Crescendo 5-6

28
3
Deskripsi

Siapa yang akan menyangka, kalau si galak itu sedang berada di posisi yang sama denganku, dan sama sekali tidak melakukan perlawanan saat keluarganya sendiri memojokkannya.

-Bab 5-

***

Dunia mungkin memang hanya selebar daun kelor, seperti kata pepatah. Karena tanpa pernah aku rencanakan, lagi-lagi tanpa sengaja aku bertemu dengan Kidung.

Dia terlihat baru saja turun dari mobil, kemudian menyerahkan kontak mobilnya ke petugas valet parking. Anehnya begitu menangkap sosoknya, netraku tidak bisa berpaling begitu saja dari sosok Kidung. Dan saat kami akhirnya melakukan kontak mata, seperti yang selalu dia lakukan di depanku, ekspresinya langsung tampak enggan.

Suara ketukan langkahnya terdengar seperti keluhan kesalnya selagi berjalan ke arahku. Dia memang tidak mengatakan apa-apa, tapi aku dengan mudah membayangkan bagaimana Kidung memprotes dengan kata-kata serta raut wajahnya yang galak.

“Kamu ke sini mencari saya?” tanyaku, lalu seperti dugaanku sebelumnya, Kidung merespon dengan suara dengkusan serta senyum miring tipis, yang membuatku menaikkan satu alis.

Sejujurnya itu bukan hal yang benar-benar ingin aku tanyakan, maksudku tentang kedatangannya ke sini, aku hanya basa-basi saja, serta melihat bagaimana responnya saat kami kembali bertemu.

“Ada banyak orang yang bisa saya temui di sini,” balasnya sinis.

Melihat bagaimana sikap Kidung yang masih persis sama dengan pertemuan pertama kami, aku kembali tersenyum miring, kemudian berbalik dan pergi meninggalkan Kidung diikuti asisten manajer yang memang datang menyambutku.

Ada klien yang harus kutemui di sini, karena staf keliru mengatur jadwal dengan Pak Syahrul, alhasil aku bergegas ke sini tanpa asisten pribadiku, sebab dia harus menghandle pekerjaan yang kutinggalkan.

“Di sebelah sana, Pak,” kata Rudi, mengarahkan di mana klienku sudah menunggu.

Saat aku menyapa mereka, Kidung ternyata juga memasuki area restoran. Aku baru sadar kalau ada bagian dari restoran yang sepertinya memang direservasi, dan posisinya tidak terlalu jauh dari tempatku duduk.

Selagi aku membicarakan bisnis dengan dua orang di depanku, telingaku menangkap obrolan dari meja yang ditempati Kidung dan keluarganya. Aku menyimpulkan demikian, sebab dari cara mereka mengobrol, jelas kalau itu adalah keluarganya.

Selain membandingkan dengan seseorang bernama Nasya, mereka terdengar mendesak perempuan itu untuk segera menikah. Berbeda dengan saat meladeniku, Kidung sama sekali tidak terdengar membantah atau melawan setiap sindiran yang ditujukan untuknya.

“Permisi, Pak,” sela Adrian, General Manager yang bertugas di hotel ini.

Tadi dia masih ada urusan, makanya Adrian menugaskan Rudi untuk menyambutku di depan.

Aku mengangkat alis, lalu dia mendekat dan berbisik, menyampaikan kabar kalau Kakek ternyata datang dan sedang menungguku di ruangan Adrian. Rudi kuminta melanjutkan obrolan dengan klien, selagi aku beranjak untuk menemui Kakek.

Perjalanan menuju pintu keluar harus melewati meja di mana Kidung dan keluarganya sedang menikmati hidangan, kami sempat melakukan kontak mata, aku juga menangkap beberapa pasang mata melihat ke arahku. Bukan para orang tua, tapi sepertinya itu sepupu Kidung.

Tepat saat aku hampir melewati meja mereka, Kidung memalingkan wajahnya, bersikap seolah kami adalah orang asing. Tadinya aku pun ingin mengabaikan keberadaan Kidung, tapi entah kenapa kakiku justru berhenti di dekat kursi yang dia duduki, dan menarik perhatian orang-orang yang duduk bersamanya.

Kidung tidak bisa menyembunyikan sorot terkejut sewaktu melihatku sudah berdiri di dekatnya.

“Bisa kita bicara sebentar?” tanyaku.

Perempuan dengan make up tipis itu tidak langsung merespon, tapi hanya selang dua atau tiga detik kemudian Kidung mengiyakan dan setuju mengikutiku.

“Ada apa?” tanya Kidung setelah aku berhenti di jarak yang sekiranya suara kami tidak akan didengar oleh keluarganya.

Aku sengaja tidak langsung menjawab, mencuri lihat ke arah meja di mana semua orang yang duduk di sana terlihat sangat penasaran.

“Apa ada yang penting sampai kamu minta kita bicara berdua aja?”

Pertanyaan Kidung membuat perhatianku kembali tertuju padanya. Aku yakin dia pun sama penasarannya, sementara aku jujur saja dengan cepat berusaha mencari alasan yang tepat kenapa memintanya mengikutiku.

“Tolong percepat pesanan saya.”

Sepasang matanya yang menurutku jernih, langsung terbuka lebar, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.

Mungkin kalau tidak ada keluarganya di dekat kami, aku yakin Kidung pasti akan langsung menunjukkan raut sengit sambil marah-marah, seperti yang dia lakukan padaku sebelum-sebelumnya.

“Kenapa?” tanyanya dengan mata memicing kali ini.

“Pokoknya saya mau itu dipercepat. Itu saja,” pungkasku, lalu sebelum pergi meninggalkannya, aku sengaja melempar senyum.

Begitu juga saat aku melewati meja, di mana keluarganya makin terlihat penasaran. Aku menyapa mereka dengan senyum kecil, dan terus melangkah tanpa sekalipun menoleh ke arah Kidung.

Bisa kubayangkan bagaimana kesalnya Kidung sebenarnya, tapi di waktu yang sama dia terpaksa harus menahan diri di depan banyak orang.

Sementara untuk diri sendiri, aku memberi pujian, karena dalam kondisi terdesak, aku bisa memberi alasan yang menurutku masih sangat bisa diterima.

***

-Bab 6-

***

“Kalau dari informasi yang aku dapat, dia punya butik. Memang bukan butik yang besar, tapi yang aku dengar butiknya punya reputasi cukup bagus.”

Aku mengangguk meski lawan bicaraku tidak bisa melihatnya. Sekalipun itu informasi yang tidak lagi aku perlukan, tapi aku tetap mengucapkan terima kasih pada Robi.

“Tapi kalau boleh tahu, kenapa kamu minta informasi tentang Kidung, Ga?”

“Hanya ada sedikit urusan,” sahutku, sembari netraku tertuju ke layar tab yang menunjukkan foto reuni, sekaligus sosok Kidung diapit dua sahabatnya. Entah mana Rinda dan mana Abel, aku hanya tahu dua nama itu dari Robi beberapa waktu lalu.

“Urusan apa? Mau ngajakin dia bisnis? Memangnya nyambung bisnis kalian?”

Mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari Robi, aku sontak tersenyum tipis.

“Apa Butik itu hasil kerja samanya dengan dua sahabatnya?” tanyaku kemudian.

Di jaman sekarang, sangat wajar kalau antara sahabat mendirikan bisnis bersama, meski sebenarnya menurutku itu juga memiliki nilai resiko yang cukup tinggi. Jangankan antar sahabat, antar keluarga pun masih ada kemungkinan munculnya persaingan, yang bisa membuat hubungan jadi kurang baik bahkan tidak menutup kemungkinan sampai putus hubungan.

“Kayaknya enggak, Ga. Butik itu kayaknya memang punya Kidung sendiri. Soalnya yang aku tahu Rinda dan Abel punya pekerjaan masing-masing.”

Kepalaku kembali terangguk beberapa kali. Setelah bicara dengan Robi, aku beranjak dari kursi kerja, dan berdiri di depan jendela.

Surabaya selalu padat di siang hari, tapi menurutku pribadi kepadatannya masih bisa ditoleransi, hanya bising suara klakson yang kadang membuatku geram. Selagi pandanganku jatuh ke ramainya jalanan di bawah sana, pikiranku teralih ke pembicaraanku dengan Kakek.

Untuk kesekian kalinya, beliau mempertanyakan status lajangku.

“Usia kami sudah enggak lagi muda, mau sampai kapan kami harus menunggu kamu menikah?”

Aku tahu, kerisauan itu bukan hanya beliau, dan Nenek yang rasakan. Tapi kedua orang tuaku juga, hanya saja keduanya memilih untuk tidak banyak berkomentar. Mungkin mereka masih merasa bersalah, karena sudah memaksaku melepas cita-cita demi meneruskan bisnis keluarga.

“Kasihan Budhe, apalagi kalau Mbak sakit pasti Budhe yang sibuk bolak-balik rumah dan apartemen. Kalau Mbak sudah nikah kan, Budhe enggak perlu terlalu khawatir karena sudah ada suami yang jagain Mbak.”

Tiba-tiba ucapan salah satu sepupu Kidung terlintas begitu saja di benakku.

Siapa yang akan menyangka, kalau si galak itu sedang berada di posisi yang sama denganku, dan sama sekali tidak melakukan perlawanan saat keluarganya sendiri memojokkannya.

“Mungkin bukan ide yang buruk.”

Aku refleks mengggelengkan kepala, berusaha menyingkirkan pemikiran tidak masuk akal yang baru saja muncul.

Itu jelas sangat gila, dan aku bisa membayangkan respon seperti apa yang akan aku terima dari Kidung andai aku benar-benar melakukannya.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Crescendo 7-8
26
3
Selain galak, sifat ceplas-ceplos Kidung ternyata juga cukup lucu. Rasanya aku belum pernah mengenal perempuan seperti dia.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan