Suami Pengangguranku Izin Poligami(1-3)

0
0
Deskripsi

Abel adalah seorang istri yang sangat tabah. Sejak dia menikah, dia tidak pernah di nafkahi oleh suaminya. Beban hidupnya makin bertambah saat ia kedatangan ibu mertua dan adik iparnya yang ikut menumpang di rumahnya.  Suatu siang saat dia memutuskan untuk pulang kerja lebih awal, dia ternyata memergoki suaminya sedang bercinta dengan wanita lain. Mirisnya perbuatan bejat suaminya di dukung oleh ibu mertua dan adik iparnya.

"Siapa wanita ini, Mas? Kenapa kamu tega berselingkuh dengannya padahal keadaanku...

##Bab 1 Kepergok Selingkuh
Namaku Abel, umurku 25tahun. Aku bekerja sebagai staff administrasi di perusahaan cukup ternama di kotaku. Biaya hidup membuatku menjadi pekerja keras. Aku bekerja banting tulang sendirian menghidupi suamiku yang pengangguran beserta Ibu dan adiknya.

Baru satu tahun menikah dengan suamiku badanku menjadi kurus kering karena banyak tekanan. Dulu saat pernikahanku menginjak 7bulan aku sempat kabur dari rumah karena sudah tidak kuat dengan keluarga benalu ini.  

Aneh bukan? aku kabur dari rumahku sendiri. Rumah peninggalan kedua orangtuaku yang sudah meninggal. Seharusnya mereka yang pergi, tapi berkali-kali ku usir,  tetap saja mereka tak mau pergi. Aku yang frustasi dengan keluarga muka tembok ini memilih pergi. Berharap setelah kepergianku dari rumah, mereka merasa tahu diri kemudian menyusul pergi jauh-jauh dari rumahku. Namun takdir berkata lain, saat sedang semangat-semangatnya ingin menggugat cerai suamiku, aku terpaksa mengurungkan niat karena hamil. Kini aku masih aktif bekerja diusia kandunganku yang menginjak 5bulan. Mau bagaimana lagi, kalau menganggur, siapa yang akan memberiku uang untuk makan.

Aku punya ibu mertua yang sangat unik. Disaat aku baru gajian, dia memperlakukanku seperti menantu kesayangan. Dia akan mengomeli anak lelakinya jika sedikit saja membuatku marah. Dia akan terus memujiku tentang beruntungnya hidupnya punya menantu sabar sepertiku. Namun jika tanggal tua datang, dia sering membanting-banting barang di rumah dan menyindirku seolah aku menantu paling buruk di dunia. Dia tak sadar kalau dia hanya menumpang. Harusnya aku yang melakukan semua itu padanya. Karena meskipun aku tulang punggung di rumah ini, aku juga yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Mas Putra tak mengijinkan ibunya sedikitpun membantuku soal pekerjaan rumah. Pembelaan suamikulah yang makin membuat ibu mertuaku besar kepala.

Seperti biasa, rutinitasku setiap pagi sebelum berangkat kerja yakni memasak dan membereskan semua pekerjaan rumah. Meski dalam keadaan hamil, tetap saja semua pekerjaan aku yang harus melakukannya. Mereka tak punya kesadaran sedikitpun tentang kondisiku saat ini.

Saat tak sengaja menyentuh saku celana kotor suamiku yang masing tergantung di belakang pintu kamar, ku dapati sebuah kotak kecil berisi cincin emas cantik. Aku tersenyum melihat cantiknya cincin itu. Hari ini adalah hari jadiku, pasti Mas Putra akan memberikan cincin ini sebagai kejutan untukku.

Ternyata Mas Putra bisa romantis juga. Meski dia menganggur dan sering membuatku geram karena mencuri uangku, tapi dia bisa membelikanku cincin emas secantik ini. Aku sangat-sangat bahagia membayangkan kejutan indah yang akan dia berikan padaku hari ini. Segera ku kembalikan cincin itu ke tempat semula, agar Mas Putra tak curiga kalau aku sudah tahu hadiah apa yang akan dia berikan untukku.

Jam 12 siang, aku ijin pulang. Rencanaku hari ini ingin merayakan hari jadiku bersama Mas Putra. Pasti dia juga akan sangat senang nanti saat tahu aku pulang lebih awal.

Karena ingin cepat sampai ke rumah, aku pulang menggunakan taksi. Ku lihat di halaman rumahku ada sebuah mobil merah entah milik siapa. Tamu Mas Putra nggak mungkin. Karena setahuku teman-temannya sama tidak jelasnya dengan suamiku. Hampir semuanya pengangguran.

Pintu tidak terkunci, aku langsung masuk kedalam. Di rak sepatu, kulirik sepasang High heels ada disana. Aku makin penasaran karena saat menoleh di ruang tamu, tak ada siapapun disana.

Dengan pelan aku mulai masuk menuju kamarku. Ku ambil kunci dari dalam hand bag. Saat aku berhasil membuka pintu, betapa terkejutnya aku saat melihat pemandangan yang amat sangat menjijikan. Suamiku sedang berzina dengan wanita lain di ranjangku, di rumah warisan dari orangtuaku. Dia hanya menumpang hidup di sini, berani sekali mengotori rumahku dengan perbuatan bej*dnya.

"Abel? kenapa pulang nggak kasih tau Mas dulu?" suamiku menghentikan aksi panasnya. Dia mulai memunguti satu persatu bajunya yang terlempar di sembarang arah. Sedangkan wanita itu langsung menutupi tubuh t*lanjangnya dengan selimut. Ku lihat di jari manis wanita itu terpasang cincin cantik yang aku pikir untukku. Jadi cincin itu bukan untukku, melainkan untuk gundik suamiku? Hatiku seperti di remas-remas melihat kenyataan ini. Sejak kapan suamiku main serong dengan perempuan ini? Aku sedang hamil anaknya, tapi dia tega main serong dibelakangku.

"Siapa wanita ini, Mas? kenapa kalian berzina di rumahku?" teriakku murka sambil mencari barang disekitarku untuk kulemparkan kearah lelaki tak punya perasaan itu.

Ku dapati pot bunga yang ada di rak bunga depan dinding kamarku lalu ku lemparkan kearah suamiku. Aku siap masuk penjara jika seandainya pot bunga ini tepat sasaran dan menghancurkan kepala Mas Putra ataupun gund*knya. Sayangnya mereka berdua lihai sekali menghindari seranganku. Aku gagal membuatnya mati di tanganku hari ini.

"Hentikan, Abel! Dia calon madumu. Kamu pasti akan bangga mempunyai madu yang lebih muda dan lebih cantik darimu. Yang paling utama, madumu ini jauh lebih kaya darimu. Hartanya cukup untuk keturunan Putra tujuh turunan. Nanti kamu nggak usah kerja lagi." sela ibu mertuaku makin membuatku darah tinggi.

"Calon madu? memangnya siapa yang mau dimadu, huh?" aku melototi ibu mertuaku yang sudah lama sangat ku benci ini. Perempuan paruh baya itu tak kalah sadis dalam menatapku. Kami seperti singa dan harimau yang siap saling menerkam satu sama lain.

"Apa susahnya memberi ijin suamimu menikah lagi. Perempuan ini kaya dan sempurna. Kau tak perlu lagi bekerja jika kau memberinya izin menjadi madumu."

"Kaya ibu bilang? kalau dia kaya kenapa dia tak mampu menyewa kamar hotel saat ingin tidur dengan suamiku. Kenapa dia mau melakukannya dirumah jelekku ini, huh?"

"Aku yang menyuruhnya melakukannya disini.  Buat apa mereka ke hotel, kalau di rumah ini saja ada kamar kosong."

Kedua tanganku mengepal mendengar omong kosong ibu mertuaku.

"Ibu lupa siapa pemilik rumah ini? Dan kamar ini tidak kosong, ini kamar milikku. Kenapa ibu lancang sekali menyuruh mereka berzina di kamar ini. Ibu tak takut ikut kena sial?"

"Kamu yang lancang, berani memaki mertuamu kasar seperti ini. Niat ibu baik, disaat kamu lairahan nanti, kamu pikir siapa yang akan mencukupi kebutuhan di rumah ini. Ibu sudah menjelaskan kondisi kita ke Dita. Dia mau menolong keluarga kita nanti. Jadi kamu nggak usah takut lagi tak bisa makan setelah lahiran. Cukup mulai sekarang iklaskan hatimu berbagi suami, maka hidupmu akan tenang."

"Berbagi suami? mending aku mati kelaparan dari pada harus mengikuti ide konyol ini." tolaku mentah-mentah.

"Yang ibu bilang benar, Bel! ini semua demi kebaikanmu." sahut suamiku yang sudah selesai memakai baju, di belakang punggungnya bersembunyi sang pelakor. Anak ingusan itu tak punya nyali sedikitpun meski sekedar menatap wajahku.

"Mau di kasih makan apa calon istri keduamu, Mas, sedangkan makanmu dan keluargamu saja aku yang menanggung?" ucapku tegas. Mas Putra terlihat menghela nafasnya sebelum menjawab.

"Kan tadi ibu sudah jelaskan. Harta wanita ini takan habis tujuh turunan. Jadi aku gak perlu susah-susah kerja. Kamu juga nanti berhenti kerja setelah aku menikahi wanita ini!"

"Jadi kalian ingin menjadikan wanita ini mesin atm kalian, sama sepertiku? Dan wanita ini setuju begitu saja mendengar permintaan konyol kalian? Aku jadi penasaran sama wanita ini, apa dia waras? benarkah otaknya ada di tempatnya sebagaimana mestinya, tidak bergeser atau nyangkut di bagian lain?" cercaku membuat ibu mertuaku makin tak terima.

"Kau yang tak punya otaķ, sudah miskin tapi belagu. Kau harusnya merasa beruntung karena di nikahi oleh 'Putra' anak tampanku."

"Aku miskin? lalu ibu dan anak kebanggaan ibu memangnya punya apa? kalian lebih miskin dariku, kalian menumpang hidup denganku. Kalian benalu tak tahu diri!"

"Cukup, Bel. Jangan hina aku dan ibuku. Kalau tidak--"

"Kalau tidak kenapa? Kau akan menceraikanku? Kau pikir aku takut?"

Kubusungkan dadaku, kutatap nyalang suamiku. Aku siap melawannya jika seandainya tangannya akan menyerangku seperti biasa. Kali ini aku takan tinggal diam.

"Aku tak bisa menceraikanmu. Kau sedang hamil anakku. Aku tak tega." ucapnya beralasan.

"Kau tak tega menceraikanku atau takut menjadi gelandangan setelah bercerai denganku?"

Plak!

Tangan kotor suamiku berani menamparku. Lelaki ini, benar-benar tak tahu diri.

"Kau berani menamparku? pergi sekarang juga kau dari rumah ini. Bawa beserta gund*k dan keluarga benalumu!" usirku sambil menunjukan jari telunjukku kearah pintu keluar.

"Kami takan pernah keluar dari rumah ini. Kau sedang hamil, kita takan pernah bercerai."

Aku kehabisan akal mengusir keluarga benalu ini. Jika aku melawannya dengan keadaan fisiku yang tengah hamil, aku takut menyakiti janin yang tak bersalah di perutku ini.

"Kalau begitu aku akan penggilkan pak Rt dan warga untuk mengusir kalian dari rumah ini!" ancamku sambil melangkah pergi. Namun tangan ibu mertuaku langsung meraihku. Dibantu suamiku, mereka menyeret tubuhku ke dalam kamar. Mereka tega melemparkan tubuhku secara kasar padahal aku sedang mengandung.

"Diamlah di sini. Kau jangan kur*ngajar. Ini rumah kami juga, jadi sampai kapanpun kami takan keluar dari rumah ini." ucap Ibu mertuaku.

"Bel! mengalahlah demi kebaikanmu. Izinkan Mas menikah lagi. Mas janji akan adil pada kalian berdua."

Aku yang tengah menangis diatas lantai karena perlakuan mereka mulai mempunyai kekuatan lagi untuk bangkit.

"Keadilan seperti apa yang kau tawarkan? kau bisa makan juga karena belas kasianku. sekarang katakan keadilan seperti apa yang kau maksudkan tadi, huh?"

"Istri lancangmu ini, aku tak sabar membungkam mulutnya!" Ibu mertuaku mengangkat tangannya ingin memukulku, namun sayang tangannya hanya bisa menggantung di udara karena aku berhasil menangkapnya sebelum mendarat di pipi mulusku.

"Jangan sentuh saya lagi, Bu. Atau akan kubuat kalian mati kelaparan. Wanita pelakor yang ibu banggakan itu bukan kaya hasil kerja kerasnya. Dia masih anak ingusan yang minta uang sama orangtuanya. Aku tidak yakin dia bisa mengenyangkan perut kalian setiap hari seperti apa yang selama ini aku lakukan pada kalian."

Nyali ibu mertuaku ciut mendengar ancamanku. Bagus aku mulai bisa menguasai keadaan.

"Hey pelakor! apa kau yakin mau masuk dalam keluarga benalu ini? Kau tak takut nasibmu sama buruknya sepertiku?"  

Wanita yang berumur 20tahun itu mulai berani menatapku.

"Aku cinta mas Putra apa adanya. Aku siap menerima semua resikonya. Ayahku kaya, uang bukan masalah bagiku."

