Perfect Match: 2

7
1
Deskripsi

Angga pulang lebih larut dari biasa karena ada karyawan yang resign, jadi satu kantor makan di luar sepulang jam kerja untuk pesta perpisahan. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat mobil Angga mendekam aman di carport

Gea berlari turun begitu mendengar bunyi mesin mobil menderum masuk. Ia menutup dan mengunci gerbang, mengecek uang jimpitan ronda yang ternyata belum diambil, lalu berjalan memintasi pekarangan rumah ke carport untuk menyambut Angga. 

Mereka berdua seumuran, tahun ini sama-sama berumur 27 tahun. Gea lahir duluan di awal Mei sementara Angga awal Oktober. Banyak yang bilang idealnya dalam menjalin hubungan lelaki harus lebih tua daripada perempuan agar seimbang karena perempuan lebih cepat dewasa secara emosional. Namun Gea tahu itu hanya stereotip belaka. Meski secara teknis lebih muda darinya, suaminya punya sifat dewasa dan dapat diandalkan. 

Angga lebih tinggi sepuluh senti dari Gea, bertubuh cukup atletis karena sering olahraga dalam kegiatan kantor. Rambut hitamnya lurus, sedikit ikal di ujung-ujung. Sorot matanya cerdas dan senyum hampir selalu terulas di bibirnya setiap kali Gea menatap. Bentuk bibirnya memang terpahat dalam lekuk ramah. 

Sekarang pun, begitu melihat Gea menyongsong, Angga tersenyum cerah seperti remaja yang baru pertama jatuh hati. 

"Kok belum tidur, Sayang?" Angga membalas pelukan Gea dengan satu tangan. Tangan yang lain membawa dua kantung kertas. "Aku bawa donat, sisa pesta masih banyak banget. Mau nggak?" 

"Mau banget, kebetulan laper." Gea meraih kantung itu dan menggandeng suaminya masuk. "Malem banget pestanya? Kalian ngapain aja?" 

"Ini aja masih belum selesai. Anak-anak kantor malah karaokean. Aku pulang duluan, curiganya kamu nggak tidur nungguin." 

Gea terkekeh. "Kecurigaan Anda benar, Tuan Sherlock." 

"Harus banget ya dipukpuk biar tidur?" Angga mencubit hidung Gea. "Manja." 

"Katanya suka yang manja-manjaa …" 

Angga tertawa. Mereka berada di depan pintu masuk, daun pintu setengah membuka. Angga menundukkan kepala. Gea memejamkan mata dengan kesiapan akan menerima ciuman, tapi batal begitu mendengar suara batuk kecil. Kaget dan salah tingkah, keduanya tersentak dan jadi kaku. 

"Sori, lanjutin aja," terdengar suara Ajeng. 

Gea menatap ke depan, melihat Ajeng berdiri di tengah jalan masuk, di depan tangga kayu menuju lantai dua. Ajeng mengamati mereka dengan senyum di bibir tapi matanya tidak ikut tertawa. Tanpa sadar, Gea merapatkan diri memeluk lengan Angga. 

"Belum tidur, Mbak?" Angga berjalan masuk menggandeng Gea dan menutup pintu di belakang punggungnya. "Aku bawa donat, kalau Mbak Ajeng mau." 

Ajeng melirik kantung di tangan Gea, lalu menggeleng. "Nggak ah, sudah malam, nggak baik makan manis-manis. Takut gendut." 

Telinga Gea memanas. Entah kenapa ia merasa seperti sedang disindir. 

"Mbak Ajeng nggak gendut kok," Angga berkata jujur. 

Itu memang bukan basa-basi. Bahkan setelah melahirkan dua anak, Ajeng tetap bertubuh kutilang—kurus tinggi langsing. Gea sering melihat Ajeng melakukan yoga di samping rumah yang menghadap taman. 

Mendengar komentar Angga tadi, Ajeng tertawa panjang. "Bisa aja kamu," katanya. "Kok tumben pulangnya semalam ini? Sudah makan belum?" 

"Sudah, ini tadi ada temen yang resign. Terus kantor bikin pesta perpisahan pulang kerja," Angga menjelaskan. "Donatnya ada beberapa kotak tadi, aku disuruh bawa pulang soalnya sisa banyak. Satu kotak buat kamu Sayang," katanya pada Gea. "Yang ada dimsumnya. Yang satu kotak lagi buat keponakan aja, besok diangetin pun masih enak." 

"Gea masih mau makan malam-malam?" Ajeng bertanya, nadanya mengandung tawa. "Kan nggak sehat? Nggak takut bulet, Ge?" 

Gea tidak bisa berkata-kata. Ajeng mengucapkannya dengan nada bercanda, jadi akan aneh kalau ia marah. Namun pertayaan tadi rasanya seperti mengandung makna lain.  

"Nggak bulet, ah," komentar Angga yang sejak tadi memandangi Gea. "Kalau lapar makan aja, Sayang, daripada kena gerd. Lebih nggak sehat. Lagian jadi bulet pun aku tetep gemes," tambahnya sambil tertawa. 

Gea menyikut Angga main-main. "Jadinya aku bulet atau nggak bulet nih?" Ia berjalan ke arah Ajeng dan menyerahkan bungkusan donat bagian keponakannya. "Ini Mbak yang untuk keponakan, atau mau yang ini?" Gea menoleh pada Angga. "Sama aja nggak sih Sayang isinya?" 

"Beda, sih. Tapi sama-sama enak," Angga menjawab sambil merogoh kantung mencari kunci pintu. "Macem-macem kok rasanya." 

Ajeng menatap kantung di tangan Gea, lalu mengangkat bahu. "Taruh di lemari aja Ge, aku tidur duluan."

Kemudian tanpa menunggu jawaban, Ajeng sudah ngeloyor pergi ke belakang rumah tempat kamarnya berada. Gea ditinggalkan dengan tangan terkatung di udara. Terpana dengan perlakuan yang didapatnya, Gea menoleh ke arah suaminya, untuk berbagi ketidakpercayaan, untuk mengeluh. Angga sedang mengunci pintu membelakanginya, sebelah tangan mengusap-usap bahu dengan gerakan memijat, kelihatan lelah. Itu membuat Gea batal mengeluh. Ia berjalan menyeberangi ruang duduk ke arah pantry dan menyimpan donat-donat di lemari. Dimsumnya ia letakkan ke dalam mangkuk untuk disantap di kamar, tapi kemudian Gea membatalkannya. Nafsu makannya hilang. Ia tidak lapar lagi. Setelah menyimpan mangkuk dimsum dalam kulkas, Gea berjalan menghampiri Angga yang menunggunya di dasar tangga. 

"Kok nggak jadi dimakan?" 

"Besok aja buat sarapan," balas Gea. 

"Tadi katanya lapar?" 

"Sekarang nggak jadi lapar." 

Angga berjalan mengikuti Gea ke lantai dua, menuju kamar mereka. Begitu sampai di dalam kamar dan meletakkan tasnya, Angga menoleh pada Gea dan berkata sungguh-sungguh, "Kamu nggak bulet lho, Sayang."

Gea menatap suaminya heran, tawanya meledak. "Aku bukan batal makan karena takut gendut, Sayang. Memang beneran mendadak nggak lapar lagi," katanya. "Nafsu makanku langsung hilang karena Mbak Ajeng. Kamu sadar nggak sih dia itu agak … aneh?" 

"Anehnya gimana?" 

Gea agak ragu memulai ceritanya. Namun topik pembicaraan sudah dibuka, tak baik menggantungnya begitu saja. Maka Gea menceritakan apa yang terjadi pagi ini—kasus yang menurutnya cukup besar untuk diperhatikan. "Kadang aku ngerasa dia itu sengaja," ucapnya memungkas cerita. 

"Sengaja apa?" 

Gea menatap lelaki di depannya dengan tajam. "Sengaja godain suamiku. Aku curiga dia suka kamu." 

Angga mengganti kemejanya jadi kaos. Tawanya pecah begitu mendengar tuduhan Gea. "Lucu banget," ucapnya sambil menutup pintu lemari. Ia melempar kemeja bekas pakainya ke kantung kanvas untuk laundry. Begitu melihat Gea serius, ia berhenti tertawa. "Kamu beneran cemburu sama kakak sendiri?" 

"Dibilang kakak juga aslinya dia orang asing. Mbak Ajeng nggak ada hubungan darah sama kamu atau aku," balas Gea resah. Ia mulai mencium aroma penyangkalan. Sepertinya Angga tidak mau menerima dugaannya  begitu saja. "Dia tahu jam segitu pasti kamu di kamar mandi sementara aku turun bikin sarapan. Cuma kebetulan aja pagi tadi aku mandi duluan." 

"Tapi kan itu karena Tomi lagi mandi di bawah, makanya dia naik." 

"Itu kan alasannya. Tapi kalau memang mau mandi, kenapa dia nggak ngunci pintu?" Gea semakin marah begitu mengurai kejanggalan yang terjadi. "Kenapa dia nggak mandi? Dia tuh telanjang bulat di depan wastafel. Nggak ada suara orang di dalem lagi mandi, makanya aku buka pintu!" Gea semakin bersemangat begitu menyadari kecurigaannya beralasan. Ia berjalan mendekati Angga dan menggenggam kedua tangan suaminya. "Dia juga selalu liatin kamu dengan aneh kan, Sayang? Kamu sadar nggak?" 

Angga mengerutkan kening. "Masa, sih?"

Gea mengangguk dua kali, tapi Angga tetap skeptis. 

Agak lama, Angga hanya diam saja seperti sedang mencerna tuduhan Gea. Pada akhirnya ia menghela napas dan mengangkat bahu. "Mbak Ajeng memang orangnya agak kurang peka, Sayang. Mungkin dia cuma belum adaptasi aja. Namanya tinggal di tempat baru pasti ada salah-salahnya dikit …  mungkin dia memang kurang ngerti keseriusan aturan kamar mandi dan ceroboh aja." 

Gea ingin berkata bahwa intuisinya sebagai seorang perempuan tak mungkin salah. Namun Angga baru saja kehilangan kakak kandungnya, juga baru saja pulang kerja. Memperpanjang masalah ini mungkin bukan hal yang bijak. "Iya juga sih," katanya mengalah, "mungkin aku aja yang terlalu sensi ... aku coba kurang-kurangin deh." 

Angga tersenyum tipis. Ia duduk di bibir ranjang dan merangkul bahu Gea, menarik istrinya dengan penuh rasa sayang. "Maaf ya Sayang, soalnya Mami nggak punya siapa-siapa lagi selain aku di sini. Amel kan jauh di Jakarta sementara Mami masih pengen di Jogja, dekat sama Mas Reno."

"Ih, kok pake minta maaf sih. Aku juga sayang Mami, kok. Sama keponakan-keponakan juga sayang." Gea jadi merasa bersalah sekarang. "Jangan bilang gitu dong, Sayang! Aku nggak ngeluh lagi, deh." 

"Lho, ngeluh aja." Angga mencium kening Gea. "Boleh banget ngeluh. Justru bagus ngeluhnya ke suami sendiri. Jangan sampai ke orang lain." 

"Iyaa, mana pernah aku ngeluh ke orang lain sih Sayang?" Gea memeluk pinggang Angga. Ia menyandarkan wajah ke dada lelaki itu, menghirup dalam-dalam aroma tubuh yang disukainya. "Kan selalu cuma sama kamu. Eh, sama Tina juga sih." 

"Tina nggak usah dihitung."

"Berarti cuma sama kamu."

Angga terkekeh. "Lagian," tambahnya sambil menarik Gea berbaring di ranjang, "mau ada cewek telanjang lewat-liwit di depanku pun nggak ngaruh. Kecuali ceweknya kamu."

"Hmmm." 

"Beneran!" 

"Hmmmmmm," Gea menggumam semakin panjang. 

"Kan cuma kamu yang bisa bikin aku gini," Angga berkata sembari menarik dan menempatkan tangan Gea, membuat Gea tersipu-sipu. 

"Katanya capek?" 

"Kalau buat kamu nggak ada capeknya," tukas Angga. Ia menaikkan sebelah alis. "Atau kamu yang capek?" 

"Tadi habis beres-beres capek sih, tapi kalau buat sama kamu sih ada jatah tenaga sendiri." 

Angga berhenti. Ia menahan tubuhnya dengan kedua siku, mengungkung Gea di bawah. Tangannya menarik lepas tali rambut Gea membebaskan rambut keriting ikalnya yang panjang sebahu. "Beres-beres apa sampai kecapekan? Beresin gudang?" 

"Vino kan anak kecil, Sayang. Mainannya berantakan di mana-mana. Baju-bajunya yang bertebaran, dan lain-lain." 

"Itu urusan ibunya." 

"Ibunya pergi seharian ini. Kan cuma aku, Mami, sama Tomi yang di rumah." Gea tersenyum lembut. "Hitung-hitung latihan repot kalo kita punya baby besok, kata Mami." 

Angga tersenyum sekilas, tapi matanya menyorot serius. "Mau nyewa ART?" tanyanya. "Biar bersih-bersih diurus ART. Kamu kan juga kerja, butuh istirahat juga." 

Gea mengusap wajah Angga dengan jemarinya yang dibalut perekat luka. "Nanti pengeluaran kita nambah lagi." 

"Ini kenapa?" Kening Angga berkerut. "Tadi pagi nggak ada." 

Gea cepat-cepat menyembunyikan tangannya ke balik selimut, tapi Angga menangkap dan menariknya kembali, mengamati bagaimana empat jari Gea tertutup perekat luka. 

"Kenapa, Sayang?" Angga bertanya. Ia membeliak melihat betapa kering punggung tangan istrinya. Kulitnya bersisik dan mengelupas. "Kok gini?" 

"Aku cuma nggak biasa nyuci manual. Kayaknya kebanyakan pake sabun," kata Gea malu. 

"Ngapain nyuci manual? Kan kita ada mesin cuci?" Angga semakin bingung. 

Gea tertawa canggung, tidak menjawab apa-apa. 

"Mesin cucinya rusak?" Angga bertanya. 

"Kalau pakai mesin cuci ternyata nggak bersih, Sayang. Vino kulitnya sensitif," Gea berkata pelan. Matanya dialihkan ke arah lain. Sebenarnya ia sengaja membuat kulitnya kasar dengan bantuan minyak kayu putih untuk menarik perhatian Angga, untuk menunjukkan betapa serius masalah mereka. Tina memberi saran soal menunjukkan bukti, tapi mendadak menyodorkan bukti pada Angga mungkin malah akan jadi senjata makan tuan. Maka Gea memikirkan cara ini. Namun Gea jadi merasa bersalah karena bersandiwara. "Tapi ini aku salah pilih sabun. Harusnya pakai yang lebih ringan," gumamnya cepat, mulai tak menyukai cara yang ia lakukan. 

Angga menatap Gea lama tanpa bicara. Ia mencium kening istrinya, lalu berkata dengan suara bulat, "Besok kita cari ART." 

"Sayang—" Gea sedikit kaget. Niatnya hanya mengadu sedikit mengenai kesusahannya. 

"Pakaiannya Vino nggak usah kamu cuci. Kan dia punya ibunya sendiri yang lebih paham. Hm?" Angga menjatuhkan satu kecupan lagi di kelopak mata Gea. "Besok aku bilangin Mbak Ajeng. Aku nggak suka kamu sampai ngelukain diri sendiri."

Gea tersenyum simpul. Ia memeluk Angga. 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Perfect Match: 3
6
1
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan