
๐ NSFW
Tempat itu terlalu besar. Bak istana raja menjulang tinggi dan berpagar kokoh. Pinggang Jimin lagi-lagi dicengkeram agar ia berjalan mengikuti Jeon masuk ke tempat mencurigakan dengan banyak kawalan manusia berseragam hitam-titam. la menunduk karena takut, ini bukan tempat yang tepat untuk dikunjungi tengah malam. Matanya mulai panas mengingat bagaimana keadaan Taehyung sekarang. Ada sesal karena Jimin meninggalkannya seperti itu di tempat itu.
Kaki Jimin hampir tersandung ketika menaiki anak tangga, ia menggunakan kedua tangannya untuk perpegang pada jaket kulit pria yang menuntunnya. Ada tawa ketika ia kembali menarik tangan sebelum dagunya diapit ibu jari dan telunjuk, dipaksa mendongak. Jimin tidak mampu mengelak ketika tatapan tajam Jeon mengancamnya hingga hampir terkencing di celana. la kaku, sempat tidak bernapas saat bibirnya diraup ke dalam mulut. Diberi lumatan dan basah dari liuk lidah masuk ke rongga mulut. Lalu pria itu menjauh.
"Manis, bibirmu sangat manis,"
Jimin semakin kalut Jeon membawanya ke suatu tempat ruangan di balik pintu besar. Gelap di dalam terganti cepat oleh sinar lampu menyilaukan. Jimin melihat ranjang
luas bernuansa putih bersih. la tak sempat memperhatikan sekitar karena tubuhnya diangkat begitu saja dan dijatuhkan di atas ranjang. Jimin menahan diri untuk berteriak ketika tubuhnya ditindih. la menahan dada yang hendak menghimpit namun disingkirkan dengan mudah, ditahan di kanan dan kiri kepalanya.
Lehernya dicumbu, Jimin menutup matanya. Takut dan merasa jijik diperlakukan seperti ini. Ia terisak ketika lagi bibirnya dihisap. Tangan Jeon melepas celana yang dipakai Jimin dengan paksa. Tangisnya semakin kencang ketika selangkangannya dijadikan santapan mulut, bokongnya dibuat melayang dengan kedua kaki mengangkang lebar. Jimin merasa sangat malu namun tak bisa menutupi privasinya karena kedua tangannya diikat dengan seutas tali tanpa ia ketahui. Di tahan dengan kencang di kepala ranjang.
"Jangan!" mata basahnya tak kuasa melihat, anusnya dijilat lidah basah. Dihisap dan diludahi begitu banyak.
"Kau tidak punya banyak rambut di sini, itu bagus," tangan besar mencengkeram paha hingga memerah. Jimin semakin kalut dapati jemari panjang mengelus lubangnya. la menggeleng, terisak dengan bibir gemetar.
"Jangan-hiks...apa salahku?" sekujur tubuhnya menegang oleh tusukan ibu jari ditempat yang tidak pernah Jimin kira bisa dimasuki.
"Kau tidak salah sama sekali, hanya saja kau sudah menarik perhatianku," Jeon menunduk dan menjilat rahang yang memiliki bentuk indah. Jarinya menusuk lebih dalam, menyeringai begitu pemuda yang ia ambil merintih di antara isak tangis ketakutan.
"Kau seorang virgin, aku tahu dari semua reaksi dan cara tubuhmu merespon sentuhanku,"
"A-angh..."
"Ya Jimin, mendesah, itulah tugasmu. Tanpa pelatihan kau sudah sangat sensual,"
Jimin tidak bisa pergi, ia tahu nasibnya sudah sangat buruk. Bahkan tiga jari yang masuk lubangnya semakin mengorek ke dalam, memutar-mutar di sana sampai ketidak nyamananmya berubah menjadi sensasi asing yang tidak pernah dirasa. Tubuhnya panas dan letih meski yang ia lakukan hanya berbaring. Jeon meludahi lubangnya lagi dengan dua jari tambahan.
"Aku tahu kau sempit tapi kau sangat elastis. Bagaimana jika seluruh tangan kananku masuk, Jimin?"
Ia semakin ketakutan di sana, menatap horror pada tangan yang menekan lubangnya. Ia menggeleng ribut, terisak dan memohon ampun, la tidak bisa, tidak akan muat dan tidak mau dirinya menjadi begitu aneh karena terus mendesah saat dilecehkan.
Jeon mendengus, mengeluarkan kepalan tangan yang mulai masuk. Virgin adalah yang tersulit namun paling ia sukai. Tubuhnya merunduk dan mengecup bibir yang terus merengek seperti bayi. la mendapatkan seseorang yang begitu menyerupai makhluk indah surgawi. Untuk yang satu ini, ia akan memperlakukannya secara spesial.
"Aku akan menggaulimu dengan penisku, Jimin,"
Ketegangan di wajah pucat menjadi atraksi yang ia tunggu. Tangan terbelenggu menjadi sangat ingin untuk terlepas, Jimin kalut bukan main melihat celana yang melotot dan mempertontonkan kelamin tegang berurat. la menggeleng, terisak dan merengek agar pria itu tak melakukan niatnya.
"Kau sudah melihatnya, temanmu itu keenakan disodok banyak pria,"
Tidak, Taehyung tidak menikmatinya. Sahabatnya itu menangis putus asa karena diperlakukan biadab dan Jimin meninggalkannya sendirian.
la semakin dirundung ketakutan saat pucuk kelamin Jeon menyentuh lubangnya. Jimin menangis, ia menggeleng, berharap pria itu punya sedikit belas kasih namun yang ia dapat justru cumbuan di bibir. Pria itu, memasukinya secara perlahan. Setiap gesekan dan seberapa banyak ia masuk, Jimin merasakannya.
Jeon melepas bibir Jimin yang bengkak begitu seluruh dari dirinya sudah masuk. Pria itu tidak melakukan apa pun setelahnya, hanya memperhatikan Jimin. la menangis, terisak dan gelisah karena ganjalan asing di lubangnya. Panas menghampiri bawah perut, kakinya dibiarkan terkulai lemas mengangkang lebar. la sangat terbuka dan memalukan. Jimin ketakutan, sangat. la menutup matanya seiring rasa yang menyeruak begitu cepat di seluruh tubuhnya. Kelamin di lubang berkedut liar menjadikannya bom waktu yang siap memberin rasa sakit.
"Jimin, aku akan memperlakukanmu baik jika kau memuaskanku. Apa kau mengerti?" dagunya di apit dua jari. Jimin mengangguk letih, ia sangat takut untuk disakiti. Harga dirinya sudah hancur ketika Jeon memasukinya. la laki-laki tidak berguna yang membiarkan tubuhnya dilecehkan dan diperkosa.
"Mendesah, jangan gigit bibirmu,"
Malam itu adalah pengalaman pertamanya, seks dan menggunakan lubang belakangnya sebagai tempat kelamin seorang pria menggaulinya. Jimin mendesah begitu keras, sakit yang teramat sangat dalam hatinya meski suaranya terus menyerukan nikmat. Berpikir, bukankah beberapa jam lalu ia hanya sedang menikmati waktunya untuk minum-minum bersama sahabatnya.
Lalu bagaimana bisa berakhir di atas ranjang, digauli hingga ia klimaks mengotori sprei putih. Dinodai begitu banyak dalam satu malam serasa seribu tahun penderitaan. Jimin menangis melihat dirinya dalam pantulan cermin besar di langit-langit. Ranjang tempatnya digauli berguncang liar mengikuti hentakan keras Jeon menyetubuhinya. Ia disentuh dengan sangat buruk bahkan dipaksa mendesah meski tengah putus asa. Tubuhnya menungging, terlentang, miring, kaki mengangkang lebar bahkan diajak untuk menduduki kelamin yang terkubur dalam menyundul prostatnya.
la menjadi sangat lelah setelah waktu yang tak ia tahu seberapa lama persetubuhan itu berlangsung. Jeon mencumbu bibir bengkaknya dan menanam dalam benih di lubang Jimin untuk keempat kali. Agak keterlaluan untuk pelepasan seorang virgin. Sebelum ini ia hanya akan mengeluarkannya sekali dan membiarkan barang itu menangis sampai pagi.
Jeon menyugar rambut basah keringatan. Seluruh tubuhnya dibasahi keringat seks. Panas dan sangat puas. la mencabut kelaminnya dari lubang yang sudah memerah lecet. Mengukung pemuda yang terisak dan berteriak karena sudah mengalami pengalaman buruk disetubuhi pria asing.
Jeon mengelus rambut hitam yang sama basah, menunduk mengecup pelipis dan pipi. "Kau sangat nikmat, Jimin. Aku ingin melakukannya lagi," adalah suatu keberanian saat pemuda itu mendorong dada berkeringat Jungkook dengan kedua lengannya. Memberontak dengan kesadaran yang menghantam kepalanya. la baru saja diperkosa. Tangannya yang sudah terbebas dari jerat tali mendorong dan memukul Jeon. Sia-sia sekali karena itu sangat lemah ditambah kondisi tubuh yang kelelahan.
"Hiks... pergi!" Jimin menjerit saat kakinya kembali dilebarkan. Air matanya berjatuhan tanpa halangan. "Menjauh! A-ahh! Tidak-"
la kembali digauli, lebih dari kasar.
Matahari sudah sangat tinggi dan panas ketika kelopak matanya memutuskan untuk terbuka. Kesadaran menghampiri tubuh lelah dan sakit di mana-mana. Tatapan Jimin kosong pada jendela yang dibiarkan menunjukan seberapa cerah pemandangan di luar sana. la hanya diam di atas ranjang berantakan. Tubuhnya telanjang di bawah selimut tebal, kesakitan.
Sampai, ia terisak karena begitu sesak yang ia rasa di dalam dadanya, la tak bisa menggerakkan jemari tangannya sedikitpun karena sakit di sekujur tubuhnya. Pria itu menggaulinya berkali-kali tanpa peduli akan permohonannya untuk berhenti. Air matanya terus keluar lebih dari setengah jam sejak ia bangun.
Kembali ia berusaha untuk bergerak meski sakit masih menyelimuti tubuhnya. la mencoba duduk, meringis akan bagaimana pinggangnya sakit. Selimut di bahunya jatuh dan menunjukan bagaimana tubuhnya dipenuhi lebam dan ruam kecil-kecil. Suara pintu membuatnya beringsut ke kepala ranjang. Menekuk kakinya meski semakin sakit karena ia bergerak tiba-tiba. Tubuhnya gemetar hebat, takut bahkan ketika seseorang yang masuk adalah wanita tua berpakaian seragam hitam dan putih.
Wanita itu meletakkan pakaian terlipat rapi di ujung ranjang dan satu orang lagi datang dengan nampan berisi piring makanan dan segelas penuh air.
"Tuan Jeon menunggu anda di bawah, Saya akan membantu anda membersihkan diri,"
Jimin melempar lampu di atas nakas ketika dua wanita itu mendekat. "Keluar! Pergi!"
Mereka berhenti seketika, menunduk padanya dan pergi meninggalkannya sendiri di dalam ruangan besar yang suram. Jimin kembali menangis, ia tak mempedulikan makan yang disajikan untuknya meskipun ia lapar. la terisak memeluk tubuhnya yang sakit.
"Bukankah mereka sudah mengatakan aku menunggu di bawah?"
Tubuh Jimin menegang, matanya berpendar takut tatap pria yang semalam memperlakukannya seperti jalang murahan. Tubuhnya kaku, Jeon mendekatinya dan mencengkeram dagunya. "Bangun, bersihkan tubuhmu,"
"Aku mau pulang," baru ia sadari suaranya hampir hilang, kering tenggorokannya akibat semalaman mendesah dan berteriak.
Jeon memberinya tatapan mengejek, seringai kecil mengawali ucapannya. "Pulang? Ini rumahmu Park Jimin," tubuh itu merunduk sejajar dengannya. Mata tajam dan dingin menghujamnya dari dekat. Jimin memilih untuk diam ketika bibirnya dipagut lembut kemudian dibawa dalam cumbuan basah. Pria itu menarik bibir bawah Jimin dengan giginya.
"Kau sangat sensual bahkan ketika telah banyak aku sentuh," dua tangannya mengangkat Jimin dari ranjang. Terlalu tiba-tiba dan membuat Jimin panik ketika ia digendong memutari ranjang. Tangannya memukul wajah Jeon tanpa sengaja dan Jimin menjadi sangat takut ketika tatapan itu semakin menyesakkan dada.
"Pelajaran pertamamu, jangan membantahku," pria itu menendang pintu di belakang Jimin dan masuk ke dalamnya. Ruang besar lain, kamar mandi. Jimin merasakan kucuran air hangat mengguyur tubuhnya. Pria yang menggendongnya menghimpit Jimin ke dinding dan mulai mencumbu. Kain tipis yang membalut tubuh kekar dan lebih besar tak mampu menghalau panas yang membuat air tak mampu meredakan bara nafsu dan kembali menyentuh Jimin.
"Kedua, tanamkan ini di kepalamu. Kau adalah milik Jeon,"
Bibir bawahnya digigit, dihisap dan lidah memasuki mulutnya tanpa permisi. Jimin mencengkeram bahu lebar merasakan lubangnya diberikan sentuhan. Itu adalah pucuk kelamin yang sudah tegang.
"Milik Jeon sampai mati,"
***
Sup di atas mangkuk masih hangat. Jimin menyeruput sedikit demi sedikit mengisi perut kosongnya. la tidak berani mengangkat kepala karena saat ini di meja yang sama dengannya berkumpul beberapa orang yang menatapnya penasaran. Makan pun ia terpaksa karena Jeon mengancam akan memasungnya di kamar.
la terus menunduk, makan dengan tangan gemetar. Jeon duduk di sampingnya, tidak mengeluarkan suara selain peralatan makan yang ia gunakan.
"Ingin menjelaskan sesuatu? Neon?"
Neon.
Jimin menaruh sendoknya, dua tangannya jatuh di pangkuan. la menggigit bibir tanda gugup dan takut. Suara yang melantunkan pertanyaan itu terdengar berat dan mengancam.
"My new doll," itu adalah suara Jeon, pria di samping Jimin menarik dagu dengan sebelah tangan. Menunjukkan wajah tertunduk Jimin pada orang-orang yang duduk bersama. Matanya berpendar takut melihat empat pria yang memperhatikannya. Pria dengan wajah dingin berkulit pucat, seseorang dengan tatapan begitu tajam duduk di depan Jimin. Pria kedua berada di sebelah yang pertama, wajahnya tidak menunjukan ekspresi berarti hanya terus mengunyah makanan dalam mulutnya.
"Jangan dipinjam, yang ini cuma untukku," kembali ia menunduk setelah Jeon melepaskan wajahnya. Tak berani untuk melihat dua lain yang sama asing untuknya.
"Tidak juga denganmu Matt,"
"Aku belum mengatakan apapun,"
Senyum lebar yang tak dapat dilihat Jimin tersemat di wajah dengan garis rahang panjang. Matanya memperhatikan pucuk kepala menunduk, wajah itu jelas manis dan masuk dalam kategori barang yang ia suka. Kacamata yang bertengger di hidung mancung diletakkan di atas meja.
"Bagaimana dengan semalam? Selain kau mendapat mainan baru,"
Jeon menelan supnya, minum satu teguk sebelum menanggapi. "Kacau, perjanjian yang buruk. Aku pergi karena muak dengan kutu sialan itu,"
Matt mendengus, garpunya menunjuk Jimin yang hanya bisa diam tanpa tahu harus melakukan apa pada situasi yang tidak ia mengerti. "Ini satu-satunya yang kau dapat. Kemana mainanmu sebelum ini?"
"Di pelacuran," acuh Jeon menjawab. Tangannya meremas paha terbalut celana longgar Jimin. "Ini kan sudah ada gantinya,"
"Oh, dan baru kali ini kau membawa mainanmu ke meja makan bersama kami. Apakah ada yang berbeda?"
Tatapan menyelidik sempat dilihat, Jimin segera menunduk ketika senyum kecil ditujukan padanya. Pria lainnya yang berbicara. Ia tidak mau berbuat salah, Jeon sudah mengatakan padanya untuk diam tak bersuara. Hanya makan.
"Apa bedanya jika ia hanya digunakan untuk kepuasan," pria di samping Jeon menimpali. Sendok dan garpunya tak sekalipun terangkat dari meja. Nafsu makannya hilang begitu seseorang yang tidak dikenal dan tampak begitu lemah duduk bersama mereka.
"Near, ucapanmu itu terlalu kasar,"
"Bedanya? Hmm, akan kupikirkan setelah ini," remasan di paha Jimin terus naik hingga mencapai pangkal. Jimin berusaha menahan suaranya karena tangan itu mengelus selangkangan Jimin tanpa malu. "Aku bisa melatihnya menjadi pelacur yang handal,"
"El, bisakah kau didik anak ini agar tidak memikirkan cara mengatasi nafsunya saja?" Milian menggeleng pelan, ia mengambil kembali sendoknya dan makan, pria yang berada di pusat tempat duduk sedari tadi diam tenang memperhatikan familinya berbincang. la memperhatikan barang kecil Jungkook yang sejak duduk satu meja terus gemetar, ketakutan di antara orang asing baginya.
Tatapannya begitu menyesakkan bagi siapapun yang melihat. Kejelasan akan bagaimana statusnya menjadi yang tertinggi tanpa perlu disebutkan. Pria yang meletakkan gelas minumannya di atas tatakan, melirik keberadaan kecil ketakutan.
"Neon, bawa itu pergi,"
Jeon menatapnya sekilas sebelum menarik sebelah lengan Jimin. Menyeretnya pergi dari makan malam keluarga yang tampaknya telah ia kacaukan.
"Kau harus tegas padanya,"
"Untuk sekarang biarkan,"
"El-"
"Near, Kau belum menyentuh makananmu sejak tadi,"
Semua diam ketika El kembali menyuap makanannya. Tidak ada yang memulai pembicaraan lagi hingga hidangan yang di atas meja tidak tersisa terkecuali milik Jeon dan pemuda asing yang dibawanya.
Jeon menutup pintu kamarnya dan mengunci rapat-rapat. Wajahnya menyeramkan bagi Jimin yang ketakutan dibawanya mendekati ranjang. Pria itu duduk dan menariknya untuk duduk di pangkuan. Elusan yang teramat lembut di punggung tidak membuatnya tenang. la masih mengingat bagaimana tangan besar itu mencengkeram pinggul dan bahunya hingga lebam saat menggagahinya tempo hari.
"Ahh.... Kau tahu Jimin? Aku saat ini sangat ingin mencekik sesuatu,"
Jimin ketakutan, ia meremas ujung kausnya ketika telapak tangan Jungkook sudah berada di belakang lehernya, menyapu lembut ke depan dan menangkup lehernya dengan tangan yang kapan saja bisa mencekik seperti perkataannya.
"Apa kau punya sesuatu yang bisa membuatku menghilangkan keinginan itu?"
Kepala Jimin mengangguk lemah, jemarinya ragu-ragu meninggalkan ujung kausnya untuk menyentuh dada Jeon. Pria itu menaikan alisnya, menunggu. Jimin sangat takut ketika jemari di lehernya semakin menekan. Bibirnya terbuka, ia meraup bibir kecil Jeon dalam ciuman. la bukan seorang handal, ia hanya mengikuti apa yang pernah Jeon lakukan termasuk menghisap dan menggigit kecil bibir bawah. Jimin berjengit begitu duduknya dinaikan tepat di atas gundukan besar yang keras. Pria itu ereksi, entah karena ciuman Jimin atau adrenalinnya untuk menyakiti Jimin.
Dari percakapan di meja makan, ia sedikit mengerti posisinya. Boneka baru untuk bermain di ranjang. Mata terpejam rasakan telapak tangan meremas dada. Jimin menjauhkan wajah, melihat paras tampan yang tampak tak puas. Ia kembali mencium bibir itu, lebih banyak menghisap.
"Good. Berbaring sayang, kau menjilat bibirku seperti anjing,"
Tubuh Jimin didorong terlentang, jemari kecil menangkup wajah Jeon. Larut dalam cumbuan berbalas panas. Liur Jimin tidak tertampung di mulut tumpah di sudut bibirnya. Jeon mengungkung tubuhnya dan melucuti kaus Jimin. Hanya panties merah renda yang tinggal menutup selangkangan.
Hari ini tanggal sembilan oktober, sembilan hari dari hari di mana ia diculik oleh Jeon dan dikurung dalam istana besar. Hari ini ia digauli lagi, berkeringat deras bercampur bau seks ketika duburnya dihantam kelamin perkasa dalam-dalam, Jimin tidak lagi menangis dengan air mata, ia menangis di hati ketika Jeon mengurut kalaminnya hingga habis dari benih yang keluar. Mencumbu setiap permukaan kulitnya.
la sedang beruntung ketika perlakuannya dalam seks tidak brutal. Jimin memeluknya diakhir pria itu melakukan pelepasan. Bibir bengkaknya dicumbu lagi dan lagi, sepertinya Jeon sangat suka labium tebal yang selalu Jimin rawat dengan pelembab hingga setiap harinya selama sembilan hari terus mendapat ciuman.
Ketika pria itu selesai, Jimin akan ditinggalkan di ranjang. Dibiarkan sendirian di kamar dengan tubuh letih sehabis digauli. Akan ada pelayan yang memberinya pakaian baru. Hanya selapis kemeja atau kaus. Jimin akan tertatih berjalan ke dalam kamar mandi. Menangis berjam-jam di samping bathtub sampai menjadi semakin lelah sebelum terbangun di atas tempat tidur dengan piyama lucu.
Jimin akan memeluk boneka teman tidurnya sebagai penghilang rasa takut. Matanya kadang hanya tertuju pada jendela besar yang memberitahunya jika sekeliling istana adalah hutan dengan pohon-pohon tinggi menakutkan. Tidak ada jalan keluar, ia ingin menertawai diri saat memikirkan cara kabur. Sebelum melangkah ke hutan pun ia akan mati ditembak penjaga di sekeliling istana.
Jeon akan datang padanya ketika sudah sangat larut atau menjelang pagi untuk melihatnya masih terjaga. Pria itu akan mencumbunya tak kurang dari satu jam hanya untuk bibirnya, kemudian baru menggaulinya sesuka hati. Jimin mencium bau anyir dari tubuhnya malam ini. Ada noda merah di kemejanya, pemikirannya melayang pada keburukan seperti noda itu adalah darah seseorang kemudian menepisnya begitu saja karena itu hanya akan membuatnya ketakutan.
"Sweety, ayo tidur,"
Selesainya menggauli, ia diangkat ke ranjang. Di beri pakaian tak kalah lucu seperti kaus bergambar kelinci dan celana dengan ekor putih bulat lembut. Jeon akan menciumnya lagi jika ia merasa Jimin sangat manis dengan pakaian barunya. Ia takut, dirinya teramat takut jika ia akan terbiasa dengan kehidupannya ini. Menerima perlakuan Jungkook seakan itu adalah hal paling normal yang seorang manusia lakukan selayaknya bernapas.
Sekarang tanggal tiga belas Oktober, ia masih berada di ruangan yang sama. Terduduk menyandar di jendela besar memperhatikan burung-burung yang hinggap di celah kecil bangunan. Mereka bebas untuk terbang, tidak seperti dirinya yang terkurung dalam sangkar. Menderita, sendirian.
Jimin berpikir, jika dulu ia menolak ajakan Jungkook dan memilih nasib sama dengan Taehyung. Apakah ia akan merasa sendirian seperti ini? Setidaknya, jika ia bersama Taehyung, mereka akan berdua menjalani penderitaan ini. Jimin akan mendapatkan pelukan yang tulus meski dalam kesengsaraan. Ia merindukannya, sungguh merindukannya.
Sekarang bahkan ia menjadi tahanan di ruangan luas, sendirian. Tidak mampu dan tidak berani untuk keluar. Mengetahui keberadaan Taehyung, bagaimana kabarnya sekarang, semua itu tampak sangat mustahil. Jimin adalah pengecut. la takut untuk mati meskipun hidupnya tiada guna lagi.
"Jimin,"
Kepalanya menoleh dan melihat Jungkook berjalan mendekat, pria itu terlihat sangat menawan dengan setelan jaket kulit juga topi yang menutupi kepala dan rambut hitamnya. Jimin merentangkan tangan, menyambut Jungkook dengan pelukan. Ia merasakan kecupan-kecupan kecil di bahunya yang tak tertutupi piyama.
"Ganti baju, Sweety. Kita jalan-jalan,"
"Jalan?"
Jimin ragu, matanya berpendar gusar. la tidak pernah meninggalkan istana ini atau bahkan ia hanya berdiam diri di kamar semenjak memasukinya. Tangannya meremas bahu Jungkook, titik-titik ketakutan jelas tersirat di wajahnya.
"Aku akan mengenalkanmu pada teman-temanku,"
Menjadi pajangan di museum, dipandangi dengan bebas dan tak ada yang menutupi. Seluruh tubuhnya diperhatikan sejak memasuki ruangan gelap dengan satu lampu penerangan. Ia merapat pada Jeon, bersembunyi pada tubuh yang lebih besar. la tidak suka tatapan mereka padanya.
"Siapa gerangan yang menemanimu, Neon?"
Jeon merangkul bahu Jimin, membawanya untuk berdiri di samping. Menunjukan paras manisnya agar dilihat lebih jelas. Jeon menariknya duduk diantara orang-orang asing baginya. Tak melepas rangkulan, ia mengelus rambut Jimin.
"Teman baru,"
Jimin resah, ia tak suka diperhatikan begitu intens seakan ia barang aneh yang baru mereka lihat di dunia. Jeon melanjutkan pembicaraan yang tidak dimengerti Jimin. Kata-kata familiar baginya hanya perdagangan, pelabuhan dan salah satu obat terlarang, kokain. la mencoba mengangkat kepala, memperhatikan. wajah-wajah di sekelilingnya. Jeon mengelus kepalanya sekali lagi dan Jimin berhenti melihat sekitar.
"Aku permisi sebentar," Jeon tersenyum, matanya melirik Jimin sebelum beranjak dari sofa. la melangkah keluar ruangan meninggalkan Jimin sendirian.
Jimin meremat ujung kemejanya, ia bisa merasakan tatapan itu kembali. Menusuk setiap pori kulitnya. Seseorang duduk di tempat Jeon, berani dengan menyentuh punggung tangan Jimin. la menoleh dan melihat wajah pria dengan bekas luka melintang di pelipisnya.
"Siapa namamu?"
Mulutnya terbuka, ia mengingat apa yang Jeon katakan padanya. Mata mengerjap kemudian melihat punggung tangan yang disentuh. Elusan lembut di sana tak sekalipun terasa nyaman.
"Cherry,"
"Cherry? Nama yang cocok untukmu,"
Jimin menahan diri untuk tidak beranjak dari sofa ketika pipinya dielus. Pria di sampingnya memperhatikan wajah Jimin begitu lekat. Menatap kearah bibir lembab yang ia beri lipbalm sebelum meninggalkan kamar Jeon.
"Apa kau mainan baru Neon? la selalu memiliki keberuntungan untuk mendapatkan sesuatu yang bagus," dagu Jimin disentuh. "Hei, Cherry manis. Bagaimana jika kau tinggalkan Neon dan menjadi milikku? Aku akan memperlakukannmu lebih baik darinya,"
Tangan itu menyentuh paha, Jimin menepisnya. la beringsut mundur namun pria lain sudah ada di belakangnya. Tengkuknya meremang saat wangi tubuhnya dihirup begitu rakus. Jantung berdentum cepat. la hendak berdiri namun bahunya ditahan untuk tetap ditempat.
"Apa kau takut Cherry? Aku tidak akan menyakitimu,"
la kembali menepis tangan di pahanya. Elusan di rambutnya ikut ditepis kasar sampai ia merintih ketika helai rambutnya dicengkeram. Matanya berkaca-kaca karena sentuhan di tubuhnya semakin banyak. Dua tangannya ditahan, mata Jimin membulat dapati bibirnya dicumbu dan dihisap. la menutup matanya, ia sangat takut.
"Arrrgh!"
Napaa Jimin terengah. la memuntahkan darah dari mulutnya. Matanya menatap pria yang memegangi bibir robek bercucuran darah. Jimin gemetaran, jambakan pada rambutnya semakin kencang. la bersiap menerima pukulan melihat bagaimana kepalan tinju dari tangan berurat terarah padanya.
Namun ia tak kunjung merasakan sakit di wajahnya. Perlahan ia membuka mata, dari sela bulu matanya ia menyaksikan sendiri. Pria yang hendak memukulnya masih berada di tempat yang sama. Jimin mengerjap ketika sesuatu jatuh di wajahnya. Semakin banyak hingga ia menggisik kelopak matanya. Jimin menatap punggung tangannya. Merah. Semuanya merah.
Itu darah.
"Bangun Sweety, pekerjaanku sudah selesai di sini,"
Jimin kembali mengerjap. la baru menyadari jika Jeon berdiri di belakang pria yang hendak memukul Jimin. Di tangannya terdapat belati hitam berlumuran merah. Pria itu, napas Jimin tercekat, matanya membulat lebar melihat dari mana asal darah yang melumuri wajahnya. Leher pria itu mengalirkan begitu banyak darah dari belahan besar sayaran dari ujung hingga ujung. Pria itu sudah mati di tangan Jeon.
Tolong, siapa saja. Bangunkan ia dari mimpi buruk ini.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
