Istri Ketiga - Bab 51-60

0
0
Deskripsi

TAMAT!

Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia.

Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA!

***

Rahma mencintai Teguh, lelaki yang sejak Rahma SMP telah menyatakan bahwa suatu saat kelak, ia akan menikahi Rahma.

Bramantya tak ingin memiliki wanita lain selain Najla, istri pertamanya. Tapi trauma masa lalu Najla membuat Bramantya menambah satu, bahkan dua,...

  1. Jangan Buat Aku Mencintaimu Dulu

Teguh masih terdiam menatap Tisa dengan tak nyaman saat gadis itu berbalik dan tersenyum ke arahnya dan menyapa riang.

“Hai, Guh!” 

“Hai,” balas Teguh tanpa senyuman. “Ada apa, Sa?”

“Nggak ada apa-apa. Gue tadi abis meeting aja sama Pak Luis di sini, trus gue tanyain elo ke Mbak Vina,” Tisa menoleh dan senyum ke resepsionis yang juga teman dekat Bayu, “terus temen lo, Mas Bayu, bilang mau manggilin. Ya, udah. Gue tunggu di sini.”

“Oh.” Teguh menjawab singkat. Ia tak ingin mengirimkan pesan yang salah kepada Tisa.

Walau begitu, Teguh sebenarnya bertanya-tanya dalam hati, ngapain Tisa meeting sama Pak Luis? Kan perusahaan orang tuanya berkecimpung di bidang kosmetik dan parfum. 

Dan seakan Tisa bisa membaca pikiran Teguh, gadis itu menjelaskan, “Sekarang gue bantu perusahaan kakak sepupu gue, bergerak di financial management. Ternyata Pak Luis mau pake jasa perusahaan kakak sepupu gue itu.

“Oh.” Dan, ya, masih sependek itu jawaban Teguh atas penjelasan panjang lebar Tisa.

Dalam hati Tisa meradang. Kenapa, sih, dari dulu susah banget dapat perhatian cowok satu ini?!

“Gue mau makan siang bareng Pak Luis. Lo mau join?”

Teguh tersenyum pedih. Tisa ini polos atau bodoh, sih? Siapa aku sampai Pak Luis mau makan siang bareng? Mungkin bahkan Pak Luis nggak menyadari bahwa ada pegawainya yang bernama Teguh.

“Ikut aja, Guh. Kan kamu teman Tisa. Ya, kan?”

Teguh berbalik dan terkejut. Pak Luis. Teguh mengernyit lalu menoleh ke Tisa. Tampak gadis itu menyunggingkan senyum penuh makna, tersirat ia senang memenangkan ronde ini. Karena, tentu saja, Teguh tak akan mungkin menolak ajakan Pak Luis.

“Oh, iya, Pak. Baik. Sudah mau berangkat, Pak?”

“Iya. Kamu ikut mobil Tisa aja, ya? Nanti saya lanjut meeting ke SCBD. Tisa, kamu nggak masalah, kan, antar Teguh balik ke sini?” Pak Luis tersenyum ke arah Tisa.

“Beres, Pak. Kan memang saya harus ketemu Bu Gita untuk diskusi lebih lanjut.” Tisa membalas senyuman Pak Luis, lalu menoleh lagi ke Teguh dengan senyuman yang masih penuh makna.

Teguh tak punya pilihan selain ikut tersenyum.

*** 

Bramantya menatap Rahma iba. Tampaknya Rahma memang belum sanggup menjawab pertanyaan yang ia ajukan tadi. Meskipun sebenarnya pertanyaan itu adalah reaksi dari ucapan Rahma sendiri. Bramantya maju sedikit dan sungguh ia harus menahan tangannya agar tak menggenggam tangan Rahma yang tampak sedikit bergetar.

“Kalau kamu belum bisa menjawab sekarang, gapapa. Aku punya waktu seharian di sini. Kita bahas hal lain aja, ya?” ajak Bramantya lembut.

Rahma terpaksa mengangguk karena ia memang benar-benar tak sanggup mengucapkan permintaannya kepada Bramantya. Mungkin belum sekarang, mungkin nanti.

“Soal pasokan obat-obatan kita yang tersendat, saya masih berusaha mencari di titik mana hambatannya. Karena menurut Pak Wira, harusnya semua aman.”

Rahma mengangguk. “Iya, Pak. Sekarang bahkan bukan hanya obat produksi perusahaannya Pak Wira yang masalah. Kita selalu nggak kebagian insulin suntik yang harganya terjangkau masyarakat, Pak. Yang ready selalu insulin suntik yang super paten dengan harga dua kali lipat. Sehingga sekarang kita kehilangan pelanggan setia, Pak.”

“Waduh. Kok kamu baru bilang?” Bramantya mengernyit serius.

“Saya juga baru tahu kemarin, Pak.”

Bramantya menghela napas. “Saya harus lebih serius memantau pasokan kita. Karena ini bukan hanya terjadi di cabang Persada. Di cabang lain juga sama. Tapi memang di Persada sepertinya lebih parah kondisinya.”

“Iya, Pak. Jujur, saya jadi merasa bersalah. Saya nggak bisa kerja dengan becus nge-handle cabang Persada.”

“Hey, nggak gitu juga, Rahma. Bukan di kamu masalahnya, tapi di distribusi obatnya.” Bramantya menatap Rahma dalam dengan senyuman di bibirnya. “Kamu tenang aja, ya? Saya akan beresin semua.”

Rahma mengangguk. Kali ini ia membiarkan tatapnya dan netra Pak Bramantya saling beradu selama beberapa saat. Ia ingin menemukan keberanian di sana, keberanian untuk mengatakan apa yang sudah ia latih. Atau mungkin di sana salahnya? Seharusnya ia ungkapkan saja semua apa adanya tanpa perlu harus menggunakan skrip yang setiap katanya sudah dipilih dan dirancang sedemikian rupa.

“Pak ... ?” Di telinga Bramantya, suara Rahma memanggilnya barusan, walau masih menggunakan sapaan Pak, terdengar begitu lirih dan tercekat.

“Ya ... ?” jawab Bramantya dengan suara yang sama lirihnya.

Persis ketika Rahma hendak mengungkap isi hatinya, dilihatnya Bi Iim menghampiri dari arah belakang Bramantya.

“Ada Bi Iim, Pak.”

Bramantya menoleh sambil mengomel dalam hati. Ia yakin Rahma akan mengatakan sesuatu yang penting barusan.

“Den, Neng, sebentar lagi Dzuhur. Setelah sholat apa mau langsung dahar?”

Bramantya berusaha tersenyum dan mengangguk. “Iya, Bi.”

Bi Iim pun pamit kembali ke dapur. Dan kemudian terdengarlah adzan dari Masjid tak jauh dari sana. Entah bagaimana, seperti sudah saling terhubung satu sama lain, bibir Bramantya dan Rahma sama-sama menyunggingkan senyum. Dan kali ini Rahma kembali tidak menunduk. Ia masih saling menatap dengan Bramantya, suaminya.

“Aku sholat di Masjid, ya?” Ada yang menghangat di hati Rahma saat Bramantya pamit kepadanya. Rahma mengangguk di antara senyuman yang masih terhampar dari bibirnya.

Setelah Bramantya pergi, Rahma memutuskan untuk ke kamarnya untuk sholat Dzuhur. Dan saat ia masuk, suasana di sana sungguh berbeda dengan sebelumnya. Seluruh dindingnya putih gading, tampak bersih dan cerah. Seprai di tempat tidurnya kini tampak putih bersih dengan renda mewah menjuntai ke bawah dan pada sarung bantal dan gulingnya. Pada satu sisi meja nakasnya terdapat lampu yang tak kalah mewah dengan kristal menjuntai di sekelilingnya. Di meja nakas di sisi lain terdapat vas dengan lukisan abstrak berwarna merah sangat muda dengan latar putih dan bebungaan cantik berwarna senada. Bahkan gordennya pun diganti, senada dengan vas dan tempat tidur.

Terlebih lagi, persis di dinding di atas kepala tempat tidur, ada foto pernikahan Rahma dengan Bramantya dengan bingkai yang mewah. Rahma terdiam, terpaku memandangi foto itu. Hingga ia tak menyadari Bi Iim sudah di ambang pintu.

“Neng, bagus, ya, kamarnya? Semua ini Aden Bram yang siapkan.”

Rahma menoleh dan tersenyum. Lalu ia menatap gelang di tangannya. Apa maksud Pak Bram dengan semua kemewahan ini? Apakah Pak Bram sedang berusaha membeli hati dan ragaku dengan semua pemberiannya?

“Neng,” panggil Bi Iim lagi. “Itu mukena sudah di lemari. Kalau Neng Rahma mau ganti baju, ada juga beberapa baju di sana.”

Rahma tertegun. “Pak Bram juga yang siapkan?”

Bi Iim mengangguk dan tersenyum. Rahma mencoba tersenyum. Rahma membuka lemari dan tampak baju yang selama ini hanya bisa Rahma tatap di departemen store atau butik mahal di mall, kini ada di lemarinya. Bersanding dengan beberapa kemeja dan piyama Bramantya.

Hati Rahma tak keruan. Harusnya tadi ia ucapkan saja apa yang sudah ia persiapkan sejak semalam sehingga apa yang sekarang terhampar di hadapannya tak membuatnya ragu atau bahkan tersentuh.

Pak Bram, jangan buat aku mencintaimu dulu. Bukan begini skenario yang sejak semalam tergambar di benakku.

  1. Di Kamar Terpisah

Rahma sudah menunggu di meja makan. Duduk dengan jantung yang berdegup kencang seperti kaki-kaki kuda yang berderap mengejar lawan dalam sebuah perang.

Ini saatnya, pikir Rahma, tak boleh ditunda lagi. Aku harus mengatakan semua.

Terdengar suara pintu depan dibuka, lalu terdengar langkah Bramantya yang semakin dekat semakin  membuat ritme jantung Rahma  tak keruan. Dan saat lelaki itu berdiri di hadapannya, dengan senyuman dan wajahnya yang seakan memancarkan sinar kesholehan, leher Rahma tercekat, matanya berkaca-kaca. Tangannya seakan ingin terjulur untuk mencium khidmat tangan lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya ini, tapi belum, belum waktunya.

Bramantya mengambil kursi di seberang Rahma.  

Rahma berdiri dan langsung mengambilkan nasi untuk Bramantya. “Segini cukup, Pak?”

Bramantya tersenyum dan mengangguk. Hatinya menghangat, tak menyangka Rahma akan melayaninya. Namun, mengingat betapa tadi sebelum Bi Iim datang menghampiri, saat mereka di gazebo, Bramantya sungguh tak merasa tenang. Apa yang sebenarnya hendak Rahma bicarakan?

Suasana makan siang di antara mereka begitu tenang. Bramantya seakan tak berani membuka pembicaraan karena takut Rahma akan mengutarakan apapun yang ingin ia katakan. Sementara Rahma merasa apa yang akan ia ucapkan hanya akan melenyapkan napsu makan Bramantya. 

Sepasang suami istri itu akhirnya hanya saling melirik dan tersenyum jika tatap mereka beradu, lalu kembali sibuk dengan hidangan di depan mereka. Hingga akhirnya mereka selesai bersantap dan tak ada alasan lagi untuk menunda pembicaraan penting di antara mereka.

“Rahma,” panggil Bramantya pelan. “Apa yang ingin kamu bicarakan dengan saya?”

Sejenak, Rahma sempat merasa ragu, namun hingga kapan ia harus menahan ketegangan ini?

“Pak, maaf, saya nggak mencintai Bapak.”

Meluncurlah kalimat itu dari bibirnya. Kalimat yang saat ia latih semalam terasa tegas dan menggema kuat dari seluruh ruang hatinya, namun siang ini terasa seperti sebuah dusta.

Sejenak, senyuman lenyap dari bibir Bramantya. Lelaki itu menyesap air putih dari gelas di sebelah tangannya. Lalu ia kembali tersenyum. Sebuah senyuman bijak yang meluluhlantakkan perasaan Rahma dan mengubahnya menjadi rasa bersalah.

“Saya tahu,” ucap Bramantya kemudian. “Sekarang, apa yang kamu inginkan?” Bramantya sudah siap dengan keputusan terburuk, perceraian. Walaupun saat melihat Rahma mengenakan gelang pemberiannya dan ketika Rahma melayaninya dengan mengambilkan nasi untuknya, ia sempat menyimpan asa.

“Saya nggak tahu kapan akan bisa mencintai Bapak. Tapi saya ingin mengajukan sebuah perjanjian.”

Kening Bramantya berkerut. “Perjanjian?”

Rahma mengangguk.

“Yang membuat saya memutuskan untuk menikah dengan Bapak adalah ucapan mamah saya.” Rahma menerawang. “Kata Mamah, Mamah minta maaf karena tidak bisa memenuhi semua keinginan saya. Terutama karena Mamah nggak bisa membiayai kuliah saya.

“Padahal bukan Ayah dan Mamah yang nggak mau tapi saya yang menolak. Ayah hanya tukang gado-gado pinggir jalan. Kalau memang harus membayar uang kuliah saya, Ayah harus berjualan hingga sore. Saya nggak tega, Pak. Waktu saya kelas duabelas SMK aja, demi membayar semua biaya praktek, perpisahan, hingga tetek bengek lainnya, Ayah harus dagang sampai sore. Padahal, sebelum dini hari Ayah harus sudah bangun untuk mempersiapkan semua bahan gado-gado dan menggiling kacang untuk bumbu.

“Saya sudah bertekad, menabung untuk biaya kuliah. Tapi waktu Ayah sakit, saya gunakan uang itu untuk tambahan Ayah berobat. Setelah saya pindah ke apotek Bapak, saya berniat untuk menabung lagi tapi ternyata Ayah sudah tidak bisa melihat saya dan Teguh tanpa hubungan yang jelas. Ayah meminta kami menikah.”

Rahma menyesap air putih di gelas di sebelah tangannya. Bramantya refleks melakukan hal yang sama.

“Mamah bilang, kalau saya menjadi istri Pak Bramantya, saya akan hidup enak, tinggal di rumah yang layak. Bahkan mungkin saya bisa kuliah. Mamah bisa tenang melihat anak satu-satunya hidup bahagia.”

Rahma tersenyum getir.

“Padahal, bukan itu ukuran kebahagiaan saya.”

“Lantas apa ukuran kebahagiaan kamu?” potong Bramantya sebelum Rahma berbicara lagi.

“Ukuran kebahagiaan saya adalah kebahagiaan orang tua saya.”

“Nggak bisa gitu juga, dong, Rahma. Kamu harus punya ukuran kebahagiaan untuk diri kamu sendiri,” protes Bramantya.

Rahma menggeleng. “Nggak, Pak. Ayah dan Mamah sangat baik dan sangat menyayangi saya. Sejak saya kecil, terutama Ayah, tak pernah mendahulukan kepentingan mereka. Selalu saya yang didahulukan.”

“Bukankan semua orang tua juga begitu?” desak Bramantya.

Rahma menggeleng lagi. “Nggak, Pak. Beberapa teman saya sering curhat tentang orang tua mereka yang egois, yang mendahulukan kepentingan mereka sendiri, kebahagiaan mereka sendiri, ketimbang anak-anak mereka. Saya juga melihat sendiri, berbeda sekali perlakuan orang tua mereka bila dibandingkan dengan Ayah dan Mamah. Nggak usah jauh-jauh, Pak. Ibu Kak Teguh, contohnya.”

Bramantya manggut-manggut. “Oke, kamu ada benarnya.” Bramantya menarik napas dalam. “Jadi, perjanjian apa yang kamu inginkan dari saya?”

Rahma pun menarik napas dalam, berusaha tenang saat menyampaikan maksudnya. “Saya akan menjalankan semua kewajiban saya sebagai istri Bapak. Namun, izinkan saya kuliah. Maaf, bukan sekedar izin, tapi tolong Bapak bantu biaya kuliah saya.”

“Jadi, tujuan kamu adalah materi?”

Rahma mengangguk. “Iya. Saya lebih baik jujur tentang ini, daripada ada omongan di kemudian hari bahwa saya perempuan matre.”

Bramantya tersenyum pedih. Ternyata Rahma sama saja dengan Lena, dia hanya menginginkan materi dan hidup yang enak. Memang aku salah dan bodoh karena mengharapkan Rahma punya sedikit saja perasaan cinta untukku. Tentu saja, semua rasa cintanya sudah ia berikan untuk Teguh.

*** 

Teguh baru saja selesai makan bersama Tisa dan Pak Luis. Pak Luis segera pamit untuk berangkat ke meeting berikut. Tinggalah Teguh dan Tisa di depan mobil Tisa.

“Yuk, gue antar balik ke kantor?”

Teguh menggeleng. “Nggak usah, gue bisa naik ojek.”

“Lo mau kerja sama gue dan Pak Luis gagal hanya karena gue nggak anterin pegawainya balik ke kantor? Udah, jangan banyak protes, naik!”

Tisa masuk ke mobil. Teguh terpaksa ikut masuk. Persis saat Teguh duduk, Tisa ternyata sudah berpose untuk wefie dan memanggil Teguh.

“Guh!”

Teguh refleks menoleh. Tisa tersenyum dan mengambil gambar, lalu segera mengunggah ke medsosnya. Teman SMP dan SMA yang semoga akan menjadi rekan kerja. Begitu tulisnya di caption.

Tisa menunjukkan kepada Teguh. Teguh hanya bisa menarik napas dalam karena yang terbayang adalah Rahma. Semoga Rahma tidak salah sangka soal foto itu.

*** 

Rahma masih terdiam, menunggu reaksi Bramantya. Karena Bramantya masih hening, Rahma segera mengutarakan kelanjutan rangkaian kata yang ia persiapkan semalam.

“Tapi kalau Pak Bramantya tidak setuju, Bapak boleh menceraikan saya hari ini juga. Kita bisa urus ke Pengadilan Agama besok supaya bisa segera diproses.”

Bramantya tersenyum lagi. Ia menggeleng.

“Nggak, saya nggak mau menceraikan kamu.”

Rahma menelan ludah. Tak menyangka Bramantya semudah itu mengucapkannya.

“Saya ingin kamu tetap menjadi istri saya. Kita buat perjanjian. Tapi saya juga boleh menambahkan klausul dalam perjanjian kita.”

“Silakan, Pak.”

“Kamu akan saya biayai kuliah dari keuntungan cabang Persada. Jadi, bisa dibilang, kamu membiayai sendiri kuliah kamu. Jika kamu sudah lulus kuliah nanti, cabang itu akan sepenuhnya menjadi milik kamu. Kita akan urus ke notaries soal itu. 

“Saya juga akan memindahkan kamu dan orang tua kamu ke salah satu rumah milik saya. Karena tentu saja, nggak mungkin istri dan mertua pengusaha seperti saya tinggal di rumah kamu sekarang. Maaf, bukan saya menghina rumah kamu. Ini murni keputusan bisnis. Rekan bisnis saya akan mencari celah untuk merendahkan saya, saya nggak mau keadaan itu yang mereka gunakan.

“Seperti istri saya yang lain, kamu akan mendapat giliran. Nanti Najla yang akan mengatur jadwalnya.”

Rahma tercekat. Ia sudah menduga akan seperti ini. Ia mengangguk.

“Baik, Pak, saya paham kewajiban saya sebagai istri, terlebih setelah saya mendapatkan hak saya.”

“Kewajiban yang mana? Bahwa saat saya di rumah kamu, kamu harus menyiapkan makanan saya, mengurus pakaian saya, iya. Tapi kamu nggak usah khawatir, kita akan tidur di kamar terpisah.”

Rahma terdiam. Kaget. Bingung.

  1. Rumah Mewah untuk Rahma dan Timbal Balik untuk Bramantya

SEMINGGU KEMUDIAN

Rahma baru saja selesai menghubungi Pak Wira via telepon. Menurut Bu Yana, semua cabang sudah berhasil mendapatkan pasokan dari pabrik Pak Wira walau memang ada kendala awalnya. Namun hanya stok cabang Persada yang masih terhambat. Rahma sudah berjanji kepada Pak Bram akan mengurus hal ini. Ia tak akan tinggal diam. Apalagi siang nanti ia sudah janjian dengan Pak Bram untuk makan siang bareng dan sudah pasti mereka akan membahasnya.

Ya, ini pertemuan pertama mereka setelah perbincangan yang berakhir membingungkan persis seminggu yang lalu. Entah akan sekikuk apa pertemuan nanti. Apakah lebih parah dari minggu lalu?

Tak terasa, senyum tersungging di bibir Rahma. 

Setelah Pak Bram membahas tentang tidur terpisah, wajah pria itu merona. Dan tentu saja, wajah Rahma turut merona. Sebenarnya rasa panas di pipinya sudah terasa sejak ia menyatakan paham akan kewajibannya sebagai istri. Namun ucapan Pak Bram semakin memperjelas apa yang sedang mereka bahas secara implisit.

Dua orang dewasa dengan status hubungan yang sudah sah namun masih merasa kikuk membahas hal itu. Rahma tak habis pikir, bagaimana dengan mereka di luar sana yang terang-terangan mengumbar kegiatan yang harusnya menjadi rahasia di dalam kamar. Apakah menuliskannya atau memerankan adegannya tidak membuat mereka risih sendiri?

Entahlah, mungkin hanya Rahma yang masih terlalu kolot atau dunia yang sudah semakin tak ia pahami. Namun, baginya, kekikukan di antara dirinya dan Pak Bram justru terasa manis. Bahkan masih bisa membuatnya tersenyum hingga tujuh kali duapuluh empat jam semenjak peristiwa itu terjadi.

Setelah pesan dari Pak Bram masuk dan Rahma pamit kepada Uli, Rahma menunggu di depan apotek. Senyumnya refleks tersungging saat melihat mobil sang suami mendekat dan berdiri di depannya. Dari dalam mobil, Pak Bram membukakan pintu. Rahma masuk dan segera duduk.

“Assalamu'alaikum,” sapanya lirih.

Bramantya menjawab tak kalah lirihnya. “Wa'alaikum salam.”

Lalu mobil melaju. Mereka akan makan siang, lalu pergi melihat rumah yang Bramantya siapkan untuk Rahma. Rahma masih berusaha menolak ide itu, ia tak ingin pindah. Namun Bramantya kembali menegaskan, ia melakukan hal itu bukan untuk Rahma melainkan untuk dirinya sendiri.

Suasana makan siang terasa lebih santai justru karena mereka membahas hal di luar diri masing-masing, yaitu pekerjaan.

“Jadi, apa kata Pak Wira?” tanya Bramantya setelah Rahma cerita bahwa ia menelepon kolega mereka tersebut.

“Pak Wira bilang, beliau sedang menyelidiki salah seorang pegawainya di bagian distribusi karena ada banyak kejanggalan setelah mereka kerja sama dengan sebuah apotek baru di kawasan Pejuang.”

Bramantya terkejut. “Di Pejuang? Punya siapa katanya?”

“Itulah, Pak, masih belum jelas. Pak Wira juga bilang, masih belum bisa memberitahukan lebih banyak dari itu.”

Bramantya mengangguk-angguk. “Saya pernah membahas dengan Andi untuk buka cabang di dekat wilayah Pejuang tapi dia selalu menolak ide itu. Ternyata sekarang ada yang buka apotek di sana.”

Rahma terdiam dan agak terkejut mendengar apa yang baru saja Pak Bram katakan. Ia teringat ucapan Pak Wira lainnya yang diminta untuk tidak disampaikan kepada Pak Bram dulu karena Pak Wira masih menyelidiki lebih lanjut, “Saya rasa, ada keterlibatan orang dalam di jaringan apotek Pak Bram, tapi saya belum berani memastikan.”

“Siapa, Pak?” tanya Rahma.

Dengan ragu-ragu, Pak Wira menjawab, “Andi. Tapi semoga saya salah. Dia kepercayaan Pak Bram di Cabang Mulya, kan?”

Dan Rahma juga teringat bahwa Andi pernah berucap, “Liat aja entar, Ma. Kalo gue udah punya modal, gue akan buka apotek sendiri, gue bikin cabang yang lebih banyak dari Pak Bram. Hehehe! Pak Bram bakalan kalah sama gue!”

Kecurigaan Rahma semakin tajam. Namun ia akan menuruti permintaan Pak Wira, ia akan menunggu hingga penyelidikan selesai.

*** 

Tisa celingukan di lobi kantor Teguh. Menunggu pria itu muncul dari ruangannya. Ia ingin mengajak Teguh makan siang lagi. Namun kali ini hanya berdua. Pak Luis tidak boleh ikut!

Sambil menunggu, Rahma membuka ponselnya, mengecek medsosnya. Fotonya dengan Teguh di-like dan dikomen oleh banyak teman SMP dan SMA mereka. Kecuali satu orang, padahal justru tujuannya hanyalah satu orang itu. Rahma.

Mungkin Rahma sudah melihat namun tidak bereaksi. Tapi medsos Rahma juga sepi semenjak insiden pernikahannya dengan pria yang sudah beristri dua sekitar dua minggu silam. Mungkin Rahma ingin menarik diri dari keriuhan medsos, pikir Tisa.

Tisa sekali lagi melirik ke arah ruangan Teguh. Sepi. Ia sudah memastikan ke resepsionis, Teguh hari ini masuk kerja dan tidak tugas luar. Tapi ke mana dia?

Yang muncul justru adalah Bayu. Tisa yang mengenalinya segera menghampiri. 

“Mas, temannya Teguh, ya?”

Bayu tersenyum. “Iya. Mau ketemu Teguh lagi?”

Tisa mengangguk.

“Teguh kalau hari Kamis gini ada di Musholla sepanjang waktu istirahat. Soalnya dia lumayan sering puasa Senin-Kamis.”

“Oh...?” Tisa terperangah. “Di mana Musholla-nya?”

Bayu menunjukkan. Tisa melangkah ke sana dengan hati yang dipenuhi rasa kagum. Teringat saat pertama kali ia melihat Teguh sepuluh tahun silam adalah di depan Musholla sekolah mereka. Teguh dengan wajah alim dan cerdasnya membuat Tisa tak pernah bisa sekejap pun melupakannya.

Di depan Musholla, Tisa berdiri memandangi Teguh yang sedang mengaji di salah satu sudut. Bacaannya sungguh bagus. Mata Tisa berkaca-kaca. Dulu ia pernah bisa mengaji, tapi entah sekarang. Sudah sangat lama sejak terakhir kali ia membaca ayat suci Al-Qur’an. 

Dan sialnya, ia teringat betapa Rahma juga pandai mengaji. Apakah ia bisa menggantikan posisi Rahma di hati Teguh? Sukma Tisa menggalau. Ia batal menemui Teguh. Toh mereka tidak bisa makan siang bareng juga. Untuk apa ia berdiri di depan Musholla dan memandangi apa yang sepertinya tak pantan untuk menjadi miliknya?

Tisa hendak berbalik pergi saat sang resepsionis muncul.

“Eh, Mbak Tisa? Temannya Mas Teguh, kan? Mau sholat, ya? Bawa mukena, nggak? Kalo enggak, ada tuh di sana. Aku juga mau sholat. Bareng, yuk?”

Tisa tak dapat menolak, ia mengangguk dan tersenyum. Dan saat ia hendak masuk ke Musholla tersebut, ia mendapati Teguh sedang menatap ke arahnya, tampak heran. Tisa berusaha menyunggingkan senyuman selebar mungkin, walau hatinya tak keruan.

*** 

Rahma melangkah memasuki sebuah rumah yang mungkin sepuluh kali lebih luas dari rumah mungil ayahnya. Berapa harga rumah sebesar ini?

“Kamu suka?”

Rahma terdiam, hanya bisa menganga dengan senyuman yang tanggung, tertahan. Siapa yang nggak suka rumah seindah ini?

Ya, bukan hanya besar, tapi juga indah. Semua catnya berwarna putih. Bersih. Bentuknya seperti rumah yang biasa Rahma lihat di film dan televisi. Dengan pilar besar, dinding yang kokoh, dan detil ornament yang anggun. Seakan tidak nyata, seakan hanya rumah impian. Rumah untuk seorang putri raja. Sementara ia hanya putri seorang tukang gado-gadi tepi jalan.

“Kok diam aja?” tanya Bramantya lagi.

“Apa nggak terlalu besar, ya, Pak?” tanya Rahma.

Bramantya menggeleng. “Enggak. Justru saya agak nggak enak hati sama kamu, karena ini rumah terkecil yang saya punya. Kapan-kapan saya kasih tahu kamu alasan kenapa saya pilih rumah ini untuk kamu. Sekarang ini kamu nggak perlu tahu dulu.”

“Gimana bersihinnya, ya, rumah sebesar ini?” Rahma melangkah ke tengah ruangan yang masih kosong itu.

Bramantya terkekeh. “Nanti saya siapkan asisten rumah tangga buat kamu.”

Rahma berbalik dan tatapannya beradu dengan Bramantya. Belakangan, sering sekali tatapan mereka beradu. Dan tahu apa yang Rahma rasakan dalam hati? 

Rindu. 

Ya, bahkan saat mereka bersama, Rahma merasa rindu kepada sosok di hadapannya. Apakah aku telah jatuh cinta? Karena apa? Karena gelang ini? Rahma menatap gelang di tangannya. Karena rumah megah ini? Rahma memandangi sekeliling rumah.

Diam-diam Rahma beristighfar. Hatinya menciut takut, jangan-jangan aku sudah menjadi stereotip istri ketiga yang matrealistis?

Lamunan Rahma terusik oleh panggilan Bramantya. “Rahma. Rahma? Kamu melamun?”

Rahma tersenyum kikuk.

“Tadi aku bilang, besok kamu ke toko meubel punya sahabatku di Jalan Pemuda. Ajak ayah dan mamah kamu. Kalian pilih apa aja yang diperlukan untuk rumah ini. Oke?”

Di hadapan Bramantya, Rahma hanya bisa mengangguk, karena sejujurnya ia sedang melawan entah rasa apa lagi yang muncul di hatinya sehingga ia harus menahan agar air matanya tidak terjatuh.

Mungkin karena ia tak pernah dimanjakan seperti ini dengan materi. Rahma segera menjelaskan.

“Pak, apakah semua ini nggak berlebihan? Saya mungkin memang sempat bilang minggu lalu di rumah Bogor bahwa saya menginginkan materi. Tapi yang saya inginkan hanyalah sejauh saya bisa kuliah. Bukan kemewahan seperti ini. Saya takut kewajiban sebagai istri yang harus saya jalankan tidak seimbang dengan apa yang Bapak berikan.”

Bramantya mendekat, berdiri di depan Rahma dengan jarak tak lebih dari duapuluh senti. “Kamu tenang aja. Seperti ucapan saya minggu lalu, saya nggak akan menuntut apapun dari kamu, terlebih kewajiban istri yang satu itu. Paling tidak, hingga kamu lulus kuliah. Toh kamu kuliah itu kasarnya dari biaya kamu sendiri, dari kerja keras kamu menjalankan cabang Persada dengan baik. Setelah kuliah, semua terserah kamu.

“Mengenai rumah ini, ini ketiga kalinya saya bilang, ini demi saya sendiri, demi bisnis saya. Semua orang harus tahu, bahwa saya memperlakukan istri-istri saya dengan baik. Saya tidak mau ada rumor tak penting yang berkembang di luaran yang kemudian menjatuhkan usaha saya. Paham?”

Rahma tak berani menatap Bramantya, ia hanya mengangguk sambil menunduk.

“Tapi saya ada satu permintaan. Mungkin bisa kamu anggap sebagai timbal balik atau balasan dari fasilitas rumah dan isinya yang saya sediakan untuk kamu.”

Jantung Rahma berdegup kencang. Mau apa Pak Bram? Rahma refleks mundur. Semoga bukan sentuhan fisik. Aku belum siap. Apalagi tadi Pak Bram bilang, dia nggak akan menuntut apapun dari aku. Tapi kenapa...?

  1. Saksi Bisu Gemuruh di Hati

Bramantya mendapati Rahma tampak gugup. Apalagi Rahma terus tertunduk. Bramantya tak tahan lagi. “Tatap mata saya.” Suara Bramantya terdengar berat.

Rahma terpaksa mengangkat wajahnya, menatap pria yang pernah terlarang baginya namun kini telah menjadi suaminya.

Setelah tatapan mereka bertemu, Bramantya mengungkapkan permintaannya. “Panggil saya Mas. Itu permintaan saya.” Bramantya tersenyum. “Saya lelah mendengar kamu manggil saya bapak. Serasa saya seumur dengan ayah kamu setiap kali kamu panggil saya bapak.”

Tak terasa bibir Rahma terangkat ke atas, tersenyum dengan candaan suaminya barusan. Lalu dengan hati-hati, ia mengucapkannya.

“Baik, Mas.”

Bramantya menghela napas lega. Sejujurnya, ia sangat ingin memeluk tubuh mungil di hadapannya karena rasa sayang yang semakin bersemi di hatinya. Tapi ia lelaki yang selalu berusaha menepati janji. Ia takkan menyentuh Rahma kecuali memang Rahma yang memintanya.

Saat mereka hendak keluar rumah setelah cukup melihat-lihat, tiba-tiba langkah Bramantya terhenti. Ia ingin mengingatkan.

“Nanti kamu buat seakan kita sekamar, ya? Agar orang tua kamu tidak canggung. Tapi kamu siapkan ruang kerja buat aku, tarok tempat tidur di sana. Jadi kalau orang tua kamu sudah tidur, aku akan pindah ke ruang kerjaku. Bikin connecting door aja. Supaya nggak mencurigakan. Dua kamar itu kan bersebelahan.” Bramantya menunjuk ke arah kamar-kamar yang ia maksud.

Rahma mengangguk. “Iya, Mas.”

Bramantya tersenyum. Hampir saja tangannya refleks menggandeng tangan Rahma, untung saja ia segera tersadar dan mengurungkannya. Mereka melangkah ke mobil dan seperti sebelum-sebelumnya, Bramantya membukakan pintu untuk Rahma.

Namu, belum sempat Bramantya menutup pintu itu kembali, tiba-tiba ada telepon masuk dari Icha di ponsel Bramantya. Dari Icha? Nggak biasanya dia menelepon, selama ini paling ia hanya chatBramantya buru-buru menerima panggilan itu.

“Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikum salam! Ayah, cepet pulang, Bunda pingsan!”

Bramantya terkejut. “Innalillahi. Iya, Ayah pulang sekarang.”

“Kenapa, Pak?” Rahma segera mengoreksi, “Maksud saya, ... Mas? Ada apa?”

“Najla pingsan.”

“Ya Allah!”

*** 

Teguh memandang Tisa dengan tatapan masih tak percaya. Untuk apa perempuan sepintar, sekaya, dan secantik Tisa begitu ingin dekat dengannya?

Sebelum Teguh pergi dengan Tisa untuk makan siang bersama, Bayu berbisik, “Guh, udah, lo pepet aja. Mau cari di mana lagi lo perempuan kayak dia?!”

Bayu benar, tapi masalahnya, Teguh tidak merasa sedang mencari perempuan manapun. Ia sudah memantapkan hati untuk menunggu Rahma. 

Bayu sempat menggodanya, “Jadi, lo bakal bilang ke Rahma, kutunggu jandamu, gitu, Guh?”

Teguh mengangguk mantap, yang tentunya diiringi gelak tawa Bayu. 

Gapapa, Bay, ketawain aja gue. Sekalipun seluruh dunia ngatain gue goblok, bodoh, tolol, apapun itu, gue hanya akan tetap memilih Rahma. Sekalipun beribu perempuan ngejar-ngejar gue, yang gue tunggu hanya Rahma.

“Guh, nanti malam pulang kerja nonton, yuk?” tiba-tiba Tisa memecah kesunyian di antara mereka, membuyarkan lamunan Teguh.

Teguh tersenyum. “Kayaknya gue malam ini lembur, Sa.”

“Besok?”

“Nggak bisa.”

“Lusa?”

“Nggak bisa.”

“Oke, gue paham.” Lalu Tisa diam dan melanjutkan makan.

Teguh memandangi perempuan berdagu belah di hadapannya. Ia pikir, Tisa akan marah, lalu pergi, urusan kelar, tapi ternyata dengan santainya Tisa malah tetap di sana. Teguh diam-diam tersenyum.

Mungkin gue harus meniru kegigihan Tisa. Tapi Tisa nggak bisa mendapatkan gue karena gue cintanya sama Rahma. Sementara gue, apakah gue bisa kembali merebut cinta Rahma? Rahma belum pindah ke lain hati, kan? Belum jatuh cinta sama Pak Bram, kan?

Tiba-tiba kekhawatiran Teguh kembali mendera.

*** 

Bramantya dan Rahma tiba di rumah Najla. Mereka buru-buru masuk, terutama Bramantya. Ia tampak khawatir. Rahma dapat melihat betapa Bramantya begitu panik, sehingga ia bisa menakar sebesar apa cinta Bramantya kepada Najla. Dalam hati, Rahma merasakan sedikit kecemburuan karena ia tahu, Bramantya menikah dengannya hanya demi menolongnya dank arena keinginan Najla.

Dan saat Rahma tiba di kamar Najla, ia disambut tatapan tajam istri kedua suaminya. Namun tatapan tajam itu segera berubah seiring dengan senyuman yang tiba-tiba tersungging di bibir perempuan yang pernah melabrak Rahma.

“Alhamdulillah, untung Mas Bram cepet datang!” Entah mengapa, Rahma dapat merasakan kepura-puraan pada nada suara Lena.

“Najla, kamu kenapa?” Bramantya tak memedulikan Lena, ia segera duduk di dekat Najla yang tampak pucat.

Tapi bukannya menjawab, Najla malah menoleh ke Rahma yang berdiri tak jauh dari ambang pintu, seakan ragu untuk masuk. “Sini, Rahma.”

Lena kesal mendengar Najla malah memanggil Rahma. Ia pura-pura menjadi istri kedua yang legowo dan mundur selangkah, seakan mempersilakan Rahma mendekat. Namun Rahma tahu posisinya.

Rahma bergeming di tempatnya. “Saya di sini aja.”

“Kita ke dokter, ya?” ajak Bramantya kepada Najla, tak memedulikan semua.

Najla menggeleng. “Aku gapapa, Mas. Aku hanya sarapan terlalu sedikit dan terlambat makan siang.” Najla berusaha bangkit tapi ditahan Bramantya.

“Kamu mau ke mana?”

“Ada tamu, aku mau jadi nyonya rumah yang baik.”

“Kamu sakit.”

Najla menggeleng. “Melihat kalian, aku langsung sembuh.” Najla melirik ke Bramantya dan Rahma. 

Lena sadar, ia tak disertakan dalam kata ganti kalian yang Najla sebutkan. Tapi jangan harap ia akan menyingkir. Tidak akan, hingga semua tujuannya tercapai.

Najla masih memaksakan bangkit. Dengan telaten, Bramantya membimbingnya. Rahma dan Lena memerhatikan dengan perasaan masing-masing yang sama-sama terusik namun dengan sudut pandang yang berbeda. Lena dengan kebenciannya dan kecemburuannya yang membabi buta. Rahma dengan rasa bersalahnya kepada Najla yang semestinya memiliki Bramantya seutuhnya dan dengan entah perasaan apa yang mulai bersemayam di hatinya untuk Bramantya.

Dan siang menjelang sore di rumah Najla itu pun menjadi saksi bisu gemuruh di hati Bramantya dan ketiga istrinya. Rasa cinta, rasa suka, rasa cemburu, rasa benci, rasa bersalah, semua bergelut berusaha saling mengalahkan namun tak ada satu pun yang memenangkan pertarungan.

  1. Hati yang Masih Bertaut (?)

Rahma menggandeng Erma memasuki rumah yang telah disediakan oleh Bramantya. Bahrun mengikuti di belakangnya. Dari wajahnya, tampak Bahrun tak nyaman. Sementara Erma justru sebaliknya. Ia mengagumi rumah itu, menatap semua furnitur dengan mata berbinar.

“Kita beneran tinggal di sini, Neng?” tanya Erma sambil mengelus sofa coklat beludru elegan di sebelahnya.

Rahma mengangguk. 

Erma menoleh ke Bahrun. “Ayah! Rumah kita gede sekarang!”

“Bukan rumah kita, Mah. Rumah Nak Bramantya.”

“Ih, Ayah, mah. Nggak boleh seneng sedikit aja.” Dengan wajah sebal, Erma duduk di sofa tersebut, menikmati keempukannya.

Bahrun ikut duduk di sana. “Nggak boleh mengakui apa yang bukan milik kita sebagai milik kita. Dosa.”

Rahma pun duduk di antara mereka. “Tapi ... Ayah dan Mamah mau, kan, tinggal di sini? Mas Bramantya memohon banget.”

“Mau, dong!” seru Erma bersemangat. “Mamah mau undang teman-teman pengajian buat selamatan rumah ini. Boleh?”

“Tuh, kan, bukan punya sendiri aja, Mamah udah mau pamer. Gimana kalau punya sendiri?”

Erma mencibir sebal. 

Sementara Rahma menoleh kepada Bahrun, memastikan. “Ayah, mau, kan?”

Bahrun, dengan sangat terpaksa, mengangguk. Rahma tersenyum lega. Entah mengapa dalam benaknya muncul bayangan ia makan malam bersama Bramantya dan ayah-mamahnya. Lalu ia tersenyum lagi. 

Bahrun dan Erma saling pandang, lalu menatap Rahma iba. Dalam hati berdoa untuk kebahagiaan putri tunggal mereka.

*** 

Andi sedang menunggu Lena menjemputnya. Ia tampak sangat gelisah, melihat ke sana ke mari seakan takut ada yang memergokinya. Dan saat akhirnya mobil Lena berhenti di hadapannya, Andi buru-buru masuk dan meminta Lena segera berlalu.

“Kenapa, sih, kamu tegang banget?” tanya Lena gusar.

“Pak Wira curiga sama aku.”

Lena terdiam.

“Kalau Pak Wira bisa menelusuri semua dan sampai lapor ke Bramantya, habis kita!”

Lena tampak kesal. “Bukannya kamu udah hati-hati banget?!”

“Dunia medis ini sempit. Sehati-hati apapun, kalau sudah tergelincir, bisa runyam.”

Lena mengerem mendadak dan menatap emosi ke Andi. “Kamu bilang, semua akan aman?! Gimana, sih?! Pokoknya pastikan kamu sukses dengan cabang ini dan buka cabang lainnya! Raih cita-cita kamu untuk bisa sebesar Bramantya! Aku nggak mau kita ketahuan sebelum kamu kaya raya!”

“Enak banget kamu ngomong gitu?!”

“Ya kamu juga, sih! Enak banget kamu bahas ini dan bilang, habis kita! Kamu habis, aku nggak peduli! Aku habis, Fadhil bisa jadi gelandangan! Kamu udah pakai tabungan aku buat Fadhil untuk buka cabang itu! Awas aja kalau kamu gagal!”

“Oh, berani kamu ngancam aku?!”

“Kamu pikir aku penakut?! Aku nggak akan sampai di titik ini kalau aku pengecut?! Tapi aku nggak bodoh, aku banyak perhitungan. Jadi, jangan sampai kamu bertindak bodoh!”

“Kamu bilang kamu cinta aku?”

“Cinta *a*k kucing! Turun kamu! Aku muak lihat muka kamu!”

Andi terbelalak syok. “Nggak nyangka!! Aku nggak nyangka!”

“Aku juga nggak nyangka kamu sebodoh itu!”

Dengan kesal Andi keluar dari mobil Lena dan membanting pintu. Lena langsung tancap gas. Andi menatap sinis kepergian Lena, lalu tersenyum bengis, sebelah alisnya terangkat. 

“Kamu akan jadi korbannya, Lena. Posisi ini akan tetap menguntungkan untuk aku. JRENG! 

***

Najla sedang duduk berdua dengan Bramantya di halaman belakang rumah mereka. Tangan mereka tergenggam erat. Mereka menatap langit yang jernih dipenuhi bintang-bintang dan diterangi cahaya bulan.

“Sejak remaja, aku membayangkan akan melakukan ini dengan suamiku.”

“Menatap langit sambil saling bergenggaman tangan?”

Najla mengangguk. Lalu ia menoleh ke Bramantya. “Lakukan ini sesekali dengan Rahma.”

Bramantya menghela napas. Najla tertawa pelan.

“Aku tau Mas nggak akan melakukan ini dengan Lena, tapi dengan Rahma, sepertinya mungkin.”

“Omong-omong soal Rahma, per besok dia akan tinggal di—”

“Aku tau. Dia minta izin sama aku.”

Bramantya terkejut. “Oh, ya?”

Najla mengangguk, menerawang. “Aku yakin kali ini aku tidak salah pilih. Aku bahagia kalau kamu dan Rahma bahagia, Mas.”

“Sejujurnya, aku ingin marah mendengar ucapan kamu.”

“Jangan. Jangan marah. Kalau kamu ingin pernikahan kita tenang, sakinah, menikahi Rahma adalah jalan yang kamu harus tempuh, Mas. Aku tenang membayangkan ada perempuan baik-baik yang akan menjaga anak-anakku kelak jika aku—”

“Jangan lanjutkan.”

Najla tersenyum, mengecup sayang punggung tangan Bramantya.

“Andai kami bisa satu rumah.”

“Jangan gila kamu, Najla.”

Najla tersenyum. “Maaf, maaf.”

Najla menggenggam erat tangan Bramantya. Ia bersyukur Bramantya mau menuruti keinginannya. Ia berdoa, Bramantya dan Rahma akan saling jatuh cinta. Suatu saat nanti.

*** 

Rahma memandangi kamar di rumah lamanya. Ini malam terakhir ia tidur di kamar yang ia tempati sejak bayi. Di kamar ini pula ia pernah didandani sebagai seorang calon pengantin. Ia pikir, ia akan menghabiskan waktu bersama Teguh di sini. Rahma membuka lemari. Ia sempat mengosongkan dua rak dalam lemari untuk pakaian Teguh. Rahma menghela napas.

“Kenapa aku harus ingat dia lagi?”

*** 

Di kamarnya, Teguh ternyata sedang memandangi foto Rahma di ponselnya. Namun pada saat yang sama, muncul foto Tisa saat telepon dari perempuan yang tak diinginkan itu masuk. Refleks jari Teguh me-reject.

Hatiku masih untuk Rahma, Tisa! Bukan untuk kamu!

  1. Antara Cinta yang Bersemi dan Ketakutan akan Kematian

Rahma terbangun di sebuah kamar yang bukan kamarnya. Namun entah mengapa, senyumnya tersungging. Matanya langsung mengarah ke pintu ruang kerja alias kamar Bramantya. Lelaki itu sejak semalam menginap, setelah dua hari Rahma menempati rumah ini. Di kejauhan, terdengar adzan Subuh. Rahma segera bangkit dan keluar kamar. Matanya menatap haru seisi rumah.

Ia tak penah mendambakan bahkan membayangkan tinggal di rumah semewah ini. Tapi kini ia di sini. Dan ayah serta mamahnya kini tak perlu lagi bangun tengah malam untuk menyiapkan jualan gado-gado di tepi jalan. Rahma segera turun ke lantai bawah, hendak menemui ayah dan mamahnya.

Di kamar mereka, ia hanya menyemui mamahnya yang baru selesai berwudhu. 

“Mah, Ayah mana?”

“Sudah berangkat ke Masjid dari tadi bareng Nak Bramantya.”

Rahma terkesiap. Hatinya terasa hangat.

“Kita sholat berjammaah, yuk?” ajak Erma.

Rahma segera mengangguk. Mereka sholat berjammaah dengan Erma sebagai imam. Selesai berdoa, Rahma memeluk Erma.

“Mamah suka tinggal di sini?”

“Suka, Neng. Tapi... Ayah nggak betah.”

Rahma terkejut. “Oh, ya? Kok Ayah nggak bilang apa-apa ke Neng?”

“Mana tega dia, Neng. Lihat kamu bahagia tinggal di sini aja, si Ayah suka ngembeng, pengen nangis.”

Mata Rahma pun menghangat. Hatinya haru sekaligus iba.

“Ayah juga kangen jualan.”

“Tapi, Mah, kata Mas Bram, Ayah jangan jualan lagi.”

“Iya, Mamah paham. Nak Bram bermaksud baik. Tapi, Neng, bayangin, Ayah udah jualan sejak muda. Sekarang disuruh diam aja. Mana bisa?”

Rahma terdiam.

“Kata Ayah, dia mau bicara sama Nak Bram. Gapapa, ya, Neng?”

Rahma mengangguk. “Iya, Mah. Tujuan Neng ajak Mamah dan Ayah ke sini kan supaya bahagia. Kalau Ayah nggak bahagia, buat apa?”

Erma berdiri dan melipat mukenanya. “Bahagia, sih, tapi lemes, karena nggak ngapa-ngapain!”

Rahma tersenyum.

*** 

Pagi hari, Rahma berangkat ke apotek bersama Bramantya. Di mobil, Bramantya mencoba membangun obrolan karena sejak semalam, ia lebih sering bicara dengan Erma dan Bahrun ketimbang Rahma. Ia merasa rindu mengobrol dengan istri ketiganya yang lembut dan cerdas.

“Kamu udah dapat info soal perkuliahan?” 

Bramantya tak tahu lagi harus membahas apa. Walaupun ia sedih karena harus membahas soal kuliah – yang Rahma jadikan sebagai alat tukar kebersamaan mereka, Bramantya terpaksa mengangkatnya. 

“Udah, Mas. Saya udah daftar juga, nanti akan ada tes dan pendaftaran ulang.”

“Kamu butuh berapa untuk uang pangkalnya?”

Rahma menelan ludah. “Belum tau. Nanti kalau sudah ada info lebih lanjut, saya kasih tau.”

“Oke.”

“Mas,” panggil Rahma lembut, sebegitu lembutnya sampai Bramantya refleks menoleh. Hatinya bergetar. “Soal Pak Wira. Kemarin, Pak Wira telepon saya, katanya ada yang mau dibahas dengan Mas.”

Bramantya kecewa karena yang Rahma bahas adalah masalah apotek, tapi ia manggut-manggut saja karena ia memang penasaran dengan permasalahan dalam bisnisnya ini.

“Kamu tolong buatin janji dengan Pak Wira. Kalau Pak Wira bisa, nanti siang kita berdua ketemu sama dia. Lunch meeting aja. Kamu pilih lokasinya.”

“Saya ikut, Mas?”

Bramantya mengangguk. “Kan yang bermasalah paling besar adalah cabang Persada yang kamu pegang. Sebaiknya kamu tahu apa yang terjadi.”

“Baik, Mas.”

Lalu hening menguasai seisi mobil. Meskipun baik hati Bramantya maupun Rahma sama-sama tidak hening.

Rahma merasakan hal yang begitu hangat karena berada di sebelah suami sekaligus atasannya. 

Sementara Bramantya menyimpan rindu yang kuat yang sudah lama ia tak rasakan kepada seorang perempuan namun juga rasa hati-hati agar tak jatuh tergelincir dalam perasaan tersebut karena ia yakin, Rahma masih di sisinya saat ini karena apa yang Bramantya miliki, bukan karena rasa cinta. Bramantya cukup merasa trauma dengan Lena. Ia tak ingin ada Lena kedua.

Ah, andai saja pasangan ini tahu apa yang masing-masing mereka rasakan.

*** 

Najla  baru saja menemui dokternya dan menerima hasil pemeriksaannya yang terbaru yang tersembunyi di balik map besar di tangannya. Sambil melangkah menuju loby rumah sakit, ia kerap bergumam, nggak mungkin, ini nggak mungkin. Bahkan setelah sampai di loby, ia memutuskan untuk balik arah, kembali menuju ruang dokter langganannnya untuk sekali lagi memastikan.

Namun setibanya ia di depan pintu, plang nama sang dokter sudah tak terpampang di sana, tanda beliau sudah selesai praktek. Najla menghentikan seorang perawat dan memohon agar ia bertemu sang dokter lagi tapi ternyata saat ditelepon oleh Suster, dokter tersebut sudah dalam perjalanan pulang. Namun beliau bersedia bicara dengan Najla di telepon.

Najla ingin memastikan sekali lagi hasil tesnya. Ia ingin dites ulang.

“Bu Najla, saya rasa itu nggak perlu.”

“Perlu, Dok,” kilah Najla. “Dan saya ingin melakukannya di rumah sakit lain.”

Sang dokter menghela napas dalam. “Silakan, Bu, yang pasti saya tidak akan mengubah diagnosa saya. Lagipula dokter radiologi juga sudah memberikan analisa yang Ibu bisa baca sendiri.”

Najla sangat kesal mendengar ucapan sang dokter yang di matanya seakan meremehkan semua yang ia rasakan di tubuhnya. Bagaimana jika beliau salah dan penyakitnya tak tertangani dengan baik dan ia mati muda karena itu? Ia takkan pernah memaafkan dokter tersebut.

“Baik, Dok, nggak masalah. Saya akan cari second opinion.”

Najla pergi dari sana dengan sangat emosi, bahkan air matanya menetes deras sehingga pengunjung rumah sakit, satpam, hingga dokter dan perawat lain yang melihatnya tampak sangat khawatir.

  1. Emosi yang Menggelegar

Teguh keluar kamar dengan wajah tak keruan. Demam yang merundunginya sejak semalam membuatnya enggan mandi, makan, bahkan enggan tidur. Namun tiba-tiba saja barusan perutnya terasa perih. Ia keluar kamar dan baru selangkah meninggalkan ambang pintu, matanya terbelalak.

“Teguh! Kamu udah bangun?” Seorang perempuan yang kehadirannya teramat sangat tak diinginkan duduk manis di hadapan Ibu Teguh, tersenyum sumeringah.

Perempuan itu berdiri dan mendekat. “Kata Ibu, kamu sakit?”

Teguh melirik ke ibunya. Saat ia masih bersama Rahma, Ibu bahkan tak pernah sekalipun memberitahukan Rahma jika Teguh kurang sehat. Kenapa sekarang tiba-tiba perempuan yang tak diinginkan ini diberi tahu?

Tutiek malah ikut mendekat dan memegang kening Teguh. “Masih demam, Nak Tisa.”

“Ke Dokter aja ya, Guh?” Tisa menatap Teguh sambil tangannya bergerak menuju kening Teguh, seakan hendak ikut merasakan panas yang bergolak di kepalanya, namun Teguh keburu menghindar.

Teguh menggeleng. “Nggak usah.”

“Ya udah, makan dulu ya, Guh? Tuh, Tisa sudah bawa makanan buat kamu.” Tutiek menunjuk ke meja makan.

Teguh menghela napas. “Ibu nggak masak?” 

“Enggak.” Tutiek tampak cuek melangkah ke meja makan. “Udah, makan aja yang ada.”

Tisa tersenyum dan berdiri di depan Teguh. “Mau disuapin?”

Teguh meringis. “Nggak, makasih. Ibu makan aja sama Tisa. Aku masih ada sisa roti semalam.” Lalu Teguh masuh kamar, tak memedulikan Tutiek yang memanggil Teguh dengan kesal.

Tisa menenangkan Tutiek. “Nggak apa-apa, Tante. Aku bawain makanan ini buat Tante juga, kok.”Lalu Tisa berbisik. “Nanti aku kirim makanan yang lain, tapi bilang aja Ibu yang beli, jadi Teguh mau makan.”

Tutiek tampak tak enak hati. “Maaf, ya, Nak Tisa.”

“Gapapa, Bu. Udah biasa.” Tisa tersenyum, lalu dengan santai mencicipi makanan yang sudah tersaji di meja.

Di dalam, Teguh merasa kesal karena sebenarnya ia tak punya roti untuk dimakan. Kalau memang ia bertambah sakit gara-gara tidak makan, ia sudah tak peduli. Kepalanya yang sakit terasa semakin sakit saja akibat melihat Tisa dan keakrabannya dengan ibunya. 

Tutiek memang sudah sering membahas soal Tisa, namun ia tak menyangka, hubungan mereka bisa sejauh itu. Dan Teguh pun refleks teringat Rahma. Ia membuka ponsel dan membuka chat mereka di WA. Hatinya terasa pedih. Tapi ia rindu. Ia ingin melihat foto-foto yang pernah mereka saling kirim dan ia pun mengklik tiga titik di atas kanan, namun pandangannya yang sedikit kabur akibat pusing membuat telunjuknya malah menekan gambar telepon di sebelah tiga titik tersebut. Teguh panik.

“Argh!!! Kenapa salah pencettt?!”

*** 

Dengan pashmina kremnya, Rahma tampak sedang menunggu Pak Wira bersama Bramantya di sebuah resto ketika ponselnya berbunyi. Ada panggilan masuk. Bramantya, yang sebenarnya sedang memandangi Rahma yang terlihat begitu anggun dengan pashmina krem yang Bramantya sadari merupakan pemberiannya itu, mengalihkan pandangan, melirik ke ponsel Rahma. Baik Bramantya maupun Rahma sama-sama terkejut melihat nama dan foto yang tertera di sana: Kak Teguh.

Rahma berusaha santai dan hendak menerima panggilan tersebut, tapi tiba-tiba saja suara panggilan masuk itu berhenti. Rahma melirik Bramantya dan tersenyum kikuk.

“Kak Teguh udah lama nggak pernah telepon atau chat. Tumben.”

Bramantya tersenyum. “Penasaran? Mungkin penting. Telepon balik aja.”

Rahma menggeleng. “Nggak usah. Kalau penting, pasti dia nge-chat.”

“Gapapa. Bener, deh. Telepon aja.” 

Rahma menggeleng lagi, lalu menunjuk ke pintu masuk. “Pak Wira udah datang, Mas.”

Bramantya tersenyum penuh makna. Sejujurnya, ia yang penasaran, untuk apa Teguh mengontak Rahma. Apalagi jika memang sebelum ini ia tak pernah menghubungi seperti pengakuan Rahma barusan. Namun perhatiannya segera teralih kepada Pak Wira. Terlebih, dari obrolan mereka, Pak Wira mengindikasikan agar Bramantya berhat-hati kepada Andi. Bukti yang Pak Wira punya belum cukup, tapi mengarah ke pegawai Bramantya tersebut. 

Mendengar ucapan Pak Wira, Rahma sontak teringat saat-saat awal ia mulai bekerja di jaringan apotek milik Bramantya. Sikap Andi benar-benar tak bersahabat dan membuatnya tak nyaman. Namun, ia merasa tak perlu menceritakan semua kepada Bramantya. Lebih baik suaminya itu fokus saja ke masalah yang sedang Andi ciptakan yang bahkan sampai hampir mengacaukan bisnis apoteknya.

Namun saat Rahma berpikir seperti itu, ucapan Pak Wira membuatnya terenyak.

“Coba Bapak selidiki juga... maaf... istri Bapak, Bu Lena. Ada rumor yang beredar, Bu Lena ada di balik berdirinya apotek yang Andi jalani sekarang.”

Rahma dan Bramantya saling pandang, sangat shocked, hampir tak percaya. Namun, Bramantya tahu betul, Pak Wira tak pernah khianat kepada Bramantya. Bramantya menghela napas dalam. Lagi-lagi Lena yang mengacaukan hidupnya.

*** 

Teguh memandangi ponselnya dengan tatapan nanar dan mata berkaca-kaca. Setidaknya, sesibuk apapun, Rahma kan bisa mengirimkan pesan kepadanya sekadar untuk bertanya kenapa dia menelepon. Sehingga Teguh bisa menjelaskan bahwa ia hanya salah pencet.

Yang masuk kemudian malah pesan dari Tisa.

Guh, aku pulang, ya. Kamu makan dulu, trus minum obat. GWS!

Teguh menghela napas dan menghempaskan tubuh ke tempat tidur, tiba-tiba terpikir. Gimana kalau gue nggak akan pernah bisa melupakan Rahma dan Rahma ternyata menerima Bramantya sebagai suaminya? Apakah gue akan hidup melajang seumur hidup? 

***

Bramantya pulang ke rumah Najla dengan hati sangat gundah. Malam itu sebenarnya adalah malam Lena. Namun ucapan Pak Wira membuat Bramantya enggan melihat wajah istri keduanya itu. 

Saat melihat Bramantya memasuki rumah, Najla segera menghampiri dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Lho, Mas...?”

“Aku lagi malas ke rumah Lena.” Bramantya sengaja tak menceritakan apa yang tadi ia dengar dari Pak Wira. Kasihan Najla yang sedang sakit jika terlalu dibebani dengan masalah tersebut.

“Tapi nggak boleh gitu, dong, Mas. Nanti kamu dinilai malaikat nggak adil, lho.”

Ingin rasanya Bramantya berteriak, ia akan bersikap adil jika ia memang menginginkan Lena sebagai istri. Masalahnya, dengan Lena, ia semata menjalankan keinginan Najla dan kewajiban setelah ijab qobul yang telah terlanjur terjadi. Tapi lagi-lagi Bramantya teringat, Najla sedang sakit.

Tak menjawab, Bramantya meninggalkan Najla dan masuk kamar. Najla tampak tak tenang. Ia terpikir, haruskah ia bertanya kepada Rahma, ada apa dengan Bramantya. Namun ia urungkan. Biarlah nanti sebelum tidur, ia tanya lagi kepada Bramantya ada apa. Karena, perasaannya mengatakan, ada yang tidak beres dengan Bramantya. Ia kenal betul suaminya.

Dan saat Najla dan Bramantya sudah terbaring bersisian di tempat tidur, sambil menatap langit-langit, Najla memastikan sekali lagi. “Mas, kamu kenapa?”

Bramantya menghela napas. “Urus saja penyakit kamu, Najla. Masalah lain, biar jadi urusan aku.”

Air mata Najla menetes, tak menyangka jawaban Bramantya akan seperti itu. 

Mendengar isak kecil Najla, Bramantya menoleh. Khawatir. “Hasil tes kamu sudah keluar?”

Najla mengangguk. Bramantya semakin khawatir dan menghapus air mata Najla. Namun Najla justru segera bangkit dari tempat tidur. Bramantya ikut bangkit, tapi Najla masih saja membelakanginya, isaknya lebih jelas terdengar.

“Apa hasilnya? Kenapa kamu nggak bilang sama aku?”

Najla tak juga menjawab. Tak sabar, Bramantya membalikkan tubuh Najla. “Apa hasilnya?!” Bramantya tampak begitu khawatir dan Najla baru menyadari, mata Bramantya berkaca-kaca.

Merasa dzalim jika ia membiarkan suaminya khawatir seperti ini, Najla akhirnya menjawab. “Aku mau ke Malaysia, mau cari second opinion.”

“Jawab dulu, Najla, jangan sampai kesabaran aku habis. Kamu sakit apa?!”

“Aku nggak sakit, oke?! Aku baik-baik aja! Aku sehat!”

DEG! Bramantya terkejut sampai berjingkat mundur. Ia sadar, semestinya ia senang, istrinya sehat. Tapi... kenapa justru Najla ingin mencari second opinion?

“Kalau kamu sehat, buat apa ke Malaysia segala?”

“Gimana kalau Dokter itu salah? Gimana kalau aku ternyata sakit keras, tapi dia bilang aku gapapa, trus penyakit aku tambah parah?! Aku harus memastikan.”

Bramantya semakin berkaca-kaca. “Istighfar, Najla. Kamu sedang membangun ketakutan kamu sendiri. Tolong sayangi diri kamu, Najla, jangan takut-takuti diri kamu dengan hal yang nggak ada. Dan tolong, aku mohon, jadilah istriku yang memberikan ketenangan, sakinah, bukan sebaliknya. Aku terlalu menyayangi kamu untuk kamu siksa seperti ini.”

Bramantya keluar kamar. Najla shocked setengah mati, hanya bisa mematung dengan air mata menetes, kecewa, sedih, tak percaya, Bramantya bisa berkata-kata seperti itu. Namun Najla tidak tahu, saat melangkah keluar kamar, air mata Bramantya juga menetes dan bahkan tangannya tak sanggup terangkat untuk menghapus air mata tersebut karena terkepal keras menahan emosi yang menggelegar dalam hatinya.

  1. Mata yang Bicara

Di rumahnya, sambil berdiri di depan jendela, Lena berkali-kali memandangi HP dengan kening berkerut. Sudah jam sembilan malam dan Mas Bramantya belum pulang. Jangan-jangan dia nggak pulang ke sini? Kalau aku telepon, nanti dikira aku mengejar-ngejar. Padahal, aku sedang pura-pura jadi istri yang santai dan tidak terlalu menuntut. Tapi... hari ini kan jatah aku?! 

Lena melangkah ke sofa, duduk di sana, menatap ponselnya lagi. Namun kali ini yang ia telusuri adalah foto-fotonya dengan Andi. Ia sangat marah kepada laki-laki itu. Ia pikir, Andi bisa membangun kerajaan bisnis seperti Bramantya, lalu ia bisa hidup bahagia dengan Andi dalam kemewahan dan tidak perlu lagi mengemis cinta dan harta dari Bramantya. Namun ia salah. Andi hanyalah Andi, laki-laki bodoh dengan ambisi tinggi, yang mungkin juga tidak benar-benar mencintainya.

Air mata Lena menetes. Kenapa tidak ada laki-laki yang mencintainya dengan tulus? Bramantya, Andi, bahkan almarhum suaminya – Papa Fadhil – juga sepertinya tak sungguh-sungguh mencintainya. Seburuk itukah nasibnya dalam percintaan? 

Lena semakin emosi, ia mengelap air mata dengan kedua tangannya, lalu menelepon Bramantya.

*** 

Ternyata Bramantya sudah di mobil. Dan saat melihat Lena menelepon, ia segera me-reject. Ia sudah merasa bersalah karena meninggalkan Najla, sekalian saja ia juga mengabaikan Lena. 

Ia telah memutuskan untuk pulang ke rumah Rahma. Karena saat ini sepertinya hanya Rahma istri yang bisa menghadirkan sakinah dalam hatinya.

Bramantya menambah laju mobilnya.

*** 

Di rumah, Rahma sedang memandangi ponselnya. Tampak di layar, ada sebuah pesan di group teman SMP-nya, mengabarkan bahwa Teguh dirawat di rumah sakit.

Hati Rahma sangat galau karena Teguh tidak pernah dirawat sebelumnya. Kalaupun sakit, hanya sakit biasa. Setiap kali Teguh sakit, ia minum obat yang Rahma berikan, setelah itu akan segera sembuh. 

Dan Rahma semakin dilema saat masuk pesan dari sahabatnya yang menyarankan agar Rahma menjenguk Teguh. Rahma merasa tak pantas jika ia menjenguk, namun ia juga ingin memastikan Teguh baik-baik saja. Apalagi Teguh tidak menjawab apapun di group tersebut. Kalau sakitnya tidak parah, Teguh kan bisa mengklarifikasi informasi yang disampaikan di sana. Namun Teguh diam saja.

Rahma yang sempat hendak mengetikkan doa semoga lekas sembuh di group, memutuskan untuk membatalkannya. Namun keinginannya untuk menjenguk Teguh justru semakin menyala.

Sampai akhirnya ia mendengar ada suara mobil di depan, lalu pintu dibuka dan Bramantya muncul, kemudian bergegas mendekatinya dan memeluknya erat.

“Mas...?”

“Tolong jangan lepas, aku sedang butuh ketenangan.”

Rahma pun urung melepaskan diri, namun tangannya tetap terjuntai ke bawah, tak membalas pelukan itu. Ia tak tahu harus melakukan apa karena hatinya begitu sibuk berdegup dalam kecepatan yang sejujurnya membuatnya panik, takut tiba-tiba jantungnya berhenti.

Setelah entah berapa menit, Bramantya melepaskan pelukannya.

“Maaf.”

Rahma tak tahu harus berkata apa dan bersikap bagaimana. Namun ia membalas lirih, “Gapapa.”

Bramantya menatap Rahma dalam. Rahma yang sejak tadi tertunduk pun akhirnya mengangkat wajah dan membalas tatapan Bramantya. Entah mengapa, matanya berkaca-kaca, dan hatinya seakan ingin mengungkapkan sesuatu yang tak pernah ia rasakan kepada laki-laki lain selain Teguh. Sebuah perasaan yang begitu dalam dan kuat. Dan lagi-lagi, ia merasa seperti seorang pengkhianat.

Namun tangan Bramantya bergerak menggenggam tangan Rahma, tanpa mengetahui apa yang berkecamuk di hati istri ketiganya itu. Yang ia tahu, ia sedang merasakan cinta. Ya, ia cinta.

Saat jemari Bramantya baru saja menggenggam jemari Rahma lebih erat, tiba-tiba terdengar suara Erma.

“Sudah pulang, Nak Bram?”

Rahma buru-buru melepaskan tangan Bramantya. Namun tanpa Rahma sadari, Bahrun sempat melihat tangan anak dan menantunya bertaut. Ia tersenyum dikulum, pura-pura tidak tahu.

“Sudah, Mah.”

“Sudah makan?” tanya Erma lagi.

Bramantya menggeleng. “Belum.”

Erma melirik ke Rahma, “Siapin makan buat Nak Bram, Neng.”

Rahma mengangguk patuh. “Iya, Mah.

Bramantya menatap kepergian Rahma dengan sorot mata yang terlihat begitu mendamba dan Erma menangkap sorotan itu. Erma mencolek-colek Bahrun. Bahrun memberi kode agar Erma pura-pura tidak tahu. Tapi Erma malah cekikikan. 

Bramantya tersadar dan menoleh ke Bahrun dan Erma, meringis, seakan menyadari ia kepergok oleh mertuanya. Namun Bahrun seperti biasa bersikap bijak, segera mengalihkan perhatian ke hal lain.

“Nak Bram, Ayah izin, ya, mau jualan lagi? Trus, Ayah pingin kembali ke rumah lama.”

Bramantya terkejut dan menatap Bahrun serius. “Ayah nggak betah, ya, di sini?”

“Bukan. Ayah bukan nggak betah sama rumahnya tapi Ayah nggak betah diam aja.”

Bramantya terdiam sejenak, berpikir, lalu segera mendapat ide. “Gimana kalau saya bukain Ayah rumah makan kecil-kecilan untuk jualan gado-gado. Saya cari kios dekat sini, jadi Ayah nggak perlu jualan di tepi jalan dan nggak usah jauh-jauh mendorong gerobak.”

Bahrun tampak terharu dan Erma langsung berseru senang. “Setuju! Mamah juga seneng kalau Ayah jualannya dekat sini dan nggak terlalu capek kayak dulu. Gimana, Ayah, setuju, kan?”

Bahrun menoleh ke arah Rahma yang sedang menata makanan di meja makan sambil melirik ke arah Bahrun, Erma, dan Bramantya. Dari tatapan Rahma, Bahrun tahu, ia ingin Bahrun setuju. Akhirnya Bahrun pun mengangguk.

“Iya, Ayah setuju.”

“Alhamdulillah!” Bramantya berseru senang, lalu menoleh ke arah Rahma. 

Tatapannya dan Rahma pun bertemu dan mereka saling senyum. Belakangan, Rahma menyadari, dalam berbagai kesempatan, sering sekali dirinya dan Bramantya saling berbicara tanpa mengucapkan apapun, hanya tatapan mereka yang saling berkomunikasi. Inikah yang dinamakan pasangan sejiwa? Pipi Rahma terasa memanas karena tersipu.

*** 

Di kamarnya, Lena baru selesai mengamuk. Barang-barang berjatuhan di lantai. Ia menangis terisak. Bramantya tak memedulikannya lagi sama sekali. Ini semua gara-gara Andi!

Lena mengambil ponselnya dan segera menelepon Andi. 

Di apotek barunya, Andi menerima telepon itu namun hanya menggumam pelan. “Hm...?!”

Dan sedetik kemudian, rahang Andi mengeras. Ia mendengar sumpah serapah Lena di ujung sana. Kata-kata tak pantas dari mulut perempuan yang pernah ia cintai menusuk telinga dan hatinya. Ia tidak terima. Ia tak sudi jika Lena memperlakukannya serendah itu, seperti sampah yang menjijikkan dan ia injak-injak tak bersisa. 

Lihat saja, Lena yang tak akan bersisa dalam kehidupan ini. Andi merasa harus melenyapkan perempuan tersebut. Dan tentunya, ia akan menyeret Bramantya ke dalam kasus yang akan menghancurkan bukan hanya bisnis namun kehidupan lelaki itu sekaligus.

  1. Pintu yang Tertutup 

Malam itu, Rahma dan Bramantya sama-sama gelisah di kamar masing-masing. Mereka tak bisa melupakan pelukan tadi. Rahma tak pernah seintim itu dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Sementara Bramantya tak bisa melupakan kenyamanan yang Rahma berikan.

Rahma menatap connecting door, pintu yang menyambungkan kamarnya dan kamar kerja Bramantya. Sebelah hatinya berharap Bramantya membuka pintu tersebut. Sebelah lainnya menginginkan hal sebaliknya. Ia takut.

Bramantya beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah perlahan menuju connecting door. Tangannya dengan ragu bergerak hendak membuka pintu tersebut. Namun, ia tiba-tiba teringat janjinya kepada Rahma, bahwa ia takkan menyentuh Rahma jika istrinya itu tak ingin. Tadi Rahma tidak membalas pelukannya, namun tak menolak saat tangannya digenggam. Bramantya sungguh tak bisa menerka, Rahma ingin atau tidak ingin disentuh.

Dengan kegelisahan yang telah begitu memuncak, Bramantya kembali ke peraduannya. Ia memang jatuh cinta kepada Rahma tapi selama ia tak tahu bagaimana perasaan Rahma kepadanya, ia tak akan bertindak kurang ajar.

Bramantya tidak tahu, di peraduannya, Rahma memandangi connecting door tersebut hingga perlahan matanya menutup karena kantuk dan saat ia terbangun di waktu Subuh, Rahma merasakan kekecewaan, seakan dirinya tak diinginkan.

*** 

Selepas sarapan, Bramantya berangkat kerja bersama Rahma yang hendak ke kampus. Di mobil, mereka memilih diam, sibuk dengan perasaan masing-masing.

Saat menurunkan Rahma di kampus, Bramantya dengan lirih berpesan, “Hati-hati, ya, nanti kalau mau ke apotek. Naik taksi aja. Ada uangnya?”

Rahma mengangguk pelan. “Ada.”

Bramantya berusaha tersenyum karena ia justru merasa Rahma  kini kembali kaku seperti dulu. Pria berbadan tegap tersebut menyesali pelukannya kemarin. Namun nasi sudah menjadi bubur. Ia tak bisa memutar waktu . 

Bramantya mengangguk tak kalah kakunya. “Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikum salam.” 

Rahma terdiam memandang mobil Bramantya berlalu, hingga tak tampak lagi, barulah ia berbalik dan masuk ke gedung perkuliahan.

*** 

Di atas tempat tidur di ruang rawatnya di rumah sakit, Teguh memandangi chat di grup SMP-nya. Tak ada balasan atau ucapan lekas sembuh dari Rahma. Apakah Rahma benar-benar sudah tak memedulikannya lagi?

Tiba-tiba masuk telepon dari Tisa yang sedang menuju rumah Teguh dengan mobilnya.

“Ada apa, Sa?” sapa Teguh dengan nada suara yang seakan berkata, menerima telepon dari kamu adalah hal terakhir yang kuinginkan dalam hidupku.

“Nggak ada apa-apa, hanya mau kasih tau aja, aku OTW ke rumah kamu.”

“Ngapain?!” Teguh terbelalak. “Aku masih di rumah sakit.”

“Aku tau. Aku hanya mau jemput ibu kamu. Kami mau barengan ke rumah sakit.”

“Ibu bisa berangkat sendiri, kok.” Teguh terdengar semakin gusar. 

“Kalo bisa barengan, kenapa harus sendiri-sendiri? Udah, jangan banyak protes, oke? Bye!” 

Tisa sudah mematikan sambungan. Teguh kesal dan memilih memejamkan mata. Terserah jika nanti Tisa dan ibunya datang, ia takkan memedulikan mereka.

Entah sudah berapa lama Teguh terpejam dengan tubuh membelakangi pintu, namun ia dapat mendengar suara pintu ruang rawatnya dibuka. Di ruangan kelas satu yang menyediakan dua tempat tidur ini hanya ada satu pasien, yaitu dirinya. Ia yakin, yang datang adalah Tisa dan ibunya. Ia mendengar langkah perlahan memasuki ruangan. Dan terdengarlah suara itu.

“Kak...?”

Mata Teguh refleks terbuka. Membelelak heran. Ia segera berbalik. Dan di sanalah, di hadapannya, berdiri sang belahan hati, sang tumpuan asa, sang pemilik cinta.

“Rahma...?” Teguh menoleh ke pintu yang masih terbuka di belakang Rahma. “Kamu sendiri?” Sejujurnya, ia sempat khawatir Rahma datang bersama Bramantya meskipun tadi langkah kaki yang ia dengar hanya milik satu orang.

Rahma mengangguk. “Kak Teguh lagi tidur, ya? Maaf aku mengganggu.”

“Nggak, kok. Aku nggak tidur.”

Rahma tak berani menatap mata Teguh. Ia tak ingin tenggelam lagi di sana. Ia sudah berhasil keluar, bukan?

Rahma mengalihkan kekikukan dan keheningan di antara mereka dengan meletakkan sekantung jeruk yang ia bawa di maja sebelah Teguh. “Mudah-mudahan Kak Teguh suka jeruk yang aku bawa. Jeruk Medan.”

Teguh tersenyum pedih. “Kamu masih ingat jeruk kesukaan aku.”

Rahma berusaha tersenyum juga. “Kalau aku lupa, tandanya aku amnesia, Kak. Kayak sinetron aja.”

Canda Rahma tak terdengar lucu di telinga Teguh karena sembilu tajam yang masih menancap di hatinya kembali terasa sakit. Tiba-tiba...

“Maaf, Rahma.”

Sejujurnya, Rahma tak ingin mengorek luka sayatan di hatinya. Tapi naif jika ia berpikir, Teguh tak akan membukanya. Bahkan mungkin jangan-jangan ia datang menjenguk Teguh bukan karena peduli tapi karena ia masih menyimpan kecewa kepada Teguh. Biarlah kalau semua harus terbongkar hari ini di sini, entah bagaimanapun hasilnya. Apalagi Bramantya pun belum menyentuhnya. Bahkan saat Rahma berharap Bramantya mendatanginya, connecting door itu tak kunjung terbuka. Mungkin itu juga sebabnya kakinya tiba-tiba melangkah ke ruangan ini. Mungkin ada jawaban yang butuh ia cari.

“Rahma,” panggil Teguh pelan.

“Ya?”

“Maaf, ya? Aku sadar, perpisahan mereka bukan perpisahan biasa, terlalu menyakitkan karena masih ada cinta. Terlalu menyakitkan karena aku... aku begitu rendah, seorang pengecut yang tak berani bicara apa adanya dengan dalih tak ingin mempermalukan kamu dan keluarga kamu, sehingga nekat meminta orang lain menggantikan posisi aku.”

Mata Rahma berkaca-kaca. Adegan demi adegan malam pengajian dan hari pernikahannya tergambar di rongga kepalanya dengan sangat mendetail. 

“Aku pikir, aku bisa hidup tanpa kamu, Rahma, maaf... maksudku, kalau kamu misalkan kemudian menerima Pak Bramantya sebagai suami kamu. Dan aku sadar, aku juga terlalu angkuh, karena jujur, aku sempat berpikir kamu akan memahami kondisiku dan akan menunggu aku, dan menolak Pak Bramantya.”

Kali ini air mata Rahma jatuh. Yang ia ingat adalah pelukan Bramantya semalam. Kenapa itu yang justru ia ingat?! Hatinya kesal.

“Rahma, kamu hanya menikah pura-pura dengan Pak Bramantya, kan? Jujur sama aku, Rahma. Kamu masih ingin kembali sama aku, kan?”

Dan kali ini yang Rahma ingat adalah connecting door yang terus tertutup hingga Subuh. Apakah itu pertanda bahwa ia memang harus menunggu Teguh dan suatu saat kembali merajut asa bersama cinta pertamanya itu?

“Jawab dengan jujur, Rahma. Kalau iya, aku akan memperjuangkan cinta kita.”

Rahma beranikan diri menatap Teguh. Bola mata mereka seakan berbicara. Teguh dengan penuh harap, Rahma entah dengan apa, Teguh tak dapat menerka. Ia seperti masih melihat cinta di sana, tapi sejujurnya, ia mulai tak yakin.

“Kak, sejujurnya, aku—”

Belum sempat Rahma menjawab, Teguh melihat ibunya sudah berdiri di pintu sambil berseru dengan mulut tajamnya. “Oh, ada mantannya Teguh di sini?!”

JRENG! Rahma segera memalingkan wajah dan menghapus air matanya sebelum menoleh ke Tutiek dan dengan sopan salim, mencium tangan perempuan yang sudah menghancurkan cita-citanya menikah dengan lelaki pujaan hatinya.

  1. Suami Aku, Mas Bram

Sesaat Rahma dan Tutiek saling berpandangan. Melihat tatapan sopan Rahma, Tutiek memalingkan wajah. Sementara Teguh hanya bisa memandangi mereka berdua dengan mata yang tak dapat Rahma tebak. Sepertinya, lagi-lagi Teguh kesulitan memilih siapa yang harus ia bela.

Rahma tidak heran, toh dia kini bukan siapa-siapa Teguh lagi. 

Sambil mengusahakan senyum setulus mungkin, Rahma berpamitan. “Kak Teguh, Ibu, saya pamit. Semoga Kak Teguh lekas sembuh dan Ibu sehat selalu.” Rahma mengeluarkan vitamin dan beberapa produk suplemen kesehatan. “Aku ke sini hanya mau antar ini, Kak. Suami aku, Mas Bram, tadi titip salam dan minta maaf nggak bisa ikut menjenguk Kak Teguh. Mari, Ibu, saya permisi. Assalamu'alaikum.”

Rahma melangkah keluar ruang rawat Teguh. Langkahnya tegap, pasti, penuh keyakinan. Seyakin hatinya bahwa ia telah menentukan pilihan.

Tutiek mencibir kesal. “Mau nyombong aja ke sini.”

“Ibu...” tegur Teguh.

“Apa? Kamu nggak sadar? Dari penampilannya, Rahma sudah berubah. Dia mau menunjukkan bahwa dia sudah kaya raya jadi istri ketiga pengusaha itu. Sok bawain vitamin dan suplemen. Cih!”

“Bu!”

Tutiek buang muka, tak mau meladeni Teguh saking emosinya.

Teguh terdiam. Rahma masih sederhana seperti dulu, tapi harus ia akui, Rahma tampak lebih terawat. Mungkin karena ia tak harus naik-turun angkot seperti dulu atau membonceng ojek... bahkan membonceng motor Teguh, yang kadang mereka harus menerjang hujan atau kabut asap kendaraan. Namun, tadi Rahma ingin mengatakan sesuatu sebelum Ibu datang? Seakan ia ingin memintaku menunggu. Tapi kenapa dia bawa-bawa nama Pak Bram? Tunggu! Rahma memanggilnya Mas Bram?!

*** 

Sambil berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh ke pipi, Rahma buru-buru melangkah menjauhi pintu ruang rawat Teguh. Hingga selepas beberapa langkah, ia berpapasan dengan Tisa. Langkah Rahma terhenti. Pun langkah Tisa. Mereka berhadapan. Hati Rahma bergejolak, tak nyaman. Dan hal itu, oleh Tisa, terlihat di rona wajah pesaingnya tersebut.

Tisa segera menguasai diri dan pura-pura santai, seakan dia tak cemburu, padahal darahnya mendidih. Mungkin api yang menyala di tungku hatinya lebih besar dibandingkan Rahma.

“Hai, Rahma! Habis jenguk Teguh? Tenang aja, ada gue! Dan Teguh baik-baik aja, kok. Dia ditangani dokter-dokter terbaik di sini. Biasa, pasien titipan ortu gue. Kebetulan mereka ada saham di sini.”

“Alhamdulillah kalo gitu. Aku duluan.” Rahma tak sanggup berkata-kata lebih banyak dari itu, khawatir air matanya menetes tak terbendung lagi.

Tisa tersenyum. “Oke! Hati-hati!” Namun setelah Rahma tak lagi melihat ke arahnya, Tisa menatap dengan wajah dibakar cemburu. Rahma, lo serakah karena masih menginginkan Teguh! Bukannya lo udah bahagia dengan suami kaya raya lo itu?!

Persis saat Rahma tiba di loby rumah sakit, sebuah taksi berhenti menurunkan penumpang. Rahma buru-buru mengambil alih taksi tersebut. Dan belum sampai taksi itu keluar dari halaman rumah sakit, air mata Rahma sudah tumpah. Pengemudinya, yang seorang perempuan, menyodorkan kotak tisu ke belakang.

“Terima kasih,” jawab Rahma lirih.

Sang pengemudi hanya tersenyum dan mengangguk, tak mengatakan apapun, tak bertanya. Rahma lega, ia bukan tipe orang yang bisa bercerita kepada orang yang tak dikenal meskipun orang tersebut sangat baik. Ia hanya ingin menangis. Tangisan yang mungkin sudah sejak tadi tumpah andai pertahanan dirinya tidak sekuat itu.

Nada Tutiek saat berkata, oh, ada mantannya Teguh di sini?!, terasa begitu mengiris-iris hatinya. Dan ucapan Tisa, Tenang aja, ada gue!, seakan hendak mendorongnya menjauh dari sisi Teguh.

Ingin ia mengatakan kepada mereka berdua, bahwa kedatangannya menjenguk Teguh sebenarnya karena ia memang hendak meminta Teguh melupakannya. Kata-kata yang tidak tega ia ucapkan kepada lelaki berwajah pucat tadi, lelaki yang dulu pernah ia gadang-gadang sebagai pendampingnya hingga masa tua. Namun kini ia menyesal karena tidak mengatakan kepada Teguh bahwa ia sudah tidak mengharapkan bisa kembali dengan Teguh lagi. Ia memilih Bramantya. Ia tak ragu lagi.

*** 

Tutiek masih kesal karena Rahma berani-beraninya datang menjenguk Teguh. Namun ia harus menghalau kekesalannya karena tiba-tiba tadi dokter yang menangani Teguh memanggilnya ke ruang praktik. 

“Ada apa ya, Dok? Apa anak saya sudah boleh pulang? Kelihatannya, dia sudah membaik.”

Sang dokter menyunggingkan senyuman sedih, seakan ada kata maaf terpancar dari matanya. Perasaan Tutiek mulai tidak enak namun ia memilih diam. Dokter tersebut mengeluarkan hasil cek lengkap kesehatan Teguh seperti permintaan Tisa dan menyodorkannya kepada Tutiek. Tak memahami apa isi pemaparan dan hasil USG di hadapannya, Tutiek hanya bisa mengerutkan kening, lalu menatap dokter tersebut.

“Anak saya baik-baik saja kan, Dok?”

Dokter tersebut menggeleng. “Maaf, Ibu. Hasil pemeriksaan anak Ibu cukup mengkhawatirkan.”

DEG! Tutiek terbelalak. Terlebih saat dokter tersebut menjelaskan dengan detail, air mata Tutiek tumpah ruah tak terbendung. Ia menggeleng dan terus saja berkata, “Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin, Dok! Nggak mungkin!!!”

“Ibu tenang dulu. Masih ada pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosa. Bisa saja ini salah.” Dokter berusaha menenangkan Tutiek.

“Ini pasti salah! Pasti salah!”

*** 

Dalam perjalanan, di taksi, Rahma mengirimkan pesan kepada Bramantya.

Rahma: Mas, maaf, aku baru saja melakukan tindakan yang mungkin di mata Mas sebuah kesalahan.

Bramantya: Maksud kamu?

Rahma: Setelah kuliah, aku nggak langsung ke apotek. Barusan aku jenguk Teguh di Rumah Sakit. Maaf, Mas, aku nggak izin dulu sama Mas.

Di ruangannya, Bramantya terenyak. Ia cemburu. Mungkin marah. Lalu masuk lagi pesan dari Rahma.

Rahma: Aku mau telepon... boleh?

Bramantya: Maaf, aku lagi sibuk. Nanti aja, ya, aku yang telepon.

Tubuh Rahma lemas. Ia yakin, Mas Bram marah. Tapi jika ia tak cerita, hatinya pun tak tenang. Mungkin ia bodoh karena cerita, tapi ia sudah memilih Mas Bram dan suaminya itu harus tahu, bahwa di hatinya sudah tak ada Teguh lagi. Namun, kini ia menyesal telah mengatakannya lewat pesan seperti itu. Menyadari hal itu, sontak dadanya sesak dan matanya berkaca-kaca.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Istri Ketiga - Bab 61-69
0
0
TAMAT!Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia.Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA!***Rahma mencintai Teguh, lelaki yang sejak Rahma SMP telah menyatakan bahwa suatu saat kelak, ia akan menikahi Rahma.Bramantya tak ingin memiliki wanita lain selain Najla, istri pertamanya. Tapi trauma masa lalu Najla membuat Bramantya menambah satu, bahkan dua, bahkan mungkin tiga istri.Menjadi istri ketiga tak pernah terbayangkan di benak Rahma. Tapi takdir berkata lain. Gelar itu akhirnya melekat pada dirinya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan