Bloody Love: The Beginning After The End [1]

37
7
Deskripsi

Cerita dimulai ketika Albion Raya masih belum stabil, ketika perang masih berkecamuk. Marco Argent dipanggil pulang dari Bjork. Kabar kematian menunggunya. 

 

***

Jika ada satu kabar yang begitu akrab di telinga Marco Argent sejak ia kecil, itu adalah tentang kematian.

Hampir setiap hari selalu ada orang mati—entah kawan atau lawan, dan itu bukan hanya karena perang yang terus berlangsung di Laut Semu dan perbatasan-perbatasan Albion. Itu karena Garland Argent, ayahnya, adalah Tangan Kanan Merah Kerajaan. Tangan Kanan Merah adalah tangan yang berlumur darah. Sudah rahasia umum bahwa siapa pun yang menghalangi jalan raja akan berakhir di ujung pedang Argent. Darah dan mayat bukan pemandangan baru bagi Marco yang merupakan putra tertua keluarga Argent. Kematian juga tak pernah jadi kabar yang mengejutkannya. Tak pernah. Setidaknya sampai hari ini.

Nama Gloria Sterling mengambang di udara, memukul Marco kuat-kuat hingga kepalanya berkabut. Ia melangkah panjang-panjang menyeberangi foyer, tak menghiraukan pelayan yang memanggilnya dari belakang, tanpa bahkan melepas mantel atau topinya. Rumah penuh sesak dengan orang-orang berpakaian gelap—semuanya tampak dingin, hanya memandanginya dengan tatapan mengasihani. Marco melewati mereka dengan langkah agak tersendat. Beberapa kali bahunya hampir membentur tubuh orang lain.

Jika lantai satu dipenuhi tamu, lantai dua sesak dengan kerabat yang berseliweran. Marco sempat menangkap wajah paman-paman jauhnya, sepupunya, cabang keluarga yang lain, tapi orang yang dicarinya tidak tampak. Udara terasa sesak. Suara-suara menghilang seperti disumbat gabus padat.

Seseorang menangkap pergelangan tangannya dari belakang. Marco menoleh, hendak mengibas lepas cekalan itu, tapi gerakannya terhenti begitu melihat siapa yang ada di belakangnya.

Edgar.

Adiknya itu mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang terdengar. Marco mengerutkan kening dengan pandangan penuh tanya. Edgar bicara lagi, meski tetap saja suaranya hilang ditelan kesunyian.

Berpikir bahwa ini semua hanya mimpi yang aneh, Marco menepis tangan Edgar dan membalikkan tubuh, kembali berjalan ke ujung koridor, ke arah kamar kerja ayahnya.

Biasanya ruangan itu selalu tertutup rapat, tapi kali ini daun pintunya yang ganda membuka lebar ke dalam, memperlihatkan megahnya meja kerja dan kursi-kursi duduk di dalam sana.

Garland Argent ada di dalam, dikelilingi kawan-kawan terdekatnya. Marco menyerbu masuk tanpa permisi, tanpa mengetuk, tanpa menunggu dipersilakan—hal yang jelas tak pernah dilakukannya dalam kondisi biasa. Ia selalu tahu aturan dan penuh tata krama. Ia selalu bisa mengendalikan diri.

Garland menoleh, menatap dengan raut wajah yang tak bisa dibaca. Pria paruh baya itu mengibaskan tangan, mengetukkan kepalannya dengan ringan ke dada beberapa kawannya sebagai salam, kemudian semua orang pergi meninggalkan mereka.

Begitu pintu ganda tertutup di belakang punggung Marco, segala bunyi mendadak muncul lagi. Dunia kembali bersuara dengan kejam, menyadarkannya bahwa ini bukan mimpi. Ini kenyataan.

"Ibu ... tiada?" Marco bahkan tak bisa mengenali suaranya sendiri. Kedengarannya begitu aneh di telinga.

Garland hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Kenapa? Kapan?"

"Lepas topi dan mantelmu. Kau pulang dengan penampilan begitu?" Garland menukas ketus. "Dia sakit dan menolak minum obat!"

"Sakit?" Marco melepas topi dengan patuh. Rambut hitamnya yang lembap karena keringat jatuh ke kening. "Aku tidak tahu—"

"Kau ada di Bjork! Mana mungkin tahu?!" hardik Garland marah. "Jangankan kau! Aku bahkan tidak tahu! Dia menyembunyikan sakitnya dari semua orang! Tahu-tahu saja aku dikabari kalau dia sudah tidak ada! Seolah itu belum cukup, dia malah meninggalkan wasiat agar dimakamkan sebagai Sterling! Perempuan angkuh! Ibumu itu keterlaluan! Dia sangat keterlaluan! Melunjak!"

Tidak akan ada apa pun yang bisa didapatnya jika ayahnya sedang mengamuk seperti ini. Marco segera pamit undur diri untuk menemui Edgar.

"Jika ada yang bertanya," Garland berpesan sebelum pintu ditutup. Pria itu menopang tubuhnya di meja kerja, tampak begitu rapuh dan tua, padahal baru berumur empat puluh lima tahun. "Jika ada yang bertanya," ulangnya, terengah menahan emosi, "dia tetap akan dimakamkan sebagai Gloria Argent, bukan Sterling! Namanya tetap Argent!"

***

Meski bangga menjadi seorang Argent, Marco tahu bahwa mengemban nama itu seperti mendapat kutukan. Prinsip keluarganya adalah selalu menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun. Ia tidak pernah boleh lepas kendali, tidak pernah boleh melupakan tata krama meski dalam kondisi dan situasi apa pun, juga dituntut untuk bersikap dan bertutur sesuai etika lama yang dianut keluarga Argent.

Tindakannya berlari pulang tanpa melepas topi dan mantel luar, tanpa menyapa tamu lebih dulu, tanpa mengetuk pintu kamar ketika masuk, semua itu adalah tindakan serampangan yang patut mendapat hukuman.

Jadi di sinilah Marco sekarang, dalam perpustakaan rumah, menyalin sepuluh surat dari kitab suci dalam bahasa latin sebagai hukuman. Ia harus menyelesaikan tugasnya malam ini juga, karena besok pagi bertugas melayani para tamu sebagai tuan rumah. Matanya perih, bahunya pegal, otot-otot lehernya tegang. Meski begitu, kesalahan tetap saja kesalahan. Ia tahu memang salahnya sempat lupa bahwa dirinya seorang Argent.

Pintu perpustakaan terbuka dalam ayunan ringan. Seseorang menyelinap masuk tanpa suara. Marco melirik, mengangguk kecil pada Krip Wales, yang segera mendekat begitu melihat isyarat barusan. Keluarga Wales bekerja sebagai informan keluarga Argent. Krip sendiri masih berumur dua puluhan awal, lima tahun lebih tua ketimbang Marco. Namun kesetiaan pemuda itu sudah diletakkan di kaki Marco sejak tahun lalu—sejak Marco membantunya lepas dari jerat hutang di meja judi.

"Memang benar Nyonya tutup usia karena sakit," Krip berbisik melaporkan. Pemuda itu berpenampilan seperti gembel. Rambutnya acak-acakan, bajunya terbuat dari bahan murah nan kasar, dan badannya bau. Namun setidaknya Krip cukup tahu tata krama. Pemuda itu tidak berdiri terlalu dekat dengan Marco, tidak duduk tanpa dipersilakan, juga bicara penuh hormat padanya. Yah, yang terakhir itu memang keharusan.

"Ayahku bilang sesuatu soal dimakamkan sebagai Sterling atau Argent, tapi beliau menolak membicarakan itu lebih jauh." Marco memijat pangkal hidungnya karena lelah. Ia sudah sampai di satu pasal terakhir. Leher dan lengannya seperti mau patah. "Ada pembicaraan soal wasiat, sayangnya tak ada pelayan yang tahu isi surat itu."

"Surat itu ditemukan oleh Mr. George," terang Krip. "Mr. George langsung memberikannya pada Tuan Besar. Tidak ada pelayan lain yang tahu atau sempat membaca isinya."

"Tak ada pelayan lain yang tahu," ulang Marco. Ia mengangkat wajah, menatap Krip penuh perhatian. "Tapi kau tahu."

Yang ditatap malah memberi cengiran bangga. "Kalau saya sampai tidak tahu, apalah gunanya saya untuk Tuan? Saya kan selalu punya cara."

"Ayahku bicara dengan ayahmu?" Marco menebak cara yang dimaksud. Krip pasti menguping pembicaraan ayahnya.

Senyum kecut mewarnai wajah bulat Krip, membenarkan tebakan barusan.

"Kalau mereka berdua sampai bicara, berarti ada yang perlu diselidiki?"

"Bisa jadi, Tuan."

"Kalau sampai ada yang perlu diselidiki, berarti kematian ibuku tidak wajar?"

Wajah Krip memucat. "Saya tidak tahu, Tuan! Sungguh! Saya tidak berani menjawab karena tidak tahu! Setahu saya, Nyonya memang sakit sejak lama tapi menolak diobati ... Tuan sudah memanggilkan dokter selalu untuk Nyonya. Para pelayan juga menyiapkan obat secara rutin, tapi Nyonya ternyata tidak meminum obatnya, jadi ..."

"Kau mau bilang ibuku bunuh diri?" Marco meletakkan pena ke atas meja.

Krip sudah melemparkan dirinya ke lantai, berlutut dengan kedua tangan bertaut di depan dada. "Saya tidak bilang begitu, Tuan!" jeritnya. "Saya tidak berani!"

"Bangun," tukas Marco. "Dan jangan teriak-teriak. Tidak perlu sedikit-sedikit memohon ampun seperti ini. Tidak efisien. Jawab saja pertanyaanku sebagaimana adanya."

Krip bangkit sambil menggumamkan terima kasih. "Saya ... saya hanya takut salah bicara dan menyinggung Tuan ..."

"Aku bertanya karena mencari jawaban, bukan untuk mencari kesalahan," Marco mendengus. Ia meniup-niup tulisannya yang masih basah agar tintanya cepat kering. "Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Korek-korek dari ayahmu atau dari mana pun. Aku perlu tahu apa yang terjadi selama satu tahun aku tidak di rumah. Laporkan padaku bahkan meski itu hal sepele seperti perubahan desain karpet atau tata letak taman."

Krip menggaruk kepala dengan resah. "Itu ... perlu waktu agak lama, Tuan."

"Berapa umurmu?"

"U-umur saya, Tuan? Tahun ini dua puluh tiga ..."

"Umurku delapan belas," tukas Marco ringan. Ia menutup kitab suci di atas meja, sudah selesai menyalin sepuluh surat dari Perjanjian Baru. "Kecuali kau berencana tutup usia besok pagi, kita masih punya cukup banyak waktu dalam hidup ini." Ia tersenyum. "Apa yang perlu dicemaskan?"

Krip tertawa pelan. "Benar sekali, Tuan," ucapnya sambil membungkuk dalam salam hormat. "Lagi pula, seumur hidup saya adalah untuk Tuan Muda."

"Itu melegakan." Marco mengeluarkan sebendel uang dari saku jasnya dan meletakkannya di atas meja. "Ambil."

"Sa-saya tidak bisa!" tolak Krip cepat. Pipinya bersemu kemerahan. "Keluarga saya adalah abdi Tuan! Bagaimana mungkin saya mengambil uang Tuan?"

"Kau pekerja, bukan budak. Tentu saja aku harus membayar," tukas Marco heran. "Lagi pula, itu juga termasuk biaya akomodasi. Informasi tidak datang secara cuma-cuma. Kau mungkin butuh membelikan sesuatu untuk seseorang atau menjejalkan kertas itu ke saku seseorang agar mulutnya bicara."

Krip masih kelihatan ragu. "Bahkan tidak dibayar pun saya pasti memberikan apa yang Tuan mau."

Marco segera menangkap letak masalahnya. Ia memutar tubuh hingga menghadap Krip yang berdiri setengah meter di sampingnya. "Dengar, aku tahu kau setia padaku, dan aku menghargai itu," ucapnya kalem. "Uang ini bukan berarti aku meragukan loyalitasmu. Menerima upah dariku bukan berarti kau bergerak berdasar motif yang tak murni." Sejujurnya, Marco tak peduli apa motif orang yang bekerja untuknya asalkan pekerjaan orang itu bagus. Namun ia tidak mengatakannya. Bisa-bisa Krip tambah kecewa. "Kita realistis saja, kau bisa lebih mudah bergerak dengan uang sementara aku butuh informasi sebanyak mungkin dan secepat mungkin. Ini—" Marco menggeser bendelan uangnya yang dilak kertas. "—hanyalah alat belaka. Ambil dan mintalah lagi kalau kau memerlukan lebih."

Krip belum berani beranjak.

"Yang kuinginkan adalah keahlianmu, bukan hartamu. Jadi kau tidak perlu menghabiskan uang pribadi untuk memeras informasi. Aku toh tidak berkekurangan." Marco mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja. "Lagi pula segala barang dan jasa memang harus dibayar setimpal—tidak lebih dan tidak kurang. Itu prinsipku."

Kali ini, Krip membungkuk dalam-dalam dan mengambil uang di atas meja. Wajahnya tampak lebih cerah. "Meski sebenarnya merasa tak pantas menerima apa pun, pelayan ini cukup tahu diri untuk menghormati prinsip Tuan Muda."

"Bagus." Marco tersenyum puas. "Pergilah. Semoga jalanmu diperluas."

"Semoga Tuan selalu diberkati," balas Krip sembari undur diri. Wajahnya merona merah karena tersanjung mendengar salam Marco. Biasanya orang kalangan atas tak pernah memberi salam pada pekerja mereka.

Begitu pemuda itu pergi, Marco membereskan meja. Matanya menatap lama pada salinan isi kitab suci di tangan. Jika ibunya memang meninggal karena sebab alami, maka tak ada yang perlu dilakukannya. Namun jika Krip menemukan sedikit saja hal aneh, Marco bersumpah akan menyelidiki sampai tuntas dan menyeret pelakunya ke liang lahat dengan kedua tangannya sendiri.

***

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Bloody Love
Selanjutnya Bloody Love: The Beginning After The End [2]
35
8
Garland Argent mengatur rencana pernikahan untuk kedua putranya, tidak ada yang boleh membantah. Ketika nama keluarga Frey muncul, Marco jadi curiga.  ***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan