
Orang-orang melihatku sebagai orang yang gagal, tapi mereka tidak tahu apa yang aku alami..
Gugup dalam berbicara.
Pemarah.
Mudah tersinggung.
Namun mudah juga tertawa.
Aku merasa diriku tidak dapat berbaur dengan kehidupan sosial dengan baik. Entah kenapa, sering kali aku terbata-bata saat berbicara dengan orang, sehingga sering kali orang-orang mengabaikanku saat berbicara, dan menyela kalimatku sebelum aku selesai bicara. Dalam kehidupan sosial, aku selalu merasa di singkirkan, di abaikan, dan di anggap sebagai orang yang tidak penting.
Ketika aku diam, orang mengatakan diriku angkuh.
Tapi ketika aku berbicara, tidak ada satupun yang tertarik mendengarkanku.
Aku berpikir apakah karena aku lebih sering berteman dengan laki-laki, sehingga sulit mendapatkan teman perempuan?
Ataukah karena rupaku?
Atau apakah mulutku mengeluarkan aroma yang tidak enak?
Saat kecil, aku sudah banyak melakukan kesalahan yang membuat orangtuaku sering marah.
Seperti lupa menyambungkan kabel rice cooker ke arus listrik saat di suruh memasak nasi, tidak sengaja melukai abangku, dan beberapa hal yang sering kali aku akan dimarahi tetapi jika abangku yang melakukannya itu tidak menjadi sebuah masalah.
Bahkan ketika SD aku di fitnah dengan hal yang memalukan dan seolah tidak beradab, dimana ketika makan bersama di rumah Ibu ku (adik mamaku), beliau menuduhku buang angin sehingga menyebabkan om ku (suaminya) marah dan tidak lagi berselera makan, kemudian mereka mengatakan pada mamaku kalau aku seperti tidak di ajarkan beretika makan oleh orangtua, dan menyebabkan orangtuaku menjadi marah. Padahal aku berani bersumpah aku tidak buang angin dan sangat sadar, sangat yakin bahwa aku memang tidak buang angin, tetapi Ibuku memaksaku mengaku, sebagai anak-anak tentu saja aku takut dengan tekanan dan desakan dari orang yang lebih tua apalagi disampaikan dengan nada marah.
Aku yang tidak berguna ini, sejak kecil di jauhi teman-temanku di sekolah, mereka bilang aku idiot karena tidak nyambung di ajak ngobrol, atau istilah sekarang mungkin ‘tidak sefrekuensi’ lebih tepatnya. Jadi aku tidak punya teman kecuali sesama siswa yang juga di diskriminasi.
Guru-guru di sekolah dasarku juga tampak tidak peduli dengan murid sepertiku. Memangnya apa alasan mereka peduli? Bahkan beberapa dari mereka menurutku tidak layak disebut guru karena hanya mau menjelaskan kepada murid yang sudah pintar, tetapi marah ketika murid seperti kami yang berotak kecil ini bertanya.
Inilah sumber lahirnya SDM rendah dan cikal bakal murid malas belajar, pikirku ketika sudah dewasa.
Ketika SMP, aku di sekolahkan di sekolah yang cukup elit dimana rata-rata teman-teman seangkatanku memiliki orangtua yang bisa di bilang mapan. Terlihat dari seragam mereka yang selalu rapi, kulit terawat dan sangat kelihatan cukup gizi, serta alat-alat tulis yang berkelas.
Disini, kehidupanku di sekolah sangat berubah. Aku punya banyak teman, mereka semua mau berbicara denganku. Meskipun bukan sekolah bertaraf internasional, tapi ada banyak etnis di sekolah SMP-ku ini. Berdasarkan urutan nilai, aku di golongkan masuk ke kelas 7-2 dari total 6 sub-kelas. Mereka semua pintar, tetapi tidak ada yang sok pintar. Mereka semua kompetitif dengan cara yang sehat. Mereka bersedia membantu kita yang tidak terlalu pintar untuk tetap bisa mengikuti materi agar tidak tertinggal. Dan bahkan guru-guru disini sangat suka apabila kita rajin bertanya, dan sangat marah apabila murid tidak bertanya. Guru-guru menganggap kita sebagai murid yang sombong apabila tidak bertanya, dan akan langsung memberikan ujian dadakan karena menganggap kita sudah pintar dan paham sampai khatam dengan materi yang diberikannya.
Tetapi, justru dengan reputasi yang aku dapatkan, dimana teman-temanku banyak menyukaiku karena cepat nangkap dan humoris, serta guru-guru yang banyak me-notice-ku karena rajin bertanya, aku terlena. Aku mengajak teman-temanku mendiskriminasi murid lain yang aku tidak suka.
Apa cuma aku, atau memang adakah di dunia ini orang yang bisa tiba-tiba saja tidak suka pada orang lain tanpa alasan selain aku? Yang dimana, orang itu tidak pernah bikin salah ke kita, tidak punya kesalahan ke kita, tapi kita benci bahkan lihat orang itu bernafas saja kita terganggu!
Aku tidak pernah mencari definisi ‘dengki’. Tapi aku yakin tidak ada hal dari dirinya yang aku inginkan. Aku melakukan banyak hal yang, mungkin kalau aku jadi dia, aku sudah langsung pindah sekolah atau mengadu ke wali kelas. Kepada anak ini, yang aku tidak suka, aku sering meletakkan permen karet bekas ke dalam laci dan kursinya, aku sering meletakkan sampah di lacinya, menghancurkan kapur dan mengotori meja dan kursinya, menyiram kursinya dengan saos, mencoret kursinya dengan tipe-x supaya saat dia duduk roknya kotor. Ya, sejahat itu.
Dan karma itu ternyata bukan cuma lagu.
Tahun berikutnya aku pindah sekolah karena rumahku di lokasi sebelumnya masa kontraknya telah habis, atau lebih tepatnya kami di usir dengan cara yang aneh. Orangtuaku selalu membayar uang sewa rumah kami secara penuh di awal tahun. Tteapi tiba-tiba si ibu yang punya kontrakan datang dan bilang saudaranya mau tinggal disitu, di rumah yang kami tempati.
Konyol? Entahlah.
Kami di usir karena saudaranya mau pindah rumah. Akan masuk akal kalau kami tidak bayar atau telat bayar uang sewa. Apakah karena mamaku buka warung dan selalu ramai? Apakah ada hubungannya, warung yang laris menyebabkan pemilik kontrakan iri dan ingin berbisnis juga?
Jadi dengan segala negosiasi yang aku tidak mengerti pada saat itu, kami pindah mencari kontrakan baru. Cukup jauh dari sekolahku sehingga aku akhirnya harus pindah ke sekolah yang lokasinya lebih dekat dengan rumah sewa yang baru.
Di sekolah yang baru ini, aku diperlakukan sebagaimana aku memperlakukan teman sekelasku saat kelas 1 SMP, di sekolah lamaku. Malah lebih parah. Ada satu perempuan yang tidak menyukaiku, hanya karena aku lebih jago bahasa Inggris dari dia.
Aku memang pernah kursus bahasa Inggris saat SD selama sekitar 1,5 atau 2 tahun. Tapi aku tidak berani mengklaim diri bahwa aku lebih pintar dari siapapun. Perempuan ini, keponakan wakil kepala sekolah, entah kenapa hampir satu kelas tidak menyukainya. Dan satu-satunya alasan murid seisi kelas tetap berpura-pura baik padanya adalah agar dia mau berbagi jawaban tugas bahasa Inggris.
Jadi, kalau aku bisa simpulkan di usiaku yang dewasa ini, dia menganggapku telah merebut kesempatannya untuk memiliki teman. Aku tidak tahu apakah aku mendapatkan yang lebih parah, ataukah sebaliknya ketika aku di rundung oleh satu orang ini.
Ketika aku lewat dia dengan sengaja menabrakku dan jika aku melihatnya dia menggertak seakan mau memukulku. Memang, badannya lebih besar dariku. Dan kalau dia menabrakku biasanya aku langsung akan jatuh kalau tidak pegangan ke benda sekitar seperti dinding atau meja.
Ada banyak hal yang tidak menyenangkan yang dilakukannya padaku. Sampai finalnya, ketika di suatu sore saat pulang sekolah, dia melemparku dengan kertas berkali-kali, lebih sering mengenai kepalaku, dan tidak puas hanya dengan melakukan itu, dia sudah menyerang fisik, dia memukul kepalaku berkali-kali.
Memang aku sensitif, gampang menangis dan sakit hati. Tapi, apakah sesuatu yang wajar jika kepala kita yang di fitrah saat kecil ini di pukul berkali-kali?
Mamaku melihatku yang pulang dalam keadaan menangis, karena aku merasa harga diriku benar-benar terluka. Aku tidak tahu mungkin ini lumrah kalau dilakukan jaman sekarang, tetapi karena aku tidak pernah memukul kepala orang lain, atau bahkan menyentuh fisik orang lain dengan kasar, aku benar-benar tidak bisa terima.
Jadi mamaku datang dan bertanya kepada pihak sekolah, apakah telah terjadi perundungan? Dan mamaku pun menyampaikan apa yang aku ceritakan di hari saat aku ‘dilecehkan’ secara mental.
Seperti yang ku sebutkan sebelumnya, wakil kepala sekolah, si bapak yang merupakan pamannya ini, dengan ringan mengatakan bahwa itu lumrah. Ya, anak-anak SMP bermain-main dengan menyentuh fisik itu lumrah. Mungkin aku saja yang baperan dan kurang bersosialisasi, katanya.
Lantas ibuku mengatakan, saya tidak tahu dengan keponakan Bapak, tetapi karena kepala anak saya saya fitrahkan jujur saya juga merasa sakit hati, karena saya sebagai orangtua juga tidak pernah memukul kepalanya, termasuk papanya. Sekesal apapun kami orangtua tidak pernah memukul kepala anak. Saya menyekolahkan anak saya di sekolah agama karena saya pikir orang-orangnya lebih berakhlak. Ternyata masih lebih bagus adab anak-anak di sekolah umum! Begitu kata mamaku.
Mungkin Bapak itu kesal, aku bisa melihatnya dari air mukanya, mungkin setelah ini ranking-ku akan diturunkan seturun-turunnya atau laporan perilakuku di rapor sekolah akan di bikin buruk karena membesarkan masalah yang menurut dia sepele, dan bisa diselesaikan tanpa orang dewasa harus terlibat.
Ketika aku kembali ke kelas tentu aku sudah bayangkan apa yang akan terjadi. Perempuan yang merundungku itu kesal, bahkan suaranya jadi lebih keras saat mengejekku di banding sebelumnya, mengatakan ‘gibus’, sebutan untuk orang yang suka mengadu, sekarang sebutan lebih populernya itu ‘cepu’. Semakin keras dan semakin marah.
Meski begitu, aku tetap bersyukur karena yang merundungku hanya satu orang. Ya, satu orang. Tapi karena dia merasa punya backing tidak ada yang berani ‘menyentuhnya’. Dan bersyukur juga karena masih lebih banyak temanku dikelas yang lebih peduli padaku dan lebih berpihak padaku, meski mereka tak berani membelaku dengan cara ikut membalas perempuan itu karena tidak berani.
SMP Kelas 3, aku pindah lagi.
Pindah sekolah dan pindah rumah.
Lebih tepatnya tidak sanggup membayar kontrakan lagi karena papaku tidak punya pekerjaan. Jadi kami menumpang. Aku pindah ke sekolah yang lebih murah. Sekolahku sebelumnya sudah termasuk murah di banding sekolahku saat SMP Kelas 1, dan ini lebih murah lagi. Kami menumpang di rumah adik mamaku yang dulu saat aku SD sering memaksaku mengaku sebagai orang yang menyebabkan bau tiba-tiba saat sedang makan bersama.
Kami tinggal untuk beberapa tahun dan kalau adik mamaku seperti saudara kami yang lain mungkin saja kami sudah di usir karena satu keluarga menumpang makan, tidur, tinggal.
Tidak ada yang spesial atau berkesan selama bersekolah di sekolahku yang sekarang ini. Selain ada murid dari sekolah lain yang mengatakan aku dan temanku LGBT karena terlalu akrab. Aku tidak tahu apa yang mereka lihat ketika aku dan teman dekatku sama-sama menunggu angkutan umum saat pulang sekolah, selain itu yang bikin tidak habis pikir, aku punya crush di kelas. Walaupun cowo yang aku crush suka sama temanku dari kelas C, dan temanku yang dari kelas C suka sama temanku dari kelas B yang berjenis kelamin laki-laki. Apakah ini yang disebut Cinta Segi Abstrak?
Ketika SMK aku kembali ke sekolah lamaku, sekolah yang sama saat aku Kelas 1 SMP dengan lokasi gedung yang berbeda. Ada banyak pengalaman-pengalaman yang aku jalani meskipun tidak berkesan untukku.
Di tingkatan ini banyak yang mengenalku dengan murid berkepribadian aneh. Jarang tersenyum, tidak pernah tertawa, terlihat sombong, pendiam, tapi bisa tiba-tiba heboh sendiri. Jujur selama berbelas-belas tahun aku tidak tahu apa yang orang lain lihat pada diriku. Tapi aku merasa teman-teman di kelasku tidak begitu ingin berteman denganku. Terlihat dari cara mereka yang tidak ingin aku ada di kelompok mereka saat ada kegiatan atau tugas kelompok. Aku selalu berpikir bahwa mungkinkah aku tidak di anggap manusia karena rupaku? Atau apa?
Hal itu membuatku sering marah di rumah. Teman-temanku membenciku. Mereka terlihat jijik denganku. Jadi tanpa aku sadari aku sering melampiaskannya di rumah. Aku mudah marah, aku sering menyalahkan orangtuaku, sering melawan, dan tidak suka jika orangtuaku mengajakku bicara. Aku menciptakan duniaku sendiri. Rumahku sendiri.
Aku menciptakan kehidupan dimana orang-orang lebih menghargaiku. Aku dianggap sebagai seseorang yang sangat dibutuhkan. Banyak orang yang menunggu dan mencari-cariku.
Aku sudah menyukai kegiatan menulis sejak SD. Ketika itu aku selalu antusias jika pelajaran Bahasa Indonesia memberi tugas “mengarang”. Lalu aku mulai sering mencari kertas-kertas kosong untuk “dikarang” dengan cerita-cerita yang ada di kepalaku. Ketika SMP aku mulai menulis dengan lebih banyak paragraf, dimana satu cerita akan menghabiskan lebih dari satu halaman, ketika SMA awal aku menulis menggunakan ponsel qwerty-ku dan mengunggahnya ke facebook pada fitur ‘Notes’. Pada saat itu aku hanya menulis karya fiksi penggemar dengan alur onsehoot, beberapa cerita yang ku unggah di awal tidak terlalu mendapatkan banyak perhatian. Namun lambat laun beberapa orang mulai sudi melirik dan memberikan komentar meski tidak lebih dari lima orang. Meski begitu aku tetap melanjutkan mem-posting cerita-cerita baru. Lalu saat akhir SMK karena sudah memiliki laptop aku beralih menggunakannya untuk membuat dan menyambung cerita-ceritaku, sayangnya hanya sedikit yang bisa ku posting karena draft cerita yang buat dan ku simpan di laptop hilang karena corrupt dan sebagian besar tidak sempat ter-copy karena laptop-ku rusak.
Ketika menulis aku seolah memiliki kehidupan baru. Aku bebas menuangkan perasaan apa saja bahkan hingga perasaan yang tak pernah atau bahkan tak bisa ku rasakan di kehidupan nyataku. Ketika aku membuka laptop dan melihat cerita-ceritaku aku seperti merasa telah pulang. Ketika aku membaca satu per satu karakter yang ku buat dalam cerita tersebut, itu seperti merasa aku memiliki teman, memiliki orangtua baru, memiliki lingkungan baru, bahkan memiliki pacar. Yang dimana selama masa kecil hingga detik ini, aku merasa tidak bisa mendapatkannya di dunia nyata.
Menurutku mereka semua hidup, ada di universe lain..
Saat aku melihat ada orang yang menyukai karyaku, atau berkomentar tentang itu, aku merasa memiliki motivasi baru dan berpikir bahwa aku tidak se-tidak-berguna itu hidup di dunia ini.
Namun hal yang paling ku sesali, semakin banyak orang yang menyukai karyaku dan semakin populer pula, aku menjadi mengabaikan kehidupan nyataku, melalaikan hal-hal yang pada saat itu aku tidak sadar, bahwa itu berpengaruh besar untuk hidupku. Aku melewatkan banyak kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik, aku melewatkan kesempatan untuk membangun relasi yang baik dengan sesama manusia, dan lainnya..
Kemudian aku melihat orang-orang seusiaku mulai serius menjalani hidup. Sedangkan aku.. di usia yang nyaris tidak diterima bekerja, baru berpikir mengapa aku terlalu santai menjalani hidupku yang begitu-begitu saja, mengapa aku menghabiskan banyak waktu untuk hal yang aku tidak bisa ingat hari ini apa saja yang telah aku lakukan. Aku mulai menyesali banyak hal..
Terkadang aku menjelajah akun online shop dan riwayat transaksiku di m-banking. Mengernyit melihat berapa rupiah yang telah aku habiskan selama aku bisa mencari uang sendiri..
Orang-orang melihatku sebagai orang yang gagal, tapi mereka tidak tahu apa yang aku alami..
Ketika aku bekerja, aku tidak bisa menikmati gajiku barang sepeserpun karena harus membayar biaya kuliahku. Saat itu gajiku hanya 1,6 juta per bulan, dan biaya kuliahku per tahun 7,5 juta. Ada banyak sisa uang yang harusnya masih bisa ku nikmati, bukan? Tapi nyatanya tidak! Mamaku khawatir aku tidak bisa menggunakan uang dengan baik jadi beliau menyuruhku memberikan gajiku secara penuh setiap tanggal gajian kepadanya. Aku yang ingin jadi anak berbakti ini melakukannya, selama bertahun-tahun. Mamaku melarangku ikut nongkrong ataupun bergaul dengan teman-teman kuliahku di luar jam kuliah. Aku tidak di perbolehkan membeli baju karena menurutnya fashion tidak ada habisnya jika diikuti terus menerus. Aku juga tidak membeli kosmetik ataupun skincare dan hanya meminta uang untuk keperluan kuliah.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan teman-temanku karena aku terbiasa tidak peduli dengan pandangan orang. Sampai tiba-tiba mereka memberikan beberapa paper bag berisi baju.
Mereka, teman-temanku di tempat kerjaku selama ini menaruh kasihan kepadaku karena berangkat kuliah dengan baju yang menurut mereka sudah tidak layak. Aku benar-benar tidak tahu karena aku terbiasa mengabaikan kehidupan realitaku. Hal itu sungguh membuatku tertampar sekaligus haru. Berarti, selama ini aku di lihat sebagai Si Miskin yang Memaksakan diri untuk Kuliah.
Salah satu temanku mengatakan bahwa sebaiknya aku memiliki uang yang hanya diriku sendiri yang tahu keberadaannya. Dimana aku harus melakukan kebohongan dengan tidak memberikan seluruh uangku kepada orangtuaku dengan tujuan punya uang pegangan sendiri. Hal itu sangat berat bagiku karena pada orang lain saja aku tidak berani berbohong, apalagi ini pada orangtua sendiri. Terlebih aku terbiasa memberikan gajiku pada mamaku dalam keadaan amplop yang masih tersegel rapat dari atasanku.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk mengambil satu-dua lembar uang dari gajiku dan mengatakan pada mamaku kalau gajiku di potong untuk ganti rugi barang pecah dan rusak. Aku tidak tahu mamaku tahu atau tidak kalau aku telah berbohong.
Di usiaku yang ke-19 menuju ke-20 tahun, papaku mengalami patah tulang dan harus di rawat di rumah sakit selama berbulan-bulan, mungkin nyaris setahun. Disaat itu aku sudah menyerah dan berniat tidak mau melanjutkan kuliah. Karena tidak ada pencari nafkah. Abangku juga harus berhenti bekerja demi bisa merawat papaku yang dimana sama sekali tidak bisa berjalan dan harus ada tenaga yang kuat untuk menggendongnya. Sanak dari keluarga kami, mungkin ada yang berkenan kalau cuma menggendong, apalagi kalau digaji, tetapi tak berkenan jika harus buang kotoran papaku. Jadi satu-satunya orang yang berbesar hati melakukannya adalah abangku.
Pada masa itu, hanya gajiku lah yang bisa di andalkan untuk membiayai kehidupan kami semua. Dengan gaji sekecil itu, mamaku harus membaginya supaya bisa tetap bayar uang kuliahku, bisa membayar biaya rumah sakit, bisa membeli obat-obatan papaku, dan bisa memberi makan kami semua.
Entah bagaimana caranya mamaku mengatur itu semua. Memang, ketika papaku sakit, kami sekeluarga hanya makan nasi dengan kuah yang dibeli di rumah makan padang seharga lima ribu oleh mamaku. Bahkan mamaku mengalah dengan menjadi rajin puasa supaya biaya hidup kami jadi lebih hemat.
Jika menurut orang itu sudah cukup menguji mentalku, tidak! Tiga bulan kemudian mamaku kecelakaan dan berakhir dengan berbaring di sebelah bangsal papaku. Disitu mentalku benar-benar hancur. Aku tidak punya harapan untuk meraih impianku... Aku benar-benar ingin putus kuliah karena keadaannya sudah sangat tidak memungkinkan.. Tidak ada sumber nafkah, tidak ada lagi semangatku untuk melanjutkan hidupku... Apa yang akan kalian harapkan dengan uang 1,6 juta untuk memberi makan empat kepala?
Namun semua ku jalani, bahkan dengan kondisi yang seperti itu, mamaku tetap mendukungku untuk melanjutkan kuliah.
Aku menjalani hidupku dengan mental yang rapuh, psikis yang tidak stabil, dan raga yang tak berjiwa. Ini bukan pertama kalinya, aku tidak tahu siapa yang harus di salahkan. Ketika aku SMP kelas 2, aku dan keluargaku terbiasa hanya makan nasi dengan kuah. Nasi yang rasio airnya lebih banyak sehingga bubur yang dijual saja masih lebih padat daripada nasi yang kami makan ini, juga air yang disiram dengan bumbu penyedap ditambah sedikit bawang dan cabai. Jadi, makan nasi dengan lauk kuah gulai dari rumah makan padang masih lebih baik saat itu, meskipun kadang-kadang tidak fresh karena sisa semalam yang dimasukkan kulkas dan harus di panaskan lagi.
Aku tidak mengerti mengapa Tuhan memberikanku cobaan yang tiada habis-habisnya. Bahkan ketika aku sudah lulus kuliah di usia 22 tahun, aku masih tidak bisa mendapatkan ketenangan karena mau tidak mau harus melunasi hutang puluhan juta yang sedikit banyak disebabkan oleh keluargaku. Padahal, aku sudah membayangkan bekerja di perusahaan yang bagus pasca wisuda. Namun karena hutangku di tempatku bekerja aku tidak bisa kemana-kemana, aku tidak bisa memulai impianku, aku adalah hewan yang di rantai sampai hutang itu selesai..
Ada banyak hal yang aku alami dan tidak bisa ku sampaikan pada siapapun. Terlalu banyak hingga tidak tahu lagi bagaimana aku harus merangkainya dengan kata-kata yang mudah dipahami dan merangkum perasaan yang ku rasakan pada masa itu.
Jadi, aku memutuskan untuk melarikan diri... sampai detik ini.. Melarikan diri ke universe yang telah ku ciptakan sejak aku kecil.
Ini mungkin terdengar seperti omong kosong. Tapi menulis adalah pelarianku. Aku ‘membalaskan’ semua yang ku dapatkan di dunia dengan menulis. Untuk waktu yang cukup lama, aku menganggap karya-karyaku adalah bagian-bagian dari Rumahku. Wadah dimana aku menulis cerita adalah lahan yang digunakan untuk membangun Rumahku. Alur yang ada didalamnya adalah pondasi Rumahku. Segala konflik yang terjadi di dalamnya adalah perabotannya. Dan karakter-karakter yang ada di dalamnya adalah penghuninya. Dan cerita ini adalah perabotan yang berasal dari Rumahku... Maka, jangan paksa aku pindah dari Rumahku...*
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
