G 30 S (part 2)

7
0
Terkunci
Deskripsi

Setelah mendapatkan kabar tarif bus ke desa sudah normal pagi-pagi kami langsung keterminal agar tidak ketinggalan. Bus mulai berangkat dibeberapa ruas jalan terlihat retakan aspal yang membelah akibat gempa. Bus mulai berangkat dari terminal Aur Kuning Kota Bukit Tinggi. Ya kami berdua kuliah di Kota Bukittinggi dengan icon terkenalnya "Jam Gadang". Ketika memasuki Kabupaten Padang Pariaman Desa Kayu tanam keadaan masih terlihat normal tidak ada rumah yang rubuh, namun saat memasuki desa sicincin...

1 file untuk di-download

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
30
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Kode Alam
7
0
….Kejadian apa yah?” tanyaku.“Sebelum kejadian gempa, ayam peliharaan ayah nggak mau masuk kandang biasa nya kalo sudah diumpan beras pasti masuk, tapi kali ini dicuekin berasnya, ayam-ayam itu hanya berputar-putar dihalaman rumah sesekali seperti melihat sesuatu di kejauhan” kata ayah.Memang kandang ayam ayahku ada dua satu yang lama dan satu yang baru yang sedang diperbaiki.“Sapi juga begitu, tidak langsung masuk kandang, biasanya kalau sudah petang hari mereka masuk kandang sendiri, tapi kali ini mereka hanya berdiri didepan kandangnya dan sesekali juga terdiam melihat sekitarnya, hewan-hewan itu seperti memberi kode alam akan terjadi sesuatu” lanjut ayah.Hari beranjak malam, suara burung “tantero” mulai terdengar, warga desa meyakini jika burung tantero sudah berbunyi maka saat itu adzan Maghrib sedang berkumandang. Aku sendiri juga tidak pernah melihat seperti apa bentuk burung tantero itu yang aku dengar hanya suara khasnya saja. Konon kabarnya burung-burung ini hanya berbunyi saat menjelang adzan Maghrib. Seakan memberi isyarat kepada warga desa untuk segera menunaikan shalat Maghrib. Nama “tantero” itu pun diberikan berdasarkan dari suaranya saja sedangkan nama ilmiahnya hingga kini aku tidak pernah tau. Dan kenyataannya memang benar, suara burung ini hanya terdengar saat aku didesa saja karena sejak aku kuliah di kota sama sekali tidak pernah mendengar suara khasnya burung “tantero”.Pernah sekali ku tanya pada ayah, kenapa burung itu namanya tantero.Ayah ku hanya menjawab “coba kamu dengarkan suaranya baik-baik.Seperti tersugesti dengan kata-kata tantero, alam bawah sadar ku pun mengiyakannya. Mungkin beberapa orang yang mendengarnya belum tentu sama, namun itu lah desa hal-hal yang tabu tidak perlu diperdebatkan karena sudah ada sejak dahulu dan mengakar secara turun temurun.Usai menunaikan shalat Maghrib emak menghidangkan makanan diatas lantai beralaskan tikar daun nipah. Tikar klasik yang dibuat para pengrajin dengan ketekunan dan kesabaran, saat itu dirumah-rumah warga desa masih sering ditemui tikar daun nipah belum banyak warga yang menggunakan karpet sebab harganya yang cukup mahal, penilaianku hanya orang-orang kaya yang menggunakan karpet selain harganya mahal motifnya juga beragam dan cantik, orang-orang miskin seperti kami mana mungkin bisa membelinya.Lauk pauk yang disediakan pun seadanya dan lebih banyak sayuran, maklum makanan kami dikampung didapat dari hasil tanaman, kalau pun kami makan ikan atau daging itu hanya bisa sekali seminggu yaitu dihari “balai” atau hari pasar, dimana hari itu warga desa mengambil hasil tanaman dan menjualnya ke pasar saat itu lah orang tuaku bisa membeli ikan atau daging. Dan sewaktu aku masih sekolah di desa tak jarang aku makan nasi campur minyak dan garam sesekali ditemani dengan cabai rawit. Meskipun demikian aku tetap bersyukur karena mungkin diluar sana masih ada yang hanya makan garam atau minyak atau cabainya saja tanpa nasi, atau mungkin hanya nasi putih saja.Aku makan dengan lahap meskipun dengan lauk seadanya, bagiku masakan emak sangat enak. Mungkin dimasak dengan menggunakan kayu bakar yang didapat dari hutan. Emak pernah mengatakan, makanan yang dimasak menggunakan kayu dihutan lebih nikmat dibandingkan menggunakan kompor minyak tanah. Sebab diyakini api yang menyala dari kayu itu dapat mengubah cita rasa makanan menjadi lebih nikmat makanya memasak di tungku kayu api lebih susah dibandingkan menggunakan kompor minyak tanah karena hasilnya lebih baik.Entah iya atau tidak aku tidak begitu memikirkannya, mungkin itu hanya mitos dan alasan-alasan itu hanya untuk menghemat biaya pengeluaran saja. Namun belakangan ini aku rasa air minum putih di desa yang dimasak menggunakan tungku kayu api lebih nikmat dibanding air yang putih yang ku minum sekarang.Selesai makan aku bercerita bagaimana hari pertama ku dikampus dan dilingkungan baru. Sementara itu “uda” sebutan untuk abang kami yang paling tua menyampaikan rencananya untuk balik ke Medan tempat dia merantau. “Mungkin dua atau tiga hari lagi ”jup balik ke Medan yah".“Baiklah, kalau itu memang niat mu siapkan oleh-oleh untuk dibawa, agar nanti pas dihari keberangkatan tidak repot-repot lagi menyiapkan semua perlengkapan mu” kata ayah.Buah tangah atau oleh-oleh dari desa biasanya itu cenderung dengan hasil tanaman dan di desa kami terkenal dengan tanaman pohon kelapa selain itu juga orang tua ku menanam pohon pisang. Jadi kemungkinan Uda akan membawa beberapa buah kelapa dan pisang.Keesokan paginya aku, uda dan ayah pergi ke rumah nenek, kami berencana untuk membersihkan puing-puing sisa runtuhan batu dirumah nenek. Jalan yang kami tempuh cukup ekstrem karena harus mendaki dan menurun, menyebrangi sungai sebanyak tiga kali karena tidak ada jembatan. Berjalan melewati pematang sawah, kebun kelapa dan hanya bisa diakses dengan jalan kaki sepeda motor tidak akan bisa menjangkau kehalaman tempat kediaman nenek. Sedangkan nenek sejak rumah kecil kami bisa ditempati tinggal bersama kami. Rumah nenek memang jauh dan tidak ada satupun rumah lain disekitaran hanya rumah nenek satu-satunya. Sekitar 30menit jalan kaki akhirnya sampai di tempat nenek. Sementara emak dan nenek menyusul belakangan karena mereka memasak dan membawakan bekal makan siang untuk kami bertiga. Next Kode Alam part 2
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan