
Pemilik Warung Makan Indomie itu bernama Indah. Sayangnya hidupnya tak berjalan seindah namanya. Pada usianya kini yang telah menginjak kepala tiga, ada tekanan-tekanan yang Indah hadapi:
Pertama, tekanan berat badannya sendiri.
Kedua, tekanan dari ibu yang memintanya untuk segera bersuami.
Masalah utamanya adalah kedua tekanan itu sama-sama bikin tekanan darah Indah meningkat! Jadi, bila ditotal, Indah sekarang punya tiga tekanan yang harus diatasi!
Masalah yang tak kalah pelik berikutnya adalah… orang bernama Indah itu adalah diriku!
Pemilik Warung Makan Indomie itu bernama Indah. Sayangnya hidupnya tak berjalan seindah namanya. Pada usianya kini yang telah menginjak kepala tiga, ada tekanan-tekanan yang Indah hadapi:
Pertama, tekanan berat badannya sendiri.
Kedua, tekanan dari ibu yang memintanya untuk segera bersuami.
Masalah utamanya adalah kedua tekanan itu sama-sama bikin tekanan darah Indah meningkat! Jadi, bila ditotal, Indah sekarang punya tiga tekanan yang harus diatasi!
Masalah yang tak kalah pelik berikutnya adalah… orang bernama Indah itu adalah diriku!
Kadang memikirkan nasib membuatku pusing seharian. Lagipula, apakah masuk akal seseorang dengan bodi pendek dan tubuh gendut sepertiku berani mengharapkan jodoh datang sebagaimana kembang yang didatangi sejuta kumbang? Mustahil!
Huft!
Selama ini, aku sebetulnya sudah merasa sangat cukup dengan keadaanku. Selama persediaan Indomie di warung makan ini terus ada, maka itu sudah membuatku bahagia. Aku mencintai pekerjaannku lebih dari apapun! Urusan pasangan? Aku tak pernah benar-benar memikirkannya sampai usiaku yang sekarang, usia tiga puluh yang mengundang banyak sekali kalimat-kalimat yang mengusik hidupku yang semula indah—sebagaimana namaku.
Gadis tidak laku! Perawan tua! Gendut! Raksasa pendek!
Itu adalah sebagian caci yang pernah kuterima. Meski semua perkataan itu berusaha untuk tak terlalu kuambil pusing, tetapi Ibu tentu tidak terima anak gadis satu-satunya dimaki-maki. Ibu ingin membuktikan bahwa anaknya tidaklah seperti yang orang-orang itu katakan.
Karena hal itu, sebulan terakhir ini, Ibu tak pernah absen mengingatkanku untuk mengurangi mengonsumsi Indomie. Menurut Ibu, tubuh tambunku adalah alasan jodoh sulit datang dan penyebabnya adalah Indomie yang selalu kukonsumsi. Padahal, kalau diamati lekat-lekat, justru gen Ibu yang terlalu dominanlah yang membuatku bertubuh gembrot seperti sekarang. Lihat saja, antara tubuhku dan Ibu hampir sulit dibedakan!
“Ya, gini-gini juga Ibu tetap laku, Ndah! Buktinya Bapak kau tertarik juga sama Ibu, kan?!” demikian Ibu membela diri dengan logat Medan khas miliknya, setiap kali aku mengusik tentang gen beliau yang menurun padaku.
“Ibu beruntung punya Bapak yang menerima Ibu apa adanya,” kataku jujur.
“Bapak yang beruntung ketemu Ibumu.” Bapak menambahkan, membuat Ibu diam-diam tersipu di depan wajan.
Dan begitulah drama romantis itu terjadi setiap hari di warung ini, sementara aku hanya akan berakhir jadi pemain figuran yang digaji semangkuk Indomie Kari Ayam.
Berbanding seratus delapan puluh derajat denganku dan Ibu, Bapak yang sekarang sedang asik menyeruput kuah Indomie Coto Makassar, justru tampak begitu bugar dengan badan yang proporsional. Padahal selama ini moto bapak adalah Tiada Hari Tanpa Indomie Coto Makassar. Makanya, sudah sejak lama aku mencoret daftar Indomie sebagai penyebab utama badanku berbentuk seperti ini.
“Indomie, please… .”
Suara Bapak memecah gelembung lamunanku. Beliau kini berdiri di hadapanku, bertingkah seolah-olah menjadi seorang pelanggan dengan mengucapkan tagline khas warung kami. Sejurus dengan itu, aku baru menyadari hujan ternyata telah lama berhenti.
“Bapak, ngagetin aja deh!”
“Dari tadi melamun, apa yang ko pikirkankah?” tanya Bapak dengan aksen khas daerah asalnya; Makassar. Aku hapal benar, kalau aksen daerahnya itu sudah keluar, maka berikutnya nasihat-nasihat beliau akan menyusul. “Perkataan orang-orang itu, janganmi terlalu ko ambil hati.”
“Tidak ji, Pak.”
“Indah, Bapak tahu benar apa yang ada dalam hatimu sekarang. Kamu tahu? Ibarat Indomie yang banyak variannya, masing-masing akan menemukan peminatnya. Tidak semua orang suka rasa Coto Makassar sebagaimana Bapak begitu menyukainya. Tidak semua orang suka rasa Kari Ayam sebagaimana kamu begitu menyukainya.” Ucap Bapak sembari tangannya menunjuk satu persatu varian Indomie yang ia sebutkan di etalase.
Aku menyimak baik-baik kalimat Bapak.
Bapak kini berbalik, menunjuk para pelanggan, “Lihat pelanggan-pelanggan kita, ada yang lebih suka Original, Ayam Pop, Soto Banjar, Soto Padang dan lainnya. Semua varian itu ada penggemarnya sendiri-sendiri. Maka, manusia juga pasti begitu. Tidak semua orang suka yang bodinya tinggi dan kurus. Tidak semua orang suka yang kulitnya putih.”
Aku mengangguk, mulai mengerti arah pembicaraan Bapak.
Bapak mengambil jeda sejenak dan menatapku lamat-lamat, “Jadi, tidak perlu mengubah diri kamu hanya untuk menarik di mata orang lain. Cukup cintai apa yang diberkan Tuhan padamu, maka Tuhan akan memberikan orang yang tepat untukmu.”
Itulah Bapak, selalu bijak dengan perumpamaan-perumpamaan sederhana miliknya.
“Terima kasih, Pak.” ucapku tulus.
Bapak hanya membalas dengan anggukan samar lalu buru-buru keluar mengambil papan nama warung yang tulisannya telah luntur akibat tampias hujan.
Indomie please…
Temukan seleramu di sini!
Begitulah Bapak menuliskan kembali tagline warung kami dengan kapur di atas papan berukuran sedang itu.
***
Udara yang masih sejuk setelah hujan membuat warung jadi lebih ramai. Semangkuk Indomie memang selalu menjadi pilihan tepat untuk menghangatkan tubuh. Tanganku kini sibuk menerima dan mengoper mangkuk dari pelanggan yang berisi sebungkus Indomie untuk dimasak oleh Ibu dan Bapak. Antrian di hadapanku juga lebih panjang dari biasanya. Dan tagline ‘Indomie please…’ menjadi lebih sering kudengar hari ini.
Setelah hampir dua puluh menit, aku mengembuskan napas. Akhirnya antrian yang semula mengular kini hanya menyisakan seorang pelanggan lagi.
“Indomie please… “ ucap pria yang menjadi pelanggan terakhir itu sembari menyerahkan mangkuk berisi sebungkus Indomie Goreng.
Tunggu… sepertinya aku familiar dengan pelanggan satu ini. Pria bertubuh tinggi dengan badan tegap. Rambut klimis yang terpotong rapi. Dan sebuah lesung pipit yang mencuat ketika ia tersenyum samar!
Indomie goreng yang dibuat jadi kuah ya, Mbak. Dan itu adalah kalimat yang selalu pria ini ucapkan setelah mengucapkan tagline, setiap hari selama sepekan terakhir ini.
Ternyata hari ini dia datang lagi.
“Indomie goreng yang dibuat jadi kuah, kan, Mas?” tebakku, mendahuluinya.
Pria itu tersenyum. Kini senyumannya lebih lebar dari biasanya dan kini ia refleks memegang tengkuknya, seperti salah tingkah. “Mbak Indah sudah hapal ya ternyata?”
Kini aku yang keheranan, “Mas tahu nama saya?”
“Saya sudah beberapa kali mengobrol dengan Pak Gani setiap kali ke sini dan saya juga sempat menanyakan nama Mbak,” Jelasnya menyebut nama Bapak. Ia lalu menambahkan, “Nama yang indah, seindah pemiliknya.”
Alih-alih terkesan mendengarnya, justru aku rasanya hampir mual saking tidak terbiasanya menerima pujian semacam itu.
“Oh iya, saya Regi.” katanya sembari mengulurkan tangan. Aku membalasnya dengan menyebutkan namaku. “Senang berkenalan denganmu, Indah.”
“Sejak hari pertama saya makan Indomie di sini, saya takjub bagaimana kamu begitu bersemangat melayani pelanggan yang sifatnya macam-macam. Aura positif selalu terpancar dari dalam diri kamu yang selalu menyempatkan senyum bahkan pada mereka yang jutek dan cuek.” ungkapnya.
Aku bingung menanggapi kalimatnya yang kini terkesan serius.
“Dan di sini, ternyata saya tidak cuma menemukan seleraku sesuai tagline warung ini,” Regi menunjuk papan nama yang tadi ditulisi oleh Bapak. “tapi di sini, ternyata saya juga menemukan pujaan hatiku.”
Aku benar-benar diam seribu bahasa dibuatnya.
“Maaf karena saya baru berani menemui dan berbicara langsung denganmu sekarang. Jujur saja, saya tertarik padamu sejak awal, tetapi saya bingung harus memulainya dari mana. Jadi, beberapa hari lalu saya lebih dulu menemui Pak Gani dan mengobrolkan niat baikku.”
HAH?!
Aku celingak-celinguk, berusaha menemukan kebaradaan Bapak dan Ibu, sampai akhirnya mataku menangkap keberadaan mereka di kursi pelanggan. Mereka mengamatiku dan Regi seperti sedang menonton pertunjukan. Tidak hanya mereka, bahkan seluruh pelanggan yang banyak tadi kini memusatkan perhatiannya ke arahku.
Kalimat demi kalimat yang diucapkan Regi membuat jantungku berdebar seolah mengantisipasi sesuatu.
Regi tiba-tiba merogoh sakunya tapi ia tidak menemukan apa-apa kecuali pulpen, “Indah, saya boleh minta bungkus Indomie?”
HAH?!
Meski bingung setengah mati karena buta paham arah pembicaraan Regi, permintaannya tetap kuturuti.
Regi menerima bungkus Indomie itu, merobeknya, kemudian menulis sesuatu di sisi putihnya.
Ia menunjukkan tulisan itu padaku.
“INDOMIE, PLEASE?” katanya, mengucapkan kembali apa yang ia tulis.
HAH?!
“Indah, would you marry me, please?”
Sungguh, permainan takdir sangatlah lucu, kataku dalam hati.
-SELESAI-
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