Aku tertawa geli mendengar ucapan wanita labil itu. Uang memang bukan masalah baginya karena selama ini semua kebutuhannya masih di cukupi orangtuanya. Cinta telah membutakan hati dan akal sehatnya. Aku jadi penasaran, bagaimana perasaan orangtuanya jika tahu anak perempuan kebanggaannya mau menjadi istri kedua seorang suami pengangguran seperti Mas Putra.

##Bab 2 Calon Maduku Kayaraya
"Hey pelakor! apa kau yakin mau masuk dalam keluarga benalu ini? Kau tak takut nasibmu sama buruknya sepertiku? Lihat nasibku sekarang, sudah diperas habis-habisan kemudian diduakan!"  

Wanita yang berumur 20tahun itu mulai berani menatapku. Aku ingin tahu jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya. Usianya  masih terlalu muda untuk jadi seorang pelakor. Meski aku sangat membencinya, aku tak mau dia terjerumus ke dalam kejamnya keluarga benalu ini.

"Aku cinta mas Putra apa adanya. Aku siap menerima semua resikonya. Ayahku kaya, uang bukan masalah bagiku."

Aku tertawa geli mendengar ucapan wanita labil itu. Uang memang bukan masalah baginya karena selama ini semua kebutuhannya masih dicukupi orangtuanya. Cinta telah membutakan mata dan akal sehatnya. Aku jadi penasaran, bagaimana perasaan orangtuanya jika tahu anak perempuan kebanggaannya mau menjadi istri kedua seorang suami pengangguran seperti Mas Putra.

"Aku kira, akulah satu-satunya wanita bodoh yang mau dengan suami tak bergunaku ini. Ternyata ada yang lebih konslet dan sinting melebihiku!

Aku tertawa ditengah rasa sakitku. Mengejek kebodohan si pelakor. Dia pikir, urusan rumah tangga bisa terus-terusan diselesaikan dengan uang Ayahnya. Bagaimana jika kelak uang Ayahnya habis digerogoti keluarga benalu ini. Mungkinkah cintanya bisa mengenyangkan perutnya secara otomatis? mustahil!

"Cukup, Bel! jangan kau pengaruhi calon istriku. Jangan cuci otaknya untuk membenciku. Dengan izin atau tanpa izinmu, aku akan tetap menikahi Dita."

Senyuman kemenangan terukir di bibir si pelakor. Seandainya jarak kami hanya satu meter, kupastikan senyuman itu berubah jadi tangis karena seranganku. Sabar, Abel. Masih banyak kesempatan membalas penghinaan mereka padamu.

"Cepat anterin Dita pulang sebelum menantu kurangajar ini mempengaruhinya."  ucap Ibu mertuaku sambil menatap penuh kebencian kearahku.

"Menantu kurangajar, ibu yakin? Aku baru gajian hari ini, lho!" ucapku mempermainkan perasaan wanita paruh baya itu. Terlihat raut wajahnya berubah seketika. Ada rasa sesal terlihat setelah menghinaku dengan sebutan 'menantu kurangajar'.

"Dit, Mas anterin kamu pulang ya. Besok kalau istriku kerja. Kamu boleh main lagi kerumah ini."

Whattt? aku tak salah dengar barusan? Mas Putra sudah tak ada takut-takutnya denganku. Dia terang-terangan mengundang wanita murahan itu ke rumahku setelah tak mau kuusir. Benar-benar lelaki tak punya rasa malu!

"Berani wanita ini menginjakan kaki lagi di rumah ini, akan ku panggil warga untuk mengusir kalian!" ancamku berapi-api.

"Sementara kita ketemunya di hotel dulu saja, Mas. Istri pertama Mas, serem. Aku takut." ucap si pelakor dengan nada manja. Menjijikan sekali.

"Iya. Tapi kamu yang bayar ya! tau sendiri kan kalau Mas belum kerja."

Sumpah demi apapun, sekarang aku ingin memuntahkan semua isi perutku. Ucapan Mas Putra barusan membuatku mual. Sangat-sangat memalukan!

"Beres. Asalkan kamu terus bersamaku, aku enggak akan sayang keluarin duit dari Ayahku."

Lagi-lagi wanita itu menyombongkan uang Ayahnya lagi. Jadi kepo, seberapa kaya sebenarnya orangtuanya. Kapan-kapan ada waktu aku mau menyelidikinya.

Pasangan bej*d itu kemudian meninggalkan aku dan ibu mertua di kamar. Jijik sekali rasanya melihat kemesraan mereka.

Setelah kepergian Mas Putra dan si pelakor, ibu mertuaku tetap tak mau beranjak keluar dari kamarku. Sorot matanya berubah redup. Dengan memasang wajah iba, ia kembali menjadi mertua manis tanpa merasa berdosa.

"Bel!" panggilnya lembut.

"Herm!" jawabku singkat. Aku tahu betul apa yang mau disampaikan wanita iblis ini. Tapi aku ingin sedikit bermain-main dengan emosinya.

"Kamu bilang tadi hari ini baru gajian."

"Ya, betul sekali." jawabku santai.

"Boleh nggak ibu minta buat bayar arisan. Besok pagi ibu harus bayar arisan." mohonnya penuh harap. Jika kejadian tadi belum terjadi, aku langsung akan memberikan uang padanya tanpa berpikir dua kali. Tapi setelah apa yang dilakukannya padaku barusan. Maaf, aku sudah tak sudi memberikan sepeserpun uangku untuknya dan putranya.

"Gimana ya, Bu. Uang enam juta ku ini mau aku gunakan buat keperluan bayiku. Bukan aku enggak mau ngasih, tapi aku mau gunain uang ini untuk keperluan yang lebih penting." ucapku sambil mengeluarkan lembaran-lembaran merah dari dompetku.

Mendengar nominal yang ku sebutkan tadi mata ibu membulat sempurna. Bulan ini memang aku banyak lembur, makanya gajiku dapat banyak. Ibu makin memohon padaku.

"Ibu bukan minta, Bel. Ibu cuma pinjam. Nanti kalau Dita sudah jadi istri ke dua Putra otomatis uang ibu jadi banyak karena mempunyai menantu kaya. Nah saat itu ibu akan kembalikan uangmu. Kalau kamu mau ibu bisa mengganti uangmu sepuluh kali lipat lebih banyak."

Aku terkekeh mendengar ucapan ibu mertuaku. Impiannya terlalu tinggi, pasti sakit sekali kalau mendadak jatuh nanti.

"Aku tak mau minjemin ibu. Ibu pinjam dengan orang lain saja. Jika perlu dengan calon menantu ibu yang mengaku kaya raya itu." sindirku. Terlihat muka ibu merah padam. Dia pergi begitu saja meninggalkanku tanpa suara lagi.

Kulirik seprei dan selimut bekas suami dan gundiknya bercinta. Segera ku ambil lalu kumasukan plastik dan ku buang kedalam tong sampah besar diluar rumahku.

Setelah membuang sprei itu, perutku terasa keroncongan minta diisi. Aku menuju dapur, masakan tadi pagi memang masih ada untuk makan siang suamiku beserta ibu dan adiknya. Saat itu ide ku memanas-manasi keluarga benalu itu muncul. Aku pesan makanan kesukaan mereka secara online, tapi aku pesan masing-masing satu porsi saja.

Tiga puluh menit berlalu, makanan yang ku pesan akhirnya datang juga. Segera ku buka tiga macam makanan berbeda. Dengan sekejap aku yakin bisa melahap semua makanan ini. Aku sengaja makan dalam kamar, memancing amarah keluarga benalu itu.

Ceklek

Baru saja satu suap aku makan, Mas Putra membuka pintu kamar. Dia terkejut karena tak biasa melihatku makan di kamar. Terlebih melihat banyaknya makanan sedap yang ku makan sendirian.

"Kenapa kamu makan disini, Bel?" tanyanya lembut.

"Memangnya kenapa kalau aku makan disini, aku mau makan dimana saja bukan urusanmu!"

"Kau yakin bisa ngabisin semua itu? Mas minta satu porsi ya. Mas, lapar!" Kulihat Mas Putra menelan salivanya karena melihat makanan favoritnya.

"Didapur masih ada sisa makanan tadi pagi. Kenapa tak makan makanan itu saja kalau Mas lapar." ucapku membuatnya sangat kesal. Raut wajahnya berubah seketika.

"Mas mau sate padang ini. Mas bosan makan sayur masakanmu terus."

"Masih mending ada makanan, Mas. Mulai besok takan ada sayur atau makanan apapun diatas meja makan. Aku sudah tak sudi mengeluarkan satu rupiah pun untukmu dan keluaragamu."

"Jangan gitu dong, Bel. Lalu kita makan apa nanti?"

"Kok tanya aku, sih! itukan keluargamu, bukan keluargaku. Owh, ya. Katanya calon istrimu kaya raya, minta uanglah sama dia."

"Dia belum jadi istri sahku, Bel. Aku masih malu minta sama dia."

Aku terkekeh geli mendengar ucapan suamiku.

"Lalu tadi waktu suruh bayarin sewa hotel kamu gak malu. Jangan-jangan bukan karena kamu malu minta. Dia saja yang pelit enggak mau ngasih calon suaminya uang." ucapku sambil menggigit sate padang kesukaan suamiku. Dia terus menelan ludahnya melihatku menyantap makanan kesukaannya.

"Jangan ngomong kemana-kemana kamu. Dia sudah sering kok ngasih uang ke aku. Sekarang aku lagi malu saja minta lagi. Lagian, aku mau nikah sama dia karena butuh uangnya saja. Aku cintanya cuma sama kamu saja, Bel. Seandainya bentuk badanmu  semontok dulu. Nggak kerempeng seperti ini, jauh cantikan kamu dibanding Dita. Percaya padaku, Bel!

"Gimana mau montok lagi, Mas. Jangankan makanan bergisi. Makanan ringan seperti kerupuk dan lainnya saja kamu tak mampu membelikannya untukku. Untung aku mau kerja, jadi aku bisa bertahan hidup sampai sekarang. Kalau aku juga sama pemalasnya sama kamu. Aku jamin bisa mati kelaparan karena tak makan sepanjang hari."

"Sudah cukup! kalau tak mau membagi makananmu jangan ngomel-ngomel enggak jelas seperti ini. Kamu tahu kan, aku benci orang cerewet. Sekarang aku cape mau istirahat. Mending kamu cepat keluar dari kamar ini biar enggak ganggu aku tidur!"

Karena marah, Mas Putra kehilangan akal sehatnya. Masa dia ngusir pemilik kamar sekaligus pemilik rumah yang dia dan keluarganya tumpangi selama ini.

"Nggak salah Mas ngusir aku. Memangnya ini kamar kamu? Memangnya rumah ini juga punyamu? Kamu lupa kalau kamu cuma numpang disini. Lucu masa kamu malah ngusir aku, pemilik sah rumah ini."

Tersadar dengan ucapanku, suami benaluku itu langsung gerak cepat pergi meninggalkan kamarku. Aku menertawakan kebodohannya. Aku pikir-pikir dia suami yang sangat langka. Karena baru sekarang ku temukan jenis orang tak tahu diri seperti dia.

Setelah selesai makan, sengaja ku buang bekas bungkusan dari makanan yang sudah kuhabiskan ke dalam tong sampah di dapur. Berharap setelah ibu mertua melihatnya darah tingginya langsung kumat dan langsung dibawa ke rumah sakit. Itu caraku mengusirnya secara halus. Jika tidak mempan juga, aku akan gunakan cara kasar. Tapi sepertinya aku ingin bermain-main dengan keluarga benalu ini sebentar lagi. Biar mereka tersiksa sama tersiksanya sepertiku selama setahun tinggal bersama mereka.

##Bab 3 Keluarga Benalu Kelaparan
Setelah selesai makan, sengaja ku buang bekas bungkusan dari makanan yang sudah kuhabiskan ke dalam tong sampah didapur. Berharap setelah ibu mertua melihatnya darah tingginya langsung kumat dan langsung dibawa ke rumah sakit. Itu caraku mengusirnya secara halus. Jika tidak mempan juga, aku akan gunakan cara kasar. Tapi sepertinya aku ingin bermain-main dengan keluarga benalu ini sebentar lagi. Biar mereka tersiksa sama tersiksanya sepertiku selama setahun tinggal bersama mereka.  

3 Langkah...

2 Langkah...

1 Langkah...

"Dasar menantu kurangajar, makan sendiri enak-enak. Buat suami dan mertua cuma sayur sisa tadi pagi!" belum juga langkahku berhasil keluar dari dapur sudah mendapat omelan dari ibu mertua. Senyumku mengembang melihat ekspresi wajah marahnya. Imut sekali!

"Bersyukur saja deh, Bu. Dapat makanan geratis. Dari pada tak makan." balasku santai. Dulu aku tak berani sekasar ini dengannya, namun makin lama sikapnya padaku makin semena-mena.

"Aku nggak butuh sayur sisa!" Ibu mertuaku mengambil sayur matang yang ada di wajan kemudian membuang dalam tong sampah. Tak lupa juga membuang nasi yang ada dalam megiccom juga. Waow!

"Kenapa baru marah sekarang, Bu? Biasanya juga setiap hari selalu makan sayur sisa tadi pagi kalau makan siang."

Ibu mertuaku makin mendelik mendengar ucapanku.

"Ada apa sih, Bu! berisik banget. Aku tuh cape, mau istirahat!" tiba-tiba suamiku datang ke dapur karena mendengar keributan kami.

"Ini ibumu, Mas. Dia buang sayuran dan nasi sisa tadi pagi ke tong sampah. Makan apa coba kalian kalau tak ada sayur ini. Mana tenagamu habis karena habis bercinta dengan gundikmu tadi. Pasti kamu lapar baget kan. Kamu butuh kalori untuk mengembalikan tenagamu yang banyak terbuang tadi kan?"

"Ya ampun, Bu. Kenapa ibu buang? Kita makan siang apa sekarang?"

Suamiku mengusap wajahnya secara kasar. Frustasi.

"Minta saja uang sama istrimu. Dia tadi pamer uang 6juta sama ibu. Dia baru gajian. Uang istrimu kan uangmu juga!" ucap ibu mertuaku, hilang urat malunya kalau sudah membicarakan soal uang. Terlihat Mas Putra ikut mendelik mendengar nominal yang ibu sebutkan tadi.

"Apa tadi ibu bilang? uangku adalah uang Mas Putra juga? Enak saja! suruh anak ibu kerja kalau pingin punya uang!" sindirku, makin membuat mata ibu mertuaku mendelik.

"Sudah tidak boleh diharapkan istrimu ini, Put. Ibu benar-benar sudah muak sama tingkahnya."

"Sama, Bu. Aku juga sudah sangat muak dengan kalian semua. Kita kan sudah sama-sama muak, gimana kalau ibu langsung pergi saja dari rumahku. Dari pada nanti darah tinggi ibu kumat kalau lihat menantu kurangajarmu ini setiap hari."

"Kau!" ibu kembali ingin menamparku, namun teriakan suamiku membuat tangannya menggantung diudara.

"Cukup, Bu. Sudahlah jangan berantem terus sama Abel."

Tumben mas Putra kali ini membelaku. Mungkinkah dia pikir dengan membelaku kali ini akan mendapat maaf dariku? Jangan mimpi!

"Bela terus, istrimu. Mulai jadi anak durhaka kamu, ya. Put!"

"Jangan salah paham sama anak lelaki kesayangan ibu. Dia bela aku cuma karena ada maunya, kok!" ucapku meledek sebelum pergi tanpa permisi meninggalkan dua benalu itu.

"Pokoknya ibu gak mau tahu. Kamu harus cepat nikahin Dita biar kita bisa bales perbuatan menantu kurangajar itu!"

Suara repetan ibu mertuaku masih terdengar sebelum aku masuk dalam kamar. Kubiarkan dia terus mengomel, toh dia juga yang rugi membuang tenaga untuk hal tak penting. Aku yakin setelah bahan bakarnya habis, dia akan kelabakan karena kelaparan. Stok barang didapur semua habis, ini pasti satu ujian paling berat untuk mereka.

"Bel, buka pintunya!"

Belum genap satu jam aku tidur siang, pintu kamarku terus diketuk oleh mas Putra. Mau apa lagi dia?

"Bel, bukalah pintunya sayang!"

Aku tak bergeming. Segera ku sumbat telingaku dengan bantal agar suara mas Putra tak mengganggu tidurku lagi.

"Bel, aku lapar. Minta uangnya buat beli makan."

Aku biarkan mas Putra terus menggedor pintu. Dari pada ngurusin dia, mendingan aku melanjutkan tidur siangku. Telinganya sangat tebal, sudah berungkali aku katakan tak mau lagi memberinya uang sepeserpun masih saja minta-minta seperti pengemis.

Menit berlalu. Suara gedoran tak terdengar lagi. Akhirnya Mas Putra menyerah juga. Bersamaan dengan itu, suara adzan Azhar berkumandang, aku bangkit ingin melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Saat kubuka pintu kamar, ku cium bau mie instan dari arah dapur. Akhirnya mereka bisa makan juga tanpa uang pemberianku. Kalau dari dulu aku tegas seperti ini, mungkin suamiku bisa lebih mandiri.

Aku keluar kamar bukan sengaja untuk menertawakan mereka. Aku ingin berwudhu. Kebetulan kamar mandi tepat ada disebelah dapur. Aku harus melewati mereka didapur. Malas sekali.

"Kau lihat mantu kurangajar! jam segini kami baru makan siang. Itupun dengan mie instan saja!" teriak ibu mertuaku sambil mengaduk-aduk mi instan yang sedang di masaknya.

"Kok jadi nyalahin aku sih, Bu! Bukannya ibu sendiri yang sudah membuang semua makanan." ucapku sambil menahan geram. Lagi-lagi aku mencoba tidak terpancing. Untuk saat ini mentalku lebih penting dari apapun juga, aku tak mau terlalu stres karena bisa membahayakan janin dalam kandunganku.

"Mestilah ku buang. Baru gajian kok ngasih kami makanan sisa. Pelit!"

Aku mengambil nafas dalam-dalam agar tak kembali terpancing. Ingat tujuan awal kalau aku hanya ingin berwudhu, bukan meladeni nenek sihir itu bertengkar.

"Hey, mau kemana kamu. Mertua belum selesai ngomong malah pergi!"

Aku terus masuk dalam kamar mandi, tak lagi menggubris teriakan ibu mertuaku. Keluar dari kamar mandi, aku sudah dihadang oleh adik iparku. Dia masih pelajar SMA tapi kelakuannya tak kalah sangar dari ibunya.

"Mbak Abel!" panggil Citra, adik iparku.

"Herm!" jawabku singkat.

"Nanti malam temen-temenku ngajak aku nonton ke bioskop. Minta duitnya dong!" rengeknya manja.

"Citra. Bukannya Mbak enggak mau ngasih. Tapi duit Mbak mau buat kebutuhan lain. Coba minta sama Masmu, siapa tahu dia punya."

"Mas Putra mana punya, Mbak. Sekarang kok mbak jadi pelit sih. Pantes saja kakakku lebih milih wanita lain dari pada kamu!"

Ternyata Citra pun tahu perselingkuhan kakaknya selama ini. Jadi cuma aku yang tak tahu, aku dibohongi oleh keluarga ini seperti orang tolol.

"Kenapa kamu enggak minta sama calon kakak iparmu saja. Katanya dia kaya." aku kembalikan ucapan adik iparku yang kurangajar itu. Raut wajah marahnya tak kalah bengis dari wajah ibunya tadi.

"Mbak Abel sudah mulai cerewet. Sudah enggak asik!" ucapnya sambil berlalu pergi. Kembali ku elus dadaku menghadapi gadis belia itu.

Di ruang makan kulihat suami dan ibu mertua lahap sekali makan mie instan. Mereka benar-benar sangat kelaparan. Sampai-sampai tak menyadari aku lewat di belakang mereka. Aku tersenyum miris melihat nasib mereka sekarang.

'Makanya Mas. Jangan nekad jadi orang!Cari makan  untuk sendiri saja saja tak becus malah sok-sokan mau poligami. Mas Putra...Mas Putra...!' batinku sambil menahan tawa.

"Bel!" suara Mas Putra menghentikan langkahku, ku pikir ia tak menyadari langkahku yang lewat di belakang mereka.

"Tadi Mas utang mie instan diwarung. Tolong besok kamu bayarin ya!"

Mataku membola mendengar ucapan suamiku. Ku pikir dia beli mie instan dengan uangnya sendiri. Tapi ya sudahlah, aku tak mau menyahut ucapannya. Aku mau solat, tak mau mengulur waktu lagi dengan bertengkar.

"Bel. Kok diam saja! Karena sekarang kamu pelit enggak mau kasih uang ke kami, kami akan bon diwarung Bu Rina. Kami utang atas namamu. Jadi jangan lupa bayar ya!" ucap Mas Putra lagi. Astaga, ada saja cara Mas Putra menggerogoti uangku.

"Nanti aku jelasin lagi sama Bu Rina kalau bukan aku yang nyuruh kalian utang. Jadi aku enggak perlu bayar utang-utang kalian." jawabku tak mau berbelit.

"Kau mau buat malu keluarga? kau mau njatuhin nama baik suamimu sendiri?" Ibu mertuaku melotot sambil menghentikan suapannya.

"Kenapa aku harus malu. Sebentar lagi kalian bukan apa-apaku." jawabku sambil berlalu.

"Bel..! tunggu Bel...!" Mas Putra mengejarku, tapi langkahku lebih dulu berhasil masuk ke dalam kamar. Kemudian mengunci pintu.

"Aku enggak akan keluar dari rumah ini sampai kapanpun. Kau takan bisa mengusirku! Aku tak mau cerai denganmu!" ucapnya sambil menggedor pintu. Aku tak mempedulikan teriakannya lagi. Ku telepon sahabatku Sisil, untuk menemaniku ke pengadilan Agama esok. Aku akan izin kerja besok untuk mendaftarkan perceraianku. Aku sudah mantap bercerai. Aku sudah tak tahan dengan keluarga benalu ini. Sepulang menggugat cerai, aku akan keluar dari rumah ini. Biar ku jual saja rumah warisan dari orangtuaku. Karena itu satu-satunya cara untuk bisa mengusir para benalu itu.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Suami Pengangguranku Izin Poligami
0
0
Bab 4-6 Novel Suami Pengangguranku Izin Poligami
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan