GARIS ABU - ABU | CHAPTER 1 - DEMAM PANGGUNG

2
0
Deskripsi

Dunia sudah telalu penuh jika hanya membahas warna hitam dan putih. Padahal dalam hal ini ada Juga Warna Abu - abu. lantas mengapa harus saling menghakimi ? Jika Kita sendiri tidak memahami masalah yang sedang terjadi. 

Pinan Pradipta seorang perempuan pemilih. Pinan memiliki berbagai macam kriteria untuk memilih Laki - Laki. Namun semua itu berubah saat ia bertemu Ramdan Setyawan. Manusia bebas yang tak percaya akan komitmen. Karena hal ini Pinan berusaha untuk menyangkal dan mengubur perasaanya....

GARIS ABU - ABU 

Oleh : R. Azzahra 


 

CHAPTER 1  - DEMAM PANGGUNG


 

Suka Kau padanya Nan ? 

Tenggelam didalamnya.


 

Ballroom Conference, Malam itu 

Presentasi Kelompok kami sedikit lagi dimulai. Dengan perasaan gugup Aku rasai jari jemari yang gemetar. Demam panggung ini telah gagal membuatku percaya diri. Padahal ini merupakan Presentasi untuk nilai kelompok Kami. Aku mencari Ramdan. Saat kutangkap sosoknya, dengan cepat Aku berjalan menghampirinya dan berkata 

 “ Gantikan saja.” Ucapku

“ Gantikan apanya ? “ Ucap Ramdan yang tampak kebingungan. 

“ Presentasinya. Jangan Gue yang maju ke depan” Tandasku. 

“ Lho… Gak bisa gitu dong Nan, enak aja.” Ucapnya. 

“ Gue gak bisa bicara di depan orang banyak. Lihat… Tangan Gue, Gemetaran” Ucapku gugup. Demam panggung ini semakin menjadi. Rasa cemas pun menghantui. Jantungku berdegup cepat. Tiba - tiba Ramdan genggam tanganku. Matanya menatapku lekat. Ia berkata “ Bisa.. Lo pasti Bisa Nan, percaya sama Gue. “ Ramdan berusaha menenangkan Aku. Bukannya tenang, justru debarannya semakin kencang. Astaga, rasanya Aku mau pingsan. 

Rasa hangat menjalar melalui sela - sela jari. Perlahan rasa percaya diriku kembali tumbuh. Kutatap kembali matanya. Binar matanya penuh harap. Seolah yakin jika Aku mampu melakukan presentasi malam ini. 

“ Presentasi aja semampu Lo, gapapa. Apa mau maju berdua ? “ ucapnya. 

Aku menggeleng. Berusaha mengendalikan emosional yang sudah menjajah tubuh ini. Presentasi dilakukan berdua tidak begitu efisien bagiku. Karenanya Aku berusaha agar semua dapat kembali normal. Panitia menghampiri kami berdua, memberikan arahan jika giliran kelompok Kami untuk mempresentasikan materi. 

“ Bisa Nan, Lo pasti Bisa…” Ramdan mengulang - ngulang ucapanya. Ucapan sederhana ini  menciptakan endorphins tak langsung. Rasa senang sekali sekaligus cemas bercampur menjadi satu, Detik pun sudah tak bisa lagi di ulur. Aku pun bergegas  maju untuk presentasi. 

Aku berjalan menaiki mimbar dengan gaun hitam dan sepatu heels menghiasi kaki jenjangku. Sinar lampu panggung menyinari Aku. Pandanganku tertuju pada Ramdan dikursi depan. Ia terseyum lebar sembari mengangkat kepalan tangannya “ Lo Pasti bisa Nan”. Perlahan, ku bawakan materi mengenai komunikasi bisnis dan regulasi  perusahaan . detik demi detik berlalu. Materi demi materi ku lontrakan dengan semaksimal mungkin. Kurasai semua perhatian tertuju padaku. Detik itu pun rasa gugup kembali menjalar, namun saat kuliat Dia yang duduk sambil tersenyum, saat itulah rasa percaya diriku kembali tumbuh. 

Usai presentasi, para anggota kelompok menghampiri Aku. Mereka takjub dengan keberanianku. Ramdan ada disana. Ia mengucapkan selamat atas presentasi malam itu. Saat kulihat Dia, debaran itu kembali muncul, namun ku sangkal dengan berbagai macam pemikiran logis. Malam semakin larut. Satu persatu peserta meninggalkan ruangan kembali ke kamar masing - masing. Aku bersyukur Presentasi Malam ini berjalan lancar. Walau awalnya demam panggunku hampir membuat kacau. 

Aku berjalan melalui lorong - lorong kamar. Melamun. Apa yang baru saja ia lakukan ? Genggaman itu entah kenapa mengganggu pikiran. Presentasi malam itu merupakan permulaan terhadap perasaanku terhadapnya. Entah kenapa pandanganku terhadap hadirnya tak lagi sama. Ada rasa istimewa yang mungkin saja disebut cinta atau sekadar suka. Entahlah. Aku tidak paham perasaan manusia yang kadang berubah tanpa tau sebab dan akibatnya. Sesampai kamar, Aku berbaring dengan debaran yang belum juga reda. Hanya satu yang Aku sadari, Cinta itu datang tanpa aku perintahkan. 

—-----

Orang memanggilku Pinan. Si kutu buku gila fiksi menyukai banyak hal dengan serba serbi keteraturan dan kriteria yang sudah ditentukan. Perempuan yang kadang tidak percaya diri. Mudah cemas akan suatu hal. Tak jarang Aku berhati - hati dalam  hal yang Aku lakukan. Khususnya perkara hati. Aku pasti lebih banyak menimbang - nimbang dengan berbagai macam pemikiran logis. Tak jarang, Aku mengabaikan kata hati sendiri. Aku pun memiliki kriteria pasangan yang sudah lama aku tentukan. Karenanya teman - teman mengenalku dengan Perempuan paling pemilih. 

Kriteria pasanganku ? Tentu saja Pria yang berwawasan luas. Sadar akan perkara kesehatan mental. Tidak merokok, Tidak minum - minuman keras apalagi mabuk. Tidak berjudi dan masih banyak hal lainnya. Namun sejak bertemu dengan Dia, Kriteria yang Aku tentukan sedemikian rupa seakan lenyap, semua hilang dan membutakan. Hati kadang memberontak tidak karuan. Tak jarang situasi itu membuat Aku uring - uringan. Bahkan kebingungan dengan sederatan pertanyaan “ Kenapa Aku bisa menyukai Cowok ini ? “

Perhentianku selautnya jatuh pada cowok ini. Ramdan Namanya. Dia adalah manusia bebas. Bertindak sesuka yang ia kehendaki. Tidak suka diatur apalagi di kekang. Menurutnya bebas merupakan hal yang mutlak dan tidak bisa di ganggu gugat. Baginya, hidup merupakan ajang untuk bersenang - senang. Ramdan tidak suka dengan keterikatan karenanya Dia tidak percaya dengan sebuah komitmen hubungan. Selain itu ia juga tidak percaya konsistensi. Entah luka apa yang sudah menghancurkannya dengan segala porak poranda dan trauma. Entah Peristiwa apa yang telah di laluinya hingga ia tidak mudah percaya pada manusia. Pernah suatu ketika ia berkata 

“ Nan, Yang namanya komitmen itu cuma fiksi. Kayak cerita - cerita novel Lo aja. Ga ada Nan… itu semua kebohongan yang menenangkan. Buktinya ? Manusia dapat meninggalkan komitmen suatu hubungan jika Dia tau pasangannya punya kekurangan. Manusia juga ga bisa menetap dan berubah cepat. Makanya komitmen itu ga akan bisa bertahan lama Nan “  Ramdan menjelaskan dengan penuh keyakinan.

“  Mana ada kayak gitu. Itu karena Lo belum ketemu aja orang yang tepat untuk jalin suatu cerita. Buktinya banyak kok yang punya pasangan tapi bahagia” Ucapku. Tidak setuju. 

“Manusia itu makhluk dinamis Nan, Makanya Lo ga boleh terlalu percaya. Bahkan Lo nggak boleh terlalu berekspektasi dalam suatu hubungan apapun bentuknya. Gimana bisa percaya sama manusia untuk jaga komitmen ?  sedangkan  hari esok aja kita gak tau. “ 

“ Tapi Ram… Komitmen itu dibentuk karena kasih sayang. Makanya bisa ada kalau keduanya kerja sama. Lo cuma belum nemu yang tepat. “ 

“ Nan.. Lo harus pintar - pintar jaga hati sendiri. Karena ekspektasi dan kepercayaan itu berbahaya. Lo bisa hancur karena ekspetansi sendiri dan itu gak menyenangkan. Hidup bebas itu menenangkan Nan… “ Ucapnya.

“ Manusia ga selamanya bebas Ram, adakalanya Kita butuh tempat pulang, saat dunia mulai kacau.” 

“ Nan… Lo ga bakal paham gimana rasanya ditinggal sedangkan Lo mati - matian  berjuang.”

“ Itu ga make sense  Ram, itu cuma kebetulan karena Lo lagi sial aja. Memukul rata semua hal dengan satu kejadian itu sesat pikir namanya.“ 

“ Nan, gak ada yang namanya kebetulan. Dunia ini sudah cukup penuh kalau perkara kebetulan. Semua bisa kejadian karena mutlak ada sebab akibat. Sebab Lo percaya, Lo harus terima akibatnya jika suatu hari orang yang lo percaya berkhianat atau meninggalkan.” 

Kira - kira seperti itulah Ramdan. Dengan segala sudut pandang Kami yang bertentangan. Baginya Komitmen itu merupakan omong kosong belaka. Baginya kepercayaan pada suatu hal merupakan pertanda bahaya untuk hatinya. Sepertinya, Dia melindungi diri dari rasa kecewa dan ekspentasi. Karena hal seperti ini, Aku memilih untuk menyimpan sendiri perasaan  yang tumbuh pada diri. 

Aku menyukainya. Sangat. Namun aku mengerti, cerita Kami tidak akan pernah bisa dimulai. Bahkan cerita itu harus segera selesai agar tidak ada kesia - siaan. Begitu logikanya. Namun apa daya ? Jika hati berkata lain. Saat pikiran dan perasaan bertentangan disitulah peperangan dimulai dan perang itu tidak pernah menyenangkan. Siapa lawan paling menyusahkan sekaligus menyesakkan ? tentu saja melawan diri sendiri. 

Peranku tidak lebih dari sekadar teman. Tidak dekat, tidak juga jauh. Walau terbilang cukup akrab. Satu hari kami bisa sangat dekat, namun di hari lain bisa seperti tidak mengenal. Jatuh cinta di usia dewasa memang penuh dengan berbagai macam pertimbangan. Tidak hanya jatuh kemudian luluh. Ada rasa bahagia yang dibungkus rasa cemas serta kekhawatiran. Apalagi jika jatuhnya itu diam - diam. Memilih jatuh cinta dalam diam seperti bermain teka teki, penuh dengan misteri. Hobby menerka - nerka dan praduga yang diciptakan di dalam kepala sendiri, seringkali menimbulkan ekspektasi diri yang kadang menyakiti hati, bahkan diri sendiri. 

Aku memilih bersembunyi. Menenangkan hati yang kadang tidak bisa di ajak kompromi. Semua interaksi dengannya terasa sangat menyenangkan. Bahkan, Sebuah kegiatan sederhana menjadi sangat luar biasa jika ia turut serta di dalamnya. Contoh sederhana saat teman - teman mengajak makan siang usai kelas. Kebetulan Aku tidak membawa kendaraan karena motor merah kesayanganku sedang diperbaiki. Teman - teman yang lain setuju untuk makan soto di dekat kampus. Saat itu yang tersisa hanya Aku dan Ramdan. Alhasil ia menawari Aku untuk dibonceng ke tempat makan siang saat itu. Kalian tau ? bagaimana respon hati mungilku yang tidak bisa di kompromi. Ya.. debarannya sangat dasyat bagaikan kembang api di pesta tahun baru. Tak dapat kusembunyikan rasa senang itu. Dengan usia yang bukan lagi anak belia seperti ini perasaan senang saat akan berboncengan dengannya. Benar - benar..  logika mati diambang batas sendiri. 

“ Emang gapapa  Ram ? Kalo Gue nebeng “ Ucapku 

“ Santuy, Yok buruan. Nanti ketinggalan sama yang lain“ Ucapnya lagi 

Kami berboncengan menuju Warung Soto Bu Mir. menyusul teman - teman yang sudah jalan mendahului. Debarannya semakin kencang, aroma parfume yang ia kenakan dapat terhirup jelas dalam olfaksi. Begitu kuat dan maskulin. Ya ampun… padahal untuk orang normal hal seperti ini merupakan suatu kewajaran. Makan siang, berboncengan jika hanya sekadar teman tanpa embel -  embel perasaan tentunya bukanlah perkara yang menyenangkan.  Namun karena dilakukan bersama dengannya semua terasa berbeda.. 

Angin menyetuh helai - helai rambutnya yang sudah hampir panjang. Rambut itu ia kuncir kebelakang, Karena bagian depan sudah menutup mata. Kulihat wajahnya dari kaca spion. Ya tuhan, manis sekali makhluk ciptaan mu ini. Aku menundukkan pandang. Bohong jika wajahku tak merah padam. Hati tenanglah. Ini cuma makan siang, bukan survei catering untuk pernikahan. Tidak ada yang spesial tidak ada yang perlu dirayakan.” Batinku berusaha agar hati mungilku ini bisa mengendalikan rasa senang. 


 

—-----
 

Pukul 10.45 Pagi  - 

KAMPUS P

Tok… tok..  

Bunyi pintu diketuk. Mata kuliah yang sedang berjalan terpaksa terhenti. Bu Dian selaku dosen Pengantar Ilmu Komunikasi bergegas ke arah pintu. Saat di buka Ramdan dengan nafas tergengah - engah memohon maaf kepada Bu Dian untuk tetap masuk kelas, namun karena sudah terlambat lebih dari 45 menit Ia dilarang mengikut kelas hari itu. Seisi kelas menatap nya penuh penghakiman. Beberapa dari mereka berbisik - bisik. 

Aku duduk paling depan. Melihat semua kejadian itu. Tiba - tiba, Nita menyenggol siku ku, ia mendekat dan berbisik “ Kebiasaan banget ya si Ramdan, udah sering telat. Masa tiap kelas pagi telat terus. “ Ucap Nita. 

Aku tidak berkomentar dan kembali fokus pada buku modul yang sudah setengah halaman kubaca. Seulas senyum kulontarkan pada Nita. berharap Nita tidak memperpanjang ceritanya. Namun kode yang dilontarkan tidak membuat Nita peka. Kemudian Ia berkata “ Sumpah deh Nan… Kalau misal punya cowok kayak gitu, gak ada masa depannya. Udah suka telat, nilai juga pas - pasan dan suka ngulang matkul. Astaga gak banget buat jadi pasangan. Dengar - dengar Dia juga suka minum - minum sama judi online Nan. Oh my God sangat Redflag “ Nita berkomentar dengan penuh penghakiman. Jleb kalimat itu menusuk diri. 

Memang benar yang dikatakan oleh Nita. Ramdan memang mahasiswa yang tidak disiplin. Sering Ia bolos kelas untuk pelajar yang tidak ia sukai, misal statistik. Pak Januar selaku dosen statistik sudah angkat tangan dengan nilai Ramdan yang tak kunjung benar. Ditambah tugas - tugas yang molor untuk di kumpulkan. Beberapa perempuan sering memberikan gosip buruk mengenai dirinya. 

Ramdan dikenal dengan player kelas atas. Banyak perempuan yang menjadi korban ghosting olehnya. Terutama mahasiwi baru yang belum mengenalnya. Hobby minum - minum dan Judi Online sudah sering di kaitkan dengan dirinya. Beberapa orang sudah mengetahui sisi buruknya termasuk Aku dan sialnya Aku bisa jatuh cinta dengan laki - laki semacam ini. Hidupnya yang bebas tidak pernah membikin ia terganggu  oleh perkara atau gosip sileweran tentangnya. Ia juga suka ikut balap liar dengan motor sport kesayangannya. Tidak hanya itu bahkan gosip yang beredar Dia mempunyai beberapa simpanan janda muda yang tersusun rapih di ponselnya dan masih dengan perkara yang sama, Aku bisa jatuh cinta dengan manusia seperti ini. 

Namun, seperti hal nya manusia dengan berbagai macam kekurangan. Ia juga memiliki kelebihan dan sikap terpuji lainnya seperti, Ramdan termasuk manusia yang peka terhadap sekeliling. Dia suka membantu orang lain yang kesusahan dan penilaian ini kudapati saat Dia bercerita padaku. Begini katanya “ Nan, Gua pulang malam kemarin. Makanya Gue ga sempet kerjain riset yang Lo suruh. Sorry ya.. “ Ucap Ramdan. 

“ Lho kenapa ? Lo pasti main sama temen - temen kan. NGAKU !” Aku yang sudah pusing dengan riset yang belum juga terkumpul akhirnya mengamuk juga.

“ Kalau Gue cerita Lo ga bakal percaya.” Katanya.

“ Percaya. Kenapa bisa ga sempet riset Ram ?” Ucapku berusaha menenangkan diri. 

“ Kemarin pas balik, Gue ketemu nenek - nenek gitu. Kasihan Nan, Dia ga ada ongkos pulang. Terus Gue anterin deh sampe rumahnya.”

“ Hah… ?? terus ?? emang Rumah kalian searah ? “ 

“ Nah itu Dia Nan, Rumahnya gak searah. Makanya Gue ga sempet. Sorry yaa..” 

“ Apa - apaan kayak gitu. Lo mending jujur ke Gua Ram. Kalau ke yang lain bohong terserah. Tapi sama gue please jujur. Lo ngarang kan ? Bilang aja Kalo ketiduran.” Cercaku. 

“ Tuh kan.. Giliran Gue cerita Lo ga percaya. Gue jujur Nan.” Ku tatap matanya lekat. Benar ia berkata jujur. Sorot matanya tidak bohong. Aku mengunci mulutku dan cuma mengangguk - angguk.  Ceritanya akan kepeduliannya memang terdengar sederhana. Namun untuk seorang anak begajulan dengan gosip buruk sepertinya hal ini gak mungkin dilakukan olehnya. Karenannya sebagai manusia yang ingin belajar bijak, Aku enggan untuk menghakimi dirinya. 

“ Nan.. nan.. Kok ngelamun sih ?” Suara Nita membuyarkan lamunanku. 

“ Heh.. Enggak.. “ Ucapku.

“ Kantin yuk, Kan Mata Kuliah ke - 2 masih lama. Laper nih..” Ucap Nita. mengajakku bergegas. Aku pun mengikutinya. Sesampai Kantin Nita memesan soto mie dan nasi. Aku yang tidak terlalu lapar memilih makan roti bekal yang Aku buat tadi pagi. Saat hendak makan, sorot mataku tertuju pada perempuan yang sedang asik mengobrol dengan Ramdan. Itu Lisa, mahasiswi manajemen yang dekat dengan Ramdan. Beberapa gosip tentangnya pun tidak kalah garang. 

Lisa digosipkan sebagai ani - ani ( simpanan) om - om karena selalu menggunakan barang branded dan makan di tempat yang mewah. Itu semua terabadikan di account Instagram miliknya. Dengan centang biru yang ia beli perbulan, Lisa menjadi bulan - bulanan kampus sebagai salah satu cewek simpanan Ramdan, Astaga, betapa mudahnya manusia menghakimi orang lain hanya dengan melihat postingan ? Tapi dipadanganku, Lisa perempuan yang cukup peduli. Beberapa Kali Aku ketahui Dia suka sekali ikut kegiatan volunteer sosial. Karena pernah waktu itu Aku bertemu dengannya sedang menjaga booth donor darah. Sejak itu, apapun gosip yang beredar mengenai Lisa, sudah tidak aku pedulikan. 

Ya, begitulah segilintir manusia. Mereka bisa menghakimi manusia lain dengan sebegitu kencangnya. Benci karena dendam pribadi. Mengajak orang - orang untuk saling meghakimi dan mencaci. Kebanyakan orang tidak peduli mengenai efek berita yang Mereka  sebar, asal panas dan menguntungkan. Bagaikan minyak panas yang dicelupkan ikan segar menimbulkan letupan hingga minyak dapat melompat dari wadah penggorengan Tak jarang  Letupannya pun bisa membuat kulit terbakar walau hanya sekadar luka ringan. Padahal didunia ini, tidak hanya ada warna  hitam dan putih namun ada juga warna campuran seperti Abu - abu. Jadi kenapa harus saling meghakimi antara sesama sedangkan Kita pun mempunyai kesalahan yang juga sama merugikannya. Hanya beda saja cara berjalannya. Lagipula seburuk apapun kesalahan tidak ada jaminan suatu saat tidak melakukan. 
 

“ Nan… Lo makan roti aja ? Emang kenyang ?” Ucap Nita. 

“ Kenyang kok.. “ Aku memberikan senyum tipis. 

“ Oi Nan… “ Suara itu terdengar tidak asing ditelingaku, diikuti parfume maskulin. Aku menengok ke sumber suara. Ramdan, ia berdiri di belakangku. 

“ Kenapa Ram ? “ debaran itu kembali muncul. 

“ Lo udah kerjain tugas ilmu politik Ibu Dewi ? Kalau Udah, Gua Mau…”  belum sempat melanjutkan kalimatnya, Nita memotong dengan cepat. 

“ Nggak ada ya Ram… Gak ada Lo nyontek tugas Pinan ! Enak aja. “ Cerca Nita

“ Dih Apaan sih nenek lampir, Gue ga ngomomg sama Lo.” Ucap Ramdan. 

“ Heiii.. Udah - udah. Ga usah berantem. “ Aku mencoba melerai. 

“ Jangan dikasih Nan, kebiasaan Dia ga mikir. “ Nita mengomel. 

“ Tugas yang mana Ram yang belom ? Ini Gue udah semua. Mau pinjam catatan juga ? “ Ucapku. Berusaha lugas dan menenangkan jantung yang berdebar tak karuan. 

“ Boleh… Wuih baik banget emang Pinan, beda sama nenek lampir.” Ucap Ramdan sambil tertawa. 

Aku mengeluarkan buku catatan ku. Sampulnya warna ungu dengan hiasan kupu - kupu. Ia ambil buku catatanku dengan sigap. “ Oke Nan, Nanti Gue balikin ya.. Bye..” 

“ Jangan sampe hilang.” Ucapku cepat.

Ia melambaikan tangannya, kulihat punggungnya mulai menjauh meninggalkan Kami berdua. Nita yang tak terima pun mengoceh.

“ Ihhh… ngapain sih Lo pinjemin. Ntar buku Lo ilang. Astaga ga abis thinking Gue sama Lo Nan. Apa jangan - jangan?! Lo naksir si Ramdan. GA ADA YA NAN…. ASTAGA “ Nita makin mengamuk. 

“ HEH … nggak kok. Gue kan sebagai ketua kelas, sudah sepantasnya memberikan dukungan untuk teman - teman semuanya.” 

“ Mana ada dukungan orang Dia mau nyontek Lo. Ketua kelas macam apaan.. “ Nita kembali mengoceh. Bibirnya monyong - monyong. Wajahnya cemberut. 

“ Ih enggak Ta.. serius deh.” Ucapku

“ Pinan, kita temana dari SMA. Gue tau banget kalo Lo naksir orang kayak gimana. Kita sahabatan udah lama.” 

“ Nggak Ta.. Udah yuk ke kelas..” Ucapku sambil tersenyum. 

—----------

Nita menatapku curiga. Sepanjang kelas ia ngambek padaku karena perkara buku catatan yang Aku pinjamkan ke Ramdan. “ Ta. Lo jangan ngambek terus ya. Kita beli es krim sepulang ngampus” Ucapku membujuk. 

“ Lo mending jujur deh Nan, Gue tau banget Lo naksir sama tuh cowok begajulan.” Nita tetap mencercaku dengan pernyataan yang membuatku terpojok. 

Aku menghela nafas berat. “ Taa…. Lo tau Gue kan ? Lo juga hafal betul sama kriteria cowok yang Gue suka kayak gimana ? Inget jaman SMA ? “

“ Pinan suka cowok wawasan luas, rajin menabung, peka terhadap kesehatan mental, nggak merokok, berjudi apalagi mabok. Oh ya Pinan juga suka sama cowok yang memberikan Act Of Service sebagai bentuk pengahragaan atas dirinya.” Ucap Nita. 

“ Nah.. Hafal kan ? Apa semua kriteria itu ada di Ramdan Ta ? “ Aku balik bertanya. 

Nita menggeleng lalu ia tersenyum “ Ayok kita beli es krim” Ucapnya.

“ Nah gitu dong. Ayokk..” 

Kami berjalan menuju kedai es-krim dekat Kampus. Nita memesan Es Krim Coklat sedangkan Aku Strawberry. Kami duduk dan mengobrol. Sampai saat yang sama pula, Ramdan berhenti di kedai es-krim dengan motor silver miliknya. Kepalanya memakai helm tosca. Mata Kami bertemu. Nita yang melihat hadirnya langsung melirik ku dengan sinis 

“ Ehemmm… “ 

“ Apa Ta ? “ Aku berusaha menjaga air mukaku untuk tetap tenag. 

“ Oi Nan.. “ Ramdan masuk ke kedai dan berjalan ke arah Kami. 

“ Hai Ram” Ucapku

“ Ini bukunya Gue balikin. Makasih ya. Catatan Lo lengkap banget deh. Gue terbantu.” Ucap Ramdan

“ Ohh. Iya Ram.. sama - sama ya.”

“ Ram, Lo ga lagi coba deketin temen Gue kan ? “ Cerca Nita. 

Hening.

 Aku dan Ramdan saling tatap. Wajahnku mulai memerah, jantung ini kembali berdebar. Hati mungilku sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Rasa senang bercampur cemas itu kembali kurasai. Ramdan memalingkan wajahnya, Dia menyibak rambutnya kebelakang, membenarkan ikat rambut yang kendur. 

“ Nggak Ta. tenang aja. Pinan itu teman baik Gue, Ibu ketua kelas yang terhormat. Gak mungkin Gue macam - macam sama Dia. “ Seulas senyum terukir di wajahnya. Oh Tuhan.. Manis sekali Dia. 

“ Awas aja Lo macem - macem sama my sissy . Gue tabok Lo ya. “ Ucap Nita. 

“ Tenang.. dah ya Gue balik. Thanks ya Nan buku catatanya.” Ia berbalik dan berjalan menjauh. Aku menunduk berusaha menyembunyikan wajah merah padam. Nita yang tak sadar kembali menikmati es krim coklatnya. Untunglah Nita tak sepeka itu, Untunglah perasaan ini masih bisa Aku sembunyikan. 

“ Eh Nan, Lo mau sampe kapan ? Punya kriteria bejibun kayak gitu ? “ Ucap Nita tiba - tiba.

“ Gak tau deh, Gue kalo ngomongin nikah atau pasangan itu berat banget. Gue mending ngerjain tugas kuliah deh Ta.”

by the way  kemarin teman Gue ada yang nanyain Lo dan minta kontak Lo.” 

“ Truss…? “ Ini sudah kali keberapa Nita berusaha mengenalkanku pada teman - teman cowoknya. Namun Aku selalu menolak tegas walau Nita kadang tetap ngeyel untuk memberikan kontak ku secara diam - diam. 

“ Ya Gue kasih lah. Namanya Okta. Dia S1 di Universitas Terbaik. Tuh cocok sama Lo yang mau cowok wawasan luas. Dia juga gak merokok Ta.. sesuai kan.. Habis itu..Dia sih niat mau chat atau telpon Lo malam ini.Hehehe..” 

“ Hmm.. Ta.. makasih banget ya. Tapi sumpah Gue ga mau dikenalin kayak gitu. Gue belum mau cari jodoh atau nikah muda. “ 

“ Minimal ketemu sekali aja. Ya Nan..” 

“ Enggak.” 

“ Yaudah Telpon ya.”

“ Enggak. Ta, kalau Lo masih maksa btw Gue cabut duluan ya. Bye..”  

Aku berdiri. Meninggalkan Nita di kedai Es krim. Ia memanggilku berkali - kali, namun tidak Aku gubris. Sore itu menjadi hari yang menjengkelkan. Nita memang sahabatku, namun di sisi lain, ia kerap ikut campur dan bertindak seenaknya. Tak jarang Aku memberikan batasan kepadanya. Sampai di parkiran, Aku nyalakan motor merah kesayanganku. Berjalan meninggalkan kampus dengan perasaan bercampur aduk. Ya tuhan, Aku lelah sekali dengan Stereotip yang manusia tentukan untuk kehidupan. Seakan semua manusia harus memiliki jalan yang sama untuk perkara menikah. Di umur yang sudah ditentukan oleh kakek nenek moyang. Menyebalkan. Batinku. 


 

—--------

Nita menelponku berkali - kali. Rasa kesal masih juga memenuhi hati, Aku abaikan telponnya,lanjut membaca novel fiksi kesukaanku yaitu  Bumi Manusia karya Pramoedya. Perasaan tidak nyaman masih juga mengganggu konsentrasi membaca. Malam makin malam. Sampai saat tepat pukul 23.00 telpon ku kembali berbunyi. Aku menghela nafas berat dan segera memeriksa siapa yang menelpon. Jika Nita, Aku tidak akan menggubris. Namun dugaanku salah. Nama Ramdan terpampang jelas di layar ponselku. Rasa berdebar pun kembali kurasai, berbagai macam pertanyaan muncul dalam kepala. Untuk Apa Dia Telpon di Malam Begini ? 

“ Hallo… “ Ucapku 

“ Hallo Nan, udah tidur ? “ Ucapnya 

“ Belum sih. Masih baca buku. Kenapa Ram ? “

“ Hmm.. Nan, Gue boleh gak ?” 

“ Apa ? “ 

“ Duh Gue ga enak ngomongnya.” 

“ Kenapa ya ? “ Aku masih bertanya - tanya diikuti debaran jantungku yang semakin tak karuan. Kalau di novel fiksi yang Aku baca kira - kira begini “ Nan boleh gak, Kalau Gue deket sama Lo. Mungkin kita cocok.” Namun khayalanku pun buyar saat Kalimat yang kudengar adalah 

“ Nan, Gue boleh gak pinjam uang Rp.20.000, Gue Mau Narik di atm 130 ribu biar bisa ditarik semua, Besok Gue ganti.” Duarrr.  Buyar lamunanku saat itu. Yah.. Cerita fiksi itu ga selamanya bisa kejadian. Iyalah, mana ada kisah cinta menye - menye di dunia nyata. 

“ Hallo Nan… ?  Oi Nan..” Ramdan memanggilku. Karena Aku tak merespon. Ku coba renggut kembali kesadaranku. Nan ini bukan cerita fiksi, ini dunia nyata. Batinku.

“ Ohh iya Ram.. Berapa nomor rekening Lo, Nanti Gue transfer.” 

“ Boleh ya berarti. Yaudah Nan nanti Gue Chat aja ya Nomornya. Makasih Bu Ketua. Heheh.. Sorry ya ganggu malam - malam. “ 

“ Ahahaha iyaa gapapa, santai , Kita kan Teman.” 

Selesai sudah percakapan. 

Aku terlalu percaya diri, Memalukan. Kalau berani saat maju presentasi boleh - boleh saja. Ini malah malu akibat pikrian liar yang timbul dalam diri sendiri. Aku menghela nafas. Sekali lagi, Ini bukanlah sesuatu yang spesial. Dia cuma pinjam uang seperti teman pada umumnya. Namun seperti kataku di paragraf awal, apapun yang berkaitan dengannya tentu saja hal yang tidak lagi sederhana. 

Malam itu, Aku tidak bisa tidur. Memikirkan dan menerka Bagaimana ? Jika perasaan ini semakin menjadi. Bagaimana Jika perasaan ini mulai egois akan perkara kepemilikan ? sedangkan, orang yang dicinta tidak memiliki perasaan yang sama ? dan sampai kapan Aku harus menjadi penggaum rahasia ?

Pikiran semakin kacau malam itu. Kepalaku semakin berisik. Aku duduk di meja tulis. Kubuat puisi untuk meredakan pikiran - pikiran konyol ini. Kutuliskan semua di kertas putih. Berharap semua persaaan ini bisa segera pergi. Aku sudah tidak bisa menahan penderitaan semacam ini. Aku cuma mau hidup lurus. Kuliah, Lulus, menemukan pekerjaan yang sesuai, menemukan laki - laki yang sesuai dengan kriteria. Itu saja. Tapi kenapa ? sejak presentasi malam itu semua terasa berbeda ?

Perasaan yang semakin hari tidak Aku mengerti terus menerus tumbuh. Kebingungan dari berbagai aspek pun Aku rasai. Sudah banyak masalah yang aku hadapi namun baru masalah ini yang Aku tak pahami titik terangnya. Perasaan - perasaan itu bagaikan narkotika yang membuat candu. Sukar sekali untuk disudahi. Akhirnya terciptalah satu sajak puisi. 


 

Dia datang bagaikan tamu tak diundang

Membangunkan renjana yang telah mati 

Mendobrak pagar berduri 

Namun sayang, itu semua hanya ilusi 

Rasa semu yang kuciptakan sendiri

Merupakan kesia -siaan yang tak dapat disudahi

Bagaimanakah nasib mu diri ? 


 

—----------------- 


 

Nita mengirimkan pesan permintaan maaf padakau. Ia berjanji tidak akan mengulangi lagi sikap menyebalkannya. Aku ?  tentu saja memaafkan. Hari ini kuliah pagi, seperti biasa Ramdan tak kunjung datang. telat lagi batinku. Mata Kuliah Statistik lanjutan pun di mulai, Pak Januar selaku dosen memeriksa tugas kelompok yang diberikan minggu lalu. Tepat pukul 10.55 ketukan pintu terdengar. 

Tok .. tok… 

Pak Januar bergegas ke arah pintu. Diambang pintu hadirlah Ramdan. Seperti biasa, Ia memohon maaf atas keterlambatan dan meminta izin masuk ke kelas. Untuk hari ini nasib baik berpihak padanya, Pak Januar mempersilahkan Ramdan untuk tetap mengikuti kelas. Teman - teman yang lain seperti biasa, memberikan tatapan sinis. Nita ? Oh tidak. Ia hari ini tidak masuk. Mata kuliah pun di lanjutkan. 

Tidak ada yang istimewa hari ini. Aku mencatat dan mencatat. Pak Januar menerangkan beberapa materi dan melanjutkan diskusi kelompok. Satu kelompok berisi dua orang dan akan dipilih seacara acak. Ku curi pandang Ramdan yang duduk di kursi paling belakang. Ia nampak berbeda. Rambutnya tidak dikuncir. Ia gerai saja dan helainya pun berjatuhan. Rambutnya agak basah seperti habis keramas. Parfume yang ia kenakan juga berbeda. Aku coba kembali fokus pada Mata Kuliah pagi ini Fokus Pinan, biaya kuliah tidaklah murah Aku membatin dan memarahi diri sendiri. 

“ Untuk pembagian kelompok Saya acak berdasarkan Absensi ya.. “ Ucap Pak Januar. 

Logika ku berusaha membuatku sadar dan tidak mengharapkan apapun. Namun kata hati lagi - lagi berbeda. Hatiku berharap dapat sekelompok dengannya. Astaga, benar - benar merepotkan. 

“ Kelompok pertama Pinan Pradipta dengan…” Namaku pertama kali disebut. 

“ Ramdan Setyawan. Kelompok satu bergegas untuk satu meja” Duarr.. Perasaan senang itu kembali Aku rasai. Apa - apaan semeseta ini. Aku berusah menenangkan diri. Menjaga air muka ku agar tetap tenang, walau jantung ini berdegup kencang. Astaga, jika jatuh cinta seperti ini, Aku menyesal sekali. 

“ Nan, Kita sekelompok lagi.” Ramdan tiba - tiba sudah duduk disampingku. 

“ Iyaa.. kebetulan ya.. “ Aku berikan senyum tipis. 

Dia membalas senyumku. Pembagian kelompok pun selesai. Pak Januar memberikan tugas statistik lanjutan. Aku kembali riset kasus - kasus yang ada dan memecahkannya. Cuaca hari itu panas. AC diruangan pun tidak terasa. Saat sedang mengerjakan tugas tiba - tiba Ramdan berkata. 

“ Nan, Lo punya karet gelang gak ? Gue gerah banget. Mau kuncir rambut.” 

“ Sebentar Gue check dulu.” Aku merogoh tasku. Aku berikan dua ikat rambut jepang kepadanya. Tiba - tiba hal tak terduga pun terjadi. 

“ Nan, coba tolong.. Kuncir  dua rambut Gue.” 

“ Hah ???? “ Aku kebingungan. 

“ Iya Nan.. coba sini. Ia pengang tanganku untuk beranjak dari kursi. Seisi kelas tak begitu menggubris. Pak Januar pun sedang keluar ruangan. Aku berdiri di belakangnya. 

“ Gue gak bisa ikat rambut.” Ucapku cepat. 

“ Coba dulu Nan..” Ucapnya lagi

“ Gak bisa Ram, nanti berantakan.” Aku menolak. 

“ Gapapa. Coba.” Dia tetap memaksa. 

Aku sentuh rambutnya helai demi helai ku atur sedemikian rupa untuk membikin pony tail kuncir dua. Rasa berdebar itu kurasai kembali. Rambutnya halus, agak bergelombang sedikit dengan warna hitam pekat. Saat kegiatan kuncir itu selesai. Dia meminjam kaca padaku. 

“ Nan, ini gak rapih sih. Tapi it’s okay lah.” 

“ Oi Ram, Lo kayak anak TK tau.” Ucap Alya  menertawakan. Ia menghampiri meja Kami. 

“ Hahaha gapapa lah. Abis panas banget cuy.” Ucapnya. 

Aku berusaha kembali fokus pada tugas statistik. Tiba - tiba saja Dian berkata “ Sini Ram, Gue kuncir ulang. “  Ramdan pun tak keberatan.

Ada rasa cemburu yang tidak tau dari mana asalnya. Perasaan apa ini ? begitu sesak. Aku menunduk. Tidak ingin peduli. kupercepat tulisan demi tulisan agar tugas ini cepat selesai. Aku sembunyikan rasa cemburu itu dan kembali berpikir logika untuk apa cemburu ? Kamu bahkan bukan siapa - siapanya Nan. Aku berusaha mengendalikan emosional, memendamnya. Menenangkan diri ini. Astaga mencintai secara diam - diam itu merepotkan. Pergilah Kau rasa suka, Aku sudah lelah menderita. Batinku. 

“ Gimana Nan, Keren kan ? “ Ucap Ramdan. 

“ Nggak, Gue lebih suka Lo di kuncir kayak biasa.” Ucapku lagi

“ Dihh.. kenapa ? “ 

“ Gak Tau. “ Mood ku berantakan. 

“ Hahah Nan.. Nan, serius banget ya.” Ia melepas Ikatan rambutnya. Menguncir ulang dengan tangannya. Aku yang melihatnya semakin kebingungan. 
“ Nah kalau ini  ? Keren.” 

“ Lumayanlah. “ Ucapku sambil meneruskan tugas - tugas yang belum juga rampung. Pura - pura tidak menggubris. Bukan Lumayan Ram, keren banget. Batinku. 


 

—----------------


 

Sore itu, Aku duduk di kedai es krim seperti biasa. Melanjutkan membaca buku fiksi kesukaanku. Pikiranku semakin kacau belakangan ini. Rasa cinta yang tidak tau arahnya ini perlahan - lahan mulai menggerogoti pikiran. Aku lelah dengan semua kepura - puraan. Pura - pura tidak peduli dengan hadirnya, Pura - pura tidak menyukainya. Rasa lelah itu terus menerus menyiksaku dan sialnya Aku tidak paham bagaimana caranya berhenti.  Ingin sekali Aku menyampaikan apa yang dirasa padanya. Namun Aku mengerti itu semua sama saja bunuh diri. 

Dulu Aku perempuan yang cukup berani. Jika menyukai seseorang Aku bisa dengan cepat menyampaikan perasaan tanpa banyak basa basi. Namun semua itu ku urungkan sejak Aku tau Ramdan pernah menolak perempuan dari fakultas ekonomi. Yahh.. walau terkesan Bad boy Ia cukup populer dikalangan perempuan yang setipe dengannya.Perempuan itu ia tolak dan ia jauhi. Sepertinya Ramdan tidak menyukai perempuan yang berani mengutarakan lebih dulu. Itu membuatnya risih. Hal  ini  Aku ketahui saat dirinya bercerita padaku tempo hari. 

“ Nan, tau gak ? “ 

“ Apa ?” 

“ Ada cewek suka sama Gue.” 

“ Yah.. terus ? Apa urusan sama Gue Ram.” 

“ Sumpah Nan, Gue illfeel banget sama cewek ini. Terlalu agresif. Gue ga suka.” 

“ Yaudah Ram, Kalo ga suka. Kan tinggal tolak baik - baik.” Ujarku. 

“ Udah, Tapi Dia kayak maksa gitu Nan, ihhh beneran deh. Gue ga suka banget. Gue bakal jauhin habis - habisan lah. Merusak tali silaturahmi Nan yang model begini.”

“ Yaudah Ram.. It’s Okay. Kerjain riset ini. Besok di kumpul.” 

“ Ah Bu Ketua, Gue kan lagi curcol.” 

“ Oke, Laporan di terima. Sekarang lanjut riset ya.” Ucapku. 

Cerita ini memberikan efek yang nyata untukku. Ini merupakan salah satu faktor kenapa Aku lebih memilih menjadi pengagum rahasia. Awalnya Aku pikir perasaan seperti ini akan lenyap dengan cepat. Karenanya, Aku merasa cukup jika jadi ‘ teman’ nya saja. Asalkan masih bisa melihatnya masuk ruang kelas, itu sudah cukup. Namun hari - hari yang berjalan dengan segala interaksi yang terjadi.  Itu semua tidak cukup. Bohong jika Aku tidak ingin Dia. Andai waktu itu Aku tidak terlibat satu kelompok presentasi, Aku nggak akan kerepotan seperti ini. 

Hari mulai malam. Ku Bereskan buku - buku dan berajak pergi dari kedai ES Krim. Aku berjalan sendirian menuju parkiran kampus. Saat disana, Aku lihat Ramdan. Ia tampak kebingungan di samping motornya yang tak kunjung menyala. 

“ Ram ?? Hei..” Sapaku.

“ Oi Nan. Baru mau pulang ? “ Ucapnya. 

“ Iya nih. Tadi habis dari kedai Es Krim  sambil baca buku. Lo sendiri ? ” 

“ Biasa abis ngumpul sama teman - teman. Btw  Lo nggak pusing baca buku segitu tebalnya. ? Gila sih Nan… ” 

“ nggak. Seru tau. Lo mau coba baca ?” 

“ Gue kurang suka baca sih. Tapi ada buku yang Gue suka.” 

“ Buku apa ?” 

Fiersa Besari. Pernah baca gak ? “ 

“ Ohh pernah sih. Judulnya garis waktu . Hmm.. suka Fiersa Besari ? “ 

“ Suka Nan.. Duhh motor Gue ga bisa nyala dari tadi.” 

“ Kenapa ? Sini Gue bantuin.” Ucapku khawatir. 

“ Gak usah Nan. Lo balik aja. Udah malam ini” Katanya. 

“ Gapapa Ram. Gue temenin. Sampe motor Lo nyala.” Ucapku 

“ Ga usah beneran.“ 

“ Ihh jangan gitu. Gue kasihan sama Lo. Sendirian di parkiran.” 

“ Nan… Lo ga perlu kasihan sama Gue. Lagian ya Nan… Laki - laki itu ga suka dikasihani. Laki - laki itu cuma mau dihargai aja. Pulang ya Nan, nanti kemalaman. Seulas senyum tipis terukir dibibirnya. 

Air muka ku yang khawatir tidak dapat dibohongi. Ramdan yang melihatku tetap membujuk Aku untuk segera  pulang. “ Nan, pulang ya. Hati - hati pulangnya.” Ucapnya. Dengan berat hati. Aku mengangguk. Kunyalakan mesin motor dan pergi meninggalkannya. Angin malam menyetuh kulitku. Ada rasa cemas yang masuk ke ruang hati. Nan.. sampai kapan mau begini ? sampai kapan Nan ? Bagaimana kalau tidak bisa berhenti. Bagaimana kalau sudah tidak bisa bersembunyi“ kalimat itu terus menerus memenuhi kepala. Motor merahku melaju membelah jalanan Ibukota. 


 

—---------


 

“ Pagi Pinan sayang.  Ini… Gue bawain susu coklat sama roti keju. Jangan marah lagi ya.” Ucap Nita menghampiri. Ia duduk disebelahku. Seperti biasa. 

“ Apaan nih ? Sogokan ?” Ucapku pura - pura sinis.

“ Dih kok gitu sih.” 

“ Iyaudah okeh. Makasih ya Ta.. Gue juga minta maaf udah ketus kemarin.” Ucapku. 

“ Nah gitu dong.” 

Kami lanjut berceloteh. Namun saat sedang asyik mengobrol. Suara favoritku datang menghampiri. Ya tentu saja itu Ramdan. Ia baru saja tiba dan mengobrol dengan teman - teman di kursi belakang. Kulayangkan pandang padanya, begitu mata kami bertemu. Seulas senyuman dilemparkannya padaku. Astaga ini masih pagi hei…

“ Nan.. nan..Liatin apa sih ?” Ucap Nita.

“ Ehh.. enggak..” 

“ Ohhh… gitu.” 

“ Mulai deh.. Baru juga berdamai.” 

“ Nan.. Jujur aja. Lo suka Ramdan kan ? “ 

“ Enggak Ta..” 

“ Yaudah kalau ga mau ngaku. Tapi  Lo pura - pura aja Gue tau Nan.” 

Aku menggeleng kuat - kuat. Tidak boleh ada yang tau selain Aku dan Tuhan. Bahkan Nita pun tidak boleh. Karena perasaan ini hanya ekspektasi yang Aku ciptakan sendiri. Sebagian duniaku sudah penuh dengan Ramdan. Memang begitu adanya dan bodohnya, Aku tau betul jika hal ini membahayakan. Konsistensi perasaan itu mutlak adanya. Entah karena cinta atau hanya sekadar penasaran. Hal sederhana seperti ini saja Aku masih kebingungan. Bagaimana untuk menjalin hubungan ?. Tidak Aku tidak bisa mengatakan padanya mengenai perasaan ku yang ini. Ini merupakan bagian berat yang selalu Aku bawa setiap kali melihat dirinya dari kejauhan.

Aku hanya ingin semua drama ini berakhir. Aku hanya ingin memandangnya tanpa mengharapkan apa - apa. Namun harus kusadari jatuh cinta memang sekeras kepala itu. Teori, logika yang Aku pelajari selama ini bagaikan lenyap terbawa angin. Aku ingin hidup normal seperti sebelum Aku mengenalnya atau sebelum presentasi itu diadakan. Namun sayang lagi - lagi semua itu berujung kesia -siaan. 

Padahal ini semua bukan salahnya. Ini murni salahku. Karena menurutku semua emosional yang aku rasakan murni tanggung jawabku. Aku sadari hal itu saat hatiku jatuh padanya. Namun sampai detik ini Aku tidak mempunyai titik terang mengenai penyelesaiannya. Ingin diungkapkan namun takut ia menghindar. Takut ia menjauh. Aku tidak ingin merusak hubungan pertemanan Kami. Namun memendam pun tidak kalah repotnya. Sesak ini tidak juga kunjung reda. Belum lagi rasa penasaran dan berbagai macam praduga yang bahkan Aku sendiri tidak paham. Akhirnya timbulah pertanyaan untuk apa Aku mengejar dan mengharapkannya ?  Sudah jelas cerita  kita ga akan dimulai. 

Rumit. Perkara perasaan ini tidak sederhana lagi atau jangan - jangan Aku yang membuatnya menjadi rumit. Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Aku bahkan ga memahami apa yang Aku inginkan. Aku tidak tau kemana dan harus bagaimana meletakkan perasaan - perasaan ini. Mengharapkan Ramdan sama seperti berdiri diatas garis  Abu - abu. Ia tak mungkin Aku miliki atau aku usahakan. Bukan karena tidak bisa tapi karena tidak mau. Seorang Pinan dengan latar belakang dan prinsip hidup yang berseberangan sangatlah mustahil untuk seorang Ramdan dengan kebebasan mutlak yang selalu ia dambakan.

“Membadut” mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan diriku hari ini. Tidak tau sampai kapan. Tidak tau bagaimana cara berhentinya. Menaruh harapan pada seseorang yang bahkan tidak melihatku sebagai wanita idaman atau bahkan hanya melihatku sebagai seorang teman. Teman saja. Tidak lebih tidak juga kurang. Ya begitu berat sebagai pengaggum dalam diam dan begitu berat garis Abu - abu yang Aku jejaki sejak malam presentasi. 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya GARIS ABU - ABU | CHAPTER 2 - JANJI
1
0
Sudah berapa janji yang kalian ingkari untuk menuruti ego dalam diri ? 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan