
Bab 40
Bab 40
Liana baru saja masuk ke dalam kamar rawat Riana dengan Harun di sampingnya, dan dia langsung disambar dengan wajah panik semua orang.
"Liana," panggil Gita mendekat. Memegang pundaknya dan memutar-mutar tubuhnya. Seakan memeriksa keadaan wanita itu saat ini.
"Ma, kenapa?" Harun bertanya heran. Begitu pun Liana yang menatap mertuanya tak mengerti.
"Kamu baik-baik saja, nak?"
Meski masih terlihat heran, Liana tetap mengangguk. Melirik Harun yang sama tak mengertinya.
"Oh, syukurlah. Mama sudah khawatir tadi." Ucap Gita lega.
"Khawatir kenapa?" Harun tak tahan untuk tidak bertanya.
"Tadi Gala ke sini, dia kayak orang panik gitu nyari Liana." Jelas Riana. Menjawab kebingungan dua wanita di depannya.
Liana menahan nafas mendengar penjelasan Riana, ekor matanya melirik Harun yang kini hanya berdecih.
"Kenapa dia? Merasa kehilangan istrinya?" Tanyanya begitu sinis. Yang dibalas Gita dengan pukulan di lengannya.
"Ma,"
"Kamu pasti yang jailin dia, kan? Kamu bawa-bawa istrinya tak bilang-bilang?"
"Loh, kok Harun, sih?"
"Terus siapa? Liana gak mungkin bisa keluyuran kalau gak di ajak-ajak sama kamu." Harun melotot mendengar tuduhan mamanya. Mulutnya menganga tak percaya.
"Mama, ih, kok malah Harun sih yang diomelin?"
"Terus siapa? Gala?" Gita kian melotot galak. "Dia udah kayak orang panik dari tadi. Mama aja sampai di marahin gara-gara nanya-nanya terus." Omel Gita.
"Kamu itu bisa gak, sih. Jangan jahil sama adiknya. Udah tahu Gala kalau marah udah kayak orang kebakaran jenggot. Masih aja suka iseng. Liat aja nanti, gimana dia ngomel-ngomel karna masalah ini. Mama males ya, kalau nanti dia ngomel-ngomel."
Melihat kakak iparnya dimarahi oleh mertuanya. Membuat Liana meringis-ringis. Merasa tak enak karna kakak iparnya yang menjadi sasaran.
"Dia gak akan berani ngomel, ma. Yang ada itu kita yang harus ngomelin dia! Ngasih pelajaran sama dia." Kesal Harun. "Dia itu, udah salah gak mau disalahin."
Gita menggeleng, benar-benar putus asa menghadapi dua anaknya yang sama-sama keras kepala.
"Udah lah, terserah. Mama gak mau ikutan kalau nanti Gala marah-marah."
"Ma," Harun berseru kian kesal. "Mama tahu gak, sih. Apa yang udah Gala lakuin ke--"
"Mbak," Liana beringsut mendekat. Membuat ucapan Harun berhenti diujung lidah.
"Apa?" Gita bertanya heran karna Harun tak melanjutkan kata-katanya.
"Ma, ini cuman salah paham. Tadi itu Liana yang menghubungi mbak Harun duluan. Minta anter ke sini. Jadi bukan salah mbak Harun."
Seakan kata-kata Liana adalah sebuah hal yang patut langsung dipercayai. Gita langsung mengangguk mengerti. Membuat Harun yang melihatnya pun melongo.
"Ya udah kalau gitu, gak papa. Nanti mama bantu bilang sama Gala." Ujarnya begitu manis. Yang disambut decakan kesal Harun.
"Yang anak mama itu aku apa Liana, sih? Kenapa mama pilih kasih."
Sekali lagi, tangan Gita melayang di lengan Harun, membuat wanita itu meringis. "Sakit, ma." Rengeknya.
"Itu mulut kamu belum pernah mama cabein, ya?"
"Iss,"
"Kamu sama Liana itu sama-sama anak mama. Gak ada bedanya." Omel Gita yang semakin garang. Membuat Harun seketika menciut. "Semua yang ada di sini itu anak-anak mama. Gak ada yang boleh beda-bedain." Tegur Gita, yang seketika membuat Liana terdiam kaku. Dia hanya bisa terdiam tanpa bisa melakukan apa pun.
Jantungnya berdebar hebat, seperti dipaksa memompa kuat. Semua kata-kata Gita terasa menamparnya telak.
Dari semua itu, ada sejuil rasa sakit yang menjalar di tubuhnya. Membuat dia semakin merasa berlipat-lipat terluka.
Jika nanti dia pergi, melepaskan semua ini. Masih ada kah di luar sana yang akan menyayanginya seperti ibu mertuanya ini? Masih ada kah yang akan peduli padanya saat dia merasa sakit.
Tak ingin lagi menjatuhkan air matanya, Liana sedikit mendongak, menghirup dalam-dalam udara sekitar.
Semua akan baik-baik saja. Semua hanya butuh waktu.
Tapi, untuk orang-orang sepertinya. Yang tak memiliki siapa pun di dunia ini. Yang tak memiliki tempat bersandar sedari kecil, keluarga, tempat mengadu dan juga berteduh. Akan sangat berlipat-lipat sakit jika harus melepaskan setitik kebahagiaan seperti ini.
Akan sangat menyakitkan saat dia harus hidup seorang diri tanpa ada orang lain yang bisa dia jadikan pundak dan tempat mengadu.
"Iya-iya."
Harun, dia seakan paham bagaimana perasaan Liana saat ini. Apalagi saat dia merangkul pundak Liana, menggoyang-goyangkan tubuhnya agar tak lagi larut dalam kesedihannya. Sejenak dia teringat dengan obrolan mereka di restoran tadi.
"Sebenarnya, aku pengen kamu bertahan, Li. Aku gak mau kehilangan adik sebaik kamu." Harun tertawa kecil. "Tapi aku bakal jadi orang paling egois kalau seandainya tetap maksa kamu buat bertahan diantara rasa sakit itu, kan?"
Liana diam, menunduk dengan perasaan diremas-remas.
"Bukan aku membela Gala karna dia adik ku. Bukan.
"Aku cuman kayak, belum rela kalau kamu bener-bener harus pergi sejauh itu."
"Mbak bisa kunjungi aku kapan pun mbak mau." Tawar Liana. "Mbak juga bisa hubungi aku kapan pun."
"Iya, tapi aku gak bisa lepasin kamu sejauh itu sendiri. Kecuali kamu bawa salah satu orang suruhan ku. Seenggaknya, di sana ada yang jagain kamu, Li."
Liana tahu ketika dia memilih pergi, maka dia harus kehilangan segalanya. Memulai semua dari bawah dengan semua yang mungkin saja akan sangat sulit. Tapi, dia juga tidak bisa jika harus terus bergantung dengan Harun. Dia harus mandiri dan juga mulai berdiri tegak seorang diri. Jadi, suatu saat nanti. Ketika dia jatuh keterosok ke dasar jurang yang paling dalam. Dia tahu bagaimana caranya merangkak. Dia tahu bagaimana caranya untuk bertahan.
"Aku bakal baik-baik aja, mbak. Aku bakal usaha terus baik-baik aja." Liana kembali mengucap janjinya. Begitu sungguh-sungguh.
"Aku mulai sekarang harus belajar mandiri. Harus belajar hidup sendiri. Jadi, nanti ... Kalau pas sendiri, aku gak akan pernah menyesali segalanya."
Tahu akan sangat sulit untuk membujuk Liana, pada akhirnya Harun pun menyerah mengangguk dan mengalah.
"Ok," putusnya mengalah. "Tapi ... Suatu saat nanti. Kalau kamu merasa gak bisa lagi bertahan di sana sediri, kamu harus janji bakal datang ke aku, Li." Liana tersenyum haru, mengangguk tanpa ragu.
"Aku harus jadi orang pertama yang kamu hubungi juga kamu cari."
"Iya, aku janji."
"Ok, aku bakal bahas gugatan cerai kamu sama pengacara ku. Nanti gimana hasilnya, aku akan kasih tahu kamu."
Sekali lagi, Liana mengangguk. "Makasih, mbak."
"Aku bahkan belum ngelakuin apa pun. Jadi gak usah bilang makasih."
Liana menggigit ujung bibirnya kuat, menahan ribuan jarum yang meremas paksa hatinya. Dia akan sangat merindukan suasana ini, di mana kini Harun terus berceloteh membalas semua omelan mertuanya. Di mana Gita terlihat begitu khawatir padanya.
Kenapa sekarang Liana merasa semakin berat meninggalkan segalanya. Kenapa dia tidak bisa egois?
Tuhan, kenapa segalanya semakin sulit...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
