The Wanderer: Bab 3

13
5
Deskripsi

Pada hari ketiga akhirnya pelajaran dimulai meski belum efektif. Kegiatan MPLS dilaksanakan setelah istirahat pertama. Kali ini perintah untuk kelas X-B adalah meminta tanda tangan seluruh pengurus OSIS. Para kakak kelas sudah diserbu oleh banyak anak begitu mereka keluar kelas di jam istirahat mereka. Beberapa bahkan ada yang kabur karena ingin membeli makan dulu.

Azizah tidak mengizinkan siapa pun mengerubutinya. Sang Ketua OSIS meminta semua orang mengantre, menolak memberi tanda tangan pada murid yang tidak antre. Segera saja, semua senior lain mencontoh ketua mereka. Tidak ada lagi yang berkerubut. Lupi bersyukur karena ia tidak perlu berdesak-desakan. 

"Ada berapa sie Kak?" tanya Lupi yang sudah kecapekan mengejar-ngejar kakak kelas. 

"Ada lima bidang," jawab Azizah. "Kesiswaan, Kerohanian, Publikasi dan Dokumentasi, Kesenian dan Olahraga, sama Kewirausahaan. Sudah tahu siapa korbidnya?" 

"Belum, Kak," Lupi membuat suaranya sememelas mungkin dengan harapan Azizah akan memberi tahu nama-nama korbid. Semua anak di belakangnya ikut memasang telinga, ia yakin itu. Bahkan beberapa anak yang tidak sedang mengantre ikut berhenti di sekeliling mereka dan menunggu. 

"Kesiswaan: Kak Icha, Kerohanian: Kak Putra, Publikasi dan Dokumentasi: Kak Felix, Kesenian dan Olahraga: Kak Ahmad, Kewirausahaan: Kak Erna." Azizah menghitung dengan jarinya, memastikan ia sudah menyebut semua nama. "Sudah. Ada yang kelewat?" 

Banjir nama membuat mata Lupi berkunang-kunang. 

"Kelasnya sekalian, Kak!" seru Alma agak di belakang. Yang lain menyahut setuju. 

Ketua OSIS mereka hanya tertawa. "Oo tidak bisa. Kalau kelasnya bisa cari sendiri, ya. Sekalian kenalan. Tapi saya kasih clue, deh: ada dua anak Eksakta, dua anak Sosial, satu lagi anak Bahasa."

Satu-satunya kakak kelas jurusan Bahasa yang Lupi tahu adalah Angga. Ia agak sungkan mondar-mandir di gedung kakak kelas untuk mencari tahu siapa yang pengurus OSIS. Jadi ia memutuskan untuk mencari Angga saja dan menanyakan orang yang mana yang harus ia mintai tanda tangan. Alma menolak menemaninya. Gadis itu masih sebal karena sempat ditegur soal sampah.

Gampang menemukan Angga karena markas sie konsumsi ditandai dan diberi petunjuk anak panah. Tempatnya cukup terpencil di ujung gedung sekolah yang berbatasan dengan lapangan basket dan tempat parkir siswa. Dilihat dari banyaknya patung gips, palet, serta kanvas, ruangan itu jelas ruang kesenian. Pada daun pintu yang terbuka terdapat tempelan kertas HVS bertuliskan "KONSUMSI". 

Angga ada di tengah-tengah kelas, sedang menempelkan kertas bertuliskan nama-nama kelas ke kardus makanan yang sudah dibagi. 

"Mas Angga," Lupi menyapa pelan saat melangkah masuk.

Yang disapa hanya melirik sekilas, lalu kembali menempelkan kertas seakan tak melihatnya. 

Ih jutek amat sih. Lupi agak sakit hati dianggap angin. Ia jadi berpikir untuk berbalik pergi saja. Mungkin Alma benar, mungkin orang di depannya ini memang sifatnya bermasalah. Atau jangan-jangan ia harusnya memanggil Kak? Namun menggunakan sapaan Kak dalam keseharian yang kasual masih terasa canggung bagi Lupi, jadi ia selalu kelepasan. Apalagi ia mendengar orang-orang juga bicara dengan bahasa daerah di sekolah. 

Seperti menangkap kebingungannya, Angga bersuara, "Biasakan ketuk pintu dulu ya, Dek. Jangan masuk dulu kalau belum dipersilakan." 

Utamakan Kesopanan. Lupi memaki dirinya sendiri karena lupa pada moto siswa. Andai ada lubang, ingin sekali ia terjun ke sana dan tak usah muncul lagi selamanya. Kenapa ia selalu saja berbuat salah di depan orang ini? 

"Maaf, Kak," gumam Lupi malu. Ia melangkah mundur, mengetuk pintu, lalu menunggu diizinkan masuk. 

"Nama?" 

"Gimana, Kak?" 

"Namamu siapa? Perkenalkan diri dulu."

Aduh, ribet banget! Lupi membatin. Ia ingin sekali menunjuk nama di badge seragamnya agar Angga bisa membaca sendiri. Namanya memang dibordir jelas di atas saku, tapi Angga mungkin tidak bisa membacanya dari jarak dua meter. "Lupi, Kak. Lupita Sari dari kelas X-B."

"X-B? Ah! Yang waktu itu." Angga tersenyum kecil, membuat Lupi jadi salah tingkah karena tidak bisa menebak waktu yang mana yang diingat Angga. Saat ia salah mengira diajak bicara? Atau saat ditegur bersama Alma? 

"Silakan masuk, Lupi," lanjut Angga. "Maaf ya, aturannya memang gitu. Kalau nggak dibiasain sejak awal, kamu nanti bisa kena masalah di tempat lain." Ia meraih satu bangku kayu dan meletakkannya di ruang kosong di depannya, mempersilakan Lupi duduk.

Segala rasa malu dan jengkel yang dirasakan Lupi tadi segera lenyap mendengar nada tulus barusan. Memang salahnya masuk tanpa izin dulu. Ia harusnya ingat segala yang tertulis di buku pedoman sakunya memang benar-benar diterapkan semua siswa. Namun ia tetap tidak mau duduk. "Saya di sini aja, makasih Ma—Kak! Cuma mau tanya sesuatu, boleh?" 

"Silakan, asal jangan sulit-sulit pertanyaannya. Kalau bisa, saya request soal pilihan ganda." 

Lupi tertawa mendengarnya. "Kakak kan jurusan Bahasa. Kata Kak Azizah ada anak Bahasa yang jadi pengurus OSIS. Boleh kasih bocoran nggak siapa namanya dan yang mana orangnya?"

"Oh, namanya Putra. Putra Mahanta, korbid Kerohanian, kelas XI Bahasa-1." Angga menatap heran. "Memangnya susah nyari dia? Kan semua anak OSIS pakai pin khusus di seragam?"

Lupi baru ingat. Pantas saja Alma bisa menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Lupi masih sungkan pada Alma yang jalan pikiran dan sifatnya tidak bisa ditebak, jadi tidak bertanya apa-apa waktu Alma dengan gembira berkata sudah menyelesaikan tugas. Matanya melirik seragam Angga, melihat tidak ada pin apa pun tersemat di sana. "Tapi Kakak nggak pakai pin?" 

"Kan saya bukan OSIS?" balas Angga, tangannya selesai menempelkan kertas penanda terakhir di kardus konsumsi. "Nggak semua panitia MPLS adalah anak OSIS, saya cuma dimintai tolong ngatur bagian konsumsi berhubung tahu banyak katering yang murah," katanya sembari berjalan keluar keluar kelas. Ia menoleh ke belakang bahunya, ke arah Lupi yang masih terdiam di tempatnya berdiri tadi. "Jadi nggak?" tanyanya.

"Ke mana?"

"Bukannya kamu datang karena minta diantar ke tempat Putra?" Angga menaikkan sebelah alis. "Biasanya dia istirahat di lab bahasa, samping koperasi. Tahu tempatnya?"

"Kemarin sudah ke sana, tapi lupa jalannya," Lupi mengakui.

"Ya, kan? Makanya ayo, saya antar." Angga mengangkat pergelangan tangan, menatap arloji yang melingkar di sana. "Lagian lima menit lagi istirahat selesai. Kalau sampai nyasar bisa-bisa kamu telat masuk kelas." 

Sekarang Angga berubah dari anak laki-laki menyebalkan dan sok mengatur jadi kakak kelas yang bisa diandalkan di mata Lupi. Ia segera mengekor di belakang Angga yang sudah berjalan duluan.

"Kelasnya nggak dijagain nggak apa?" Lupi menoleh ke belakang, ke arah ruang kesenian yang terbuka lebar.

Angga hanya tertawa di depannya. "Sebentar lagi ada yang datang, kok. Nggak akan ada anak-anak lain yang bakal berani mampir ke sini."

"Karena sepi?" tebak Lupi.

"Karena sering ada yang gentayangan lewat," Angga menjawab, masih sambil tertawa, "waktu kamu datang tadi, kirain dia yang muncul."

Tak bisa menebak apakah Angga hanya bercanda, Lupi ikut tertawa canggung. "Ah, Kak Angga bisa aja," katanya. "Memangnya Kakak indigo, bisa lihat yang begituan?"

"Biasanya justru yang bukan indigo yang bisa lihat. Yang ngaku-ngaku punya kelebihan selama ini malah aman tentram."

Keheningan menyelimuti mereka setelah Angga diam, membuat Lupi menyadari bahwa ruang kesenian memang terpencil. Memang, mereka bisa mendengar suara-suara obrolan siswa dan riuh kendaraan lewat sesekali, tapi semuanya hanya sayup-sayup. Yang kedengaran jelas adalah bunyi tapak kaki mereka di koridor yang hening.

"Kakak percaya hantu, ya?" Lupi bertanya, sekadar untuk mengisi suasana. Kesunyian ini membuatnya gugup.

"Nggak."

Jawaban itu di luar dugaan. Mendengar betapa semangatnya Angga bercerita tadi, Lupi pikir kakak kelasnya itu bisa melihat yang kasat mata.

"Kalau manusia yang sudah meninggal bisa jadi hantu, kita pasti sudah sering ketemu sama orang-orang sekitar kita yang sudah meninggal," lanjut Angga tak acuh. Ia berbelok ke bagian dalam sekolah, membawa Lupi pada hiruk-pikuk siswa yang sedang istirahat siang. "Kematian adalah proses selanjutnya kehidupan. Sama seperti nasi nggak bisa kembali jadi padi, yang sudah mati juga nggak akan bisa hidup lagi." Angga menoleh ke arah Lupi, memberi seulas senyum yang terlihat getir. Suaranya melirih saat melanjutkan, "Yang berkeliaran di sekolah ini bukan roh manusia … jadi kalau kamu punya mata, sebaiknya tetap pura-pura nggak lihat."

Jantung Lupi melewatkan satu degup barusan, kemudian berpacu dua kali lebih cepat dari biasa. Matanya menatap Angga lurus-lurus, bertanya-tanya apa makna kalimat barusan. Apakah Angga sekadar memberi nasihat umum padanya? Ataukah lelaki itu tahu?

Jika Angga tahu bahwa ia memang bisa melihat, mungkinkah lelaki itu juga tahu tentang bayangan kabur yang berkeliaran di dekat ruang kesenian?

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Wanderer: Bab 4
8
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan