[Liebling] 2023: Bab 6

7
4
Deskripsi

Carmen memandangi suaminya dengan geli. Mereka berdua sudah di rumah sekarang, duduk berdampingan di sofa panjang di ruang santai. Berkas-berkas dan dokumen rumah sakit mencuat keluar dari ujung paper bag yang diletakkan Forte di meja di depan mereka. Lelaki itu duduk dengan wajah gusar. Wajahnya memandang layar TV yang menyala tanpa suara. 

“Sudahlah Sayang, mau sampai kapan kau marah begitu?” 

“Kita harusnya menuntut rumah sakit itu,” Forte berkata serius. “Tom kenal orang-orang yang tepat, aku bisa memintanya. Pop juga akan setuju.” 

Carmen terkikik. “Kan dokter juga sudah bilang, kemarin memang tidak ada apa-apa. Untungnya sekarang terlihat.” 

“Gumpalan darah di otak!” sergah Forte. “Itu kan bahaya? Pantas saja kepalamu sakit! Dan mereka baru tahu sekarang? Negara ini memang rusak, semua rumah sakitnya parah! Dan kau malah tertawa," katanya heran. “Kalau aku tidak ngotot minta CT-scan, kita tak akan tahu ada gumpalan darah keparat!” 

“Habisnya,” Carmen tergelak panjang, “ini pertama kalinya aku melihatmu ngomel panjang lebar! Ini tidak bahaya Sayang, dokternya sudah bilang—” 

“Dokter yang sama bilang tak ada apa-apa minggu lalu," potong Forte. Ia mengerutkan kening, berpikir beberapa saat. “Mau periksa di luar negeri?” 

“Dan meninggalkan Alto?” 

“Dia bisa dibawa.” 

“Ah, kita bakal sangat repot,” Carmen berkata geli. Ia menyentuh tangan Forte dan menggenggamnya lembut. Hatinya menghangat melihat kejengkelan Forte. Dulu ia tak pernah membayangkan Forte akan jadi orang yang marah-marah untuknya dan mengkhawatirkannya seperti ini. Mungkin lelaki itu masih mencintai orang lain, mungkin saja segala kecemasan ini adalah bagian dari akting belaka, seperti kesepakatan mereka. Namun Carmen tak mau tahu lagi. Ia akan menikmati segalanya bahkan meski itu hanya pura-pura. Ia ingin memanjakan diri dalam kasih sayang Forte. “Aku tidak apa-apa. Besok masih ada kontrol lagi. Kalau sampai minggu depan tak ada perkembangan, aku turuti deh apa saranmu.” 

Forte menghela napas. Pandangannya dijatuhkan ke punggung tangan Carmen, pada cincin pernikahan yang melingkar di jemari manis tersebut. “Lebih berhati-hatilah, Carmen," katanya, “jika bukan demi aku, setidaknya demi Alto.” 

Carmen terdiam. Alisnya menukik turun dengan tajam. Ia menarik tangannya dengan cepat dan menyilangkannya di depan dada. “Aku selalu hati-hati!” katanya tersinggung. “Kenapa kau bicara seolah aku sengaja terluka?!” 

“Sepertinya kau memang selalu cari masalah. Awalnya kan itu bukan urusanmu. Itu urusan teman kerjamu.”

“Waktu itu aku belum tahu yang dikejar teman kerjaku! Orang itu mengganggu semua karyawan!” 

“Serahkan urusan macam itu pada satpam! Kau kan anchor, bukan security!"

“Oh, lihat, jadi sekarang kau menyalahkanku!” 

“Aku cuma memintamu hati-hati, kenapa kita bertengkar?!" 

Karena permintaan barusan membuat Carmen seakan tak pernah memikirkan Forte maupun Alto. Padahal ia selalu memikirkan kedua orang yang sangat ia sayangi itu. Ia memikirkan mereka setiap saat. Ia memikirkan Forte dan Alto setiap melihat hal baru, hal manis, makanan lezat, tempat indah, daun berbentuk aneh, petir, sinar halo, pelangi, ia selalu memikirkan mereka setiap detik, ingin membagi semua hal tersebut dengan keluarga kecilnya. Bola mata Carmen basah. Ia benci ini. Ia benci karena Forte gagal memahami betapa ia sangat mencintainya dan Alto. Ia merasa cintanya diragukan. Hatinya sakit. Ia benci menangis di depan Forte ketika marah. Itu membuatnya kelihatan seperti ialah yang salah. 

Carmen hendak bangkit untuk menenangkan diri dalam kamar, tapi Forte keburu menahan bahunya, memaksanya tetap duduk di sofa. 

“Kalau kau cuma mau marah-marah, aku tak mau dengar.” Carmen membuang muka agar tak ketahuan sudah menangis. 

“Hari ini kita pesan antar saja. Mau makan apa?"

“Aku bisa pesan sendiri nanti.” Carmen masih berusaha bangkit, tapi lengan Forte yang melingkar di bahunya terasa sangat berat dan tak bergerak sedikit pun. “Maumu apa, sih? Marah-marah lalu bersikap baik! Kata-katamu seolah kau memikirkanku, tapi setiap hari cewek itu masih ada di kepalamu! Kau tidak mencintaiku tapi kesal kalau melihatku bicara dengan lelaki lain! Kau selalu membuatku bingung! Aku benci padamu! Lepaskan sekarang!" 

“Cewek apa?" 

Carmen menggeliat lepas dan melarikan diri ke kamar mandi karena takut diikuti, lalu mengunci diri dan menangis di sana sampai muntah-muntah. 

***

Carmen menghabiskan sepanjang hari di kamar Alto sejak anak itu pulang. Ia mengajaknya bermain, membacakan cerita, dan makan malam di kamar. Forte sudah pergi lagi setelah menjemput Alto, jadi mereka tidak sempat melanjutkan atau menyelesaikan pertengkaran tadi siang. 

Sejujurnya, Carmen merasa agak bersyukur Forte segera pergi. Ia malu sekarang. Setelah selesai menangis dan perasaannya lebih tenang, Carmen baru menyadari bahwa Forte hanya mencemaskannya. Tidak, sebenarnya ia memang sudah sadar sejak awal. Hanya saja cara Forte mengingatkannya membuat Carmen mendadak jengkel. 

“Sayang kapan pulang?” Alto bertanya sambil menata mainannya ke dalam kotak mainan. “Kita tunggu Sayang pulang?” 

“Mamochka tidak tahu,” balas Carmen, “kita tidur saja, besok pagi Sayang pasti pulang.”

“Atau,” Alto menutup kotak mainan dan beringsut mendekat pada Carmen, membujuknya, “atau kita telepon Sayang,” katanya. “Boleh, ya? Kita bilang good night?” 

“Sayang baru kerja,” tolak Carmen. Ia masih belum tahu harus bersikap bagaimana jika mendengar suara Forte. Karena emosi, ia meluapkan segala isi hatinya bahkan sampai keterlaluan mengatakan benci. Ia yakin Forte pasti marah. “Bagaimana kalau besok pagi?” 

“Kalau besok pagi, Sayang gimana tidurnya?” balas Alto cemas. “Kita kan selalu bilang good night?” 

Carmen menatap Alto agak lama. Akhirnya ia mengalah. “Kita tanya Sayang dulu ya,” katanya sembari mengangkat Alto ke atas tempat tidur. Ia berbaring di sisi anak itu, yang langsung menyelimutinya dengan senang. “Kalau Sayang bilang tidak bisa atau tidak menjawab, berarti kita bilang good night lewat chat saja. Okay?” 

“Okay!” 

Carmen mengirim pesan pada Forte, disertai stiker pilihan Alto. Dalam hatinya ia berharap Forte sedang sibuk. Ia harap bisa menunda bicara dengan lelaki itu. 

Namun balasan datang satu menit kemudian. Forte yang menelepon mereka. 

“Itu Sayang!" Alto bangun dari tidurnya dengan wajah girang. “Sayang belum tidur!” 

Carmen mengangkat panggilan dan menekan loudspeaker

Ada suara dengung statis dan kemerosak, kemudian disusul suara berat dan dalam Forte. 

“Kalian belum tidur?” 

“Sayang?” Alto tertawa senang mendengar suara ayahnya. Matanya berbinar menatap Carmen, lalu ia kembali ke layar ponsel dan berseru, “Tebak ini siapa?” 

Forte tertawa kecil di seberang sambungan. “Hmm, siapa ya?” balasnya dengan lagak menebak-nebak. “Aligator?” 

“Salah!” 

Ranger Biru?” 

Alto tertawa dan menggeleng. “Bukan!” 

Ah, Carmen?” 

Carmen merasa jantungnya berdenyut menyakitkan begitu namanya disebut. Alto justru tertawa semakin senang karena Forte terus-terusan salah. 

“Ini Alto!” Alto berkata, kedua tangannya sudah menggenggam ponsel agar lebih dekat. “Aku baca buku, Sayang!” Alto berseru di depan layar telepon genggam. “Yang kemarin kita baca!” 

Dinosaurus merah?"

Alto mengangguk. 

“Sayang tidak bisa melihatmu,” Carmen mengingatkan. 

“Iya, Dino Merah!” Alto berteriak. “Mamochka baca dua kali!” 

Bagus. Sekarang sudah ma—" ucapan Forte dipotong Alto yang sibuk bercerita soal dinosaurus dalam buku cerita. Forte mendengarkan dengan sabar, kemudian bertanya lagi, "Sekarang sudah malam. Kenapa belum tidur?” 

“Belum bilang good night,” Alto segera ingat. “Good night Sayang! Selamat tidur!" 

Selamat tidur, Alto. Mimpi indah.” 

“Sayang kapan pulang?” Alto menemukan pertanyaan baru. 

Besok siang pulang,” balas Forte setelah diam agak lama. Ada suara-suara orang bicara di seberang sana, tak tertangkap jelas bunyinya. “Sekarang tidur, oke? Teleponnya bersambung dulu. Besok kita ngobrol lagi.” 

“Mwah!” Alto mencium layar ponselnya, lalu mengembalikan ponsel pada Carmen. 

Carmen menerimanya dengan kikuk. Ia baru mau mematikan sambungan saat Forte kembali bersuara. 

Carmen? Sudah minum obat?” 

Carmen mengangguk, tidak menemukan suaranya. 

“Sayang tidak bisa lihat!" bisik Alto dari balik selimut dinosaurusnya, membuat Carmen tertawa. 

Loudspeaker dimatikan. Carmen menggunakan earpiece karena ia belum boleh menempelkan ponsel di kepala. “Sudah,” jawabnya dengan suara agak basah. Ia menggigit bibir, berusaha mencari topik untuk dibicarakan. Namun otaknya buntu. 

Bagus,” sahut Forte. Suaranya sekalem biasa, seakan mereka tak pernah bertengkar. “Istirahatlah. Besok siang aku pulang sebentar. Kau masih libur, kan?"

“Iya, aku ambil cuti tambahan.” 

Oke.” 

Hening. 

Carmen menarik napas pelan. “Aku tutup teleponnya,” ia berkata. 

Oke. Kalau ada apa-apa, misscall saja.”

“Mmm,” gumam Carmen. Ia diam, menunggu sambungan ditutup. Namun sepertinya Forte juga menunggunya. Setelah tunggu-tungguan agak lama, akhirnya Carmen berbisik lirih, “Good night, Sayang.” 

Carmen cepat-cepat mengakhiri telepon karena malu. Ia melepas earpiece, meletakkan ponsel di atas bantal, kemudian memeluk Alto yang sudah mulai mengantuk. 

Ponsel bergetar. 

Carmen membukanya, menemukan satu pesan. Hanya sebuah stiker. Itu stiker pribadi Alto, biasanya hanya dikirim oleh Alto untuk mengucapkan selamat tidur. Forte belum pernah menggunakan stiker dalam chat

Kali ini, dari nomor Forte, sebuah stiker terkirim dengan gambar dinosaurus hijau membawa tulisan “Good Night Sayang!” 

Carmen tak bisa menahan senyum. Ia memeluk Alto, menciumi pipi anak itu dengan penuh rasa sayang dan terima kasih. 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Wanderer: Bab 1
10
4
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan