His Name is Jimin

9
1
Deskripsi

Jimin mengalami patah hati paling berat, setengah jiwanya pergi. Luluh lantah hidup tanpa arti. Hingga dia bertemu dengan sosok satu tak pernah ditemui. Memberi sentuhan selembut angin padanya yang sunyi.

Rungu tak pernah bisa dusta tentang suara. Hanya memori terkadang lupa, tidak melihat sebab jadi perkara. Dua kata sarat makna, sakit namun tak ada luka menganga. Bukan fisik yang didera lelah nestapa. Rasa pedih itu datang dari sifat purba, genetika makhluk bernyawa. Perasaan disakiti terasa hancur lebur terbakar api membara.

Bukan tak ingin hapus, usir nestapa jiwa. Hanya ia manusia lugu di antara  kemalangan rasa besar kalahkan keberanian tak seberapa.

Hancur hati dikala senja, dua warsa berlalu hampa. Elok paras terekam memori menolak pupus sampai detik masa depan dijejak kakinya. Manusia begitu, perasa, kejam, munafik, bahagia. Ragam berjuta namun asal tetap pada satu Adam dan Hawa.

Dipasangkan, memasangkan, jatuh cinta, kemudian patah serapuh ujung ranting kecil pohon di pinggir jalan. Ini tidak hiperbola, karena satu manusia bukti ialah dia. Merundung diri di pusara cinta. Tanah berumput tertutup rumput zoysia japonica. Cantik di temani lili macan di samping nisan.

Alexa Margot, calon pengantin kekasih dan jantung hatinya. Nama di atas nisan masih sangat bagus meski dua warsa lalu dipahat tukang. Baiknya masih sama, sama persis dengan rasa kehilangan, hancur sehancur-hancurnya hari dia kehilangan.

"Aku Park Jimin, bersedia menikahimu dalam suka maupun duka. Dalam miskin maupun kaya, dalam kesulitan maupun bahagia. Mengambilmu sebagai istri dan pendamping hidupku. Aku bersedia."

Itu janji sederhana, di hadapan Tuhan semestinya terucap penuh suka cita. Malang, seluruh pesta dan janji kekal tak dapat diraih. Tidak terucap di hari tertera undangan tamu. Ada hancur lebur sekejap mata, hingga hanya kesedihan, kesendirian, yang menggerogoti jiwa.

Banyak yang mengatakan padanya untuk melakukan kegiatan, hilangkan memori buruk itu dari pikiran. Pun ia telah berusaha meski semuanya tak buahkan hasil mengusir sakit. Jimin hanya menambahkan agenda pada hidup yang tak lagi punya makna.

Keluarganya tidak pernah lagi ikut campur sebab Jimin tak segan putus jalinan silaturahmi. Wanita kasihnya tiada namun bukan berati harus terlupakan.

Suatu waktu sepupunya, Edelyne menyarankan untuk ikut sesi terapi. Jimin bersumpah ia tidak gila, hanya jiwanya terluka parah. Dia menolak semua bantuan, memilih pergi dari rumah tempat di mana seharusnya membangun keluarga kecil. Semuanya sudah pupus.

Teman lamanya, Taehyung memberi saran lebih logis. Bepergian bersama sejauh mungkin. Distraksi alam lebih realistis. Dia menarik kopernya naiki jembatan penghubung ke atas kapal pesiar. Tersenyum tipis pada Taehyung dengan sambutan hangat pelukan teman. Berbincang tentang ke mana kapal besar itu akan berlayar, ke mana Taehyung akan membawanya pergi dari jejak memori penyebab kekosongan jiwanya.

"Kabinmu ada di bawah, mau kuantar sekarang atau kamu ingin lebih dulu melihat-lihat?" tangan di punggung mengusap, pagar tambahan pada jiwa rapuh Jimin. Semua orang seakan tahu dan peduli kepadanya. Kesakitan dan perih menggerogoti dari dalam. Maka dari itu pilihannya mengiyakan ajakan Taehyung untuk bepergian.

Seratus satu hari adalah waktu yang akan Jimin habiskan di atas kapal tersebut. Taehyung memberi harapan besar untuk menyembuhkan sakitnya meski Jimin tak menerima. Sekiranya waktu masih panjang guna mencaritahu.

"Di mana letak kabinmu?" kesan baik disuguhkan di depan mata. Manik cokelat tua memeta lautan dari atas geladak. Luas, semilir angin terpa wajahnya dengan sedikit bau asin khas.

"Dua pintu dari milikmu. Ini, kunci untuk kabinmu dan ini milikku. Berkunjunglah kapanpun kamu mau."

Jimin tatap telapak tangan, dua kunci dengan nomor kamar. Ia alihkan maniknya pada Taehyung. "Yang ini tidak perlu, Taehyung."

"Perlu," pria itu memaksa tutup tangan Jimin agar genggam dua kunci darinya. "Datanglah, kapanpun. Aku tidak akan menolak kehadiranmu."

Sungguh bukan ingin memanfaatkan, karena gelagat dan kepedulian Taehyung sudah lebih dari cukup. Pria itu lelah melihat Jimin terpuruk, menghabiskan dua warsa seorang diri. Jauhi kerabat dan keluarga, dia cukup tangguh untuk tetap berada di sisi Jimin saat lainnya dipukul mundur.

"Biarkan kopermu dibawa lebih dulu. Maru ke atas, kamu makanlah sebelum beristirahat. Malam nanti keluarlah untuk mengunjungi pesta malam. Ini hari pertama Oversea berlayar ke samudera lepas." Dia sedikit memaksa, tahu betul Jimin akan mengurung dirinya di dalam kabin dan entah kapan akan keluar.

Bimbingan dari tangan di punggung menuju tangga, Jimin mengikuti arahan. Melihat jauh pada laut sementara Taehyung mengoceh tanpa henti. Tidak menyerah meski Jimin hanya memberi senandung kecil sebagai jawab.

Sore itu kapal Oversea berlayar, Jimin sudah ditinggal di meja makan dengan sisa remah roti di piring. Taehyung sudah pergi ke anjungan, menjadi nahkoda termuda untuk mengendalikan laju kapal pesiar besar. Suatu kehormatan baginya berada di sini karena undangan nahkoda itu sendiri. Tamu spesial yang digadang-gadang menjadi tunangan sang kapten kapal.
 


 

Jimin tidak tuli dari bisik-bisik tamu lain yang cukup peduli tentang urusan orang.
 


 

Sedikit larut kakinya menjejak di deck bawah, dua lantai dari paling bawah. Sedikit heran, Taehyung seharusnya punya kamar sendiri di anjungan bukan di tempat tamu beristirahat.
 


 

Kamarnya luas, hal pertama dalam penglihatan ialah kasur besar muat dua sampai tiga orang. Lemari pakaian, koper hitamnya, pintu lain ditebak sebagai kamar mandi. Ada jendela lebar perlihatkan pemandangan laut biru luas. Jimin tanggalkan semua pakaian, berajut langkah ke kamar mandi tanpa mengambil pakaian berserakan di atas lantai.
 


 

Dia dengar, akan ada pelelangan barang bagus malam nanti. Jimin mulai berpikir untuk mengiyakan ajakan Taehyung meski tahu akan jadi pusat perhatian saat kapten kapal berada di sisinya sepanjang waktu.
 


 

Jimin tidak membenci tapi juga tidak menerima. Taehyung hanya sahabatnya, tidak ada lebih pun tidak ada kurang.
 


 

Kulit putih terguyur air hangat, melegakan dari segala sisi. Rambut hitamnya basah, jemari mulai menyisir dengan dikit sampo, memijat kulit kepala, tengkuk dan punggung sempat diusap Taehyung seraya berjalan berdampingan.
 


 

Jimin hela napas, berat rasa dalam dada. Dua hari lalu ibunya menghubungi jika keluarga Kim datang melamar, tidak tega melihat Jimin terus terpuruk atas kepergian Alexa. Cara salah untuk hati Jimin di mana itu sudah tak memiliki pintu untuk dibuka.
 


 

Dia menyelesaikan mandinya, memakai pakaian dan menaiki tempat tidur. Pasang alarm pukul delapan tepat, mungkin berpikir untuk datang ke pesta nanti malam.
 


 

❛❛❛
 


Aula sudah diisi oleh banyak tamu. Hal pertama bagi Jimin setelah sekian lama. Bertemu orang-orang dalam suatu pesta, karena pesta terakhirnya ialah bersama Alexa. Dia memeta setiap bagian, berbagai macam orang kaya hadir dalam pesta perayaan. Gaun-gaun malam indah, kerlap-kerlip batu mulia di jari tangan dan leher mereka, jam mahal di pergelangan. Jimin tidak banyak bersolek, hanya jas hitam seragam dengan celana, kemeja putih di dalam dan membiarkan rambut terurai sepanjang tengkuk.

Dia berdiri paling pojok, memegang gelas isi wine merah. Tidak berniat meneguk, cukup menjadi distraksi rasa tidak nyaman di antara orang asing. Sampai temukan Taehyung berjalan ke arahnya. Pria itu tersenyum hangat, memakai seragam kapten, tampan dan gagah. Tangan kanannya terangkat kepada Jimin.

"Jangan berdiri di tempat aku sulit menemukanmu. Pergilah ke tempat pelelangan, kamu cukup malam tiba di sini. Ada banyak barang bagus, mungkin ada juga yang akan menarik perhatianmu."

Jimin menyambut uluran tangannya, meremas kecil tangan Taehyung ketika punggung tangan terima kecupan kecil.

"Taehyung,"

"Ini hanya sikap lembutku, aku tidak bermaksud untuk melakukan apa pun."

Anggukan untuk mempercepat berakhirnya obrolan. Jimin tahu pria itu sedang merayu, jalan kembali dituntun. Aula itu sangat luas, tidak seperti mereka terbatasi oleh kenyataan tengah berada di atas kapal pesiar. Jimin menaruh gelas di meja di tengah jalannya ke bagian lain yang cukup privat. Ada pintu berwarna hitam, kayunya dipernis bagus. Beberapa orang sudah menempati kursi berjejer rapi menghadap panggung gelap dan kosong.

Jimin duduk di paling belakang, di sebelahnya ada Taehyung. Senyum hangat masih setia terukir di birai tebal sedikit gelap. Dia jelas sering merokok, mungkin Jimin orang pertama dari orang lain, mengenai rokok itu ialah sarannya ketika stress menimpa terlalu banyak. Anehnya bibir Jimin tidak sama menghitam, masih merah di bagian bawah dan sedikit pucat di bagian atas. Hari ini perona bibir menyelamatkannya dari terlihat seperti zombie.

"Katakan padaku jika ada yang menarik perhatianmu," sikap lembut berlanjut, selimut dibentangkan di atas kaki Jimin. Menjaganya hangat dari pendingin udara di ruang redup.

Suara kencang dari tengah panggung kayu, seseorang berdiri di sana dengan topeng tutupi wajah. Alis Jimin terangkat, lirik teman duduknya kemudian kembali ke panggung. Saat itu hanya perkenalan dan sedikit canda hasilkan tawa para tamu. Jimin tetap diam, cukup aneh dengan lelang berkedok penggalangan dana. Ada yang terlalu kaya untuk menghambur-hamburkan uang sampai beli barang tak berguna.

Barang pertama di pajang di dalam kotak kaca. Terlihat seperti roda rusak dari kapal tua. Jimin tatap tangannya, Taehyung baru saja serahkan stick dengan nomor tujuh lima. Banyak bulan dari penjelasan seberapa antik barang, Jimin tidak dengar. Perhatiannya teralih pada sepasang sepatunya, sesal keluar dari kamar.

"Berikutnya adalah berlian yang ditemukan di kapal tenggelam Laut Karibia!"

Sekali lagi ia perhatikan ke depan, ada kalung dengan rantai emas dan liontin serupa kemudi kapal, berlian di tengah menjadikannya indah.

"Kamu mau?" Taehyung berbisik, siap angkat stick. Jimin menggeleng, "Aku tidak tertarik pada perhiasan."

"Benar, kamu sudah sempurna tanpanya." Senyum hangat menjadi sedikit diselipi permainan kata. Jimin balas senyum, kembali hadap depan untuk tahu kalung itu sudah terjual. Ada sepasang kakek dan nenek di kursi depan berdiri, pamer kemesraan diusia senja. Jimin sudah lihat itu ratusan kali, tidak ada orang kaya dulu menikah hanya Karena cinta. Itu hanya pertunjukan bagus dari pada pendahulu.

Kalung berlian di bawa pergi, Jimin putuskan untuk bicara pada Taehyung. Mungkin gunakan kata lelah dan pamit ke kabinnya. Ia buka suara sampai semua orang dalam ruangan membuat suaranya tenggelam. Dia menoleh ke depan, penasaran sebab mereka menjadi riuh.

Garis mata melebar, dia lihat bukan barang. Dia lihat sesuatu yang bernyawa. Duduk dengan kedua lutut di lantai, rantai belenggu di leher, pergelangan tangan dan kakinya. Dia tolehkan kepala pada Taehyung, "Apa kamu sudah gila?"

Taehyung tersenyum, "Ini hanya sedikit bermain-main."

Bukan jawaban dari hardik tidak sopannya. Jimin kembali tatap di atas panggung, itu adalah seorang pria, rambut ikal hitam sepanjang bahu. Wajahnya sebagian tertutup rambut namun masih dapat dilihat iris merah rubi yang cantik, sesaat Jimin terpaku  namun kembali tatap Taehyung saat lelang dimulai.

"Melelang manusia adalah ilegal. Taehyung, apa ayahmu menyetujui ini?"

"Jimin tenang,"

"Bagaimana aku bisa tenang? Itu manusia!"

Taehyung menoleh padanya, "Bukan, itu bukan manusia."

"Apa─"

"Dia adalah vampir."

Mulut Jimin bungkam, ia gerakkan kepalanya kembali ke panggung. Taehyung tidak membantu rasa bingungnya, jawaban seperti vampir tidak membuatnya puas. Jimin merasa kasihan saat pembawa acara menjambak rambutnya. Kerutan alis pastikan sentuhan itu menyakitkan.

Ia kembali menatap Taehyung, "Aku mau itu."

Kali ini Taehyung menoleh padanya, sepasang alis tegas dan tebalnya menukik. Kurang setuju akan pilihan Jimin. "Dia hanya akan jadi barang pajangan atau mainan. Kamu lihat siapa orang yang mengangkat stick, Jimin? Wanita tua kesepian dan lelaki tanpa istri. Kamu tahu maksudku."

Jimin gigit bibir dalam, putar otak cepat saat rungu mendengar nominal disebutkan pembawa acara berkali-kali. Pria malang yang disebut  Taehyung sebagai vampir itu hampir terjual. Ia memperhatikan wajah Taehyung, tidak ada celah untuknya masuk.

Jemari sentuh punggung tangan kapten kapal, tubuhnya condong pada pria berseragam di sampingnya. Jimin melembutkan tatapan, "Apa aku tidak bisa memiliki apa yang aku inginkan? Selalu saja seperti itu,"

Taehyung tampak terkejut, ia membungkus tangan di atas punggung tangannya. "Bukan seperti itu, Jimin. Kamu bisa membeli apa pun selain vampir itu."

"Tapi aku tidak mau yang lain." Tatapan bertemu, mengunci hingga napas Taehyung tertahan selama beberapa sekon. Tidak bergerak hingga dua manik gelapnya turun memerhatikan belah birai merah muda milik Jimin, ujung garisnya turun. Taehyung menghela napas, stick angka di tangan Jimin sudah diangkat setinggi kepala.

"Delapan ratus lima puluh juta." suara kapten kapal lantang terdengar. Semua mata menoleh kepadanya, termasuk pembawa acara di atas panggung.

Mata Jimin melebar begitu nominal besar keluar dari bibir Taehyung dengan mudah. Dia jelas mendengar sebelum ini tawaran terbesar hanya sampai seratus delapan puluh. Suara senang dari pembawa acara membuat tepukan tangan menggema. Jimin melihat ke atas panggung, maniknya bersirobok dengan barang lelangan.

"Aku mendapatkannya untukmu."

Jimin memutus kontak mata itu, menatap Taehyung dengan senyum merekah. "Terima kasih."

***
 

Dua pasang kaki yang berjalan berhenti di depan satu pintu. Kunci dimasukkan, membuka pintu kabin milik salah satunya. Jimin merasa cukup lega malamnya terlalu lama dihabiskan di aula. Ia kembali dipukul dua malam, sudah cukup melihat-lihat tingkah aneh penghuni kapal pesiar di hari pertama.

"Terima kasih sudah mengantarku." senyum tipis darinya untuk kapten kapal. Ia melepas genggam tangan Taehyung dan hendak tutup pintu. Sebelah lengan Taehyung lebih dulu menahan. Pria itu berdiri lebih dekat, di ambang pintu hingga Jimin urungkan niatnya.

"Bolehkah aku masuk?" suara berat dan mendayu. Pria itu bersandar di kusen pintu, memerhatikan Jimin dengan sepasang mata gelapnya. Jika lebih spesifik, Jimin tahu tatapan itu terarah pada birainya.

"Bukankah kapten kapal harus berada di kantornya malam ini?"

"Aku punya banyak kru yang handal, lagi pula ini belum mencapai laut lepas. Tidak ada hambatan yang perlu kamu takutkan.

Jimin terkekeh, lebih merdu dari deburan ombak menabrak badan kapal. Taehyung merunduk, mendekat wajahnya pada Jimin. Pria itu mendapatkan pipi di atas birainya untuk dikecup alih-alih lembut merah    bunga mawar, Jimin menoleh cepat ketika tahu niat sang kapten kapal.

"Taehyung, sudah larut." suara kecil dari burung pipit manis. Mengobati rasa kecewa darinya tak dapat menyentuh birai Jimin. Kapten kapal menjauhkan diri, melepas pegangannya pada daun pintu.

"Baiklah. Lelanganmu akan diserahkan padamu besok. Aku akan menyiapkan tempat untuk menyimpannya. Selamat malam, Jimin."

"Malam, Taehyung."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 11. Story End
28
1
Mpreg
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan