Eighteen's Bed - Vacation, Rainy Season, Revenge (15.1)

6
0
Deskripsi

BAB 15.1



 

Terdengar suara gesekan kain dengan kain. Itu adalah satu-satunya suara yang terdengar di dalam keheningan yang pekat. Aku berusaha sebisa mungkin tetap tenang dan mengangkat kepala dengan ekspresi datar.

Seperti yang kuduga, GoYohan sedang berbaring miring, menyangga dagunya dengan tangan, sambil menatapku.

"Apa yang kau lihat begitu serius?"

"Surat izin pulang cepat."

Mulutku dengan mudah melontarkan kebohongan untuk menutupi kebenaran. Aku menggerakkan jari yang memegang kertas itu, melipatnya menjadi lebih kecil lagi. Dan sebelum GoYohan semakin penasaran, aku segera menyelipkannya ke dalam saku sempitku.

"Hei, kau menatap surat izin itu dengan begitu khusyuk."

"Memangnya aku tak boleh melihatnya?"

Kebohongan dan sedikit bujukan untuk Go Yohan, sementara bagiku sendiri, ini adalah jalan keluar dari perangkap. Aku berkata demikian, namun pada akhirnya, aku bahkan tidak bisa menatap wajahnya. Yang kulihat hanyalah seragam sekolahnya yang tercampur dengan selimutku.

Karena wajah Go Yohan adalah keju. Keju yang terperangkap di antara perangkap tikus. Aku hanya bisa berharap bahwa kepura-puraanku cukup untuk menipunya.

"Jun-ah, sekarang mau main apa?"

"Main apanya, aku harus belajar."

"Satu jam saja tidak apa-apa, kan?"

"Sebentar lagi ujian masuk universitas..."

"Kau ini, selalu saja menghindar."

Untungnya, Go Yohan tampaknya tidak tertarik dengan rencana licik yang kusimpan di dalam sakuku. Sejujurnya, aku sedikit tegang. Aku sempat berpikir, bagaimana jika Go Yohan tiba-tiba melangkah dengan kaki panjangnya, mendekat, lalu merogoh sakuku dan membaca kertas itu?

Ujung kakinya yang panjang menjulur keluar dari tempat tidur dan bergerak-gerak tanpa tujuan.

Aku memperhatikan gerakan kecil itu. Bukan karena aku tertarik, tetapi hanya agar aku tidak perlu menatap matanya.

"…Dasar licik."

Tsk. Go Yohan mengklik lidahnya dengan ringan. Sekali lagi, aku sadar bahwa dia memiliki kemampuan aneh untuk menarik perhatian orang hanya dengan gerakan kecil. Seperti sekarang. Aku secara refleks menatapnya hanya karena dia mengklik lidahnya.

"Jun-ah, aku benar-benar bosan."

Go Yohan menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, lalu mengeluarkan suara aneh dari celah kecil yang terbuka. Akibatnya, taringnya yang tajam terlihat jelas. Saat itu, aku tiba-tiba teringat sebuah teori—katanya, orang dengan taring yang tajam adalah tipe pemakan daging.

"Aku bilang aku bosan, tahu?"

Di pergelangan tangan yang menopang dagunya, rosario yang menjuntai masih berayun mengganggu. Ssshh—kali ini, terdengar suara angin yang tersedot di antara giginya. Seperti orang bodoh, aku kembali mengangkat kepala dan menatapnya.

Go Yohan menatapku dengan ekspresi yang sulit dimengerti. Namun, tatapan itu membuatku merasa tidak nyaman.

"…Kalau begitu, hanya satu jam saja."

Pergilah. Cepat keluar dari kamarku.

Namun, aku tidak bisa mengucapkan kata-kata itu. Aku malah menerima pendapat Go Yohan. Timbangan dalam hidupku terus muncul di hadapanku. Haruskah aku tetap bersamanya demi kenyamanan di sekolah, atau haruskah aku membuangnya demi ketenangan hidupku sendiri?

"Aku merasa sedikit bersalah."

"Apa yang kau maksud?"

"Sepertinya aku terus mengganggumu."

Tahu tapi tetap melakukan? Aku ingin sekali melontarkan kata-kata kasar padanya, tetapi aku menahannya. Aku harus tersenyum sebaik mungkin. Aku menekan keinginan untuk berteriak dan mengulang-ulang pemikiran rasional di dalam kepalaku.

"Tidak apa-apa. Aku juga senang bermain denganmu."

Aku menguatkan kata-kataku, begitu kuat hingga bibirku sedikit gemetar. Saat aku merasa ekspresiku mulai tampak kaku, aku mengangkat tangan dan menutupi setengah wajahku. Aku tidak ingin menunjukkan ekspresi yang seakan dipaksakan. Bersama Yohan itu menyenangkan, tapi juga tidak menyenangkan. Aku tidak pernah membayangkan akan memahami perasaan yang bertolak belakang ini sebelum berusia dua puluh tahun. Tapi, sepertinya Yohan memahami ini dengan cara yang berbeda.

"Kau tahu, sifat pemalumu itu... sangat imut."

Aku terbatuk kecil.  Yohan terbaring di tempat tidurku, menatap ke arahku. Dia tertawa pelan sebelum memalingkan wajahnya ke arah lain. Aku hanya bisa melihat bagian belakang kepalanya yang berantakan, dengan helaian rambut tipis yang jatuh perlahan.

Dan saat aku menatap belakang kepalanya, apa yang kupikirkan?

Sialan, pikirku.

*****
Setelah insiden dengan Hong Huijun, orang tuaku meneleponku melalui panggilan video setiap hari. Mereka tidak hanya ingin melihat wajahku tetapi juga memeriksa lenganku, kakiku, dan seluruh tubuhku, mencari tanda-tanda luka.

Pendapat mereka tentang luka-lukaku selalu sama.

"Anak kami terlalu hebat, makanya mereka iri. Anak-anak seperti itu hanya melakukan kesalahan. Mereka harusnya berusaha bersikap baik padamu, bukan malah bertingkah seperti ini. Masa depan mereka dan masa depanmu jelas berbeda. Inilah sebabnya anak-anak bodoh tidak akan berhasil. Dasar brengsek! Kalau ada apa-apa, langsung telepon kami. Jangan dipendam sendiri dan membuat kami khawatir, mengerti? Ibu dan Ayah sangat sedih karena kau terlalu baik hati."

"Aku akan langsung menghubungi kalian. Dan aku juga akan lebih berhati-hati mulai sekarang. Aku kan sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Aku tidak akan membuat kesalahan lagi, jadi jangan terlalu khawatir."

Aku hanya memberikan jawaban positif.

Setelah diperlakukan seperti anak yang mengalami perundungan di sekolah, aku menutup telepon dan langsung masuk ke kamar mandi untuk mandi. Aku terlalu lama berdiri di bawah pancuran, tenggelam dalam pikiranku, sampai-sampai ujung jariku menjadi keriput. Merasa jijik, aku segera mematikan air dan meraih handuk.

Aku mengenakan piyama yang sudah digantung di depan kamar mandi sebelumnya, lalu mengeringkan rambut dengan handuk. Dengan langkah pelan, sandal yang kukenakan menyentuh lantai marmer, menimbulkan suara halus saat aku berjalan menuju kamar tidur.

Di bawah cahaya terang kamar, aku melihat selimut yang berantakan akibat ulah Go Yohan dan ponsel yang tergeletak di atas meja di bawahnya. Aku memandang kedua jejak itu bergantian.

Tap, tap. Suara pelan sandal yang menyentuh lantai semakin mendekati ranjang dan meja.

“……”

Hal pertama yang kulakukan adalah menenggelamkan wajahku ke dalam selimut yang berantakan dan menarik napas dalam-dalam.

Hhh—Dalam satu tarikan napas, aroma pelembut kain bercampur dengan wangi asing yang segar langsung memenuhi hidungku. Aroma itu, dingin seperti pagi musim dingin yang muram, merayap masuk melalui hidungku, menyusuri pembuluh darah, dan memenuhi paru-paruku.

Kehadirannya begitu kuat, seolah mencengkeram dan meremas dadaku dengan paksa. Sesak dan nyeri itu terasa begitu panas hingga hampir menyakitkan.

Aneh sekali, pikirku. Wanginya seharusnya segar dan dingin, tapi kenapa justru terasa begitu panas?

"Haa."

Aku menarik napas panjang, menahan sisa aroma itu sampai benar-benar hilang dari paru-paruku. Begitu aku tak bisa mencium apa pun lagi, aku akhirnya bangkit, merapikan selimut, lalu mengambil ponsel di atas meja.

Saat menatap layar hitam yang retak, bayanganku sendiri tercermin di permukaannya. Dari sana, satu nama muncul di benakku.

"Shin Jaehyun."

Aku menggigit bibir bagian dalam, lalu menyalakan layar ponsel.

Jempolku tanpa arah menggulir layar ke atas dan ke bawah, bolak-balik tanpa tujuan. Aku hanya bermain-main, sengaja menghindari hal yang seharusnya kutekan. Namun, pada akhirnya, jemariku berhenti di aplikasi pesan.

Dengan tangan yang satunya, aku mengacak rambutku. Napas panjang keluar tanpa kusadari.

Apa aku benar-benar harus melakukan ini?

Aku?

"Benar-benar menyedihkan, aku ini."

Jari-jariku bergerak kaku, seolah menolak untuk beranjak. Tapi begitu ujung jariku menyentuh keyboard, pesanku mengalir dengan mudah. Tanpa emosi, aku menuliskannya dengan cepat.

「Shin Jaehyun, kan? Aku Kang Jun. Maaf, boleh minta tolong? Sepertinya besok aku akan datang terlambat ke sekolah.」

Cukup sampai di sini.

Pikiran yang setengah hati menghasilkan tindakan yang setengah hati pula. Tapi, begitulah semua orang memulai, dari nol. Lebih baik daripada minus, bukan? Dengan pemikiran itu, aku meletakkan ponsel kembali ke atas meja dan menunggu balasan.

Aku berbalik, memutuskan untuk mengeringkan rambut lebih dulu.

Setelah rambutku benar-benar kering, aku kembali dan mengecek ponsel.

Tidak ada balasan.

*****
Kenapa belum ada balasan?

Aku menggigit kuku ibu jariku, bersandar di kursi taksi sambil menatap layar ponsel seakan ingin menembusnya. Waktu di bagian atas layar menunjukkan bahwa aku akan segera sampai di sekolah. Jam istirahat pasti sudah berlalu tiga kali.

"Apa dia memang jarang cek ponsel?"

Awalnya kupikir dia akan segera membalas, tapi karena belum juga ada pesan masuk, aku mulai merasa gelisah.

Kalau begini, buat apa aku repot-repot pergi ke rumah sakit hanya untuk memeriksa pergelangan tanganku yang baik-baik saja? Rasanya menyebalkan. Seperti membuang-buang waktu. Seperti sia-sia saja aku mengkhawatirkan tatapan Go Yohan. Aku ini apa, suami selingkuh yang ketakutan ketahuan atau apa?

"Sial, bikin panas hati aja."

Bukan karena aku kecewa tidak mendapat balasan dari Shin Jaehyun. Aku marah karena merasa sudah membuang waktuku. Aku kesal pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak memastikan semuanya lebih matang sejak awal? Tapi, ya sudahlah. Yang sudah terjadi tidak bisa diubah.

Aku membuka jendela untuk mendinginkan kepalaku, lalu kembali menatap ponsel. Jari-jariku bergerak cepat. Karena aku sama sekali tidak memiliki ketertarikan khusus terhadap penerima pesan, aku tak perlu repot-repot menyusun kalimat yang rumit. Rasanya sulit dipercaya betapa tidak pedulinya aku terhadap hal ini.

"Maaf sudah mengirim dua kali, tadi tidak ada balasan. Ngomong-ngomong, ada PR hari ini?"

Aku memutuskan untuk bertanya langsung. Dengan begini, dia tidak punya alasan untuk tidak menjawab. Setelah menekan tombol kirim, aku langsung mematikan layar ponsel dan menyelipkannya ke dalam saku.

Jendela yang sedikit terbuka membawa musim ke dalam mobil. Udara musim panas merayap masuk ke dalam taksi kecil ini. Sebentar lagi, ujian lain akan datang menerpaku.

Saat aku diam memperhatikan langit yang mulai dipenuhi awan gelap, sopir taksi tiba-tiba berbicara. Sepertinya ia tak tahan dengan keheningan.

"Kau siswa kelas 3 SMA ya?"

Masih bersandar di kursi kulit imitasi, aku memperhatikan name tag sopir taksi. Lalu, perlahan aku mengangkat pandangan dan membandingkannya dengan wajahnya yang terpantul di kaca spion tengah.

Foto di name tag-nya terlihat terlalu tua, sehingga wajahnya tidak terlalu jelas. Mataku bertemu dengan mata sopir di kaca spion, lalu aku segera mengalihkan pandangan ke luar jendela.

"Iya."

Setelah itu, tidak ada lagi percakapan yang berlanjut.  Setibanya di sekolah, aku sempat menatap punggung taksi hitam yang melesat pergi begitu sopir menerima uangnya. Lalu, aku mulai melangkah masuk. 

Sepertinya kelas keempat sudah dimulai, karena sekolah terasa begitu sunyi tanpa sedikit pun keributan.  Biasanya, siswa yang berkeliaran di jam seperti ini adalah anak-anak nakal. 

Sial, aku jadi kelihatan seperti preman yang bolos sekolah. Rasanya agak konyol, jadi aku tertawa kecil sambil menggenggam pegangan tangga, menaiki anak tangga satu per satu. 

Lalu, di jendela besar yang terletak di antara lantai satu dan dua, aku melihat seseorang yang tak terduga. Aku melihatnya karena secara refleks menoleh ke atas saat melewatinya. 

Aku terkejut dan menatap sosok yang tiba-tiba muncul itu tanpa berkata apa-apa. 

Itu Kim Minho.

"Hei, brengsek!"

"Hah?"

Kim Minho juga terlihat terkejut. Dia buru-buru menepuk-nepuk tubuhnya dengan telapak tangan, seakan ingin menghilangkan sesuatu yang tidak terlihat.

Bagaimana bisa dia ada di sana? Sosok yang kulihat dari luar jendela itu jelas-jelas sedang berdiri.

Dikuasai rasa penasaran, aku melangkah mendekat ke jendela dan menempelkan wajahku ke kaca.

Anehnya, tepat di bawah jendela ini ternyata ada atap kecil yang menutupi pintu masuk utama sekolah.

"...Aku bahkan tidak tahu ada tempat seperti ini."

"Ah, sial! Dari semua orang, kenapa harus ketahuan sama si Kang Jun?! Sumpah, waktu paling sial!"

Aku menjulurkan kepalaku lebih jauh dan melihat beberapa puntung rokok berserakan.

Ah, paham.

"Kau merokok diam-diam di sini?"

"Kenapa? Mau ngadu, brengsek?"

"Tidak."

Mau Kim Minho merokok di sini atau tidak, memangnya ada hubungannya denganku? Aku hanya menggelengkan kepala pelan, lalu membalikkan badan.

Saat aku menaiki satu anak tangga lagi, terdengar suara umpatan kecil dari belakang.

Lalu, tiba-tiba saja—entah kenapa—rasa kasihan kecil muncul dalam diriku.

Mungkin ini karena kejadian beberapa hari lalu di ruang komputer.

Atau mungkin juga karena tulisan ‘Ratu Kang yang digulingkan’ yang kulihat di laboratorium sains.

"...Ah, benar. Aku tadi berjanji tidak akan bilang apa-apa."

Hanya yang pernah mengalaminya yang tahu. Betapa memalukannya hal itu. Aku bisa memastikan. Aku bisa menyatakannya dengan tegas.

Pasti geng Yohan yang melakukan ini. Insting tajamku memberitahuku. Kelakuan mereka persis seperti permainan capit boneka. Kalau mereka tidak punya seseorang untuk dijadikan bahan olokan, mereka pasti akan mencari "boneka" lain.

Di kelas 1, mungkin salah satu dari sekian banyak siswa yang bahkan tidak kukenal.
Di semester 1 kelas 2, mungkin Han Taesan.
Di semester 2 kelas 2, mungkin Han Junwoo.

Kupikir, kali ini giliranku menjadi korban. Tapi, si brengsek Kang Jun ternyata berhasil selamat lagi. Lalu, siapa target mereka berikutnya? Aku perlahan-lahan menoleh ke arah Kim Minho, yang sedang bersiap untuk melompati jendela.

Bocah ini memang bajingan yang menyebalkan, wajar kalau banyak orang membencinya.

"Apa yang kau lihat? Tutup mulut dan cepat pergi. Berani ngadu, bakal kubuat mampus."

"...."

Kalau begitu, aku sebenarnya tidak perlu membantunya.

Di kelas 1, aku hanya jadi penonton. Di kelas 2, aku memang sempat membantunya, meski dengan beberapa alasan.
Di kelas 3, aku sendiri yang hampir menjadi target. Tapi untungnya, aku berhasil lolos.

Pikiranku semakin dalam. Dan, entah kenapa, mulutku perlahan mulai terbuka.

"Park Dongcheol lebih brengsek dari yang kau kira."

Sampai di situ saja. Aku tahu betul seberapa besar kerugian yang harus ditanggung oleh orang yang mencoba membantu korban di dunia kecil ini. Jadi, belas kasihanku hanya sampai di sini.

Wow, aku benar-benar sudah banyak berubah. Kang Jun.

Aku menertawakan diriku sendiri dan melangkah satu anak tangga lagi ke atas.

Lalu, tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Aku belum mengucapkan salam pada Kim Minho.

Aku membetulkan posisi tas di punggungku, lalu berbalik.

"Sampai nanti."

Namun, wajah Kim Minho tampak penuh dengan beban dan pergulatan batin.

Melihat ekspresinya, sepertinya dia bahkan tidak berniat untuk membalas sapaanku.

Jadi, aku pun buru-buru pergi dari sana.

Sebelum kusadari, aku sudah sampai di depan kelas.

Namun, aku sama sekali tidak ingin masuk.

Aku tidak ingin mendengarkan pelajaran di tengah-tengah seperti ini.

Masuk kelas, lalu semua orang menatapku, guru mulai bicara, memberi komentar, aku harus meminta maaf, kemudian duduk di tempatku…

Semua proses itu terasa sangat merepotkan.

Aku hanya bersandar di depan pintu, duduk dengan punggung menempel pada dinding tipis yang memisahkanku dari suara pelajaran di dalam kelas. Sambil mendengarkan suara samar-samar dari dalam, aku menyalakan ponselku.

Masih tidak ada kabar dari Shin Jaehyun.

Hanya puluhan pesan yang menumpuk di layar. Aku membaca huruf pertama dari nama pengirimnya sebelum akhirnya langsung mematikan layar.

"Go."

Aku menjatuhkan tubuh, duduk dengan lutut terangkat, lalu menyembunyikan kepalaku di antara kedua lengan yang bertumpu di atasnya.

Pelajaran masih terus berlanjut dengan tenang. Saat itulah, tangan kananku merasakan getaran kecil.

Tidak mungkin itu dari Shin Jaehyun.

Anak itu kelihatannya tipe yang cukup kaku untuk tidak bermain ponsel saat pelajaran.

Namun, secercah harapan tetap muncul.

Dan seperti biasa, harapan itu segera mati karena ulahnya.

[Sepertinya ada masalah dengan ponselku.]

Go Yohan.

Lagi-lagi, Go Yohan.

Anak ini sebenarnya sedang melakukan apa di tengah jam pelajaran? Aku tertawa kecil, setengah tak percaya. Namun, belum sempat aku benar-benar memproses kekonyolannya, getaran lain kembali terasa.

[Pesan darimu tidak masuk ke ponselku.]

Tuk, tuk, tuk.

Tetesan air perlahan mulai mengetuk jendela.

Bersamaan dengan bau tanah basah yang naik ke udara, langit tiba-tiba menggelap.

Swooosh—

Hujan turun dengan deras, seolah menjerit saat menghantam bumi.

Musim hujan telah dimulai.

******
Mungkin kata yang paling sulit didengar dari Go Yohan adalah "Maaf."

Apakah Go Yohan benar-benar tidak pernah merasa bersalah? Atau dia tahu kesalahannya, tapi memilih untuk tidak mengakuinya?

Aku tidak tahu.

Aku belum pernah hidup sebagai Go Yohan.

Tapi kalau melihat kehidupannya dari sudut pandangku, selalu ada satu gambaran yang terlintas dalam benakku.

Sesuatu seperti layar TV atau layar kecil ponsel. Kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh orang-orang yang muncul di sana. Rangkaian alasan yang mereka lontarkan tanpa adanya satu pun kata permintaan maaf.

Kenapa? Begitu aku mengajukan pertanyaan itu, jawabannya langsung muncul dengan sendirinya.

Karena begitu mereka bilang "maaf," kesalahan itu akan menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Aku tahu ini karena aku juga pernah menikmati keuntungan dari pola pikir semacam itu.

Jadi, satu-satunya alasan seseorang yang punya kuasa akan meminta maaf adalah—

Saat mereka benar-benar dalam masalah besar.

Kesimpulannya?

Go Yohan tidak pernah benar-benar dalam masalah. Belum.

"…Menjijikkan."

Aku benar-benar bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Go Yohan, bahkan setelah semua ini, pasti masih belum merasa bahwa dirinya dalam masalah besar.

Dengan ujung jari yang mulai dingin, aku menatap layar ponsel di tanganku.

Dua pemikiran bertabrakan di dalam kepalaku.

Cepat balas pesan Go Yohan dengan jawaban yang bagus, buat dia merasa spesial.

Tidak, tidak. Pikirkan hidupmu sendiri. Lihat masa depan cemerlang yang menantimu.

Di sana, tidak ada tempat untuk seorang gay.

Tapi di sana juga tidak ada perundungan.

Go Yohan akan memberikan hadiah yang sangat indah untuk seseorang seperti Kang Jun, orang yang selalu menyakitinya.

Tentu saja, hanya sejauh yang menyenangkan baginya sendiri.

Itu selalu menjadi sifat Go Yohan—menggores dirinya sendiri sedikit demi sedikit, menikmati sensasi sakitnya.

Kenapa?

Aku bisa bertanya padanya, tapi aku juga tidak akan tahu jawabannya.

Karena aku bukan Go Yohan.

Sama seperti Go Yohan tidak akan pernah benar-benar memahami aku.

Aku bertanya lagi pada diriku sendiri.

Jadi, apa yang akan kau lakukan? Akan kau balas pesannya atau tidak?

Aku terjebak dalam keraguanku.

Berbeda dari saat aku menghubungi orang lain yang kukenal. Ibu jariku berulang kali menekan tombol daya, menyalakan dan mematikan layar.

Sampai akhirnya, saat layar berkedip perlahan, seolah-olah kehabisan tenaga…

Bel makan siang berbunyi.

"Keluar, dasar bajingan!"

"Serbuuuu!"

"Astaga, kenapa bocah-bocah ini begini sih?"

Di lantai bawah, sekumpulan siswa yang kelaparan berlarian seperti gerombolan rakus.

Keganasan mereka begitu dahsyat hingga seluruh gedung bergetar sedikit.

Akibatnya, kepalaku ikut terguncang. Rasanya bahkan otakku ikut bergetar.

Dari dalam kelas 3-1, suara panik guru yang berusaha menyelesaikan pelajaran dengan terburu-buru terdengar.

"Oke, anak-anak! Biar aku jelaskan satu hal terakhir, lalu kita akhiri kelas ini! Cuma satu menit, aku janji!"

Ya, dalam segala hal, keseimbangan memang penting.

Aku menarik napas perlahan dan mulai memijat lenganku yang kaku dengan tangan satunya.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Eighteen's Bed - Vacation, Rainy season, Revenge (15.2)
6
1
BAB 15.2
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan