
Sudah berapa janji yang kalian ingkari untuk menuruti ego dalam diri ?
CHAPTER 2 - JANJI
Kenapa gak percaya janji ?
Karena sudah sering di ingkari.
Sudah berapa Janji yang kalian ingkari untuk membayar ego dan keinginan diri. Janji yang kumaksud adalah janji pada diri sendiri. Sejak perasaan dimalam presentasi, Aku sudah banyak ingkar janji pada diri ku sendiri. Awalnya Aku sudah berjanji hanya sekedar kagum padanya. Namun ego yang aku punya tidak demikian adanya. Perasaan ini menjelma menjadi bentuk lain dan mengingkari janji yang seharusnya Aku tepati. Janji akan perkara kepemilikan.
Pojok Coffee
Senin Sore,
“ Nan… Gue udah riset bagian ini. sisanya dilanjut besok ya.” Ucap Ramdan. Matanya lelah nampaknya ia kurang tidur atau mungkin tidak tidur. Ia mengenakan kemeja kotak - kotak hitam yang sudah ia buka kancingnya lengkap dengan kaos hitam didalamnya. Rambutnya tetap dikuncir satu ke belakang. Rambutnya semakin panjang. Secangkir kopi hitam yang tadi ia pesan sudah hampir habis ia minum. Hari ini Dia nampak berantakan.
“ Yakin.. ? Nanti gak dikerjain awas aja.” Lagi - lagi Aku satu kelompok dengannya. Sepertinya semesta memang suka main - main.
“ Iya Nan. Janji… Gue ngantuk banget. Gue gak tidur semalam.” Ucap Ramdan.
“ Begadang lagi ?”
“ Yoi.. Sambil minum sama teman - teman.”
“ Minum lagi ?”
“ Nan…”
“ Apa ? “
“ Gue mau pulang.”
“ Nggak. Kerjain dulu sampai selesai.”
“ Bu Ketua.”
“ Kapten ? “
“ Sejak kapan ?
“ Sejak Sekarang. Tolong Kapten kerjakan seluruh riset hari ini. Udah ah Ram, biar rampung kerjaan. Ga baik nunda - nunda.” Aku lanjutkan menulis beberapa riset untuk makalah dan bahan presentasi.
Ramdan masih juga malas - malasan. Ia tidak juga melanjutkan apa yang Aku perintahkan. Tentu saja tidak memang Aku ini siapa ?
“ Nan.. Gue beneran capek banget. “
“ Dikira Gue gak capek kali.”
“ Nan.. “
“ Ker-ja-in.”
Ia beranjak dari kursi. Aku meghela nafas dan siap mengamuk kalau saja ia nekat pulang. Namun dugaan ku salah. Ia pergi ke kasir dan memesan ‘Kopi Hitam’ lagi. Aku berusaha tidak memperhatikan. Ia kembali dengan segelas kopi di tangannya.
“ Yaudah Gue lanjut riset. Tapi Gue ngerokok dulu.” Ucapnya.
“ Yaudah. 5 menit.”
“ Apa - apaan..” Dia mulai memprotes.
“ 5 Menit atau ga jadi.”
“ Ih kejam banget.” ucapnya.
“ Biarin.”
“ Udah ketularan Nita. Kayak ibu tiri.”
“ Udah sana.” Aku masih juga sibuk dengan beberapa jurnal.
Ia pergi menuju ruangan smoking area.
Bisa dikatakan. Aku benci pria perokok. Itu dulu, Aku yang waras tentunya masih setia dengan kriteria yang Aku tentukan. Namun sudah Aku ceritakan di bagian awal kewarasanku sudah ia renggut habis - habisan dan itu membuat diriku kesal. Jatuh cinta memang perkara yang menyenangkan namun sekaligus merepotkan, itu Aku yang ketahui saat perasaan ini tumbuh. Ya begitu, selalu begitu. Aku tidak paham kenapa sebuah rasa kagum dapat membentuk perasaan lain dengan level yang lebih tinggi. Seperti bermain ular tangga dengan kocokan dadu namun yang Aku dapati adalah angka dengan anak tangga yang artinya naik dan naik. Ya seperti itulah rasa kagum ini terus naik ke anak tangga yang lebih tinggi menjelma menjadi perasaan lain yang Aku tidak pahami apa itu bentuknya namun yang Aku tau, ingin sekali memiliki Dia seutuhnya.
“ Nan.. Ayo lanjut lagi.”
“ Udah merokok nya ?”
“ Sudah Bu Ketua.” Ia kembali pada laptopnya dan melanjutkan riset miliknya. Aku memandangnya sesekali. Rambutnya nampak jatuh dan parfume yang ia kenakan beraroma sama seperti Parfume yang ia kenakan saat Kami berboncengan ke Warung Soto Bu Mir. Kuat dan maskulin. Bulu matanya lentik. Ku lemparkan pandangan pada gelas kopi di sebelah kirinya.
“ Ram.. Lo emang suka kopi hitam ya ?” Ucapku.
“ Iyalah.. Ini namanya Laki - laki sejati.” Ucapnya sok pede.
“ Dih apa hubungan Laki - laki sama kopi hitam ? “
“ Ada Nan. Karena pahitnya kopi hitam bisa dinikmati. Seperti hidup aja Nan, Kita butuh rasa pahit untuk menyeimbangkan hal - hal manis. Makanya ada senang dan sedih. Hidup ga cuma senang - senang aja Nan.” Dia menjabari
“ Dih apaan sih. Lo kayak bapak - bapak malah.” Ucapku.
“ Dihhh… kok bapak - bapak sih.?”
“ Astaga. Lo ga sadar ya Ram ? Lo kadang tuh ya, kesukaannya kayak bapak - bapak. Lo suka kopi hitam. Terus apa ini ? “ Aku menunjuk cincin batu yang ia kenakan. Sebenarnya sudah lama Aku ingin meledeknya. Tapi waktunya belum ada saja.
“ Kenapa ? “ ujarnya kebingungan.
“ Sumpah Ram. Lo kayak bapak - bapak. Suka kopi hitam, ngerokok, suka pake cincin batu.” Aku menyebutkan satu - satu.
“ Nan, Jadi selama ini Lo sebegitunya ya perhatiin Gue ?” ia melempar senyum jahil padaku.
Deg. Jantungku rasanya seperti dipaksa berhenti. Aku melayangkan pandangan ke arah lain. Namun aku sadar, Ramdan terus menatapku dan hal itu dapat kurasa karena kita duduk berhadapan. Bodoh Kamu Pinan. Kalau perasaan ketahuan. Ya udahlah batinku.
“ Nan serius ? “
“ Apa ?”
“ Lo suka liatin Gue kan ? Sampai detail.” Ucapnya.
“ Pede gila Lo.” ujarku menyangkal.
“ Ya habisnya. Lo bisa tau hal - hal yang Gue pake dan suka ? “ Ucap Ramdan
“ hmm.. Hmm..” Aku hanya berguman - guman.
“ Jangan - jangan…”
“ Apaan..”
“ Kita…. Satu fakultas.”
“ Sinting. “
Aku toyor kepalanya. Dia mengomel karena perlakuanku. Bodo ah, Dia ga tau aja kalau saja jantungku sudah melompat dari tempatnya. Bisa - bisanya Dia gak peka. Aku menahan rasa kesal sekaligus cemas. Astaga, Aku kira Dia menyadari perasaanku. Ah tapi tidak mungkin. Ramdan tidak sepeka itu. Ia hanya Ramdan dengan segala canda tawanya dan Aku ? Aku hanya Pinan dengan segala obsesi terhadapnya. Percakapan sore ini tentu saja membuat jantungku berdebar - debar.
Ya .. Aku berusaha untuk bersikap tenang di hadapannya.
“ Nan.. Tapi Kalau beneran naksir … Gapapa Kok.” Ucapnya tiba - tiba.
“ Dih dikira Lo ganteng kali.”
“ Lah .. emang ganteng, Selir Gue aja dua .” Ucapnya.
“ Hadeh… Dikira Gue mau kali sama Lo.”
“ Gapapa Nan.. Lo mau jadi yang ke tiga ?
“ Nggak.”
“ masih ada Nan slotnya.”
“ Nggak. Udah ah kerjain… “ Aku kembali sibuk dengan jurnal - jurnal ilmiah dan ia masih saja meledek Aku. Ia tertawa renyah. Astaga, rasa malu tak bisa Aku sembunyikan. Pipi ku merona namun Aku tutupi dengan kertas - kertas jurnal. Tidak boleh. Aku tidak boleh mengingkari janji pada diri ku sendiri. Janji untuk menjaga perasaan ini tidak ketahuan oleh mahluk bumi terutama Dirinya. karena Aku sudah banyak ingkar janji. Untuk yang ini Tidak boleh lagi.
“ Nan.. Lo ga punya pacar ya ?” Dia masih saja membahas hal yang berkaitan ke arah sana.
“ Nggak.. “
“ Kenapa ? “ pertanyaan ini serius sepertinya. Aku berusaha menenangkan diri. Berusaha mengembalikan pribadi ku. Mengendalikan air muka ku agar tetap tenang dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan.
“ Karena.. Kriteria Gue ada banyak Ram dan Belum nemu yang cocok aja.” Ucapku.
“ Cocok ya Nan ?”
“ Iya Cocok.”
“ Kalau Gue ? Enggak mungkin ya Nan.”
“ Hah ??” Aku terbelalak kaget. Aku ga mengerti arah percakapan ini. Apa jangan - jangan Ramdan punya perasaan yang sama denganku ? Astaga pertanyaan lain muncul dalam kepalaku. Padahal pertanyaan yang lalu saja Aku belum rampung untuk menemukan jawabannya.
“ Bercanda… Hahaha… Gak Nan gue bercanda. Ia tertawa renyah dan kusambut dengan tawa juga namun bukan tawa yang murni.
“ Ihh gila lo ya. Udah kerjain.” Aku kembali menyuruhnya untuk fokus pada tugas - tugas yang belum rampung. Sore yang sangat melelahkan. Seperti mendapatkan quiz dadakan namun tidak ditemukan hadiah di dalamnya. Sejak itu sudah Aku tegaskan Pinan dan Ramdan tidak akan bersama. Tidak akan.
—---------------
Malam Hari
Rumah Pinan,
Seperti biasa, Aku membaca buku fiksi kesukaanku. Kubaca halaman demi halaman. Malam ini Aku ingin fokus pada diri sendiri. Tidak mau memikirkan apapun. Aku rindu Pinan yang dulu. Diriku yang hanya menyukai buku - buku fiksi. Bahkan Aku jatuh cinta pada tokoh - tokoh di dalamnya. Ya.. apa boleh buat ? semua sudah berbeda sejak malam presentasi itu.
Jika dulu Aku jatuh cinta pada tokoh - tokoh di buku fiksi. Tidak dengan waktu ini. Waktu dimana Aku jatuh cinta pada tokoh nyata di kehidupanku sebenarnya. Ia bisa Aku pandangi setiap hari. Walau hanya dari kursi depan. Ia bisa berinteraksi dengan ku untuk mengerjakan tugas - tugas kuliah yang kadang membuat pusing dan terlebih ia berhasil memadamkan demam panggung dan menumbuhkan rasa percaya diri. Ya.. berwisata ke hari dulu memang sangat menyenangkan bila tentang orang yang kita sayang. Lho.. sayang ? sejak kapan sayang padanya. Ah benar sejak kapan Aku menyayanginya ? Aku sendiri tidak tau. Hanya satu yang Aku pahami, mungkin rasa kagum itu sudah naik level ke tingkat selanjutnya yaitu kasih sayang. Kasih sayang apanya ? mana ada kasih sayang hanya berlaku satu arah ? apa tidak terlalu menyedihkan ? Tapi ada yang bilang rasa sayang dan cinta itu bukan tentang kepunyaan melainkan ketulusan lantas mengapa hati ku masih juga keras untuk berusaha memilikinya ? Untuk bisa terus bersamanya.
Tok.. tok…
“ Nan.. Bunda masuk ya..” Suara Bunda terdengar dari balik pintu. Membuyarkan lamunanku. Ah benar, bahkan ke Bunda pun Aku tidak sanggup berbagi cerita mengenai dirinya. Terlalu memalukan.
“ Iya Bund..” sahutku.
“ Makan yuk. Bunda sudah masak sayur bayam kesukaanmu.”
“ Aku lagi gak mau makan Bunda.”
“ Lho kenapa ? gak kayak biasanya.”
Aku menggeleng.
“ Kenapa Nak ? “
“ Nggak.. Aku mau langsung tidur aja.” ucapku sambil senyum.
“ Pasti karena cowok ya ? Siapa ? “ Bunda terus menerus bertanya.
“ Ihh.. nggak kok… Pinan harus fokus kuliah, mana sempat mikir begitu.”
“ Nak, kamu tuh terlalu keras sama diri sendiri. Nikmati masa muda sekali dua kali untuk jatuh cinta bukan suatu kesalahan. “ Ucap Bunda menasehati.
“ Walau sama cowok begajulan ?”
“ Gimana Nan ? “ Ucap Bunda. Sorot mata Bunda teduh. Beliau nampak khawatir. Oh Bunda, tidak hanya engkau yang khawatir. Anakmu pun juga wahai Bunda.
“ Aku jatuh cinta sama cowok begajulan di kampus. Nita udah ingetin Aku tapi Aku ga bisa dengar. Jatuh cinta itu mimpi buruk buatku.” Ucap ku. .
“ Hahahaha. Ya ampun Pinan..” Aku kaget melihat respon Bunda yang malah tertawa disaat Aku kebingungan. Kukira, Bunda akan mencoret ku dari KK jika tau masalah ini. Sepertinya beliau tidak marah padaku justru tertawa. Benar - benar di luar dugaan.
“ Kok Bunda tertawa ?” Ujarku.
“ Nan.. masa muda itu cuma satu kali. Nikmati tapi jangan lewat batas. Kamu boleh menyukai, membenci, patah hati, senang dan sedih. Tapi ingat harus ada garis yang membatasi. Batas antara kesadaranmu. Batas bagaimana kamu mentoleransi setiap karakter teman - temanmu.”
“ Garis batas itu seperti apa Bunda ? “
“ Nan, hidup ini tidak melulu soal hitam dan putih ada juga warna abu - abu. Kita ga bisa menghakimi perilaku orang lain dengan satu sudut pandang saja tanpa tau menau mengenai duduk perkara. Karenanya bersikaplah bijak nak. Cowok yang kamu anggap serba minus pasti memiliki latar belakang yang Kamu pun tidak mampu untuk mengukurnya. Boleh saja Kamu jatuh cinta dengannya, tak perlu merasa bersalah nak. Nikmati saja bunga - bunga asmara. Akui saja perasaanya. Sejauh padangan melayang pun Kamu tetap memandangnya walau hanya dari jauh kan ? Jangan merasa bersalah dengan perasaan yang ada dihati mu.”
“ Tapi Aku ga suka perasaan ini Bunda.”
“ Berat memang Nak. Bunda paham betul dimana Kamu jatuh cinta dengan orang yang tidak seharusnya. Saran Bunda nikmati saja, sampai perasaanya kadaluarsa.”
“ Bagaimana kalau awet Bunda ?” Ucapku.
“ Itu tugasmu untuk tegas pada diri sendiri. Ambilah sikap yang seharusnya. Kalau sulit lepaskan pelan - pelan walau mungkin sakitnya tidak kau sukai nak.”
“ Aku tidak suka jatuh cinta. Jika begini merepotkan Bunda.”
“ Mustahil nak. Hati manusia pasti jatuh cinta selama hidupnya. Karena Cinta itu Anugerah dari Tuhan. Jangan risau, nikmati saja bunga - bunga asmaranya sampai kamu jenuh dan bosan.”
“ Jika tidak pernah bosan ?”
“ Bunda tidak bisa menjawab. Kamu harus temukan sendiri jawabannya.”
“ Kalau tidak ketemu ?”
“ Pasti suatu hari ditemukan. Percaya sama Bunda.”
Aku memeluk Bunda. Rasa nya tenang saat dapat berbagi cerita pada manusia yang tepat dan bisa memahami. Tentu saja Ibuku sendiri. Tidak ada yang bisa menggantikan Ibuku sebagai pendengar sekaligus penenang. Bunda ku. Bundaku sayang.
—------------
Sabtu Sore,
Pojok Coffee
“ Nomor yang Anda tuju sedang di luar jangkauan cobalah beberapa saat lagi.”
Aku sibuk dengan ponsel menghubungi Ramdan yang sejak tadi hilang tak berkabar. Kalau bukan karena tugas, Gak mungkin Aku sekeras kepala ini. Dua puluh dua kali Aku telpon namun ponselnya seperti terkubur di perut bumi. Musthail, ia tak bisa dihubungi. Kulayangkan pandang pada kaca jendela kafe. Sepertinya Dia tak jadi datang. Padahal Janji ini sudah seminggu dibuat.
Aku mulai kesal. Kutelpon lagi dan lagi. Hasilnya tetap sama. Ku kirim pesan pada Whatsapp miliknya. Terkirim terlihat centang dua namun ia juga tak kunjung membalas. Es Milo yang ku pesan sudah hampir setengah dan ketang keju pun sudah hampir dingin. Ku bolak balikan halaman buku fiski. Menunggu dan menunggu tak terasa satu jam berlalu dan Dia. Tak kunjung berkabar.
Tepat pukul setengah enam, pesan masuk ke layar posnelku. Kulihat pengirimnya. Ah Anak ini batinku. Ya itu Ramdan. Satu jam Aku menunggunya di Pojok Coffe untuk mengerjakan riset lanjutan ilmu politik. Namun ia tak datang dan sekarang baru memberikan kabar
“ Nan… Astaga. Gue ketiduran. Sorry. Lo masih di pojok coffee ? “ Begitu pesannya. Kubaca berulang kali. Rasa kesal pada dirinya ingin sekali Aku memaki. Tapi kalian tau ? Aku menjadi tidak professional lagi dalam berjanji, bahkan untuk diriku sendiri. Sejak kapan? Tentu saja sejak perasaan itu tumbuh di malam presentasi. Jangankan marah, mendengar ia mengabari saja debarannya masih terasa. Aku tidak mampu untuk marah padanya. Mungkin karena Aku sayang padanya. Dengan cepat ku balas pesannya.
“ Iya… Gue udah nunggu Lo sejam dari tadi.”
“ Nan astaga… Sorry yaaa Gue ketiduran. Kemarin Gue begadang bantu karang taruna dirumah Gue. Nan.. Lo masih disana ? Gue samperin ya.”
“ Karang Taruna ? “
“ Iya nan, karang taruna untuk perkumpulan anak muda. Ada festival rakyat gitu. Gue tugas bikin kostum karnaval. Udah dua hari Nan Gue gak tidur.”
“ Gitu. Dua hari ga tidur dan ga riset tugas ya ?”
“ Nan.. jangan marah.”
“ It’s Okay Ram, Yaudah Lo istirahat aja. Gue pulang.”
“ Nan Sorry banget. Gue beneran ketiduran. Gue kesana ya.”
“ Ram, Rumah Lo jauh. Gue udah capek nunggu. Gue mau balik aja. Udah ya.”
Rasa kesal itu memang ada. Namun anehnya Aku tidak bisa marah padanya. Aku merasa semakin tidak waras. Kalau Aku yang biasanya sudah pasti akan mengamuk dan sudah dipastikan Aku akan mengomel. Namun anehnya, Itu tidak bisa dilakukan dengan mudahnya Aku mentoleransi perlakuan yang kurang menyenangkan ini. Tiba - tiba ia kembali mengirimi Aku pesan
“ Nan.. Jangan marah ya. Besok Makan siang bareng yuk.” Ajaknya.
Senyum tipis tersimpul di wajahku.
“ Berdua ? “ Tanyaku.
“ Yaudah,Berdua. Besok Gue yang bayar. “
Rasa senang itu tidak bisa Aku bohongi. ‘ berdua’ merupakan kata yang sederhana dan makan siang dengan ‘teman’ kampus bukanlah suatu yang spesial. Namun seperti yang kukatan di chapter satu. Apapun yang berkaitan dengannya terasa sangat berbeda. Aku kembali menjawab pesan darinya.
“ Oke. “ Ya begitulah. Untuk menutupi perasaanku. Tidak boleh terlalu ketara dan senang. Aku harus bisa bersikap tenang. Harus bisa bersikap netral. Seolah cuek, seolah tidak peduli. Aku tidak ingin merusakan pertemanan yang sudah terjalin. Aku tidak ingin kehilangannya. Tidak ingin. Waktu sudah menujukkan pukul enam. Minuman dan makanan yang kupesan pun sudah habis. Aku memasukkan buku modul dan kertas jurnal. Ku Kemas barang - barangku dan bergegas pulang.
Sepanajang jalan Aku melamun. Laki - laki itu kembali mejajah pikiranku. Aku menjadi orang yang berbeda saat perasaan ini tumbuh. Rasa yang tumbuh bagaikan adonan roti yang mengembang sempurna dan siap untuk dipanggang. Semakin hari perasaan itu semakin tumbuh, semakin naik ke tingkat level yang lebih jauh. Kebingungan ini bukan yang kali pertama dan rasanya tetap sama. Sampai kapan mau ingkar janji Nan ? Ramdan tidak bisa kamu miliki. Ramdan tidak menyukai hal yang serupa. Makanya simpan saja sendiri ya.” Batinku.
—------------
KAMPUS P
Pukul 12.00
“ Nan, ke toilet yuk. “ Ucap Nita.
“ Nggak ah. Gue tunggu sini aja.” Aku sibuk dengan novel fiksi dan asik membaca.
“ Yehh. yaudah, Lo tunggu sini nanti makan bareng.”
Nita berlalu. Saat sedang asik membaca tiba - tiba Ramdan datang ke mejaku. Ia tarik tanganku. Kami keluar kelas. Aku tidak sempat membawa barang - barangku.
“ Ehh… Mau kemana ini ?” Ucapku padanya. Tanpa sadar Ia terus menggandeng Aku.
“ Kita makan Soto di Bu Mir aja ya ?” Ucapnya padaku.
“ Okeh. “ Aku hanya tersenyum tipis saja. Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir.
Siang ini ia menepati janjinya padaku. Janji untuk makan siang bersama, menebus kesalahannya saat ia ketiduran tempo hari. Sesampai disana Ia menurunkan footstep motor agar Aku lebih mudah untuk naik ke boncengan. Astaga perlakuan sederhana ini jika ia yang melakukan tentu saja menjadi istimewa
“ Ayo Nan.. “ Ucapnya. Aku naik ke boncengan dan Kami berjalan menuju Warung Soto Bu Mir Sama seperti waktu itu bedanya, Kita pergi berdua saja tidak dengan teman - teman, tidak untuk mengerjakan tugas. Bagiku ini merupakan momen yang berharga. Ya seperti yang Aku bilang, Kami bisa sangat dekat di satu hari dan menjadi orang asing di hari lain. Memang sangat beragam bentuk sinyal yang ia kirimkan untukku dan payahnya Aku tidak sehandal itu untuk menebak - nebak. Tidak sepandai Aku menganalisis jurnal ilmiah atau tugas kuliah.
Hari ini ia nampak berbeda. Rambutnya ia gerai saja tidak ada kuncir dikepalanya. Parfumnya masih sama kuat dan maskulin. Ia mengenakan sweater abu - abu, celana panjang berwarna coklat dan sepasang seapatu putih melengkapi kakinya. Ya Aku bisa memperhatikan setiap inci dan detail yang ia kenakan. Begitulah pekerjaan pengagum rahasia. Sesampai di warung soto, Kami duduk di pojok ruko dengan bangku plastik merah. Kami duduk berhadapan. Kupesan soto tanpa nasi dan air putih hangat. Sedangkan Ramdan memesan soto, nasi dengan teh tawar hangat.
“ Nan.. Lo ada cash gak ?” Ucapnya.
“ Ada sih, ini cuma lima puluh ribu.” kataku.
“ Gue belom ambil uang. Gua pinjam dulu ya. Nanti Gue transfer.”
Aku mengangguk.
“ Ram, Lo emang dari dulu bandel ya ?” Ucapku mencairkan suasana.
“ Iya.. gitu Nan, namanya juga cowok hahaha..” Ucapnya lagi. Ia tertawa renyah. Ia menyibak rambutnya ke belakang.
“ I see. Trus sejak kapan mulai ngerokok ?”
“ Sejak sekolah dasar.” Ucapnya
Air mukaku berubah kaget. Ramdan bisa membaca ku dan malah tersenyum jahil.
“ Santai aja Nan, Namanya juga cowok.”
“ Trus ? Nyokap Lo gimana ? Pas tau Lo ngerokok.”
“ Hahaha.. Di gampar Nan.”
“ Heh ? Nyokap Lo galak ya ?”
“ Ya gitu Nan, Tapi kan Gue sayang sama nyokap Gue.” Katanya lagi.
Aku mengangguk. Kami mengobrol sambil makan. Ia bercerita banyak hal mengenai dirinya dan percakapan ini membuat Aku selangkah lebih maju untuk mengenalnya. waktu pun berjalan terus dan baru ku ingat Nita. Aku pergi tanpa membawa apapun selain uang limah puluh ribu di saku celana, ponsel pun tertinggal di kelas.
“ Nita pasti cari Gue.” Ucap ku.
“ Ya ampun Nan. Nyesel ya Gue culik. Mau balik sekarang ? Pasti si nenek lampir udah nyariin deh ahhaha”
“ Ihhh ga gitu Ram, tapi Nanti aja deh. Hmm.. makasih ya makan siangnya. Lain waktu Gue yang traktir.”
Ia mengangguk dan tersenyum. Namun untuk ajakan traktiran ia tidak merespon. Aku pandangi Dia. Bohong jika hal ini biasa saja. Beberapa detik terasa terhenti. Aku melemparkan pandangan ke arah lain.
“ Tapi Nan, Nyokap Gue ngasih bebas sih. Asal satu.” Ucapnya. Ia mencairkan suasana.
“ Apa Ram ? “
“ Nyokap pernah bilang terserah mau bandel kayak apa asal satu, Jangan main perempuan.”
“ Lah.. di kampus ?”
“ Itu cuma gossip Nan. Trus Gimana sekarang ? “
“ Apa yang gimana ? “
“ Masih suka sama Gue ?”
Deg. Aku mematung. Ia memandangi ku lurus. Binar matanya menunggu jawabanku. Aku mengatur nafas agar tidak terlihat gugup. Saat ia bertanya begitu dengan tegas kujawab padanya.
“ Kenapa nanya kayak gitu ?”
“ Lo baik sama Gue. Kenapa Lo ga marah pas Gue ketiduran ? harusnya kan Lo ngamuk.”
“ Ram.. Gue cuma toleransi.”
“ Karena Suka ? “
“ Nggak. Karena kita teman. Ayo pulang. Sedikit lagi mata kuliah mulai.” Aku sangkal dengan tegas agar tidak ketauan. suasana berubah menjadi tidak enak.
Aku berdiri berjalan lebih dulu menuju kasir. Usai membayar, Kami kembali ke kampus. Di perjalanan Aku tidak banyak bicara, kembali Aku melamun. Selama ini bukan hanya janji yang Aku langgar namun batasan sikap ku pun tidak normal. Ya Aku sudah salah sangka. Aku pikir ia tak dapat membaca ku namun itu dugaan yang salah. Ia menyadarinya setiap perasaan yang Aku curahkan walau secara diam - diam. Sesampainya di kampus, Nita menghampiriku tanpa banyak tanya ia tarik lenganku dan menjauh dari Ramdan.
“ Ta.. santai aja. Pinan aman kok “ Ucap Ramdan. Namun Nita tidak menggubris. Ia terus menarik tanganku. Saat jarak sudah sangat jauh Nita pun mulai mengomel dengan nada khawatir.
“ Astaga… Apa lo lakuin Nan ? kemana aja ??”
“ Tunggu…Gue bisa jelasin.”
“ Nan sumpah … Lo PDKT sama tuh cowok begajulan ?!!”
“ Nggak Ta. Ga gitu.”
“ Nan.. Gue sayang Lo. Gue nggak restuin Lo sama Dia. Sekarang cerita. !”
“ Ta.. Kita cuma makan siang aja. Dia udah janji mau bayarin makan siang karena sabtu kemarin Dia ga datang buat nugas dan Gue udah nunggu 1 jam.”
“ Hahhh…”
“ Iya gitu.”
“ Nan.. Lo udah gak normal. Mana ada Pinan kayak gitu ? Pinan yang Gue kenal ga sesabar itu. Ga begitu toleransi apalagi soal waktu. Lo kenapa Nan ? Lo jangan bohong ke Gue terus. Kita ini sahabatan Nan.” Ucap Nita. Ia mengomel. Raut wajahnya khawatir. Ya Aku memang sudah menjadi perempuan yang ingkar janji bahkan pada prisnip ku sendiri. Jatuh cinta telah mengubah pribadiku. Tak sampai hati Aku berusaha untuk kembali pada diriku yang dulu. Namun itu semua seperti sebuah permainan yang tidak ada habisnya. Aku ingin sekali bercerita pada Nita mengenai kegusaran hati yang sudah melanda diriku selama ini. Namun berat rasanya untuk memulai semua.
Aku tidak sanggup jika ada orang lain yang mengetahuinya. Tidak. Bahkan Ramdan sendiri pun sudah mulai menerka atas ketidaknormalan yang diriku lakukan. Nita benar, Aku tidak akan setuju dalam toleransi waktu, Aku tidak suka kata terlambat. Namun saat Ramdan yang melakukan dengan mudah Aku memaafkan. Dengan mudahnya. Ini suatu kejanggalan. Ku atur ulang nafasku dan kembali pada pribadiku. Ku genggam tangan Nita.
“ Ta.. Gue minta maaf. Selama ini Gue udah sering bikin Lo khawatir.”
“ It’s Okay Nan.. Lo kenapa ? cerita Nan.. Gak gini.”
“ Ta… Gue… cinta sama Ramdan.” akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku. Nita menatapku kaget. Air Mukanya berubah khawatir seperti seorang ibu yang cemas akan masa depan anaknya dan si anak dengan keputusannya merasa semua akan baik - baik saja.
“ Nan… Lo di pelet ? “ Ucap Nita.
“ Nggak Ta. Gue sadar.”
“ Nan.. astaga ga mungkin.. Gue ga rela. Arghhh Dia pasti godain Lo kan ? “ Nita mengepalkan tinju seakan ingin menghajarnya.
“ Ta.. tenang… ini semua emosional Gue aja. Gak ada yang salah” Ucapku.
“ Dengar ya Nan, Lo bisa dapat cowok yang lebih baik dari Dia. Astaga Nan… sesayang itu lho Gue sebagai bestie.” Nita memegang kepalanya dengan kedua tangan seakan pusing oleh perilaku ku selama ini.
“ tenang Ta.. “
“ Nan, Gue cuma berharap Lo bahagia, tapi kalau cowoknya Ramdan. Gue ga yakin Nan.”
“ Gue bahagia Ta..”
“ Nan, Gue ga bisa larang. Tapi take yourself sissy. Gue sayang sama Lo Nan.” ia peluk Aku.
Usai kelas, Nita pulang lebih dulu. Ia berkata sudah ada janji. Aku berjalan menyusuri lorong - lorong kembali melamun. Namun lamunan itu buyar saat ada seseorang memanggilku.
“ Kak Pinan .. Kak Pinan .. “ Aku menengok menuju sumber suara. Ternyata seorang perempuan sepertinya adik tingkat.
“ Ohh.. Hai… “ ucapku.
“ Kak Pinan kan ? “
“ Iya benar.”
“ Ini “ ia memberikan sebatang coklat padaku dan secarik kertas.”
“ Ini maksudnya apa ?”
“ Nggak tau. Tapi tadi ada cowok kasih ke Aku. Katanya suruh kasih ke Kakak.”
“ Siapa nama cowoknya ? “ Aku bertanya pada perempuan itu. .
“ Dia ga mau kasih tau. Ini cuma titipan aja. Duluan ya.” Perempuan itu meninggalkan Aku dengan coklat dan secarik kertas.
Kubuka kertas itu dan beirisi tulisan.
Dear, Pinan Pradipta
Semua akan terasa manis jika dikaitkan dengan hadirmu. Seperti coklat yang dimakan untuk menambah endorphine dalam tubuh indahmu . Salam hangat. Aku pengagum rahasiamu.
-Tuan R -
Siapa Dia Tuan R ? permainan macam apa ini ?? Aku mematung dengan pertanyaan yang belum juga selesai. Lantas kapan waktu untuk berhenti pada perkara hati dan memperbaharui janji pada diri sendiri ? Tidak tau. Aku tidak tau. Satu yang kupahami sebuah teka teki, baru saja menghampiri Aku.
—----------------------
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
