Eighteen’s Bed - Prayer at the Vertex (6.2)

9
0
Deskripsi

BAB 6.2 - Doa di Puncak

Seandainya reaksi Go Yohan sejak awal baik, mungkin aku juga akan sembarangan menyebut ayahnya di depan anak-anak seperti Lee Seok-hyun. Namun, reaksi Go Yohan terhadap ayahnya terasa samar. Suasananya membuatku merasa lebih baik jika menutup mulut. Jadi aku pun diam. Aku tidak ingin dibenci tanpa alasan.

Namun, di luar dugaanku, Go Yohan justru yang pertama kali membicarakan ayahnya secara terang-terangan.

"Hei. Jun bilang kalau kemarin dia bertemu ayahku."

"Ayah? A-yah? Sial, cara bicaramu bikin enek. Hei, panggil saja ‘ayah’! Jangan sok keren."

(Disini Yohan bilangnya Aboji, dan Minho protes karena terlalu formal, maksudnya panggil aja Appa, lebih akrab dan santai)

Kim Minho berpura-pura mual. Aku menangkap nada sindiran dalam ucapannya. Itu tadi memang sengaja merendahkan, bukan? Aku bisa merasakan ketidaksukaannya yang menusuk dengan halus. Namun, Go Yohan hanya tersenyum tipis dan mendorong kepala Kim Minho dengan keras menggunakan telapak tangannya. Seperti biasa. Kim Minho terhuyung. Saat ia berdiri lagi, wajahnya sudah memerah. Mulutnya pura-pura tersenyum, tetapi matanya tidak.

"Ah, sial... Apa kau memukul orang."

Semua orang di kelas menyadari ketegangan dalam perebutan hierarki ini, tetapi berpura-pura tidak melihat. Aku pun sama. Aku berpikir bahwa puncak yang tak tertandingi tetaplah Go Yohan, dan cepat atau lambat Kim Minho akan jatuh ke dasar. Meskipun begitu, aku sedikit mengambil langkah aman agar tidak terlibat dalam sesuatu yang bisa merugikan hidupku.

"Minho hanya merasa canggung. Tidak banyak anak yang memanggil orang tua mereka dengan sebutan 'ayah'. Hanya kaku dan kau yang begitu, bukan?"

Ayolah, jangan bertengkar. Aku membuat pernyataan dengan nada menuntut netralitas. Sebenarnya, bersikap netral pun hanya bisa dilakukan oleh mereka yang cukup punya posisi. Dalam hati, aku merasa bangga. Di antara mereka, aku adalah orang yang bisa menentang Go Yohan tanpa mendapat masalah, bukan?

"Oke."

Tiba-tiba, aku merasakan seseorang menyentuh bagian belakang kepalaku. Aku terkejut dan segera menoleh ke atas. Ternyata, Go Yohan sedang merangkulku sambil mengelus rambutku. Begitu aku menyadari siapa itu, tubuhku langsung menegang. Tatapan matanya yang dingin seperti musim dingin menatapku lekat-lekat. Entah kenapa, dadaku terasa sesak dan panas, seolah-olah tenggorokanku kering.

"......Kenapa?"

"Tidak apa-apa."

Go Yohan yang masih membelai rambutku tersenyum. Aku sedikit melirik ke samping dan melihat Kim Minho, Lee Seok-hyun, Kim Seok-min, serta Park Dong-chul sedang menatap ke arah kami. Tubuhku semakin kaku. Tidak, suasana ini terasa aneh. Ini persis seperti suasana ketika Han Jun-woo sedang dalam mood baik dan bermain-main dengan Han Tae-san.

"Apa yang kau laku......"

Aku dengan cepat melirik Go Yohan dan anak-anak lainnya secara bergantian. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Aku meletakkan tanganku di pundak Go Yohan, berniat untuk mendorongnya atau menghentikannya. Namun, ia lebih dulu mengambil alih situasi.

"Karena tingkahmu manis."

Dengan ekspresi sesuram itu? Dia merasakan perasaan seperti itu terhadapku? Bohong. Pasti bohong. Aku buru-buru melihat ekspresi anak-anak lainnya. Wajah Kim Minho dan Kim Seokmin terlihat penuh dengan ekspresi tidak senang.

"......"

Tidak boleh. Anak-anak mulai berpikir yang aneh-aneh. Aku segera mendorong Go Yohan dengan sekuat tenaga. Aku merasa bertindak terlalu gegabah, tapi dia hanya mundur dengan santai dan tetap tersenyum tanpa rasa bersalah.

"Ayahmu bilang padaku untuk berteman baik denganku ...... Itu benar, kan?"

"......Apa?"

"Itu benarkan?"

Kenapa dia seperti ini? Hanya karena aku menyebut soal ayahnya? Aku buru-buru memasang senyum, berpura-pura tidak ada yang terjadi.

"Iya, benar. Jadi berhentilah bermain seperti Han Jun-woo."

Apakah aku mengambil risiko terlalu besar? Kata "Han Jun-woo" menarik lebih banyak perhatian. Salah satunya adalah Han Jun-woo sendiri, yang tadinya membungkuk, kini perlahan-lahan menegakkan punggungnya. Karena posisi kami, tidak mungkin aku tidak bertatapan dengannya. Namun, aku tidak menghindari tatapannya. Sebagai gantinya, aku memasang ekspresi ceria yang bisa menarik simpati siapa pun.

"Ini lelucon baru yang dilakukan oleh Yohan. Gaya Han Jun-woo."

"Apa itu? Lelucon menjijikkan seperti itu?"

Meski aku mati-matian mencoba melindungi situasi, Go Yohan tidak melepaskan tangannya. Ia mengetuk bagian belakang kepalaku dengan jarinya. Merinding, aku langsung mengibaskan kepalaku untuk menghindari sentuhannya. Tangannya tetap menggantung di udara, seakan masih mencari rambutku.

Kenapa Go Yohan tiba-tiba bertingkah berbahaya seperti ini? Kenapa dia malah melakukan sesuatu yang bisa merugikannya sendiri? Aku sama sekali tidak bisa memahami tindakan destruktifnya.

Meskipun begitu, aku tetap menggenggam punggungnya. Go Yohan adalah perlindungan terbesarku selama masa SMA. Ya. Hanya sebatas itu. Semua perasaan yang muncul setelahnya aku hapus sepenuhnya. Tanganku yang memegang punggungnya perlahan mencengkeramnya lebih erat.

"Apa? ‘Gaya itu’ lho."

Begitu aku berbicara, tatapan Han Jun-woo yang bertemu denganku berubah dingin. Matanya dengan jelas menyiratkan rasa terhina. Jadi, lalu kenapa? Aku membalas tatapannya dengan seringai mengejek.

Anak-anak lain yang menangkap tatapanku ikut menoleh ke arah Han Junwoo. Raut wajah mereka berubah. Mereka mengerti. Bagus. Tolong, berpikirlah seperti itu. Bahwa Go Yohan sedang meniru Han Junwoo hanya untuk mengejeknya.

"Sialan, anak ini benar-benar gila!"

Orang pertama yang bereaksi positif adalah Lee Seokhyun. Ia tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya. Kemudian disusul oleh Kim Seokmin.

“Ah, sial. Sudah kubilang itu menjijikkan. Benar-benar gila!”

Park Dong-chul ikut menimpali.

“Wah—sial. Aku benar-benar kaget tadi. Sampai merinding. Aku sampai berpikir kalau Yohan juga gay.”

Lalu ada Kim Minho, yang tertawa dengan wajah yang seolah tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku mati-matian mencengkeram punggung Go Yohan. Dalam penglihatanku yang sedikit bergetar, aku melihat Han Junwoo meremas halaman buku pelajarannya. Tatapan tajamnya semakin melekat, jadi aku buru-buru mengalihkan pandanganku kembali ke Go Yohan.

Mata Go Yohan bergantian menatap Han Junwoo, lalu aku, lalu anak-anak lain, kembali ke aku, lalu lagi ke Han Junwoo. Tangannya yang tadi menyentuh rambutku kini menyangga dagunya.

Akhirnya, mulutnya yang diam itu terbuka.

“Bagaimana? Apakah itu menyenangkan?”

Haa. Aku tanpa sadar menghela napas. Napas lega. Reaksi dingin yang sempat muncul langsung menghilang, digantikan dengan reaksi panas yang mendominasi suasana.

“Ya ampun. Aku benar-benar terkejut, dasar bajingan! Aku hampir merinding tadi, kau tahu itu?”

Go Yohan tertawa. Telapak tanganku kini basah oleh keringat. Di saat yang sama, aku merasa lega karena anak ini setidaknya masih berpikir jernih. Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba bersikap seperti itu padaku, tapi karena Go Yohan memang selalu seperti ini, aku masih bisa menerima.

Dasar aneh. Aku menggigit bibir sedikit dan hendak menatapnya. Namun, aku langsung mengalihkan pandangan. Itu karena Go Yohan sedang menatapku lekat-lekat. Entah kenapa, telingaku terasa panas.

“Jadi, katanya ayahku bilang sesuatu ke Jun.”

Go Yohan yang masih melihatku kini dengan santai mengamati anak-anak lain yang masih tertawa.

“Katanya, dia suruh aku berteman dengan Jun.”

“Ah, tolong berhenti bilang itu. Aku sudah bosan mendengarnya. Lagipula, itu sudah jelas! Kang Jun kan pintar, pasti ayahmu ingin kau belajar darinya. Semua orang tua pasti begitu.”

“Benar juga, aku bahkan pernah pakai nama Kang Jun beberapa kali.”

Park Dong-chul menanggapi perkataan Go Yohan, lalu Lee Seok-hyun tertawa cekikikan. Kim Seok-min kemudian menimpali.

“Terus, mereka bilang apa?”

“Mereka tidak percaya. Mereka bilang, kalau aku memang sering main sama dia, kenapa nilainya tetap buruk?”

“Sialan, aku juga begitu!”

Mereka tertawa terbahak-bahak. Dengan begitu, situasi berbahaya pun berlalu dengan aman.

Masalah kedua datang saat jam makan siang. Hari ini, Go Yohan sengaja menungguku sebelum beranjak. Saat anak-anak lain mulai bergegas keluar, ia malah melambaikan tangan dan berkata, “Aku akan makan bersama Jun. Sampai jumpa.”

Wajah Kim Minho tiba-tiba berubah cerah. Begitu juga denganku.

Sementara itu, Han Tae-san dan Han Jun-woo entah pergi ke mana. Kini, tidak ada seorang pun yang peduli dengan mereka berdua. Mereka hanya tersisa sebagai ‘tanaman hias’ di kelas kami—keberadaannya tidak penting, tapi entah kenapa terkadang terasa mengganggu.

Mataku mengikuti kursi kosong mereka, sementara telingaku mengikuti suara Go Yohan.

“Jadi, kau pertama kali bertemu di gereja?”

“Iya. Awalnya aku tidak sadar, tapi setelah kupikirkan lagi, dia mirip seseorang. Dan ternyata, itu kau.”

“Aku memang cukup mirip dengan ayahku.”

“Kau tersenyum. Kau sepertinya sangat menyukai ayahmu.”

Aku melirik ke arah jam dinding yang menempel di tembok. Sudah hampir waktunya untuk turun. Saat itu, tiba-tiba ada sesuatu yang dingin menyentuh pipiku. Itu adalah jari Go Yohan.

Jari-jari dingin dan kuat itu dengan lembut memutar wajahku ke arahnya.

"Kita sedang berbicara. Lihat aku."

Go Yohan tersenyum tipis. Namun, entah mengapa, senyum itu membuatku tidak nyaman. Namun, tempat yang disentuhnya membakar indraku, sensasi yang tidak mungkin diabaikan. Dadaku terasa sesak.

"Ah. Maaf."

“Sekarang kau harus fokus padaku.”

Nada suaranya terdengar seperti sedang menasihati. Saat aku hendak membalas karena agak tersinggung, Go Yohan malah lebih dulu mengetuk-ngetukkan jarinya ringan di pipiku, mendahului ucapanku.

“Dan, aku tidak suka ayahku. Aku hanya memberitahumu. Ini rahasia, ya?”

Dasar, semua hal pun jadi rahasia baginya. Aku menepis jari Go Yohan yang terasa mengganggu, lalu berdiri.

“Ya, ya, aku sudah tahu. Ayo turun. Kita harus makan.”

“Wah, sudah waktunya makan?”

Go Yohan melirik jamnya dan ikut berdiri. Saat kami berjalan keluar kelas bersama, dia tiba-tiba bertanya,

“Oh iya. Kenapa tadi kau bilang begitu?”

“Bilang apa?”

“Saat aku bilang kau manis, kau menyuruhku berhenti meniru Han Junwoo.”

Aku menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Dia masih kepikiran soal itu? Tapi wajahnya terlihat cukup serius, jadi aku menjawab dengan jujur.

“Kalau kau bertingkah seperti itu, anak-anak lain bakal meremehkanmu.”

“Mereka, meremehkan aku? Berani-beraninya?”

Go Yohan menunjuk dirinya sendiri dengan jarinya, seolah tidak percaya. Nada suaranya penuh dengan hinaan. Aku jadi makin terkejut. Sejauh mana dia sebenarnya meremehkan teman-temannya?

“Tidak mungkin itu terjadi.”

Tatapan mata Go Yohan dipenuhi keyakinan. Pandangan yang meremehkan orang lain. Ucapannya seolah menyimpan banyak emosi dan situasi di baliknya.

Tinggi badan tertinggi di sekolah, petarung terbaik, nilai akademik tidak buruk, nilai bahasa Inggris sempurna, wajah tampan, dan anak keluarga kaya. Semua faktor itu telah membentuk sosok Go Yohan yang sekarang.

Mungkin bagi anak-anak yang tidak pintar, tidak punya kesabaran sedikit pun, dan tidak memiliki uang, dia adalah tembok yang mustahil dilewati. Tapi tetap saja, aku menggelengkan kepala.

“Meski begitu, lebih baik kalau hal seperti itu tidak terjadi. Jangan sampai anak-anak salah paham dan malah membuat suasana jadi canggung.”

"Ya, ya. Kau selalu seperti itu."

Nada suaranya terdengar seperti mengejek, tapi entah kenapa kesannya cukup positif. Jadi, dia suka atau tidak suka? Aku tidak tahu.

"Aku sudah memperhatikanmu, dan kau selalu membuat situasi jadi rumit."

"Kau memperhatikanku?"

"……?"

Astaga, otakku langsung kosong. Aku melakukan kesalahan. Kenapa aku malah mengatakannya? Bodoh. Secara refleks, aku langsung menutup mulutku dengan tangan. Saat aku masih panik mencari cara untuk memperbaiki keadaan, Go Yohan menatapku dengan tatapan tertarik.

"Kau memperhatikanku?"

"Bukan, bukan itu maksudku……."

"Kau memperhatikanku, yaa?"

Aah—. Go Yohan menggaruk dagunya sambil mengangguk pelan. Tapi kenapa wajahnya terlihat puas? Bukannya seharusnya dia merasa aneh atau terganggu? Aku berusaha memahami pola pikirnya yang sulit dimengerti, ketika tiba-tiba dia tersenyum cerah dan berkata.

"Pertama, biar ku jelaskan, itu memang sudah sifat asliku. Aku memang suka hal-hal yang rumit. Suka sesuatu yang berbelit-belit."

"Yah, sebenarnya kau tidak perlu menjelaskannya……."

"Cuma, biar kau tahu aja."

Tahu apa? Kenapa aku harus tahu? Aku bahkan tidak sempat mempertanyakan itu. Yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana cara mengalihkan topik ini. Aku melihat sekeliling dengan canggung dan menggumamkan sesuatu yang tidak penting.

"Kalau suka hal yang rumit, kenapa tidak belajar saja? Buku Latihan yang sulit ada banyak, tuh."

"Ah"Ah. Kau tidak tahu? Semakin seseorang menyuruhmu belajar, semakin kau tidak mau belajar."

"Itu cuma alasan."

"Itu bukan alasan"

Tiba-tiba, Go Yohan berhenti di tengah tangga. Lalu, dia berbalik menghadapku. Dia mengangkat satu tangan, memperlihatkan sesuatu yang tampak familier di telapak tangannya.

"Lihat."

Aku memicingkan mata, mencoba mengenali benda itu. Begitu aku sadar, jantungku langsung berdegup kencang. Itu kertas yang tadi ku buang! Post-it milikku! Kertas yang sempat kutulisi nama Go Yohan, lalu kugosok mati-matian sampai nyaris tak terbaca. Kenapa itu ada di tangannya?!

Panik, aku langsung mengulurkan tangan untuk merebutnya. Sial, kenapa benda itu ada padanya?! Kenapa dia memilikinya?!

Seharusnya aku bisa meraihnya. Tapi aku terlambat. Dalam sekejap, Go Yohan meremas kertas itu dan langsung memasukkannya ke dalam mulutnya.

Otakku berhenti bekerja. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku hanya tahu satu hal—aku harus mendapatkan kertas itu kembali.

Begitu aku maju selangkah, Go Yohan menarik tubuhnya ke belakang. Tanganku hanya meraih udara kosong. Dia bahkan sempat meninju ringan dadaku, lalu tersenyum dan berkata,

"Kau sengaja meninggalkan catatan itu supaya aku membacanya?"

Brengsek. Kenapa dia mengucapkan kalimat itu sekarang? Aku hanya bisa terpaku, sibuk tenggelam dalam rasa malu dan kesal terhadap kebodohanku sendiri.

"Kembalikan itu!"

"Apa? Aku tidak tahu apa yang kau katakan."

"Kembalikan sekarang!"

"Wah, agresif sekali."

Go Yohan mengernyitkan sebelah matanya.

Aku ingin merebutnya, tetapi lenganku lebih pendek darinya, dan aku tidak bisa meraihnya. Tidak peduli seberapa keras aku mengulurkan tanganku, yang berhasil kusentuh hanyalah bibirnya.

Bingung, aku terus meraba-raba tanpa menyadari bagian mana yang kusentuh. Mungkin itu sebabnya ekspresi Yohan semakin memburuk dari detik ke detik.

Dia mendorongku sedikit menjauh dan menarik catatan kusut itu dari mulutnya sebelum memasukkannya ke dalam sakuku.

Seharusnya aku yang merasa kesal, tapi entah kenapa, si bajingan itu malah bersikap kesal.

Apa-apaan?

Aku buru-buru menepis tangannya yang menjauh dan merogoh sakuku.

"Kau—kau, apa yang sebenarnya kau lakukan—?!"

Aku membuka kertas catatan yang agak basah itu, seakan-akan aku hendak merobeknya.

Namun isinya bukan milikku.

<Makan Siang>

<Hari ini? Pollack rebus. Kelihatannya tidak enak. Mau makan tteokbokki dengan Kim Seokmin—>

Suku kata terakhir menghilang, seolah-olah direnggut di tengah kalimat.

Hanya sekedar catatan biasa yang tidak berarti.

Aku menatap kertas itu dengan pandangan kosong sebelum mendongak ke arah Yohan.

Beban berat terasa menghimpit dadaku.

Matanya yang tipis dan dingin menatap tajam ke arahku dengan tatapan yang dingin.

"Kau … kenapa—"

"Itu menyebalkan."

"Apa?"

Tatapan dinginnya tak goyah.

Setelah memperhatikanku sejenak, Yohan berbalik, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, dan berlari menuruni tangga dua anak tangga sekaligus.

Yang lebih tak tertahankan adalah bau samar sabun yang tertinggal di udara saat dia bergerak.

Dan yang tersisa padaku hanyalah rasa frustrasi.

Aku memperhatikan sosoknya yang menjauh.

Sialan.

Ujung rambut Go Yohan mencuat.

****

Ada banyak perbedaan antara Han Junwoo dan Go Yohan, tetapi bagiku, hanya satu yang penting.

Go Yohan sungguh-sungguh memperhatikanku.

Rasanya aneh setiap kali dia memanggil namaku dengan santai, seolah-olah itu bukan apa-apa. Mungkin itu karena masa laluku—ketika aku tidak lebih dari sekadar pendukung Han Junwoo.

Sejujurnya aku masih belum terbiasa.

Baru kemarin adalah buktinya.

Sampai tiba saatnya mengambil nampan makan siang, Yohan bahkan tidak melirik ke arahku. Dia juga tidak berbicara kepadaku, membuatku sangat waspada terhadap semua orang di sekitar kami.

Aku mengumpatnya dalam hati berkali-kali, berdebat dengan diriku sendiri, tetapi pada akhirnya, aku tetap duduk berhadapan dengannya.

Aku tahu jika aku tidak melakukannya, suasananya akan bertambah buruk.

Lalu, entah dari mana, ekspresinya berubah, dan dia mulai bercanda.

Sambil menyeringai, dia tiba-tiba berkata, "Mengapa ikan pollack rebus harus terlihat seperti ayam goreng pedas? Aku hampir memakannya, karena mengira itu ayam sungguhan."

Waktu perubahan suasana hati Go Yohan adalah hal yang paling membingungkanku.

Temperamennya bahkan lebih sulit diukur daripada Han Junwoo.

Apakah aku bereaksi berlebihan kemarin?

Apakah Yohan hanya bercanda tentang masalah 'pollack rebus' dan aku menanggapinya terlalu serius, membuatnya marah?

Apakah dia benar-benar menggunakan Post-it ku secara kebetulan?

"….."

Aku meliriknya sekilas, yang duduk di sana, fokus pada kelas.

Dia benar-benar orang yang sulit.

Hari ini, Yohan sedang dalam suasana hati yang luar biasa baik.

Saat pelajaran di kelas berakhir, dia meraih tasnya dan menoleh ke arahku.

"Hai, warga kompleks yang tinggal sendirian?"

Nada menggodanya membuatku ragu.

Aku merasakan kejengkelan naik di tenggorokanku, tetapi aku menelannya dan memaksakan diri untuk menanggapi dengan acuh tak acuh. Menunjukkan emosi di depan orang lain adalah hal terbodoh yang dapat kau lakukan.

"Sudahlah. Aku mengerti. Maaf aku terlambat menyadarinya, oke? Aku sudah bilang aku minta maaf."

"Kau akan pulang bersamaku hari ini, kan?"

Wajahnya penuh kejahilan, ekspresinya jenaka saat dia menggangguku. Begitu cerah dan santainya sehingga, untuk sesaat, aku bertanya-tanya apakah dia pernah menatapku dengan mata dingin dan jauh itu sebelumnya.

Mungkin hanya aku yang ingat.

Go Yohan, di sisi lain, tampaknya sama sekali tidak terganggu dengan apa yang terjadi kemarin. Itu menggangguku.

Setiap kali aku diam, tatapan dingin itu akan kembali merayapi pikiranku. Sesekali kenangan itu muncul kembali tanpa alasan dan membuatku merasakan kesedihan yang aneh.

"Apakah kau tidak akan menjawab saat seseorang bertanya kepadamu?"

Tiba-tiba sebuah tangan besar mencengkeram pipiku dan mengarahkan wajahku ke arahnya.

Dalam sekejap, wajah Yohan memenuhi pandanganku. Untuk sesaat, aku lupa cara bernapas. Inilah sisi buruk Yohan yang terbesar.

Setidaknya Han Junwoo tidak pernah menyentuhku seperti ini.

Cengkeramannya di pipiku mengencang, membuat bibirku terdorong ke depan. Itu menyadarkanku, dan aku menatapnya dengan saksama. Yohan nampaknya mengharapkan reaksi tertentu dariku.

Ekspresinya kosong, tidak terkesan.

"Jika kau mulai membuat alasan lagi, kau akan mati."

“…Aku benar-benar minta maaf, tapi aku tidak bisa pulang bersamamu hari ini.”

"Oh? Apa, hari ini pemakamanmu atau apa?"

Yohan berpura-pura mencengkeram leherku dan mengguncangku. Tidak sakit sama sekali. Tidak ada maksud jahat di dalamnya. Dan itu hanya membuat aku makin tidak nyaman. Kebaikan yang halus seperti ini.

"Tidak, aku ada kelas khusus di akademiku hari ini. Aku harus pergi lebih awal."

"Aah—"

Yohan membuka mulutnya lebar-lebar sambil menjawab, tangannya masih melingkari leherku.

"Itu menyebalkan."

"...Besok kita pulang bareng. Sekolah berakhir lebih awal, dan akademiku tutup, jadi kau bisa datang dan nongkrong di sini. Kau ikut kelas tambahan, kan?"

Aku buru-buru mencoba menenangkannya. Aku benar-benar yakin ini tidak akan pernah terjadi. Aku ingat dengan baik betapa aku dulu membencinya.

Tapi sekarang, apa-apaan ini?

Rasanya seperti aku berusia tujuh belas tahun lagi, kambuh. Bahkan pada saat itu, kata-kataku datang dari tempat yang logis. Karena Yohan benar-benar peduli dengan nilainya, jelaslah ia akan mengambil kelas tambahan selama liburan.

Seperti yang diharapkan, dia mengangguk kecil.

"Baiklah. Tapi kalau besok kau berubah pikiran, aku tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja."

"Aku tidak akan berubah pikiran. Jangan khawatir."

Dan saat itulah aku sadar betapa bodohnya aku saat berusia delapan belas tahun. Karena bahkan selama kelas di akademi, yang bisa kupikirkan hanyalah Yohan.

Tatapannya yang dingin.

Sentuhannya yang menyenangkan.

Mereka terus terngiang dalam kepalaku.

Tak peduli seberapa keras aku berusaha bersikap dewasa, aku tetap saja seorang remaja berusia delapan belas tahun yang terlalu terperangkap dalam perubahan suasana hati Go Yohan.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Eighteen’s Bed - Prayer at the Vertex (6.3)
8
0
BAB 6.3 - Doa di Puncak
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan