GARIS ABU - ABU | CHAPTER 3 - SEMESTA FIKSI

1
0
Deskripsi

“ Kalau Dia Ga bisa dimiliki di semesta yang kita tempati. Buatlah semesta baru dengan hal - hal yang disukai. Semesta Fiksi."  Dengan fiksi ku sampaikan perasaan dengan cara yang berbeda. Berharap ia tak akan sadar karena ia bukanlah orang yang gemar membaca. Dugaanku salah, aku ketahuan. Dia membacanya sampai selesai.


 

CHAPTER 3  - SEMESTA FIKSI


 

“ Kalau Dia Ga bisa dimiliki di semesta yang kita tempati. 

Buatlah semesta baru dengan hal - hal yang disukai. 

Semesta Fiksi" 


 

KAMPUS P 

Pukul 09.00 Pagi. 

Sekuntum bunga Anyelir merah diatas meja. Mataku mencari - cari dan membatin siapa yang melakukan ini ? Ada sepucuk surat dengan amplop warna pink. Berisikan sebuah tulisan romansa. Benar saja, Surat cinta sederhana.  Aku tidak merasa senang, justru penasaran dan sedikit takut. Kalau jaman dulu mempunyai pengagum rahasia merupakan hal yang menyenangkan namun di tahun 2023  hal seperti ini justru menakutkan. Ku buka surat dengan amplop pink itu dan kubaca dengan teliti.

 

Dear Pinan Pradipta, 

“Menjadi pengamat rahasia memberikan  ku arti bahagia walau bentuknya sederhana.”

                                                                                                                           -Tuan R - 


 

Lagi - lagi pengirim misterius seperti ini. Ya Ampun aku tidak suka teka teki. Pertanyaan tentang kebingungan ini langsung memenuhi isi kepala. Aku duduk dan memperhatikan tulisan tangan yang tertulis pada selembar kertas putih. Sudah dua kali pemberian ini dikirimkan padaku. Entah apa tujuan dan maksud kejanggalan ini. Kuambil buku fiksi kesukaan ku. Mulai membaca dan tidak mau terlalu mengambil pusing mengenai teka teki yang terjadi belakangan ini. 

Niat hati untuk membaca namun pikiranku tetap liar dan tidak bisa fokus pada tempatnya. Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi isi kepala dan menjadi berisik karenanya. Padahal pertanyaan yang sebelumnya pun belum ditemukan untuk jawabannya. Aku mengutuk diri. Membenci perasaan yang sudah tumbuh dan memaki setelahnya. Hari yang terlewat semakin hari semakin tidak masuk di akal. Perasaan pada Ramdan belum juga selesai lalu muncul masalah baru dengan teka teki yang tidak kalah rumit. Sebuah tanda tanya besar menghiasi kepala. Pengagum rahasia ini berinisial R siapa kah gerangan ia ? dalam benak tanya hatiku berharap apakah Ramdan orangnya ? 

“ Nan… itu dari sapa ? “ Nita sudah ada disampingku. Suaranya membuyarkan lamunan dan membuat Aku tersadar. 

“ Nggak tau Ta.. sumpah ini ga ada pengirimnya.” Ucapku panik. 

Oh My God maksudnya apa ? secret admirer ?! so sweet banget gila.” 

“ Dih.. apaan sih. Serem tau. Kayak di teror.” 

“ Nan.. bukannya lo suka fiksi ? kali aja ini pertanda untuk kisah cinta lu di dunia nyata. Btw please forget about him. You deserve better. 

“ Him ? “ 

“ Ramdan. Nan.. Lo pantes dapat yang lebih baik. Jatuh cinta sama cowok yang bahkan ga mau sembuh dari traumanya ini bikin pening Nan. Lo bukan seseorang yang bisa sembuhin luka masa lalu. Wake Up Girls “ Nita menasehati. Seakan tau yang terbaik untukku bukan yang ini. Nita benar huruf R untuk Ramdan dan Ramdan tidak akan pernah untuk Pinan. Apa yang bisa diharapkan dengan jatuh cinta sendirian ? selain ekspektasi diri yang melambung tinggi. Seakan orang yang dikagumi mempunya bentuk rasa seupa. Sekali lagi ini bukan cerita fiksi ini dunia nyata dengan kepahitan yang tak berujung kata pasti. Bagaikan kalimat yang tidak menemukan tanda titik. 

“ Ya terus ini ? Gimana Gue bisa tau orangnya kalau dia aja penuh teka teki.” 

“ Nikmatin aja Nan, suatu hari Dia pasti bakalan nunjukin identitasnya.”

Are you sure ?” 

“ Of course Girl. Btw, Gue pinjam buku statistik, belom buat tugas hehe…” 

Aku menyerahkan buku statistik ku pada Nita, Ia menyalin semua tugas yang belum dikerjakan. Aku kembali membaca buku fiksi dan pikiran belum juga bisa fokus pada buku - buku. Pribadiku seakan mati dibunuh oleh keegoisan hati sendiri. Dalam pikir Aku berkutat dengan serba serbi dugaan yang dijabarkan. Membentuk kotak kotak pertanyaan yang tidak ditemukan jawabannya. Disisi lain hati bersuara  jika saja  memang Ramdan orangnya itu merupakan suatu keberuntungan. 

Namun yang Aku pahami, Ramdan tidak mungkin menyukai ku. Apa yang bisa di banggakan dari seorang Pinan Pradipta ? Ia hanya kutu buku gila fiksi. Hobbi menulis cerpen atau puisi dimading kampus. Ketua kelas membosankan. Tidak cantik dan terkesan kaku. Tidak seperti perempuan cantik yang ia kenal. Ah benar, pikiran ku makin kacau. Sekarang aku membandingkan dengan sesuatu yang bahkan tidak ada. 

“ Oi Nan, Lo tugas statisik udah ?” Itu Ramdan. Ia baru saja datang. Anehnya ia tidak telat seperti hari biasa. Apa jangan - jangan pengirim itu benar Dia ? Otakku tidak berhenti menganalisis tentang kemungkinan yang terjadi. 

“ Nan.. Nan.. ” Ramdan kembali memanggil karena Aku tidak merespon. Suaranya menyeretku kembali ke dunia nyata dan kutinggalkan semua duga - dugaan di dalam kepala..

“ Ohh. Ya ? sama Nita .” Ucapku

“ Bentar … Gue masih nyalin 1 nomor lagi.” Ucap Nita yang masih sibu menulis

“ Oke.” Ia meninggalkan Kami dan kembali duduk di kursi belakang. 

Aku kembali pada pikiran - pikiran. Kemungkinan memang Ramdan orangnya sebab ia harus berangkat pagi untuk menaruh semua ini. Logisnya begitu. Ah benar juga ini tidak terlalu logis ini hanya dugaan yang dibarengi dengan harapan perasaan. Sangat bias. 

“ Nan.. Lo kenapa sih ? sekarang suka banget ngelamun. Gue tau Lo lagi jatuh cinta tapi jangan gini juga.” Ucap Nita. 

“ Nggak dong, Gue ga ngelamun.” 

“ Apaan… Nan, Lo cuma mandangin buku dari tadi, Gak kayak biasa. Nan jangan gini dong. Gue khawatir.” wajah Nita berubah cemas. 

I am Fine Ta… Ga usah cemas.”  Aku melempar senyum tipis pada Nita.

“ Nan, si Bima ngajak nonton bareng.” Ucap Nita. 

“ Bima ? yang kating sosiologi ?” Ucapku. Jarang sekali Nita bercerita tentang lawan jenis. Ya seperti itulah efek jatuh cinta dapat membuat orang berbeda

“ Iya.. hahahah Gue sebenarnya udah naksir dan PDKT. Sorry baru cerita.” Ucap Nita. wajahnya memerah namun Aku dapat rasai kebahagian ada pada dirinya. 

“ Enak ya Ta. Gue iri. Aaaa. tapi Gue senang Lihat Lo bahagia.” Aku tersenyum lebar.

“ Ihh jangan iri gitu. Nan, walaupun si Dia ga sayang sama Lo. Gue..  sayang banget sama Lo. Pasti suatu hari bakal kejadian deh. Nemu Laki - laki yang beneran sayang. Kayak Secret Admirer  aja hehe..” Nita menggodaku.

“ Ih apaan sih. Serem.”

“ lho kok serem sih Nan ? “ 

“ Serem lah, gimana kalau misal yang katanya pengagum rahasia itu berubah jadi pembunuh rahasia ? “

“ Nan.. astaga.. Ga mungkin lah. Lo mikir logika banget. Ga berubah ya penuh kewaspadaan.” 

“ Ta.. Gue sebenarnya penasaran dan takut. Gimana kalau pengagum ini beneran teror Gue. Gue lapor polisi aja apa ya ?” 

“ Astaga… Nan, Selama dia ngirimnya bukan santet atau bom nikmatin aja. Trus gimana ? Lo tetap mau crush si anu ?” Ucap Nita sedikit berbisik.

“ Ganti topik lah.” 

“ Ihh.. kenapa ? dulu Lo percaya diri aja untuk confess langsung. Mana Pinan Gue yang pemberani. ? “ 

“ Udah mati.” 

“ Nan, jangan gitu dong. Lo coba aja ajak ngobrol Dia, selain nanya tugas atau bolos kelas.” 

“ Gue ga bisa cari topik. Gue iri sama Lo Ta. Lo bisa paham perasaan Lo maunya apa. Pernah gak sih ? Lo suka sama cowok tapi Bingung perasaan ini bentuknya apa dan berapa lama bakal sama ? Gue untuk hal sederhana ini aja Gak mampu. Gue lebih mampu ngerjain statistik pak Janur Ta..” keluh ku pada Nita. 

“ Ya makanya coba dulu aja. Ajak ngobrol di luar kampus. Lo juga,sekalinya pergi sama Dia cuma sekitaran kampus itu pun buat riset tugas yang sekelompok. Nan.. Nan.. Lo harus lebih santai lagi. Ajak aja Dia nonton atau apa kek.. diluar nugas. “ 

“ Gak bisa, nanti ketahuan kalau beneran suka.” Aku menutup mulut dengan tangan. Nita melihatku bingung. Benar pribadiku sudah hilang ditelan bumi. Sudah tidak ada Pinan si pemberani. 

“ Lo masih suka nulis Nan ? Tiba - tiba Nita bertanya padaku.

“ Masih. Apa hubungannya ?” ujarku

“ Nah.. Itu, nulis aja. Bikin Dia jadi tokoh utama di cerita lo.” Ucap Nita

“ Heh ?” 

“ Nan, Kalau Lo ga mampu ngaku ke Dia. Hidupkan aja Dia lewat sastra.” 

“ Aduh gak tau deh. Pusing.” 

“ Kenapa Lo gak mau confess ? “

“ Banyak Ta penjabarannya. Kalau ditulis bisa satu buku lebih tebal dari skripsi.” Ujarku. 

“ Cowok yang ini rumit ya Nan ?” 

“ Banget. Sampai rasa senang dan muak Gue rasain tiap hari” 

“ Hahaha… Yaudah tulis aja lewat cerita. Kalau Dia ga bisa dimiliki di semesta yang kita tempati, hidupkan Dia lewat cerita dengan semesta baru yang memang Lo suka Nan. ‘Semesta fiksi’ . Menulis fiksi itu menyenangkan Nan, bisa ciptain Dia sebagai tokoh utama laki - laki  dan  Boom…  Lo bisa suka tanpa ketahuan lewat fiksi yang diciptakan.” Ucap Nita. 

“ Gila si Ta.. Lo kadang pinter. Okeh. Minggu depan. Gue bakal mulai menulis biar ga stress.” 

“ Nah gitu dong.. Perasaan itu perlu disalurkan Nan, biar ga sesak. Lo ga perlu ngaku ke Dia tentang perasaan Lo. seenggaknya hati bisa lega aja. Fiksi itu bebas Nan. Lo paham pasti.”

“ Iya Ta.. makasih ya. Lo juga good luck sama Bima.” 

“ Iya.. sissy.”  Ia melemparkan senyuman hangat padaku. 

Saat sedang asik mengobrol tiba - tiba Ramdan kembali mengampiri Kami. 

“ Mana Ta.. lama banget nulis 3 soal doang.” 

“ Ini ya anjay. Ihhh bener - bener deh gak sabaran banget.” 

“ Nan, Gue pinjem ya.. Nanti Gue balikin.” 

“ Iya Ram.” dan ia berlalu. 


 

—----------------------

Sesampai di rumah, Aku menghela nafas berat. Hari yang melelahkan. Aku mencoba membuka laptop dan menulis tentang Ramdan. Kata demi kata kurangkai sedemikian rupa. Tokohnya sudah kuciptakan dengan mudah di luar kepala tentu saja karena Aku memperhatikannya secara detail. Inci demi inci, penampilan yang ia kenakan setiap hari sampai parfum yang ia gunakan. Sifat dan kebiasaan kutulis semua dalam bentuk sastra sederhana. Ku buat cerita dengan berbagai macam skeanrio yang Aku suka. 

Menulis sastra menyenangkan itu yang aku pahami. Dengan bebas, aku bisa menceritakan sosok Ramdan dalam semesta fiksi yang kuciptakan. Tiba - tiba saja terbesit niat untuk Publish tulisan ini di mading kampus. Dulu aku suka sekali mengisi mading dengan puisi dan cerpen. Namun sempat hiatus karena tugas kuliah yang menumpuk. Kuhubungi pengurus mading sore itu dan menyerahkan naskah cerpen yang sudah ku buat. Ya begitulah, aku mengungkapkan dengan cara yang berbeda dari biasanya. Lagipula Ramdan tidak terlalu gemar membaca dan aku yakin ia tak akan menyadarinya.

Ku kirim email ke pengurus mading. Namanya Ratna. Seperti bisasa ia menyukai tulisanku. Dan berjanji akan memuatnya di mading. Aku berterima kasih padanya. Usai menulis, ada perasaan lega. Seperti ada sebuah beban yang hilang karena dapat tersalurkan pada tempat yang seharusnya. Hari ini aku kembali pada pribadiku. 

Esoknya, para mahasiswa mengerubungi mading. Mereka membaca cerpen terbaru dan banyak dari mereka yang suka dengan karyaku. Cerpen itu menjadi buah bibir di kalangan kampus. Aku merasa senang dapat kembali menciptakan karya yang dibuat dengan sepenuh hati. Pagi ini beberapa orang bertanya padaku mengenai tulisan ini dan beberapa dari mereka ingin mengetahui siapa sebenarnya tokoh laki - laki dalam cerpen yang aku tulis.

Aku menjelaskan jika itu semua hanya imajinasiku saja. Hanya fiksi namun beberapa dari mereka tidak puas dengan jawabanku. Sampai tiba - tiba Ramdan menghampiri mejaku, ia gandeng tanganku. Kami berjalan keluar kelas. Beberapa pasang mata mengawasi kami berdua. 

“ Lo harus ikut Gue.” 

“ Mau  Kemana ? sedikit lagi kelas mulai“ 

Ia tidak menjawab. Ia terus berjalan membawaku menuju parkiran. 

“ Hei mau  kemana sih ? Ada kelas pak Januar Ram.” 

“ Bolos. Buruan naik.” 

Tanpa banyak bertanya, aku menurut dan naik keboncengan. Ramdan membonceng aku dengan kecepatan tinggi. Jantungku kembali berdegup kencang tak karuan. Ia diam seribu bahasa. Beribu pertanyaan tersusun rapi di dalam kepala. Sampailah kita pada sebuah cafe yang cukup jauh dari kampus. Kami berdua memasuki cafe itu. 

“ Mau minum apa Nan ? “ Ucapnya. 

“  Es coklat Ram?’   

“ Oke. duduk duluan aja, Gue ke kasir dulu.” ia berjalan. 

Aku duduk di pojok dekat jendela. Penculikan ini sudah dua kali ia lakukan, untungnya Aku masih membawa ponsel. Kulihat Nita menelponku berkali - kali. Maaf Ta, aku mau kabur sejenak dari rutinitas kampus. Karenanya aku abaikan pesannya. 

“ Nan… “ Ramdan duduk berhadapan denganku.

“ Iya Ram. kenapa ? “ 

“ Cerita Lo itu, kenapa tokohnya mirip Gue ? “ Ucapnya langsung pada point. Tidak basa - basi . Jantungku berdegup cepat. Aku tidak bisa menjawab. Diam seribu bahasa dan melayangkan pandang ke arah lain. Kuatur nafas sedemikian rupa. Bersiap dengan argumen yang sudah disusun dalam kepala. 

“ Mirip Lo ?” Aku pura - pura tidak tau. 

“ Iya. bahkan gambar ilustrasinya pun juga. Gue udah baca. Sampai abis.” 

“ Lah, tumben. Bukannya ga suka baca ? “ 

“ Penasaran Nan, beneran itu gue ? ” tak lama setelah itu, pramusaji membawakan pesanan kami. Detik itu aku merasa selamat meski hanya sesaat. 

“ Nan..  Lo suka sama Gue ?” Tiba - tiba pertanyaan ini keluar dari mulutnya. 

“ Jadi hari ini culik gue cuma mau nanya itu ?” 

“ Iya. itu salah satunya.” 

“ Aneh banget. Ram itu cuma fiksi. “ Aku mulai memberikan argumen.

“ Tapi gue ngerasa, itu diri gue yang jadi isi cerita Nan.” ujarnya. 

“ Ram, Lo bukan Juan dan Juan bukan Lo ini cuma fiksi aja. Mungkin itu cuma kebetulan.” 

“ Nggak Nan. Lo mending ngaku.” 

“ Apa yang harus gue akui  ?” 

“ Kalau Juan itu Gue.” Ucapnya. 

“ Ah gila, pede banget.” 

“ Nan, Gue tau betul orang yang perhatiin Gue. Entah untuk sekedar mengamati atau hal lain.” ia mulai berargumen. 

“ Terserah deh.” 

“ Nan..” 

“ Apa lagi Ram ?” 

“ Lo suka sama Gue ? kayak cerita yang Lo tulis.” 

“ Nggak.” 

“ Jujur Nan.” 

“ Lo kenapa si ? Gue ga suka di roasting kayak gini.” 

“ Jujur aja Nan.” suasana menjadi dingin. Baru pertama kalinya aku dibuat tidak  nyaman oleh sosok Ramdan yang selama ini aku puja. 

“ Terus kalau suka kenapa Ram ? mau jauhin gue kayak cewek yang waktu itu ? ga perlu, gue bisa menjauh tanpa disuruh.” Aku berdiri. Berlari keluar cafe dengan perasaan campur aduk. Ia tak mengejarku. Mungkin ia bingung. Aku kabur sambil menahan tangis. Ada perasaan kesal yang mengganjal hati. Tidak suka dengan situasi semacam ini.  

Aku memesan ojek online dan kembali ke kampus. Ya ini sudah diluar kendaliku. Aku pikir ia ga akan membacanya dan aku pikir ini semua tidak akan disadari olehnya. Semua dugaan itu meleset. Ia mengetahuinya dan lagi - lagi aku mengingkari janji pada diriku. Perjalan menuju kampus memakan waktu sekitar 40 menit dengan jalanan macet. Aku diam menahan tangis. Ketakutan dan merasa malu pada diriku sendiri.

Harusnya aku sudah tau resiko ini. Cepat atau lambat dia akan menyadari dan cepat atau lambat aku akan dijauhi. Begitu yang aku pikirkan mengenai kemungkinan yang akan terjadi. Lalu untuk apa bersedih dan merasa akan kehilangan ?  sedangkan aku tidak pernah memiliki Dadaku terasa sesak. Mencintai seseorang yang tidak seharusnya merupakan pembunuhan secara pelan - pelan pada jiwa dan hati. Karena yang namanya jatuh bukan sesuatu yang baik justru menimbulkan pelik. 

Sesampainya di kampus, aku tidak kembali ke kelas. Melainkan sembunyi ke belakang gedung. Aku berjalan untuk duduk di tempat yang aman. Disanalah tangis diam - diam ku pecah. Aku sudah tidak bisa menahan perasaan ini lagi. Semua ini menyiksa bagaikan sebuah hukuman yang dijatuhkan padaku. Aku benci jatuh padanya. Aku benci dirinya hari ini. 

Tangis itu pecah sedikit demi sedikit. Rasa sesak meluap seakan bumi tau jika aku tidak baik. Perasaan ku campur aduk. Sementara itu, Nita terus menghubungiku. Ia bertanya aku dimana, sedang apa karena tidak biasanya aku bolos kelas. Aku tidak siap bercerita padanya. Bahkan untuk kembali ke kelas pun aku tak sanggup.

Usai mata kulaih pertamanNita mencari ku. Ia khawatir padaku. Saat sedang mencariku tiba - tiba ia menabrak Ramdan. Nita langusng menarik tangannya dan mencerca dengan beribu pertanyaan. Ramdan, wajahnya sendu ia tak tau harus menjawab apa. 

“ Gue denger tadi pagi. Pinan dibawa sama Lo ? dimana  dia sekarang ?”

“ Gue ga tau Ta.” Ucap Ramdan. 

“  Gak tau gimana ?” 

“ Pinan pergi ninggalin Gue.”

“ Kalian ribut ? kenapa ??? ” Nita tak henti - hentinya mencerca Ramdan. 

“ Gue cuma nanya tentang cerpen yang Dia tulis Ta. Tapi dia sensi” 

“ Lo nanya apa ?” 

“ Cerpennya Ta. tokoh nya mirip Gue. disitu Gue nanya sama Pinan. Tapi dia marah banget.” 

Nita menghela nafas panjang. Ia merasa bersalah padaku saat itu. 

“ Terus Lo nanya apalagi ?” 

“ Gue tanya. Dia suka sama Gue apa nggak. “ 

“ Astaga.” 

“ Kenapa Ta.” 

“ Gue harus cabut nyari Pinan.” 

Nita mencariku dan berjalan ke gedung belakang dan disanalah ia menemukanku. Ia berlari menghampiriku. Seperti seorang ibu yang berhasil menemukan anaknya yang hilang. Ia peluk aku. Tangisku bertambah pecah. Seolah semua dunia runtuh. 

“ Lo gapapa Nan ? kenapa pergi tiba - tiba lagi.” 

“ Ga tau Ta..” aku menangis sesegukan. 

“ Maaf Nan, Maafin Gue. ini semua ide bodoh gue.” Nita meminta maaf padaku. Aku menggeleng karena ini bukan salahnya. Ini salahku yang menyebarkan tulisan di mading kampus. 

“ Dia udah tau Ta.. Dia bakalan jauhin Gue. “ 

“ Nggak Nan, dia gajauhin kok. It’s okay ” 

“ Gue ga paham sama hati Gue Ta. nggak pernah paham sama kondisi. Selalu egois. Gue capek di posisi kayak gini. Gue ga mau suka sama Ramdan lagi. Gue mau move on Ta.. Huhuu..” Tangis itu lagi - lagi tak bisa aku paksa berhenti. 

“ Nan… Udah ya. Besok, besok lo pasti baik. Gapapa Nan, nangis sampai Lo capek.” Ia peluk aku. Tangisku makin menjadi. 

Jika perasaan cinta adalah sebuah anugrah, kenapa aku bisa merasakan kesedihan yang begitu besar. Jika perasaan cinta merupakan bentuk tulus kenapa aku masih juga mengharapkan dirinya untuk terus berada di dekatku. Jatuh cinta tidak pernah sederhana lagi saat ini. Semua sudut pandang mengenai cinta terasa memuakkan untukku. Nita terus menerus menenangkan aku. Ya itu perasaan baru. Saat Ramdan sadar akan perasaanku justru bukan rasa senang yang aku rasakan melainkan rasa takut kehilangan. Rasa takut jika ia akan memberikan bentang jarak padaku. Kehilangan sosoknya sebagai teman. 

—-----------------

Aku kembali ke kelas dengan  perasaan tidak baik. Mata sembab, hidung merah karena habis menangis. Ramdan hilang tak tau kemana. Mata kuliah siang adalah Ilmu sosiologi. Aku tidak bisa fokus pada materi yang diberikan. Nita mencatat materi demi materi. Ia senggol sikuku.

It’s Okay Nan.. semua baik - baik saja.” Ucapnya. 

Aku hanya mengangguk. Senyum tipis terukir di wajahku.

Usai materi, Nita mengajak ke kedai es - krim. Untuk menghiburku. Ia temani aku. Sampai kedai aku tidak banyak bicara. Ramdan sukses merenggut pribadi ku secara utuh. Ya aku tidak bisa lagi kembali pada diriku yang berani. Aku pengecut dan lebih memilih lari. Konyol. Hanya karena sebuah karya fiksi aku bisa di posisi seperti ini. Harusnya aku tidak lari dan menghadapi. Namun hatiku tidak siap dengan sebuah jawaban, tidak siap dengan segala perubahan. 

Sekarang aku terus bertanya kenapa aku lari. Kenapa tidak aku sangkal saja seperti biasa ? aku sendiri pun tidak mengerti. Rasa warasku seperti sudah tinggal seinci. Aku semakin gila dibuatnya. Campur aduk dan tidak nyaman karenanya. Pertanyaan - pertanyaan mulai memenuhi kepala. Aku dia melamun, berpikir.

“ Nan, udah ya. Gapapa kok kalau dia tau. Sisi baiknya lo bisa tau jawaban dia kan. Selebihnya ya nan… kalau dia ga suka bisa bantu buat move on lebih cepet.” Nita menghiburku. Ia berikan es krim strawberry padaku. Walau selera makanku tidak lagi ada. 

“ Kalau ga bisa move on ?” aku menatapnya dengan putus asa. 

“ Bisa Nan, pasti bisa. Emang sehebat apa sih Dia ? harusnya lo tanya ke diri sendiri. Sehebat apa dia ? Kok bisa jatuh cinta sama segitunya ?.” 

“ Iya ya.. Sedih banget Ta.” 

“ Gapapa Nan. namanya jatuh cinta ga ada selamanya bahagia.” 

“ Ta.. makasih. Udah selalu bantu gue.” 

Anytime Nan.” Kami kembali berbincang di kedai es krim. Menceritakan berbagai hal dan kemungkinan. Sampai tiba - tiba ponselku berbunyi. Nomor dari orang tak dikenal. Karena penasaran ku angkat telponnya. Ada suara seorang bapak - bapak di ujung telpon. 

“ Mba Pinan ya. ? Ini saya mau antar barang mba. Sudah sampai kampus. Tapi ga ada orang.” 

“ Barang ? “ 

“ Iya Mba. boleh ke sini dulu nda ya ? biar saya bisa selesaikan orderannya.” 

“ Okeh. saya kesana.”  aku tutup telpon dan bergegas. 

“ Mau kemana Nan ? “ ucap Nita. 

“ Ke kampus. Ada paket buat Gue. Lo disini aja. “ Aku berjalan menuju kampus. Nita hanya diam memandangi aku yang mulai menjauh. Sesampainya disana, aku menemui driver yang tadi menelpon. Ada sebuah kotak hitam dengan pita merah diberikan padaku. Astaga orang ini lagi batinku. Benar saja tertulis insial tuan R disana. Masalah ini semakin berlarut. Aku kembali ke kedai es krim. Memberikan kotak hitam itu kepada Nita. 

Secret Admirer lagi ?” Ucap Nita. Aku mengangguk. 

“ Coba buka Nan.” Nita menyuruhku membuka isinya. 

Aku membuka kotak itu. Isinya dua batang coklat, sebuah boneka beruang dan bunga anyelir tanpa tangkai. Ada dua amplop disana. Kubuka surat iru dan kubaca dengan seksama kata demi kata ya ditulis disana. 

Surat Pertama 

Dear Pinan Pradipta,

Air matamu sudah cukup sia - sia jika hanya menangisi seorang pria. Hentikan tuan putri. Jangan begitu. Aku disini terus memperhatikanmu walau diri ini belum berani mengungkapkan siapa aku. Tuan putri ku. Jangan menangis lagi. Ku berikan dua coklat sebagai bahan bakar tubuh untuk menciptakan endorphins. 

Tuan R. 

Surat Kedua 

Dear Pinan Pradipta,

Jangan takut padaku Nan, aku hanya sekadar pengagum yang mulai sayanng padamu. Tunggu aku ya, kamu akan bertemu denganku suatu hari. Saat waktu paling baik. Jaga diri ya Tuan Putriku. Air mata mu lebih berharga daripada embun sejuk dipagi hari. Tuan R. 
 

 

Tulisannya penuh romansa. Aku tersenyum membacanya. Ada rasa harap dalam hati jika Tuan R ini adalah Ramdan. Namun ku hapuskan segala dugaan itu. Konyol, Aku bahkan tidak tau siapa pengirimnya. Komunikasi ini hanya berlangsung satu arah. Rasa penasaran aku pun mulai penuh. 

“ Gue harus cari tau. Ini siapa.” Ucapku. 

“ Caranya ? “ 

“ Nanti gue pikirin.” 

“ Nan, udah ya. Fokus aja kuliah. Sedikit lagi UAS. abaikan aja Nan. Gue takut lo gila.” Nita sangat khawatir akan kesehatan mentalku. 

“ Tapi cowok ini. Kenapa bisa tau Gue habis nangis ? Pasti dia anak kampus Ta.” Ucap ku lagi. 

“ Iya.. terus gimana Na  ? “ 

“ Gue bakalan nunggu sampe Dia beneran mau ketemu Gue Ta. selebihnya Gue akan cari tau sendiri. “  Aku tatap Nita dengan yakin. 

“ Udah Nan, jangan terlalu dipikirin. Santai sedikit ya.” Ucap Nita. 


 

—-------------------------------

 

Ramdan mengirimiku pesan. Ia meminta maaf atas kesalahan pagi tadi. Untuk pertama kalinya, kuabaikan pesannya. Aku kembali membaca fiksi kesukaanku. Berharap bisa melupakan Ramdan walau sejenak. Tak lama setelahnya ia menelponku. Tetap ku abaikan meski hatiku berontak hebat. Aku harus bisa selesai dengan perasaan ini. Walau rasa sayangku begitu besar. Tapi untuk apa sebuah rasa sayang jika pemiliknya saja tidak mungkin menerima. 

Pertanyaan itu kembali muncul dalm kepala. Aku ingat betul pertama kali jatuh padanya. Rasa bahagia tanpa takut akan terjadi bahaya. Tanpa takut resiko apa yang menghancurkan. Semua emosional ini membuatku gila. Seperti biasa, Bunda masuk ke kamarku. Bertanya padaku apa semua baik - baik saja. Namun tanpa menjawab pun Bunda selalu mengetahui apa yang terjadi padaku. 

“ Baik - baik saja Nak ? “ Ucap Bunda duduk di pinggir kasur. 

“ Sangat buruk. Ramdan tau aku bikin tulisan untuknya. Dia bertanya langsung padaku. Aku sangkal tapi dia nggak percaya. Gimana ya Bunda ?” 

“ Lho.. kenapa bingung ? mungkin dia juga memperhatikanmu nak.” 

“ Nggak mungkin ..” Aku menenggelamkan wajah pada bantal. 

“ Kamu paham betul dia ga suka baca ? lalu kenapa dia rela baca tulisanmu sampai selesai ? sudahlah Nak, nikmati saja. Akui semuanya juga bukan masalah besar. Penolakan nggak akan membuat dunia mu kiamat. Ada atau tidak ada dia. Duniamu akan sama. Jangan takut perubahan Nak, karena itu mutlak adanya.” Ucap Bunda menasehati. 

“ Aku ga siap Bunda. Kalau harus berjarak karena dia risih  sama aku.” 

“ Nan, itu sudah resikonya. Jatuh cinta tidak harus bahagia, tidak selamanya berbalas. Kadang kamu hanya perlu merayakan tiap perasaan yang tumbuh pada hati tanpa perlu banyak bertanya. Jatuh cinta tidak akan rumit jika kamu bisa menerima dengan tulus apapun keputusannya. Nak, ini bukan tentang di terima atau ditolak. Saran Bunda, lebih baik dia tau saja. Biar rasa penasaranmu bisa terbalas.” Bunda tatap aku lembut. Beliau tersenyum padaku. 

“ Iya Aku paham Bunda. Aku tidak akan membenci apapun takdirnya. Diterima atau di tolak perasaan ini hanya perasaan yang tumbuh tanpa aba - aba.” 

“ Cintai saja takdirnya Nak, apapun bentuknya. Semua akan baik.” 


 

—----------------------------


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya GARIS ABU - ABU | CHAPTER 4 - MALAM AKRAB
1
0
Tiga tahun lalu patah hati terhebatmu. Setelah itu kau menjelma menjadi pribadi baru. Sedalam apa kecewamu Ram ?Sampai sesal, kau pukul rata semua perempuan Sejahat itukah pujaan hatimu di masa lalu ?  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan