Rindu yang Dingin - 2. Harus Move on

1
0
Deskripsi

Rindu muncul dari perasaan sayang dan cinta. Namun rindu yang dingin hadir dari jarak yang terbentang saat asa dalam jiwa telah binasa, ketika jurang hitam telah tergali, manakala jalan pulang telah terhapus. Dan kini, luka di hati Hugo dan Anya telah mengepul, bergulung-gulung dan membumbung. Pernikahan mereka telah batal akibat tagihan dan utang vendor dekor, pakaian, gedung, foto, dan semua remeh-temeh yang tak sanggup terbayarkan, tapi apakah rasa sayang di antara mereka juga telah teranulir?...

Jika pagi adalah harapan, bagi Anya, pagi adalah mimpi buruk. Pagi adalah suara Mama. Pagi adalah omelan Mama. Pagi adalah... ah, Anya menenggelamkan diri di balik selimut. Sejak sebulan silam, semua pagi adalah mimpi buruk. Tapi kemarin pagi dan pagi ini adalah yang terburuk.

Kemarin, 19-01-2019, tanggal cantik pilihan Mama Anya dan Mama Hugo. Ya, semua pilihan mama mereka. Gedung, dekorasi, bahkan gaun yang akan ia kenakan. Ia hanya ingin gaun simpel berwarna putih gading. Namun mereka menyiapkan tema warna yang tidak ia sukai. Fuschia.

Anya mengalah. Hugo mengalah. Demi pernikahan mereka. Namun saat tagihan demi tagihan datang, mereka terperangah. Saat itu tabungan mereka sudah terpakai hampir limapuluh persen, tapi tagihan yang belum terbayarkan masih delapanpuluh persen dari keseluruhan.

Mengetahui itu, Mama Anya dan Mama Hugo mulai saling menyalahkan.

“Mbak, aku udah transfer, lho, untuk DP dekornya. Masa aku juga yang lunasin undangannya?!” omel Mama Hugo.

Mama Anya langsung ngegas dan nyerocos panjang lebar, “Eh, itu kan memang kewajiban mempelai pria untuk bayarin semua. Aku udah bayar catering buat nikahan, ya. Karena nikahan itu kewajiban mempelai wanita. Resepsi dan yang lainnya kewajiban mempelai pria. Kan nanti juga laki-laki, suami, yang harus nanggung hidup istrinya. Hugo yang harus nanggung Anya. Pernikahan dan resepsi itu gambaran bagaimana nanti kehidupan perkawinan mereka ke depannya!”

Hugo dan Anya yang ada di hadapan mereka hanya bisa saling pandang dan ternganga. Anya paham betul, Hugo bukan berasal dari keluarga yang berlebih. Keluarganya sederhana. Bahkan Mama Hugo yang Anya kenal adalah seorang wanita bersahaja. Entah apa yang membuat wanita yang belum genap lima puluh tahun itu jadi ikutan seperti mamanya sendiri, boros dan berlebihan dalam menyiapkan acara ijab qabul dan resepsi ini.

Mama Hugo tampak kesal dan langsung menoleh ke Hugo. “Kita pulang.”

Mama Anya mencibir. “Sensi banget, sih! Ambekan.”

Anya menunduk. Ia tak berani melihat ke sekeliling. Pasti pengunjung kafe lainnya sedang memerhatikan mereka. Hugo tampak dilema. Satu sisi, ia harus menenangkan mamanya. Tapi di sisi lain, ia tidak tega kepada Anya dan juga tak enak hati kepada Mama Anya.

Anya memberikan kode kepada Hugo untuk mengikuti mamanya keluar kafe. Dengan berat hati, Hugo pun pamit ke Mama Anya.

“Tante, maaf, saya antar Mama dulu. Permisi.”

Mama Anya hanya mencibir. Hugo bergegas pergi. Anya menahan air matanya.

“Anya!!!” terdengar suara Mama Anya dari luar kamar.

Anya terbangun dari labirin kenangan yang sangat ia benci itu. Ia tak menjawab. Pintu kamar seperti hendak dicoba untuk dibuka. Handle-nya tampak bergerak.

“Anya! Buka!”

Anya bergeming.

“Anya, Mama nggak suka, ya, kamu kayak gini. Mengurung diri terus. Cukup, Nya! Ini sudah sebulan kamu kayak gini. Mama nggak bisa lagi membiarkan kamu menyiksa diri terus-terusan gini!”

Anya menungging, lalu membenamkan kepala ke balik bantalnya, lalu menarik selimut ke atas tubuh dan kepalanya. Ia juga tak mau disiksa oleh tatapan iba orang-orang di luar sana. Ia lebih suka berada dalam tempurung kamarnya yang aman ini. Bahkan aman dari Mama dan Papa. Aman dari semua.

Mama Anya menghela napas kesal dan berjalan menjauh dari depan pintu kamar Anya, kemudian duduk di sofa dan memeluk cushion fuschia kesayangannya. Papa Anya menghampiri.

“Udahlah, biar aja dia gitu. Dia perlu menenangkan diri.”

Mama Anya malah melotot kesal. “Udah sebulan, masih belum tenang juga?! Mau sampai kapan? Setahun? Seabad?!”

Papa Anya menyengir, “Umurnya nggak akan sampai seabad. Tenang aja!”

Mama Anya kesal dan melemparkan cushion ke Papa Anya, yang kemudian menangkapnya sambil menyengir cuek.

Sepuluh kilometer dari rumah Anya, Hugo sudah rapi, mengenakan pakaian kerja kasualnya, sedang menyeruput kopi hitam buatannya sendiri. Mama Hugo duduk di hadapannya. Mereka hanya berdua. Adik Hugo sudah berangkat kuliah. Papa Hugo, seorang pensiunan PNS, masih berkeliling dengan sepedanya, kegiatan rutin paginya.

“Go, kamu, kok, sedih gitu, sih?”

“Gimana nggak sedih, Ma? Harusnya kemarin—”

“Jangan bahas lagi, Go! Move on! Kamu harus melanjutkan hidup.”

Hugo menghela napas, lalu menghabiskan kopinya, salim ke mamanya, lalu pamitan. “Hugo berangkat, Ma! Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikum salam.”

Hugo bergegas ke motornya. Mamanya muncul di belakang. “Nggak naik mobil aja, Go? Kayaknya mau hujan?”

Hugo menggeleng dan buru-buru berlalu dengan motornya. Sebenarnya ia sudah malas berurusan dengan mobil yang ia beli dengan cara mencicil demi memenuhi keinginan Mama Anya. Sebulan ini mobil itu tak sekalipun ia panasi, bahkan tak sekalipun ia buka kavernya. Mamanya sering mengingatkan, mubazir, dan lain sebagainya. Tapi melihatnya seakan menambah irisan pada luka hatinya yang tak kunjung sembuh.

Apalagi mobil itu pilihan Anya. Karena mungkin nanti mobil itulah yang akan dibawa Anya mengantarkan anak-anak mereka bersekolah kelak, membawanya ke pasar, dan lain-lain. Sekilas, tanpa sadar, di atas motor, bibir Hugo tersenyum. Tapi kemudian hatinya serasa teriris. Nggak akan ada anak-anak, nggak akan ada apapun.

Konyol, semua ini terlalu konyol. Hanya karena tak mampu membayar biaya resepsi, ia batal menikah!

“Elu terlalu lurus sih, Go! Semua orang sekarang kayak gitu! Ngutang dulu kalo mau resepsi gede. Entar, kalo udah dapat angpaw dari tamu, lo lunasin, deh!” jelas Moko, sahabat Hugo sejak kecil saat mereka bertemu minggu lalu di minimarket dekat rumah.

“Gue nggak bisa kayak gitu, Ko. Kalo bisa nggak ngutang, ngapain harus ngutang? Masa gue senang-senang dengan duit hasil ngutang? Trus, habis senang-senang, harus pusing mikirin cara bayarnya? Biaya nikahan dan resepsi gue itu, gue yakin, nggak bakal bisa ketutup sama angpaw!”

Moko manggut-manggut. “Memangnya berapa, sih, semua?”

Hugo menyebutkan angka kasarnya dan Moko terbelalak. “Itu biayanya artis kalo segitu. Lo cari endorse-an aja, kayak artis.”

Hugo mencibir kesal. Kesal hatinya saat itu sebesar kesal hatinya sekarang. Ingatannya kembali ke mobil. Dia harus menjual mobil itu. Minimal agar tabungannya yang bisa dibilang sekarang minus bisa balance lagi. Hugo bertekad, dia harus move on. Benar kata Mama, dia harus melanjutkan hidup.

Bertepatan dengan itu, hujan mengguyur bumi. Hugo biarkan dirinya basah. Membiarkan tubuhnya tersapu hujan, seakan membersihkan diri dari masa lalu, agar ia dapat melanjutkan hidup. Namun, hatinya sontak merasa lebih dingin dari tubuhnya. Rindu yang kian terasa dingin semakin membekukan hatinya. Dalam derasnya hujan, Hugo pun tancap gas, mengikuti emosi yang meliputi jiwanya.

Gue harus move on!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Rindu yang Dingin - 3. Gengsi Lu Gede!
1
0
Rindu muncul dari perasaan sayang dan cinta. Namun rindu yang dingin hadir dari jarak yang terbentang saat asa dalam jiwa telah binasa, ketika jurang hitam telah tergali, manakala jalan pulang telah terhapus.Dan kini, luka di hati Hugo dan Anya telah mengepul, bergulung-gulung dan membumbung. Pernikahan mereka telah batal akibat tagihan dan utang vendor dekor, pakaian, gedung, foto, dan semua remeh-temeh yang tak sanggup terbayarkan, tapi apakah rasa sayang di antara mereka juga telah teranulir?Melalui malam yang semestinya menjadi malam pengantin mereka, rindu itu semakin terasa dingin. Namun, sanggupkah Hugo dan Anya menghangatkan hati dan berdamai dengan takdir?Novel ini merupakan adaptasi sebuah lagu ciptaan teman penulis, Rico, dengan judul yang sama. Lagunya sudah dapat dinikmati di Youtube channel Rico Albar.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan