Perfect Match: 12

6
0
Deskripsi

"Aku bukannya mau nyembunyiin darimu, Sayang," Angga berkata lembut begitu Gea selesai menceritakan kejadian hari ini. Ia berlutut di depan istrinya yang duduk di bibir ranjang. Kedua tangannya menggenggam tangan Gea erat-erat, takut wanita itu akan mogok bicara lagi. "Hubunganmu sama Mbak Ajeng kan nggak gitu bagus, aku cuma nggak mau kalian tambah renggang. Mungkin uang pensiunan Mas Reno kurang dan dia nggak berani bilang sama aku atau Mami, makanya aku berinisiatif sendiri …"

"Sejak kapan Mas Angga tahu Mbak Ajeng pelakunya?" 

Panggilan Mas Angga terasa mengganggu. Angga tak pernah suka mendengarnya. Namun ia tahu ini hukuman yang pantas baginya karena menyembunyikan soal Ajeng. "Sebenarnya aku sudah curiga sejak lihat rekaman CCTV pertama kali. Yonas naik ke atas lalu disusul Mbak Ajeng. Rasanya ganjil aja. Dari mana Mbak Ajeng tahu Yonas di atas? Kalau lihat dari bawah, kenapa nggak langsung dipanggil? Makanya aku mastiin ke Mbak Ajeng besok paginya … "

"Dia ngaku?" 

"Dia nyalahin Yonas."

"Trus tahu dia pelakunya dari mana?" 

"Karena meski aku bilang kalau kamu kehilangan uang dalam jaket, aku nggak bilang jaketmu ada di belakang pintu. Kan ada jaket lain digantung dalam lemari pakaian, juga ada yang tersampir di kursi. Tapi dia bilang Yonas nutup pintu untuk geledah pakaianmu."

"Cuma pelakunya yang tahu kalau yang diacak-acak adalah pakaian di belakang pintu." Gea mengangguk puas. 

"Setelah itu aku ngecek rekaman CCTV dan lihat kalau Mbak Ajeng sebelumnya pernah naik ke lantai dua." Angga menggeleng heran. "Kita juga terlalu sembrono. Karena terbiasa hidup berdua aja, kita jadi kurang awas terhadap keamanan rumah. Mungkin aja kalau pintu selalu dikunci, Mbak Ajeng nggak akan kepikiran mencuri. Makanya aku mau kasih dia kesempatan." 

"Apa lain kali Mas Angga juga bakal nyembunyiin hal semacam ini dariku?" Gea bertanya. "Kalau ada orang yang berniat jahat, Mas Angga nggak bakal ngomong ke aku?" 

Angga menatap Gea lama. "Kalau itu bikin kamu kepikiran sampai sedih, mending aku nggak ngomong." 

Gea menghela napas. "Coba kasusnya dibalik. Ada cowok lain di rumah kita. Dia kakak iparku, duda. Dan dia ngelakuin hal yang Mbak Ajeng lakukan. Dia masuk ke kamar mandi kita waktu harusnya giliranku, meski kita sudah bilang kalau tempatnya di lantai satu. Untungnya Mas Angga yang mandi duluan, dan Mas mergokin dia telanjang bulat di depan wastafel, shower kering, pintu nggak dikunci seakan sengaja nunggu aku. Waktu Mas Angga bilang ke aku, aku cuma menepis dan bilang memang dia itu orangnya kayak gitu, Mas Angga nggak perlu cemas soalnya aku cuma sayang sama Mas. Tapi gimana nggak cemas? Dia pakai boxer ketat dan bertelanjang dada dalam rumah. Dia ngambilin uang Mas dan masuk-masuk ke kamar kita. Tapi aku ngelindungin dia, nutupin semua kesalahannya, dengan dalih biar Mas Angga nggak kepikiran. Biar Mas Angga nggak sedih. Gimana? Mas rela?"

Raut wajah Angga terpilin dalam kernyit jijik. "Beda dong, Sayang …"

"Apanya?" balas Gea dingin. "Kalau ketika situasinya dibalik, Mas Angga mikir itu nggak bener, ya karena itu memang nggak bener. Jangan standar ganda." 

Angga hendak membantah. Bagaimanapun, laki-laki dan perempuan berbeda. Namun setelah dipikir lagi, skenario yang dibalik juga antara laki-laki dan perempuan. 

Ia hanya tidak ingin membuat anggota keluarganya terlalu berjarak. Rumah seharusnya menjadi tempat untuk pulang, bercengkrama, bukan saling gontok-gontokan. Namun usahanya melindungi rumah memang justru jadi meletakkan Gea di tempat yang tak adil. 

"Oke, aku ngaku salah." Angga memejamkan mata, meremas lembut tangan Gea. "Aku janji nggak akan nyembunyiin apa pun lagi … tapi bisa nggak berhenti panggil aku Mas? Please?" 

"Lama-lama enak di lidah. Kayaknya lebih sopan juga daripada berkamu-kamu sama suami." 

"Enak di lidahmu, nggak enak di telingaku," Angga mengerang. "Sejak dulu kita beraku-kamu dan nggak ada masalah. Bukan hal yang nggak sopan. Kalau mau sopan, kita pakai saya-Anda aja sekalian. Atau pakai hamba sama tuan-nyonya." 

"Itu sih berlebihan. Lagian manggil nama langsung memang njangkar. Aku nggak mau orang lain mikir Mas nggak dihormati istrinya sendiri." 

"Siapa peduli kata orang?" 

"Aku." 

Angga tak bisa berkata-kata. Ia menghela napas. "Boleh deh manggil gitu di depan Mami atau orang lain, tapi kalau berdua doang nggak usah."

"Anti banget, sih? Kalau Amel manggilnya apa?"

"Amel adekku, dia manggil Mas juga nggak masalah karena aku memang masnya Amel." 

"Kalau temen-temen Mas? Junior Mas? Yang lebih muda juga langsung panggil nama?" 

"Mereka kan bukan istriku." 

"Jadi aku doang yang nggak boleh? Ada trauma apa dipanggil Mas?" 

Trauma? Angga tertawa mendengarnya. Benar juga, jadi ini trauma. 

"Sayang, pernah mikir nggak kalau Mami terlalu memihak Mbak Ajeng?" 

Gea mengangguk mantap. "Itu bukan perasaanku doang, ya. Memang gitu?" 

"Mami kayaknya melakukan itu tanpa sadar," Angga menjelaskan. "Soalnya Mami merasa ngeliat diri Mami sendiri dalam diri Mbak Ajeng." 

"Itu juga yang Mami bilang ke aku. Karena katanya Mbak Ajeng besarin anak-anaknya sendirian, Mami jadi ingat waktu anak-anaknya masih kecil." 

Angga mengangguk. "Mami menikah sama Papa waktu umur enam belas tahun. Memang dulu di desanya Mami wajar menikah dini. Toh sudah lulus SMP. Mau lanjut sekolah nggak ada uang, WAJAR dari pemerintah kan cuma sembilan tahun. Nggak lama setelah menikah, Mami hamil Mas Reno. Itu kehamilan yang sulit banget, mungkin karena masih terlalu muda. Mami pendarahan hebat, orang-orang bilang Mami hampir lewat. Untungnya lolos masa kritis. Mas Reno juga hampir nggak ada. Lahirnya nggak nangis, nggak napas, jadi harus ditepuk-tepuk dan dikasih napas buatan. Makanya Mami sayang banget sama Mas Reno. Buat Mami, Mas Reno itu keajaiban. Papa juga masih ada untuk Mami sama Mas Reno di awal pernikahan. Dua tahun setelah itu aku lahir lebih gampang. Terus Amel tiga tahun setelah aku, dia lebih susah dari Mas Reno karena lehernya kelilit plasenta, sungsang pula." 

Angga berusaha bercerita sejelas mungkin agar Gea bisa memahami tanpa kebingungan. "Amel masih umur satu tahun waktu Eyang Kakung—kakekku dari Papa, kena stroke. Aku empat tahun, seumuran Vino, Mas Reno enam tahun. Mami yang umurnya masih dua puluhan tahun, mulai ngerawat Eyang sendirian dari mandiin, ngurus BAB, bikinin makanan halus. Dulu blender masih barang mewah. Listrik kami aja cuma 450 dayanya. Itu pun dibagi sama orang lain yang juga ngontrak di rumah itu. Papa nggak ada peran sama sekali, malah pergi main cewek. Ke-gep, minta maaf, tapi ngulang lagi. Nggak ada kontribusinya di rumah selain bikin sakit hati. 

"Makanya ketika lihat Mbak Ajeng ditinggal Mas Reno, dengan anak-anak yang masih kecil-kecil, Mami mungkin terkenang dirinya sendiri yang kerepotan tanpa suami di sisinya. Mungkin Mami ngeliat dirinya sendiri dalam Mbak Ajeng. Ketika Mami belain Mbak Ajeng, limpahin kasih sayang ke Mbak Ajeng, berharap ada cowok yang bisa dijadikan sandaran untuk Mbak Ajeng," Angga mendesah sedih mengingat bagian ini, "Mami sebenarnya sedang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri di masa lalu. Yang dilihat Mami adalah dirinya, bukan Mbak Ajeng."

"Tapi kondisinya beda … Mas Reno nggak selingkuh," Gea bergumam. 

"Memang. Mami sulit lihat kalau Mbak Ajeng lebih berdikari, lebih punya segalanya dibanding Mami dulu, juga masih punya keluarga. Karena bayangan diri Mami di masa muda dan Mbak Ajeng sudah menumpuk jadi satu di mata Mami. Yang dilakukan Mami ke Mbak Ajeng adalah apa yang Mami ingin orang lain lakukan dulu ke Mami. Apa yang nggak pernah Mami dapat … "

Gea tercenung. 

"Maaf, Sayang … maaf kalau Mami nyakitin kamu, tapi Mami bukan sengaja, kok. Aku jamin nggak ada masalah personal … Mami bukan nggak suka kamu atau nggak sayang sama kamu. Nggak ada yang kurang dari kamu. Serius." 

Gea menarik lepas tangannya. Angga menggigit bibir, tahu bahwa penjelasannya memang tak bisa menjadi pembenaran untuk sakit hati yang diterima Gea hari ini. 

Angga melihat apa yang terjadi dari CCTV karena mulai sekarang Angga memonitor rumah meski berada di kantor. Bahkan tanpa Gea menceritakan kejadian hari ini pun, ia mendengar sendiri pembicaraan Gea dan Mami. 

Instalasi CCTV dalam rumah ternyata adalah ide yang sangat membantunya.

Angga sedang memutar otak, hendak mencari cara lain untuk melunakkan hati istrinya ketika lehernya dirangkul, ditarik ke depan dan didekap hangat. 

Gea memeluknya erat-erat hingga Angga bisa mendengar degup jantung istrinya begitu jelas. 

"Aku yang minta maaf," Gea berkata parau. "Padahal Mami sudah berusaha membuka hati dan cerita, tapi aku nggak nangkap. Gimana, dong? Aku bikin Mami sedih …" 

“Bisa dipahami, kok. Mami juga keterlaluan hari ini.” Angga merangkul pinggang Gea, balas memeluknya erat. Gea merosot turun dari bibir ranjang ke pangkuannya di karpet, kini gantian membenamkan wajah ke dadanya. Angga menunduk, mencium kedua kelopak mata Gea bergantian. Ia menghela napas, bersyukur memiliki Gea dalam hidupnya. 

Kemudian Angga melanjutkan ceritanya, sekadar menambahkan konteks yang hampir terlupa. 

"Yah, karena tumbuh besar dengan Papa yang nggak ngerti tugasnya sebagai kepala keluarga ataupun seorang ayah, dan malah asyik main cewek di luar … karena itulah tiap kali dengar panggilan Mas dari seorang istri ke suami, aku otomatis kebayang Papa. Sosok Mas yang dipanggil-panggil istrinya, dimintai pertolongan, tapi peduli pun enggak. Rasanya masih sulit hilangin konotasi itu." Angga melanjutkan dengan nada lebih riang untuk menghapus nuansa muram ceritanya, "Aku cuma takut bakal jadi suami yang nggak bener. Makanya panggil Sayang aja, ya. Lagian kedengaran lebih manis."

Gea merapatkan tubuh padanya, mendadak memeluknya terlalu erat. Kedua mata istrinya basah, menatap penuh kesungguhan saat berkata, "Sayang nggak usah khawatir. Besok, Sayang pasti bakal jadi ayah yang baiik banget, yang terlibat, anak-anak kita bakal selalu banggain ayah mereka ke mana-mana. Pasti! Aku yang bahagia banget di pernikahan kita ini bisa jadi jaminannya."

Angga tersentuh. Hatinya menghangat. "Love you," bisiknya, tak bisa menemukan kalimat lain di kepala. 

"Love you more!" Gea membalas, memekik saat diangkat dan dibaringkan ke atas ranjang. Angga menautkan tangannya pada tangan Gea, kemudian bibir mereka.


 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Perfect Match: 13
5
1
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan