Antara Dua Cinta; Empat Rasa (Gratis)

5
0
Deskripsi

Sinta Maharani, ia harus menikah dengan Arka karena paksaan kedua orang tuanya yang menganggap mereka telah berhutang Budi pada Arka.

Sinta yang saat itu tengah memiliki kekasih mati-matian berusaha mengatakan semuanya. Yang mana hatinya telah di miliki orang lain. Namun semua berubah ketika Sinta mengetahui kekasih hatinya nyatanya adalah adik Arka, Raksa. Yang mana adik iparnya mulai saat ini.

Semua telah berubah, tak lagi sama. Dan ketika Sinta memilih menyembunyikan hatinya. Raksa berjanji akan...

Bab 1

Dia mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas. Semua para tamu undangan atau keluarga yang menyaksikan nampak terpana dengan suara merdunya yang begitu lancar mengucapkan setiap kata saklar yang keluar dari bibirnya. 
Jujur aku tidak terlalu suka situasi seperti ini, membuat aku mengingat seseorang yang sudah lama mengisi hatiku. 

Ada perasaan bersalah, juga perasaan tak tega jika mengingat dia. Bagaimana mungkin disaat aku menjalin kasih dengan orang lain. Tapi aku malah menikah dengan orang yang berbeda. Bagaimana suatu saat nanti aku menjelaskannya?

Bisakah dia memaafkanku?

Jika aku bisa, aku ingin berlari sekuat yang aku bisa. Melangkah sejauh mungkin hingga tidak ada satu orang pun yang bisa menghentikanku. 

Ini bukan lah keinginanku, bukan pula yang aku harapkan. Lalu kenapa seolah tuhan malah mempermainkan perasaanku? Seolah menuliskan takdir tanpa mempersiapkan perasaanku lebih dulu. Apa tuhan tau jika saat ini aku sangat terluka?

Dan kini, nyatanya aku tetap kalah pada garis takdir yang tuhan rangkai di hidupku. Karna aku hanya lah boneka yang harus terus mengikuti skenario. Karna hanya tuhanlah sutradaranya.

"Bagaimana para saksi? Sah?"

SAH..

SAH..
 

SAH..

Ketika seluruh orang mengucapkan kata Hamdallah, berucap syukur karna lancarnya seluruh acara saklar ini. Aku malah ingin menangis berteriak jika aku tidak mau berada diposisi ini. 

Mengapa tidak ada satu orang pun yang tahu, jika aku tidak bahagia di sini. Aku tidak menginginkan pernikahan ini. 

"Ayo, mbak dicium tangan suaminya. Jangan bengong terus!" Colekan dari arah samping mengagetkanku. 

Gadis dengan kebaya toska tersenyum menenangkan. Ia tau bagaimana perasaanku, hingga akhirnya aku pun menurutinya. 

Aku bergerak ke arah samping, punggung tangan yang disodorkan ke arahku membuatku mau tidak mau meraih tangannya. Dan menciumnya pelan. 

Tapi ketika aku ingin mengangkat kepala. Menjauh darinya, aku merasa seseorang menahan kepalaku. 

Membisikkan sebuah doa tepat di keningku, aku terpaku. Hingga ia mengecup keningku lama. Aku hanya bisa diam tanpa bisa melawan. Seakan tubuhku terasa mati rasa, dan sulit untuk menghindar. 

Ada desiran aneh yang merambat di hatiku, terasa begitu asing. Hingga membuat aku terpaku ketika melihat dia, pria yang saat ini menjadi suamiku tersenyum tipis sebelum memalingkan muka. 

****

"Bu." Panggilku pada wanita paruh baya yang saat ini tengah membantuku memasukkan barang-barang ku ke dalam koper. 

"Sinta, ibu mohon! Lupakan dia, kamu saat ini sudah menjadi istri orang. Tidak baik jika kamu terus memikirkan pria lain. Dosa nak." nasehat ibu yang membuat hatiku layaknya di timpa batu besar hingga menimbulkan rasa sesak yang begitu besar.

"Sinta gak mau hidup dalam situasi seperti ini buk." Lirihku. Berusaha memberitahu ibu jika aku tidak ingin menikah dengan pria asing. 

Gerakan tangan ibu yang tengah memasuk-masukkan bajuku pun terhenti. Seiring tatapan tajamnya menghumus ke arahku. Menguliti kulitku jika saja bisa ibu lakukan lewat tatapan matanya. 

"Kamu tau, Sinta? Kalau kamu tidak berada di posisi ini. Bapak kamu sudah masuk ke dalam penjara!! Hanya ayah Arka yang bisa menolong kita. Jika saat ini mereka hanya meminta kamu.." Balas ibu kesal. "Itu tidak sebanding dengan uang yang mereka berikan untuk menebus ayahmu."

Aku menarik nafas nyeri, bagaimana mungkin mereka menjualku pada orang-orang itu? Tidak taukah mereka jika aku juga punya pilihan. 

"Tapi buk, Sinta bisa bekerja. Sinta janji akan membayar semua biaya yang sudah mereka berikan pada kita."

"Sampai kapan? Huh?" Tanya ibu dengan suara galaknya. "Mau sampai kapan kamu bekerja, agar bisa membayar semua hutang kita? Ibu sudah capek hidup susah. Lagi pula, suami kamu kan orang kaya." Sambung ibu memasukkan kembali bajuku ke dalam koper dengan wajah semakin kesal. 

"Bahkan sekarang bapak diangkat jadi mandor di kebun. Banyak orang yang segan dengan kita, tidak ada lagi yang menghina-hina kita seperti dulu." Omel ibu terus memasukkan baju dengan kasar ke dalam koper. 

"Itu semua karna apa? Karna kamu menikah dengan Arka. Kalau dulu ayah Arka gak menikahkan kamu dengannya, ibu yakin saat ini kita masih hidup susah terus. Tambah susah dengan bapak masuk penjara." Omel ibu kian menjadi-jadi. 

"Lagi pula gaji kamu jadi guru itu berapa sih? Cuman lima ratus ribu aja sombong, segala mau bayar hutang lima ratus juta. Mau berapa lama kamu bayar hutang? Seumur hidup?"

Aku hanya menunduk dalam, tidak berani mendebat ibu lagi. Karna jika aku terus berbicara aku takut darah tinggi ibu kumat.

"Jadi Sinta, ibu minta mulai sekarang lupakan pacar kamu itu. Toh dia jarang ke sini, seandainya dia sudah menikah- pun kamu gak bakal tahu, karna dia jauh di kota." Nasehat ibu yang hanya aku balas dengan anggukan kepala menurut.

"Perlakukan suami kamu dengan baik.. Awas aja kalau sampai dia balikin kamu ke sini. Ibu gites kamu." 

Tok Tok Tok 

Ketukan dari pintu menghentikan omelan ibu. Apa lagi saat melihat seorang pria jangkung yang masuk dengan senyum sopannya. Membuat senyum ibu ikut terbit, melupakan wajah kesalnya tadi karena mengomeliku.

"Ada yang bisa Arka bantu, Bu?" 

Ibu segera bangun tergesa, menghampiri menantu yang sedari tadi ia bangga-banggakan.

"Udah, ibu udah selesai beres-beresnya. Nak Arka mau jemput Sinta ya?" Pria itu mengangguk sebelum menoleh ke arahku yang hanya diam dengan wajah ditekuk. 

"Sinta udah selesai beres-beresnya. Gak papa kalau mau nak Arka bawa sekarang." Ucapan ibu sama sekali tidak membuat dia berhenti memandangku. 

"Sinta cuman lagi sedih nak ... Maklum, ini pertama kalinya dia pergi jauh dari ibu. Jadi dia sedih." Sambung ibu membuat dia menoleh ke arah ibu dengan kepala mengangguk mengerti. 

"Gak papa buk, Arka ngerti! Nanti kalau Sinta kangen. Arka bakal ajak dia sering-sering ke sini." Ucapan Arka disambut antusias oleh ibu. Sedang aku hanya diam memalingkan muka, berusaha menghindar dari tatapan matanya yang terus mencuri-curi pandang ke arah ku. 
 ****

Pemandangan bangunan-bangunan tinggi di depanku, sama sekali tidak membuat aku kagum. Aku malah merasa tidak nyaman.

Saat ini, aku berada di dalam mobil mewah bersama suamiku. Entah ke mana ia akan membawaku, aku juga tidak tertarik untuk bertanya.

"Kamu lapar?" Aku hanya menoleh kemudian mengangguk. Sama sekali tidak ingin membuka suara.

"Sebelum pulang ke rumah kita, aku ingin membawa kamu ke rumah utama. Kemarin mama tidak sempat datang ke acara pernikahan kita. Karna itu, kita ke sana dulu untuk menyapa mama. Setelah itu baru kita pulang." Lagi-lagi aku hanya mengangguk tidak ingin berdebat atau pun protes. Karna percuma belum tentu dia mendengarkan perkataanku. Walau sebenarnya aku merasa lelah dan ingin cepat beristirahat.

Kami tiba di sebuah rumah mewah, dengan halaman yang begitu luas. Bahkan tinggi sekolah di kampung ku masih kalah dengan tinggi bangunan rumah di depan ku saat ini. Begitu besar dan juga tinggi.

"Ayo." Ragu-ragu aku menerim uluran tangan dari arah samping.

"Jangan takut." Sambung Arka menarik ku lebih dekat. Tangan kami saling bertautan seiring langkah kaki yang menaiki anak tangga.

Lagi-lagi tidak ada obrolan yang keluar. Aku hanya diam dengan pandangan memperhatikan sekeliling yang nampak begitu indah. Sedang Arka, dia terus menuntunku memasuki rumah yang seperti istana ini. Membiarkan aku sibuk dengan pikiranku.

"Assalamualaikum." Sapa Arka begitu melihat beberapa orang yang tengah duduk di ruang tamu.  Perbincangan mereka pun terhenti begitu melihat kami memasuki ruang tamu.

"Arka, kamu sudah pulang nak?" Wanita paruh baya dengan baju ketat berwarna biru tua memperlihatkan lekuk tubuhnya lebih dulu berdiri. Baru kemudian melangkah ke arah kami.

"Iya ma." Balas Arka mengecup punggung tangannya. Sedang aku berdiri canggung di belakangnya.

"Siapa dia? Apa dia-?"

Wanita yang tadi dipanggil Arka sengaja menggantungkan kata-katanya, menatap aku dan Arka bergantian. Meminta penjelasan.

"Ya ma, ini Sinta. Istri Arka."

Arka menarikku mendekat, membuat aku berdiri tepat di depan wanita paruh baya itu.

"Saya Elisa, ibunya Arka."

"Sinta?" Teguran Arka membuat aku menerima uluran tangan di depanku, mencium punggung tanganya. Sama seperti yang Arka lakukan tadi.

"Sinta tante."

"Mama. Panggil saya mama ... Sama seperti Arka dan juga anak saya yang lainnya. Karna kamu sekarang juga akan menjadi anak saya."

"Iya ma." Angguk ku menurut.

Setelah berkenalan dengan seluruh keluarga Arka di rumah itu. Mama Arka menyuruh Arka untuk membawaku masuk ke dalam kamar. Agar aku bisa beristirahat katanya. Mereka juga menyuruh kami untuk menginap di rumah ini malam ini. Dan langsung disetujui Arka tanpa meminta pendapatku lebih dulu. Membuat aku mau tidak mau menyetujuinya juga.

Padahal jika boleh jujur, aku merasa tidak nyaman dengan orang-orang yang tinggal di rumah ini. Semua orang menatapku aneh. Seolah-olah mereka terpaksa menerimaku. Atau hanya perasaanku saja. Tapi yang jelas, aku semakin tidak menyukai pernikahan ini. Semua benar-benar terasa asing.

"Kamu bisa istirahat di sini." Arka membuka pintu bercat putih. Masuk ke dalam diikuti aku di belakangnya.

"Ada masalah?" Tanya Arka begitu aku sudah masuk lebih dalam ke dalam kamar.

"Sinta?"

Aku menoleh saat Arka berjalan ke arahku. "Dari kita berangkat ke sini, kamu hanya diam. Apa ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?"

"Tidak." Jawabku berbohong.

Jujur aku ingin mengatakannya, mengatakan jika aku tidak menyukai pernikahan ini. Tapi bagaimana caraku untuk mengatakannya?

"Jika ada sesuatu yang membuatmu merasa tidak nyaman. Kamu bisa mengatakannya padaku."

Aku menelan ludah gugup begitu Arka berada di depanku. Hanya berjarak beberapa senti, bahkan aku bisa mencium parfum di tubuhnya.

"Aku bingung harus bagaimana? Melihat kamu yang hanya diam saja, aku tidak tau apa mau mu."  Aku semakin tegang saat tanpa permisi Arka mengusap pipiku.  "Jangan hanya diam Sinta, katakan jika kamu merasa tidak nyaman?" Aku mundur beberapa langkah saat melihat Arka mendekatkan wajahnya ke arah ku.

"Maaf, aku butuh mandi." Ucapku yang membuat tangan Arka menggantung di udara. Sedang wajahnya nampak menatap ku bingung.

"Kamu bisa menggunakan kamar mandi itu."

Aku menoleh mengikuti arah telunjuk Arka. Kemudian berbalik melangkah ke arah pintu yang dimaksud Arka.

Hingga tubuhku masuk ke dalam kamar mandi, aku masih merasa jika Arka terus mengawasiku.

"Tuhan, maafkan aku." Bisik ku memeluk diriku sendiri. Bersandar di belakang pintu dengan perasaan campur aduk.

Bagaimana setelah ini, apa aku akan terus menghindar dari Arka- suamiku? Jika aku terus melakukan semua itu, lambat-laun Arka pasti akan tahu jika aku terpaksa menerima lamaran ayahnya. Dan setelah itu apa? Dia akan mengembalikan aku kepada ibu dan bapak.

Aku menggeleng lelah, ibuk pasti marah jika aku melakukan semua itu.

Tok Tok Tok

Lamunanku terhenti begitu seseorang mengetuk pintu kamar mandi. Mengusap air mataku, aku bangun dan membenahi ndandananku.

"Kamu melupakan baju gantimu." Arka menyodorkan sebuah baju ke arahku begitu aku membuka pintu.

"Itu?" Tanyaku begitu tidak mengenali baju yang ia sodorkan ke arahku.

"Tenang saja, ini masih baru. Karna nanti akan ada acara makan malam. Jadi kamu gak papa kan kalau pakai ini?"

"Ya." Jawabku menerima baju yang diulurkan Arka ke arahku.

"Terima kasih." Seharusnya aku yang mengatakan itu, tapi entah mengapa ucapan Arka dan senyum tipis di bibirnya membuat aku mematung dengan tatapan mata mengerjab. 

Bab 2

Aku melangkah dengan semangat ke arah pintu rumah kedua orang tua ku. Setelah melakukan perjalanan bisnis, aku langsung bergegas pulang kerumah. 

Semua itu bukan tanpa alasan aku melakukan itu. Jika biasanya aku memilih berkumpul dengan teman-teman ku. 

Menikmati minuman dengan berbincang-bincang seputar wanita atau bahkan pekerjaan. Berbeda dengan hari ini. 

Aku merasa tidak sabaran untuk bertemu kakak ku. Ingin mengucapkan selamat juga terima kasih. 

Karna berkat dia, setelah ini aku akan melamar kekasih ku. Wanita yang aku cintai selama ini. Dan akan segera mempersuntingnya. 

Rasa bahagia ku semakin membuncah seiring dengan langkah kaki yang kian dekat. Terdengar perbincangan keluarga ku ruang makan. Membuat aku terus menarik sudut bibir ku dengan kebahagian tiada tara. 

Dari dulu aku menunggu momen ini, momen di mana kakak ku menghabiskan masa lajangnya. Karna dia yang terlalu gila kerja membuat ia sangat sulit mencari calon istri. 

Bersyukur papa cepat mendapatkan calon istri yang tepat. Jika tidak, aku tidak yakin bisa menikah jika dia belum juga menikah. 

Karna di keluarga kami, pantang bagi adik melangkahi kakak laki-lakinya. 

Apa setelah ini aku juga harus berterima kasih kepada papa. Yang telah membawa calon istri untuk kakak ku. Aku merasa ingin tertawa memikirkannya. 

"Malam semua." Teriak ku membahana. 

Membuat seluruh pasang mata menatap ke arah ku. Aku melangkah lebar ke arah kakak ku dan memeluknya erat.

"Akhirnya, lo nikah juga mas.. Selamat ya, semoga lo bisa bahagia.. Sory gue gak bisa dateng. Papa larang gue buat ninggalin kerjaan selama lo gak ada." 

"Gak masalah. Thanks buat doanya." 

Ini lah kakak ku, dia berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ku. Jika aku orangnya cerewet, banyak bicara berbeda dengannya yang irit bicara dan pelit expresi. Mungkin karna itu juga dia sulit mendapatkan jodoh. 

"Jadi di mana kakak ipar gue?" Tanya ku melepaskan pelukannya. Yang dibalas dengan delikan dagunya. 

Ketika aku memutar tubuh ku, senyum ku langsung lenyap begitu tau siapa yang duduk di samping kakak ku. 

Wanita yang memiliki senyum manis, dengan mata sipit dan juga wajah putih mulus tanpa make up. 

Wajah ayu itu sama sekali belum berubah meski bertahun-tahun aku tidak melihatnya. Tapi bukan itu masalahnya. 

Wanita yang menjadi istri Kakak itu itu adalah, Sinta Maharani. Wanita cantik yang memikat ku dari dua tahun yang lalu.

Bahkan dia sama kagetnya dengan ku, hingga dia hanya bisa menatap ku gamang. Begitu pun aku. 

Kami seakan sulit untuk mengalihkan pandangan satu sama lain. 

Hingga tepukan di bahu ku, menyadarkan kami. 

"Dia Sinta Maharani. Istri mas, sekaligus kakak ipar kamu." Ucapan mas Arka semakin membuat dunia ku runtuh. 

Bagaimana bisa semua ini terjadi? Bagaimana bisa dia menikah dengan kekasih ku? Lalu bagaimana bisa Sinta menerima lamaran kakak ku, sedang dirinya masih berstatus kekasih ku?

"Sinta, ini Raksa adik ku." 

"Sinta." Uluran tangan dari Sinta hanya aku balas dengan lirikan. Hingga teguran dari mas Arka membuat aku menjabat ukuran tanganya. 

"Raksa." 

"Ya udah, sekarang mending kita lanjutin makannya. Ayo sayang kamu juga ikut makan. Kamu belum makan kan?" Pertanyaan dari mama, hanya aku balas dengan tatapan mata datar. 

"Raksa sudah makan ma. Raksa gerah, mau ganti baju dulu."

Aku berbalik pergi meninggalkan seluruh orang yang menatap ku bingung. Bahkan aku mengabaikan panggilan mama yang menyuruh ku untuk kembali setelah mandi. 

***

Arggg.

Aku berteriak, memukul cermin hias di kamar mandi dengan kuat. Hingga membuat cermin hancur berkeping-keping. 

Aku terus melakukan semua itu, sampai darah segar mengalir di tangan ku pun aku mengabaikan semua itu. 

Aku hancur, bahkan hati ku juga hancur sama persisi seperti cermin didepan ku ini. 

"Brengsek... Sialan.. Argg." 

Aku mengumpat, berteriak, marah, kecewa, sakit. Semua rasa kecewa ku menjadi satu. Bagaimana mungkin bisa gadis yang aku cintai yang malah menjadi kakak ipar ku?

Lalu sekarang bagaimana? Kenapa semua orang mengkhianati ku? 

"Bodoh kamu Raksa. Bagaimana mungkin kamu mencintai gadis yang bahkan hanya mempermainkan hati mu?" Lirih ku merosot. 

Duduk di atas lantai yang dingin dengan darah terus bercucuran dari tangan ku. Tangan ku yang berdarah lalu kenapa hati ku yang sakit. 

Tuhan, kenapa engkau begitu tidak adil pada ku? Kenapa engkau berikan aku cinta jika pada akhirnya tidak bisa memilikinya?

Aku menangis, menyesali nasibku. Kenapa dulu aku tidak melamarnya lebih dulu? Kenapa aku harus mencintainya kalau ternyata dia tidak bisa menunggu ku? 

Aku terus menangis. Terserah jika aku dianggap sebagai pria yang cengeng. Menangis hanya untuk seorang wanita. Tapi aku benar-benar mencintainya. Aku menginginkan dia. 

"Astagfirullah, Raksa?" Aku hanya diam begitu melihat seorang wanita berteriak kaget, setelah melihat ke arah ku yang terduduk dengan darah bercecer di mana-mana. 

"Raksa? Lo apa-apaan, sih? Kenapa lo bisa kayak gini?" Dia memberondong begitu banyak pertanyaan, yang hanya aku balas dengan air mata yang terus meleleh. 

"Sebentar, aku akan panggil yang lainnya." 

Aku Manarik pergelangan tangannya menggunakan tangan ku yang lain, saat dia ingin berdiri. Bersiap melakukan apa yang dia katakan tadi. 

"Gak Rin. Jangan ngomong apa pun kekeluarga gue." Pinta ku pada Airin.

"Ok gue gak bakal bilang ke mereka. Tapi ayo bangun."

Aku menurut saat dia membantu ku bangun. Dan memapah ku menuju ranjang. Mendudukkannya disana. 
 ****

Tidak ada hal yang mengerikan lagi selain kejadian yang aku alami saat ini. Bagaimana mungkin Arka dan Raksa adalah saudara.

Lalu sekarang apa yang harus aku lakukan. Apa aku harus pura-pura tidak tahu, atau mencoba menjelaskan semua kejadian ini pada Raksa agar dia mengerti.

Dilema hati ku terhenti begitu knop pintu kamar ku diputar dari luar. Aku yakin itu pasti Arka. Dia pasti akan sudah akan tidur.

Ketika melihat pintu yang didorong dari luar. Aku langsung melompat ke kasur dan pura-pura tidur.

Jantung ku semakin berdetak begitu suara langkah kaki Arka kian mendekat. Membuat aku semakin menutup mata ku rapat-rapat.

Tuhan, aku mohon jangan sampai Arka tau jika saat ini aku menghindarinya. Aku tidak mau hal-hal aneh terjadi pada kami. Sedang aku hanya mencintai Raksa.

"Aku tau kamu hanya pura-pura tidur."

Aku menggigit lidah ku kuat. Mencoba mengabaikan Arka yang saat ini sudah duduk diatas ranjang yang sama dengan ku. Tetap berpura-pura tidur. Berharap Arka tidak lagi berbicara.

"Sinta?" Panggil Arka.

"Dosa tidur memunggungi suami. Kamu mau berdosa cuman-"

Aku akhirnya berbalik kuat, menatap Arka yang kini malah tersenyum dengan wajah tidak bersalah sedikit pun.

"Jadi kamu beneran belum tidur?" Tanyanya geli.

"Apa mas selalu bersikap seperti ini? Menyebalkan!!" Ucap ku berusaha menutupi rasa malu ku.

Sebenarnya aku malu berbalik, karna dia tau jika aku hanya pura-pura tidur. Tapi aku juga tidak mau berdosa jika tidur memunggungi nya.

"Jangan marah, mas cuman bercanda tadi." Balasnya tersenyum.

Aku heran, kenapa mas Arka lebih banyak tersenyum. Padahal aku ingat saat pertama kali bertemu. Dia begitu terlihat pendiam dan datar. Aku saja takut melihat tatapan matanya lama-lama.

Tapi kenapa sekarang dia berbeda jauh dari pertama kali bertemu.

"Kenapa melamun?" Aku menepis tangan nya yang tiba-tiba mengusap kepala ku.

Sampai wajah tersentak nya menyadarkan ku, pada perlakuan ku padanya barusan.

"Maaf aku---"

"Gak papa, mas yang salah. Kita belum lama mengenal, jadi wajar kalau tiba-tiba mas sentuh kamu, kamu bersikap biasa saja."

Entah mengapa semua ucapan mas Arka membuat semakin dilanda rasa bersalah. Haruskah aku mengatakan semua nya. Mengatakan jika aku mencintai adiknya. Dan bersikap seperti ini karna aku tidak menyukainya.

"Bagaimana jika kita berkenalan dulu."

Aku bangun dari tidur ku, duduk bersandar di sandaran tempat tidur. Sama seperti yang dilakukan Arka.

Manarik selimut sebatas perut. Aku menatap apa pun berusaha menghindari tatapan mata Arka.

"Aku---- boleh bertanya sesuatu?" Tanya ku dibalas anggukan kepala oleh Arka.

"Mas akan jawab apa pun pertanyaan kamu, selama itu masih dalam batas wajar."

"Apa mas gak punya kekasih?"

"Kekasih?"

Aku mengangguk. "Kenapa mas tiba-tiba mau menikah dengan ku? Padahal kan kita tidak saling mengenal? Mas gak takut, nanti mas bakal nikah dengan wanita yang salah. Mas kan menikah dengan ku seperti beli kucing dalam karung."

"Mas gak punya pacar. Bahkan kamu perempuan pertama yang ada di samping mas."

Tiba-tiba Arka meraih telapak tangan ku. Membawanya keatas pangkuannya.

"Mas serahkan semua kepada Allah. Bukankah jodoh kita adalah cerminan dari diri kita!! Seandainya kamu bukan wanita baik seperti yang kamu pikirkan, mas gak masalah. Toh masih ada mas yang akan mengingat kamu jika kamu salah."

"Mas akan ajak kamu untuk melangkah bersama. Melangkah untuk membina rumah tangga yang baik, seperti keinginan kita."

Aku membeku mendengar semua ucapan pria di samping ku. Bahkan ketika ia terus memainkan jari-jari ku di pangkuannya. Aku seakan tidak memiliki tenaga untuk menariknya.

Semua ucapan nya seakan mengejek ku.

"Lagi pula, perempuan baik dalam versi mas dan kamu kan berbeda. Bagaimana mungkin kamu tau mana perempuan baik menurut mas. Sedang kamu sendiri bum tau."

"Mas harus tau jika aku bukan wanita baik-baik."

"Iya. Mas tau, ini buktinya kamu selalu menghindar setiap mas deket sama kamu." Balas nya tersenyum.

"Kalau kamu perempuan baik-baik, setiap mas deket sama kamu. Kamu pasti lengket kayak lakban."

"Mas ngejek aku?"

"Bukan Sinta. Mas cuman jawab pertanyaan kamu... Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu begitu sensitif? Apa kamu lagi halangan?"

Aku nanarik tangan ku kasar.  Mengabaikan kekehan penuh kepuasan dari mas Arka.

"Maaf, mas cuman becanda." Balasnya kembali menarik tangan ku.

"Jadi mas gak punya pacar?" Tanya ku sekali lagi.

"Kamu pengen mas punya pacar?" Aku mendengus mendengar jawaban ajaib mas Arka.

Setelah puas terkekeh. Arka menarik dagu ku, meminta ku untuk menatapnya. "Mas gak pernah pacaran. Dari dulu mas gak pernah punya pacar. Jadi sekarang, mas bener-bener punya kamu, karna mas gak pernah pengen punya pacar selain istri mas nanti..."

"Udah, mas sudah jawab pertanyaan kamu kan? Jadi gimana, kamu udah puas denger jawaban mas?"

Aku memalingkan muka saat Arka terus menatap  ku intens. "Ada lagi yang mau kamu tanya kan ke mas?"

"Apa yang membuat mas menerima aku menjadi istri mas?"

"Apa gak ada pertanyaan lain?"

"Apa mas pernah berencana mengembalikan, aku  kepada keluarga ku?"

"Pertanyaan kamu aneh."

"Apa mas pernah berfikir menikah lagi?" Arka terbahak mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir ku.

Membuat aku menatap nya bingung. "Apa mas sekarang boleh nyium kamu? Mas bener-bener pengen nyium kamu sekarang."

Ucapan Arka membuat bulu kuduk ku merinding. Apa lagi saat melihat tatapan matanya yang err-serem.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Antara Dua Cinta; Empat Rasa
7
0
Antara Dua Cinta; Empat Rasa, bab 3 dan 4
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan