusan dan bibir manyun Clary.
"Sorry ...." Gendhis hanya nyengir memperlihatkan gigi putih yang kontras dengan kulit eksotisnya.
Clary langsung menyeret cewek itu ke indekos depan, bertemu Bu Nuh. Wanita berpostur subur itu untungnya tidak menunjukkan gejala akan membunuh.
"Ini Bu Nuh. Pemilik kos depan rumah." Clary memperkenalkan diri.
"Saya Gendhis, Bu." Gendhis mengulurkan tangan ke arah Bu Nuh.
"Oh, ini teman Clary," sahut Bu Nuh dengan ramah. "Saya sih sudah langganan sama Clary buat mencarikan anak kos. Soalnya teman-teman Clary biasanya baik-baik."
Dalam hati, Clary berharap Bu Nuh tidak membahas soal komisi di depan Gendhis. Sudah lama ia menjadi makelar tak resmi dari indekos itu. Karena terletak di daerah Paingan, yang merupakan daerah Kampus 3 Universitas Sanata Dharma, maka kos itu juga bersaing dengan kos-kos yang lain. Agar kamar selalu penuh, Bu Nuh meminta Clary untuk menjadi makelar.
Bu Nuh lantas mengajak Gendhis melihat-lihat sejenak deretan kamar yang ada di seberang rumah Clary. Saat masuk ke dalam pekarangan, gadis itu terperangah karena bangunan kos itu sangat besar seperti paviliun yang memanjang ke belakang. Di lantai satu terdapat sepuluh kamar. Begitu juga lantai dua, terdapat sepuluh kamar.
Clary menemani Gendhis melihat-lihat setiap kamar yang kosong. Setiap unit sudah dilengkapi perabot berupa single bed, meja belajar, dan lemari, sehingga ia hanya membawa badan dan keperluan pribadi saja.
"Aku ke lantai dua ya, Cla," kata Gendhis seraya melangkahkan kaki menaiki anak tangga. Derap kakinya menggaung di selasar.
Kamar pertama hanya dilihat sejenak. Begitu pula beberapa kamar berikutnya. Clary sudah harap-harap cemas, jangan-jangan cewek itu tidak tertarik satu pun. Akhirnya, ia membuntuti cewek itu ke salah satu kamar sambil berdoa dalam hati supaya ini yang terakhir dilihat.
Kamar itu sedikit lebih sempit dari kamar sebelah. Clary sudah pesimis Gendhis akan mengambilnya. Namun, siapa sangka cewek itu malah menjerit histeris setelah membuka jendela.
"Lud, cowok tadi tinggal di sebelah?" jeritnya.
"Ada apa ... ada apa??" tanya Clary.
"Ada Belud!" jawab Gendhis dengan tatapan nanar.
"Belut mana?" tanya Clary. Gadis itu memandang berkeliling dengan sedikit berjingkat membayangkan hewan belut melata-lata di lantai.
Gendhis nyengir. " Belud terindah yang pernah aku lihat, Cla." Gendhis masih menarik bibir lebar, membuat mata besar menyipit. "Cla, aku ambil kamar ini."
Clary lega dan bahagia. Akhirnya isi dompetnya akan bertambah lagi dengan komisi sewa kamar.
Setelah menentukan pilihan, Gendhis mulai negosiasi.
"Harga sewanya sembilan ratus ribu per bulan, sudah termasuk biaya listrik, air, dan wifi. Bonus beberapa perabot rumah tangga yang sudah tersedia di dalam. Seperti lemari, meja dan tempat tidur di masing-masing kamar." Bu Nuh menjelaskan pada kedua gadis yang lebih cocok menjadi anak bungsunya.
Gendhis mengangguk-angguk. "Saya ambil yang lantai dua, Bu," ujar Gendhis kemudian.
Wajah Clary langsung semringah. Bunyi uang memang membahagiakan. Akhirnya Clary melepas kepulangan Gendhis di depan rumah itu dengan hati bahagia.
☆☆☆
Sore itu, Clary merasakan badannya agak aneh. Kulit tubuhnya memanas. Tak lama kemudian ia mulai menggaruk-garuk kaki dan tangan. Semula ia kira itu ulah nyamuk-nyamuk nakal. Ia segera membalas dendam dengan menyemprotkan obat nyamuk ke seluruh ruang. Kaki dan tangan yang gatal ia olesi minyak kayu putih.
Tak lama berselang, gatalnya semakin menjadi. Ia mulai menggaruk sekujur tubuh. Bekas garukan itu meninggalkan bentol besar kemerahan. Ternyata seluruh tubuhnya memerah. Dengan panik ia memanggil Pak Jito, penjaga indekos di samping rumah yang bakal disewa Gendhis, minta diantar ke dokter. Sejak menempati rumah itu, ia kerap meminta jasa boncengan Pak Jito. Dengan imbalan tertentu, lelaki paruh baya itu dengan senang hati mengantarkan Clary ke mana saja.
"Ke dokter mana, Mbak?" tanya Pak Jito.
"Dokter langganan saya jauh, Pak. Bapak tahu dokter yang dekat? Udah nggak tahan, nih, gatel banget!"
"Oh, kayaknya di rumah saya ada anak kos baru, Mbak. Anak kedokteran. Kalau dokternya jauh, gimana kalau dilihat Mas Damai dulu?"
"Tapi kan dia dokter yang baru sekolah. Manjur, nggak?"
"Ohh, sudah selesai, katanya. Sedang magang atau apa gitu istilahnya."
Clary hanya mengangguk saja. Siapa tahu bisa gratis. Maklum, uangnya pas-pasan. Mau minta mama tirinya sungguh malas. Lagi pula perempuan raksasa itu sedang pergi arisan.
Pak Jito membutuhkan waktu kurang dari lima belas menit untuk datang bersama seorang pemuda. Begitu melihat Clary ia menjerit, "Mbakkk! Duh Gustiiiii!" teriaknya.
"Kenapa Pak?" Clary terheran. Melihat wajah Pak Jito yang khawatir tingkat dewa, ia segera mencari kaca. Ia agak terhuyung saat bangkit dari duduk. Kepalanya mendadak ringan bagai kapas. Ia semakin terhuyung saat melihat pantulan dirinya di kaca. Wajahnya membengkak, begitu pula bibirnya.
Astaga ...! Seketika kepalanya pening berputar dan pandangannya kabur.
Pak Jito dan pemuda itu segera menangkap tubuh Clary lalu membaringkannya di sofa ruang tamu. Dokter itu melakukan pemeriksaan segera, sambil menanyakan beberapa hal. Clary menjawab seadanya. Otaknya sudah tidak awas lagi.
"Makan apa saja? Minum obat apa saja hari ini?"
Clary berusaha mengingat. Oh, ia ingat meminum obat pegal-pegal yang ia beli di toko obat.
Dokter itu tidak bertanya lagi. Ia langsung membuka tas berisi rupa-rupa obat dan peralatan medis. Dengan cekatan, jemari lentik dokter muda itu menyuntikkan sesuatu ke tubuh Clary. Setelah itu, ia berusaha menenangkan Clary dengan menyuruhnya istirahat dan jangan banyak berpikir.
Obat itu bereaksi dengan cepat. Setelah melakukan pemeriksaan kembali, dokter itu tersenyum lega.
"Mbak tadi terkena reaksi alergi. Masih ingat nama obat yang diminum tadi?"
"Lupa, Dok. Tapi masih ada sisanya." Mata Clary mulai awas mengamati sang dokter. Ternyata masih muda, tinggi dan tegap, berkulit putih nan bersih. Tidak seperti kulit Gendhis, kulit dokter ini jauh dari kesan kusam.
"Nanti diingat seumur hidup, ya Mbak, jangan pernah terminum obat itu lagi," ujar sang dokter. Ia menyungging senyum yang membuat mata Clary semakin awas. Senyum itu manis sekali.
Dokter itu kemudian sibuk mencari sesuatu di tasnya. Clary diam-diam mengamati lelaki itu dari atas sofa. Dari posisi Clary, terlihat lekuk wajahnya yang indah karena hidung mancung dan rahang yang tegas. Entah mengapa, hati Clary berdebar.
"Ini obat untuk diminum," kata dokter yang memiliki poni panjang menjuntai bak aktor Korea, menyentak kesadaran Clary.
"Ini obatnya," ulang si dokter karena Clary bengong saja.
"Oh, iya, Dok," sahut Clary tersipu malu. Diterimanya obat itu. "Berapa, Dok?"
Dokter itu tersenyum. "Nggak usah. Kita kan tetanggaan."
Clary mengerjap heran. Otaknya kembali tidak awas karena silau oleh ketampanan sang dokter.
"Oh, terima kasih, Dok. Saya boleh duduk?"
"Boleh, kalau sudah tidak pusing."
Clary mencoba duduk dan ia tidak merasa pusing. "Sampai kapan saya boleh duduk?"
Si dokter terheran sejenak, lalu terbahak. "Sesuka Mbak."
"Sampai besok boleh, Dok?" tanya Clary serius.
Sekali lagi sang dokter terbahak. "Boleh!"
"Loh, kok lama amat?" Clary yang lambat berpikir kebingungan.
Agaknya dokter itu mengerti bahwa pasiennya tidak tahu cara bercanda. Dengan sabar ia memberi penjelasan kepada Clary sedetil mungkin.
"Jadi, silakan Mbak duduk atau tiduran di sini tiga puluh menit lagi. Kalau tidak pusing, boleh beraktivitas seperti biasa."
Dengan 'o' panjang Clary membalas perkataan sang dokter.
"Kenalan, dong? Saya Damai Aryasatya. Mbak siapa?"
"Clarisa Wanda. Panggilan saya Clary."
"Kuliah?"
"Barusan lulus. Nunggu wisuda."
"Oh, berarti tuaan saya dong? Mbak harus panggil saya Mas."
"Oh, iya ya," jawab Clary sambil nyengir. "Kalau gitu jangan panggil saya mbak, langsung nama aja."
Sesudah itu, tanpa sengaja mereka saling bertukar pandang. Otomatis, Clary tersipu. Wajah putihnya memerah.
"Hooo, ada tamu!" seruan menggelegar tiba-tiba terdengar dari ambang pintu. Mama Suwi sudah pulang. "Siapa ini?"
Damai dan Jito berdiri untuk menyalami ibu pemilik rumah.
"Saya Damai, Bu. Tadi dipanggil buat memeriksa Mbak Clary."
Pandangan Mama Suwi yang menyengat beralih ke Clary. "Sakit apa kamu?" tanyanya ketus.
Sontak Jito dan Damai mengamati Clary dengan aneh. Clary malu sekali. Masa tengah sakit pun ia dibentak, di depan tamu pula?
"Mmm, nggak papa, kok Bu. Mbak Clary cuma alergi makanan, gatal-gatal," jawab Damai.
Mama Suwi melepaskan pandangan dari Clary, beralih ke Damai. "Mas ini dokter?"
"Iya, Bu. Saya dokter internship. Belum lama kos di seberang."
Wajah Mama Suwi mendadak semringah. "Ow! Boleh ya, periksa Ibu? Ibu sering sakit kepala dan debar-debar. Boleh kan, kalau minta tensi?"
"Oh, boleh!" Damai bergerak cekatan mengambil tensimeter. Saat akan memasang manset di lengan, ia kebingungan. Lengan itu terlalu besar untuk mansetnya! Akhirnya ia meminta tolong Jito untuk memegangnya agar tidak lepas saat dipompa.
"Tinggi, Bu. Seratus lima puluh per sembilan puluh."
"Ah, syukurlah, sudah turun tensi saya."
"Biasanya lebih tinggi?" tanya Damai.
"Ooo, pernah sampai seratus delapan puluh. Tapi saya tadi minum obat, kok. Makasih loh, Dokter. Penginnya sih sering-sering ajak Dokter main ke sini. Tapi sayang, Clary sudah punya tunangan." Mata kilatnya langsung menyambar Clary, membuat gadis itu tertunduk dengan sangat malu.
Clary menelan ludah. Haruskah mamanya bicara seperti itu pada orang yang telah menolongnya? Ah! Kejadian mempermalukan Clary di depan umum itu sudah kerap terjadi. Ingin rasanya Clary kabur dari tempat itu secepatnya. Kalau tidak, ingin menyusut sebesar semut biar bisa menyembunyikan diri di balik sofa.
Damai dan Jito segera minta diri. Saat menyalami gadis itu sebelum pergi, Damai berbisik, "Semangat ya, Clary." Seolah ia paham apa yang dialami pemilik mata indah itu.

3
Janjian
Pagi-pagi, saat matahari terbit dan semua pekerjaan rumah telah selesai, Clary mencari Pak Jito. Kemarin Bu Nuh sudah memberi uang untuk biaya bersih-bersih rumah kos. Clary perlu bantuan tenaga. Lelaki berambut campuran hitam dan putih itu andalan. Selain menjadi tukang ojek, Pak Jito juga terampil menukang apa saja. Dari memasang plafon yang terlepas hingga memperbaiki perkakas rumah tangga yang rusak. Lelaki itu tinggal di rumah kos tepat di samping rumah kos milik Bu Nuh. Dengan hati-hati dimasukinya halaman indekos yang juga memiliki dua puluh kamar itu. Pak Jito beserta istrinya menempati unit khusus untuk penjaga kos di bagian depan, dekat pintu masuk.
"Clary?" Sebuah panggilan membatalkan niat gadis berkulit putih itu untuk mengetuk pintu rumah Pak Jito. Saat menoleh, ternyata suara itu berasal dari pemilik wajah rupawan yang menolongnya kemarin.
"Mas Damai? Pagi-pagi sudah rapi," balas Clary. Matanya tertambat pada penampilan menawan dokter muda itu. Mengenakan kemeja abu-abu muda bermotif kotak-kotak dan celana kain abu-abu tua, kulitnya yang kuning terang semakin terlihat bersih. Rambut yang masih basah semakin menambah kesan segar yang memesona.
"Aku mau berangkat dinas. Kamu ngapain di sini?"
"Mau minta tolong Pak Jito bersih-bersih di rumah sebelah." Tangan Clary menunjuk ke arah rumah Bu Nuh.
"Oh, kos sebelah sudah terisi penuh? Baguslah. Biar pemandangannya nggak sepi. Siapa yang akan tinggal di situ?"
"Teman saya, Mas. Perempuan, cantik, hitam manis." Clary menggigit bibir saat mengatakan itu. Ia tidak tahu mengapa hatinya tiba-tiba dilanda rasa khawatir.
"Oh, ya? Wah, pasti teman kosku seneng, tuh. Ada yang jendelanya pas banget saling berhadapan lho."
"Siapa?"
"Lud namanya. Ganteng. Siapa tahu temanmu suka."
"Oh, Belud ya, Mas?"
"Hah? Belut?" Mata Damai melengkung karena ia terkekeh.
"Iya. Yang mau tinggal di kamar itu, namanya Gendhis. Dia bilang kalau namanya Belud."
Tawa Damai tersembur. Gadis di depannya ini lola, namun ternyata asyik diajak ngobrol dan bisa melucu. Dan, satu hal yang membuat mata Damai enggan beralih dari wajah polos itu, mata Clary luar biasa indah. Besar, bening, menyorot polos, namun mengandung gairah hidup. Hmmm, sudah berapa lama ia tak memperhatikan seorang perempuan? Rasanya sudah lama sekali sejak cinta pertamanya kandas.
Damai segera mengusir pikiran gelap itu. Pagi ini cerah. Dirinya juga tengah memandangi keindahan makhluk ciptaan Tuhan. Buat apa memikirkan kegelapan?
Clary ikut tertawa walau agak bingung apa yang lucu. "Siapa tahu mereka jodoh, ya, Mas."
Tawa Damai terhenti. Dipandangnya gadis itu lekat-lekat sehingga Clary salah tingkah. "Iya, benar. Siapa tahu jodoh. Jodoh bisa ketemu di mana aja, 'kan?" Ia seperti mengucapkan itu untuk diri sendiri. Lalu, sebuah pertanyaan sederhana terlontar begitu saja, tanpa tahu hal itu akan menyeretnya ke dalam masalah besar. "Boleh tukeran nomor hape?"
Mereka pun bertukar nomor.
"Masih ada keluhan dari sakit kemarin?" tanya Damai.
"Oh, nggak ada."
"Oh, iya. Kalau ada keluhan, jangan sungkan menghubungi saya," kata Damai. Tanpa sadar ia ingin memperpanjang obrolan.
Clary mengangguk. Entah mengapa ia masih ingin mengobrol lebih lama. "Obatnya harus saya habiskan?"
"Tidak perlu. Kalau sudah sembuh dihentikan saja. Bikin ngantuk nggak obatnya?"
"Sedikit."
"Syukurlah. Hati-hati nyetir kalau sedang minum obat."
Clary meringis. "Saya nggak dibolehin naik motor sendiri, kok. Jadi nggak masalah."
Ada rasa heran di hati Damai. "Kenapa nggak boleh?"
"Saya pernah masuk got."
"Hah?"
Clary itu tersenyum malu-malu. "Waktu SMA dulu, Mas."
"Begitu." Damai tersenyum-senyum geli sesudah itu. Clary tertular seketika, ikut senyum-senyum walau tidak paham.
"Clary kerja apa?" tanya Damai setengah geli dengan lolanya sang gadis.
"Masih mencari."
"Lulusan apa?"
"FKIP Jurusan Bahasa Indonesia."
"Mau nggak kerja jadi tenaga administrasi untuk praktik dokter?"
"Buat tempat praktiknya Mas Damai?"
Damai tertawa. "Bukan. Saya belum boleh buka praktik selama masih internship. Buat senior saya, dokter spesialis anak. Pegawai beliau tiba-tiba pindah ikut suami ke Surabaya."
"Mau, Mas!" Clary seketika antusias.
"Sip. Nanti saya kabari, kapan diantar ke sana."
"Diantar?" tiba-tiba jantung Clary berdegup.
"Iya. Saya antar. Nggak mau?" Damai memandang heran sejenak, lalu akhirnya mengerti. Kedua alisnya terangkat. "Oh, soal mamamu ya. Ya sudah. Kita ketemu langsung di tempat praktik beliau aja."
Keputusan kecil itu menyematkan secuil rasa kecewa di hati keduanya.
🏡🌈🔅
Iyud termangu sambil duduk di kasur kamar kos. Rika tengah mengecat maket proyek apartemen mereka. Gawai yang tergeletak di sisi ranjang menarik perhatian. Ia meraih benda itu, lalu tanpa berpikir, membuka galeri. Ribuan gambar Clary tersimpan rapi. Sejak jadian empat tahun yang lalu, ia sudah beberapa kali berganti ponsel. Namun, gambar-gambar cewek itu selalu ikut pindah ke perangkat baru. Salah satu yang kerap ia buka adalah saat mereka jalan berdua di Malioboro. Foto di sebuah kafe itu merekam sebuah peristiwa penting. Peristiwa yang membuat hari-harinya berubah drastis. Rasa berdebar dan lonjakan denyut jantung itu masih jelas sampai detik ini.
“Gimana, Ry? Mau nggak nikah sama aku kalau udah lulus nanti?” tanyanya setelah menyatakan perasaan pada Clary.
Cewek cantik di depannya cuma memandang dengan mata bening yang teduh bak telaga.
“Ry?” bisiknya lagi. Keringat mulai membulir di kening.
Lalu gerakan kecil yang ditunggu itu pun muncul. Clary mengangguk sembari tersenyum. Iyud merekamnya dengan sangat baik bak film gerak lambat.
“Beneran mau?” tanyanya, masih tidak percaya ia sudah tidak jomlo lagi!
Clary mengangguk sekali lagi.
“Yeayyyyyy!” pekiknya hingga membuat pengunjung lain menoleh.
Iyud mematikan layar dam melempar ponsel ke kasur. Penggalan memori itu harus dibuat pudar mulai sekarang. Ia tidak boleh hanyut dalam masa lalu.
Rupanya gerakan itu menarik perhatian Rika. “Kenapa?” tanya cewek cantik itu.
Iyud menggeleng. “Enggak. Enggak ada.”
Rika diam, namun menatap lurus-lurus, membuat Iyud salah tingkah. “Kamu masih ngarep dia?” ujarnya dengan nada sinis.
Iyud tidak menjawab. Ia sudah ingin keluar untuk menghindar. Beruntung teleponnya berdering. Ia jadi punya alasan untuk menjauh.
“Ya, Pak?” sapa Iyud pada mandor yang mengerjakan rumahnya.
“Mas, habis bikin pondasi nggak sekalian dinaikkan bangunannya?” tanya sang kepala tukang.
Iyud mengeluh diam-diam. Ia harus mengakhiri janji untuk membuatkan rumah impian bagi Clary. “Iya, Pak, distop dulu. Kenapa, Pak?”
“Gini, tukangnya mau saya alihkan ke proyek lain kalau Mas Iyud nggak jadi pakai.”
“Oh, silakan. Maaf merepotkan Bapak.” Iyud memutus sambungan dengan desahan panjang. Saat akan kembali ke kamar, Rika sudah berdiri di belakangnya.
“Pembangunan rumahmu distop?” tanya cewek itu. “Kenapa? Kamu nggak butuh rumah untuk diri sendiri?”
“Enggak,” jawab Iyud.
“Eh?”
“Aku males nerusin. Uangnya mau kusimpan.” Enteng saja jawaban Iyud. Tanpa ba-bi-bu, ia ngeloyor pergi.
🏡🌈🔅
Siang ini, Clary terpaksa memasak nasi goreng untuk diri sendiri. Pasalnya, udang asam manis yang baru selesai ia masak sudah tandas tak bersisa divakum oleh mulut Mama Suwi. Saking jengkelnya, Clary jadi malas makan semua menu siang ini. Lebih baik membuat masakan lain saja. Jadilah dapur kecil itu dipenuhi aroma terasi dan cabai.
Spatula Clary bergerak gesit, mengaduk nasi di wajan. Diam-diam hatinya mengerut. Nasi goreng terasi memiliki kenangan tersendiri. Biasanya, ada Iyud yang setia duduk di ruang tamu, menunggu nasi goreng terasi buatannya. Cowok itu kerap menumpang makan di rumah ini ketika mengantarkan Clary pulang dari kampus. Gara-garanya adalah papa Clary. Saat masih hidup, pria itu sudah menganggap Iyud anaknya. Hampir setiap Iyud datang, selalu disuruh makan, lalu diajak ngobrol.
"Mbak Clary bukannya harus kontrol ke dokter?" tanya Pak Jito tiba-tiba.
Suara lelaki itu membuat lamunan Clary buyar. Ia baru sadar ada orang lain di situ. Pak Jito diminta datang untuk memperbaiki talang di atas dapur.
"Tapi sudah hilang gatal-gatalnya, Pak," kilah Clary. Ia masih enggan meninggalkan pekerjaan yang belum tuntas. Tak lama kemudian, ia berpikir perkataan Pak Jito ada benarnya. Siapa tahu penyakit itu kambuh lalu bibir dan mukanya bengkak lagi seperti kemarin? Hih, jangan sampai!
"Obat saya masih ada kok, Pak," kata Clary kemudian.
"Mbak, saluran air di wastafel dapur kayaknya bocor," lapor Pak Jito.
"Bapak bisa benerin?"
"Bisa, Mbak. Tapi harus beli isolasi khusus yang warnanya putih."
Clary mengeluarkan uang dari saku celana. Pak Jito pun berlalu. Clary berjalan menuju dapur.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Clary meletakkan spatula di samping wajan, kemudian merogoh saku celana. Saat melihat layar ponsel itu, bukan hanya hatinya yang hangat, wajahnya juga, sampai merona merah muda.
dr. Damai is calling ....
Clary mengangkat panggilan itu. Suara bas dari seberang sana seketika membuat dapur itu semakin cerah. Dokter ganteng itu menanyakan apa siang ini bisa ketemu dengan dokter senior yang akan mempekerjakannya.
"Jam berapa, Mas? Jam dua? Oh, bisa."
"Kita ketemu di lokasi saja, ya. Sebentar saya WA alamatnya." Damai mengirimkan alamat. "Atau mau saya kirimi share loc?"
"Serlok? Apa itu? Novel?" Pikiran Clary langsung terasosiasi dengan novel detektif zaman masih remaja dulu.
"Nggak jadi. Ntar kamu malah bingung."
Mata Clary bersinar. Harapan mendapat pekerjaan dan ... duh! Bibir Clary mengulas senyum beberapa kali.
Tak lama kemudian, ponselnya sekali lagi berdering. "Ya, Mas? Sudah di sana? Baik, baik, saya segera meluncur." Clary menjawab dengan gegap gempita tanpa menyadari sepasang mata yang memandang dengan tatapan curiga.

4
Ketahuan
Clary turun dari ojol di tempat yang dituju. Ternyata sebuah rumah sakit bersalin. Di depan pintu masuk, Damai telah menunggu.
"Ayo! Waktunya tidak banyak. Dokter Arista baru mendampingi operasi sesar. Ditunggu sebentar, ya."
Clary membuntuti Damai masuk ke ruang tunggu khusus dokter. Ruang itu tidak luas, namun ditata rapi dan lengkap fasilitasnya. Ada coffee maker, dispenser, kulkas, serta sofa bed.
"Dokter Arista itu atasannya Mas Damai?" tanya Clary setelah menyeruput teh kotak.
"Mmm, boleh dibilang begitu. Beliau salah satu pembimbing internship."
Clary mengangguk saja karena kurang paham dengan istilah internship.
"Kerjanya sore sampai malam, lho. Kamu sanggup?" tanya Damai lagi. "Kayaknya kamu harus bisa naik motor sendiri, deh."
"Nggak bisa pakai ojol aja?"
"Dokter Arista kan pasiennya banyak. Praktiknya bisa sampai tengah malam."
"Hah? Masa, Mas?" Pikiran Clary langsung mengingat mama tirinya. Bagaimana ia meminta izin perempuan itu?
"Iya. Tapi gajinya lumayan. Di luar uang bulanan, kamu bisa dapat tips harian kalau pasiennya banyak."
"Oh?"
Damai mengangguk mengiyakan. "Makanya, enakan pakai kendaraan sendiri. Naik ojol tengah malam kan risiko."
"Iya. Sebenarnya SIM saya juga masih hidup." Dirinya bukan tidak bisa naik motor, namun dilarang keras oleh mama tirinya. Sejak peraturan itu diberlakukan, praktis aktivitasnya menjadi terhambat. Ia kerap mengandalkan Iyud untuk pergi-pergi.
Ah!
Mungkin sekarang saatnya untuk membebaskan diri dari kekangan. Toh ia bisa mendapat uang sendiri.
Dokter Arista ternyata sudah berumur. Sebagian rambutnya telah memutih. Beberapa kerut menghiasi wajah yang semasa muda pasti cantik. Satu hal, senyumnya simpatik dan sikapnya ramah keibuan.
"Oh, ini Clary? Wah, kamu cantik sekali. Pantas keponakan saya mengajukan kamu," sapa dokter berperawakan kecil mungil itu.
Keponakan? pikir Clary. Matanya sontak mengerling pada Damai yang tengah tersenyum-senyum penuh arti.
"Bisa kerja sampai malam, 'kan?" tanya dr. Arista lagi.
Tanpa berpikir panjang, Clary langsung menyanggupi. Calon bosnya terlihat senang. Ia memberikan sebuah nomor telepon dan alamat.
"Ini tempat praktik saya. Biasanya mulai jam enam. Tapi karena kamu harus belajar dulu, hari ini datang jam empat, ya?"
"Baik, Dok."
"Nanti ada Rini yang akan ngajari kamu. Baju seragam minta sama dia juga."
Clary mengangguk sekali lagi.
"Oh, ya. Nanti jangan kaget. Orang tua pasien biasanya nggak sabaran. Kamu harus pengertian, ya?"
Sekali lagi Clary mengangguk. Sejurus kemudian ia mendengarkan beberapa penjelasan teknis dari bos barunya, termasuk jumlah yang akan ia terima sebagai penghasilan. Jumlah itu sangat lumayan untuk ukuran orang yang baru lulus kuliah. Tidak ada masalah yang berarti. Masalah justru timbul di rumah Clary.
Mama Suwi murka. Ia tidak rela Clary bekerja sore hingga malam.
"Muka Mama mau ditaruh mana? Masa perempuan kerja sampai malam? Kerjaan apa itu? Kamu mau dicap pekerja seks?" Cercaan Mama Suwi keluar beruntun bagai gerbong kereta api.
"Astaga, Mama. Nggak segitunya kali."
"Kamu ini setiap kali orang tua bicara pasti membantah."
"Cla kerja baik-baik, Mama. Kalau nggak percaya, Mama kenalan deh sama Dokter Arista. Beliau sudah sepuh dan baik banget."
"Siapa? Dokter Arista?"
"Iya, Ma. Beliau profesor ahli penyakit anak, lho. Nggak gampang bisa kerja sama beliau." Kalimat terakhir itu, Clary benar-benar mengarang bebas.
Mata Mama Suwi membulat. "Beneran profesor?"
"Iya, Ma!" Clary semakin bersemangat. "Tes masuknya aja susah. Dari seratus cuma diambil satu, Cla aja."
"Kapan kamu tes?"
"Udah lama. Mula-mulanya seleksi berkas, lalu tadi siang wawancara." Lagi-lagi Clary mengarang bebas. Ia kan guru bahasa.
"Oh, berarti nggak main-main, ya?"
"Enggaklah Ma." Clary terkikik dalam hati. Ia baru tahu ternyata otaknya pintar kalau diajak mengakali ibu tiri. Apakah karena novel-novel komedi yang dibacanya?
"Terus, berapa gajimu?"
Clary cuma menyebutkan gaji pokok saja. Biar aman. Siapa tahu mama tirinya minta bagian juga. Biarlah Mama Suwi merampas gaji pokok. Toh tips-tips yang akan diterima lebih besar dari itu.
"Ya udah, Mama setuju. Tapi kalau sudah gajian, kamu yang beli pulsa listrik dan PDAM."
"Siap, ma!" Lega juga Clary mendengarnya.
"Kamu juga yang beli gas. Dan pulsa Mama. Lalu, apa lagi ya?"
Clary terbelalak. "Ma, habis dong gajiku?"
"Kalau nggak mau ya udah. Nggak usah kerja aja!"
Ya, ampun, sabar, sabar. Clary mengelus dada diam-diam. Tak apalah diporoti mama sendiri, yang penting ia punya alasan untuk keluar rumah dan bertemu dengan banyak orang.
🏡🌈🔅
Sudah pukul sebelas malam saat Clary pulang dari tempat praktik dr. Arista. Menurut Rini, hari itu mereka agak sepi. Clary terheran. Pasien lima puluh dibilang sepi.
Hari pertamanya berjalan agak terseok di awal. Berkas rekam medis pasien berderet di rak. Cukup sulit mencari berkas itu bila belum terbiasa. Tapi menurut Rini, mereka akan beralih ke sistem komputer. Nah, saat peralihan itulah mereka harus kerja keras. Data manual harus disalin ke dalam aplikasi komputer. Bukan pekerjaan ringan mengingat berkas yang harus dipindah berjumlah ribuan.
Iyud memanggil melalui video call.
"Kok cemberut, sih?" keluh Iyud.
"Habis, kamu nggak bisa datang wisuda," rajuk Clary.
"Iyaaa, aku minta ma-aaaf banget. Udah pasti aku nggak bisa pulang nanti."
"Yaaahhh!" Emosi, air mata Clary menggenang di pelupuk.
"Jangan nangis. Kata orang sering nangis itu bikin cepet tua."
"Terserah! Kamu juga nggak peduli!"
"Cup-cup. Udah, dong? Aku sedih, nih."
Belum sempat Clary menjawab, seseorang tampak mendatangi Iyud dari belakang. Tahu-tahu, cewek berparas cantik itu merangkul leher tunangannya dengan mesra. Bukan itu saja. Si cewek mencium puncak kepala Iyud juga. Mendadak rasa kesal memenuhi hati Clary. Tangisnya jebol begitu saja.
"Loh, loh! Ry, jangan mewek, dong?" bujuk Iyud setelah membebaskan diri dari teman ceweknya.
Clary terus sesenggukan. Biar seperti anak kecil, ia tak peduli. Apa pula bedanya menangis dan tidak? Toh pacarnya tetap jauh. Toh ia tetap kesepian, hanya berteman khayalan.
"Aku nggak bisa cium kamu kenapa dia bisaaaaaa?" pekik Clary. "Dia cewekmu? Kamu selingkuh?"
"Sorry. Itu tadi Rika. Kami baru lembur ngerjain proyek. Dia emang gila," ujar Iyud. "Masa gara-gara gitu aja sewot, sih?"
"Iyuud! Gimana nggak sewot, sih? Dia … dia ….” Ucapan Clary terbata saking keburu emosi. “Teganya kamu nikung aku!"
"Hey! Kok aku dibilang nikung? Aku nggak mungkin selingkuh sama Rika." Iyud mendekatkan mulut ke kamera. "Ssst! Dia nggak selera sama cogan. Sukanya sama cecan. Kamu nggak lihat dia tomboy?"
Tomboy? Di mata Clary, Rika sama sekali tidak tomboy! Cewek itu putih, dandanannya modis. Bahkan dari penampakannya saja, Clary bisa membayangkan kalau badan cewek itu harum.
Rika penyuka sesama jenis? Siapa yang percaya pada keterangan absurd seperti itu? Biar lola, Clary masih bisa melihat kemesraan yang nyata pada keduanya. Dengan merengut maksimal, ia mematikan video call.

5
Selingkuh
Pagi itu, Clary bangun sedikit kesiangan. Tahu-tahu jam dinding telah menunjukkan pukul lima pagi. Mungkin akibat kelelahan setelah bekerja hingga malam, bisa juga karena menangis gara-gara video call Iyud. Dengan cepat ia membereskan pekerjaan rumah dan memasak untuk hari itu.
Beberapa pesanan kue harus ia kerjakan pagi ini. Setelah mengurus rumah dan membuat sarapan, Clary mencari dompet dan berniat pergi belanja. Betapa kagetnya, saat mendapati uang dalam dompet telah ludes. Mati-matian ia mengingat-ingat sudah dibuat apa saja uang itu. Ia yakin tidak membeli apa-apa kemarin. Pikirannya segera mencari alternatif. Barangkali ia lupa menyimpan di suatu tempat. Dibongkarnya seisi kamar. Seluruh tempat penyimpanan ia teliti. Hasilnya tetap nihil.
Pencarian dilanjutkan di dapur dan ruang tengah. Rupanya Mama Suwi, yang tengah menyantap sarapan sambil menonton televisi, melihat kegaduhan itu.
"Ngapain kamu? Geradak-geruduk kayak kuli pasar."
"Uangku hilang, Ma."
"Uang di dompet?"
Clary langsung menatap perempuan itu. "Iya. Kok Mama tahu kalau di uangnya di dompet?"
Mata Mama Suwi bergerak-gerak seperti tertangkap basah melakukan sesuatu. Setelah itu ia malah mendelik. "Kamu nuduh Mama mencuri?" hardiknya.
"Ya enggak. Mama tahu di mana uangku?"
Mama Suwi melengos tak peduli. Mulutnya kembali mengunyah dan matanya kembali ke televisi.
Clary yakin sekali Mama Suwi tahu. "Ma? Mama tahu ke mana uangku?"
"Mama ambil buat beli kain batik,” sahut Mama Suwi tanpa menoleh.
Seketika hampir pingsan Clary dibuatnya. "Mamaaaaa!"
Mama Suwi tidak suka diteriaki begitu. "Apa? Kenapa? Uangmu kan uang Mama juga. Hitung-hitungan banget sama Mama sendiri. Kamu lupa siapa yang merawat kalian sejak mama kalian meninggal? Kamu mau bayar Mama berapa buat mengurus kalian bertahun-tahun, ha? Sanggup kamu membayarnya? Masih berani mengaku itu cuma uangmu?"
Semburan amarah Mama Suwi bagai terjangan lahar bagi Clary. Cewek itu terduduk lemas dan menangis. "Itu bukan uangku, Ma. Itu uang pembeli yang pesan ayam hari ini."
"Terserah!" Mama Suwi mengempas piring dengan kasar ke meja. Untung piring itu tebal. Kalau tidak, pasti sudah pecah berhamburan. Dengan langkah terhuyung, ia masuk ke kamar dan membanting pintu.
Tinggallah Clary tercenung di ruang tengah dengan hati hancur. Satu setengah juta. Dari mana ia mencari pengganti untuk membeli bahan-bahan pesanan? Uang dari Bu Nuh tersisa lima ratus ribu setelah dipakai membeli kebutuhan rumah. Beruntung uang itu diberikan dengan cara ditransfer. Kalau tidak, pasti sudah ludes juga. Padahal pesanan tiga puluh ayam kalasan utuh harus disediakan sore ini.
Clary meraba leher. Kalung emas peninggalan sang ibu tergantung manis di sana. Air matanya berderai saat tidak melihat jalan keluar lain selain menukar kalung itu dengan uang.
Sedih rasanya melepaskan kalung yang telah menghiasi leher selama bertahun-tahun. Perhiasan itu diberikan oleh papanya saat ia lulus SMA dan diterima di perguruan tinggi. Menurut keterangan sang papa, mamanya telah menyiapkan kalung berbandul batu delima merah yang dikelilingi berlian itu jauh hari sebelum meninggal, khusus untuk Clary sebagai hadiah memasuki gerbang kedewasaan.
Clary menyimpan liontin ke dalam ceruk di bawah tempat tidur. Ia berharap tak seorangpun menemukannya, termasuk Mama Suwi. Kalungnya ia bawa ke tukang emas. Sambil menyerahkan kalung kenangan itu, ia mendesah dalam hati, Maafin Cla, Mama.
Pesanan dapat ia selesaikan dengan baik. Clary senang melihat senyum pelanggan yang puas dengan masakannya.
"Ayamnya enak banget, Mbak Clary," salah satu pelanggannya menelepon. "Oh, ya. Mbak Clary mau menangani katering kantoran?"
"Boleh, Bu. Berapa orang?"
"Ada dua puluh. Kami sudah katering, tapi lama-lama bosan. Bisa nggak kalau sama Mbak Clary nanti menunya boleh milih?"
Clary segera memutar otak. Pekerjaan begini tidak bisa ditangani sendiri. Ia harus mencari partner. "Mulainya kapan, Bu?"
"Kalau bisa minggu depan. Gimana?"
Masih ada waktu satu minggu. Clary tidak berpikir lagi. Ia yakin sekali sanggup mengurus katering. Apalagi memasak adalah passion-nya selain mengajar. "Bisa, Bu! Besok saya antar daftar menunya. Ibu silakan pilih."
"Mmm, tapi gini. Kan info ini dari saya. Bisa nggak saya dikasih komisi?"
"Bisa," jawab Clary dengan mantap.
"Aih! Ini yang saya suka. Besok kita ketemuan, ya. Bawain sampel ke kantor. Mereka juga cari vendor buat suplai camilan coffee break, loh."
Harapan segera berkembang dalam hati Clary. Semesta selalu adil. Satu kesialan akan digantikan dengan keberuntungan yang lain. Dengan segera, ia mencari Bu Jito. Perempuan itu terheran melihat kedatangannya.
"Bu Jito bisa bantuin masak?" tanya Clary penuh harap.
Setelah berunding dengan Bu Jito, akhirnya mereka sepakat untuk membuka usaha katering. Di tengah pembicaraan itu, tahu-tahu telepon Clary berdering. Gendhis menelepon. Clary senang, ada teman buat mengadukan Mama Suwi. Ternyata Gendhis kesal karena dibohongi Lud.
"Ck, ck, ck, Ndhis. Kenapa kamu selalu dibohongin?" sahut Clary. Dipikirnya masalah Gendhis tidak seberapa dibanding masalahnya dengan Mama Suwi. Kesantaian Clary itu membuat Gendhis menggeram.
"Cla, bukan aku yang dibohongi, tapi Lud!"
Clary melongo. Ia kan bingung siapa yang salah. "Aduh kasihan Lud!!" komentarnya asal. Habis, Gendhis bakal mengomel kalau tidak ditanggapi.
"Udah deh. Makasih ya, Cla, udah denger curhatanku!"
"Makasih juga. Kamu kan sahabat terbaeek. Aku juga mau curhat, Ndhis."
Tuuuuut tuuuut.
Gendhis mematikan sambungan. Clary terheran.
Loh, kok marah? Aku salah apa, sih?
🏡🌈🔅
Dr. Arista tidak praktik malam ini karena tengah mengikuti seminar ilmiah di luar kota. Kesempatan itu Clary manfaatkan untuk rehat sejenak dengan mendatangi tetangga depan rumah, yaitu Gendhis. Tadi Gendhis marah waktu telepon. Clary jadi merasa berdosa, walau sebenarnya ia tidak tahu apa salahnya. Satu toples nastar yang berhasil ia sembunyikan dari Mama Suwi ia bawa khusus buat cewek itu. Mamanya itu sudah mirip vaccum cleaner, semua makanan ia santap sampai tuntas hingga Clary terpaksa menyimpan baik-baik stok camilannya. Ia tahu, Gendhis paling lemah kalau soal makanan. Biar mengamuk seperti apa, pasti luluh kalau mulutnya sudah mengunyah sesuatu.
Clary menemukan Gendhis di kamarnya. Kue nastar langsung berpindah tempat dari toples ke mulut cewek itu, namun Clary tidak memedulikan. Ia sekarang sedang asyik mengutak-atik akun Instagram. Instagram bagus untuk memajang dan melihat foto-foto. Ia kepingin memasang gambar-gambar makanan yang ditawarkan agar bisa dilihat lebih banyak orang. Kata orang, akun buat pribadi dan jualan harus dipisah. Tapi ia malas membuat baru. Toh akunnya cuma terisi sedikit gambar. Ia hapus saja postingan lama, beres.
Sedang asyik-asyiknya berkutat dengan ponsel, tiba-tiba pangkuannya penuh dengan seburan remah nastar.
"Ndhis, jorok ih! Makan kok nyebar ke mana-mana. Ntar didatangi semut loh kamarmu" protesnya.
Gendhis meringis saja. "Halah Clary, gitu aja mazalah."
Clary tidak bisa marah. Biar bagaimanapun, Gendhis sahabat terbaik. Ah, ia jadi malas pulang ke rumah.
Clary kembali menekuni akun Instagramnya. Sebuah notifikasi masuk. Matanya melebar seketika. Damai menjadi follower-nya! Ia semakin bersemangat.
Dicarinya akun Iyud. Tidak ada yang aneh. Isi akun itu hanya postingan lama yang sudah pernah ia lihat. Cowok itu memang tidak terlalu suka posting-posting, sama seperti dirinya. Iseng-iseng, ia mencoba membuka follower Iyud. Sebuah nama menarik perhatian.
Rika Arselia.
Wajah dalam foto profil sama dengan wajah cewek di kamar Iyud kemarin. Clary segera membuka akun Rika dan menelusuri foto-foto cewek yang rambutnya dicat cokelat kemerahan itu. Ia menemukan sebuah yang membuat dunianya hendak runtuh.
Dalam foto itu, Rika tengah merangkul pinggang seseorang erat-erat. Tubuh mereka demikian rapat seperti sepasang kekasih. Tidak hanya itu. Bibir mereka pun bertaut. Clary tidak akan pusing berputar seandainya pasangan mesra Rika itu bukan ... tunangannya!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
