
“Satu-satunya yang ga saya ketahui adalah... apakah cuman saya.. yang menggunakan perasaan waktu kita berhubungan?”
Jihan membiarkan Hanif memasang helm ke kepalanya, mereka telah selesai makan dan hendak menuju lokasi perusahaan yang dimaksud Hanif. Hanif hendak menyalakan motornya, namun menyadari jok di belakangnya masih terasa kosong, ia menoleh. Dan benar, Jihan belum naik dan malah menatapnya.
“Kenapa, Han?” tanya Hanif.
“Gua mau nanya sesuatu,”
Hanif berpikir sejenak, penasaran apa yang ingin ditanya Jihan, biasanya gadis itu tidak masalah bertanya diatas motor. Tapi akhirnya Hanif memilih menunggu.
“Lo punya pacar ga, Nif?”
Hanif menjengitkan sebelah alisnya, agak tidak menduga pertanyaan Jihan. Tapi dilihat dari raut wajah Jihan, sahabatnya ini entah kenapa tampak begitu serius.
Hanif kemudian tersenyum seraya menunduk sejenak.
“Orang kaya gua siapa yang mau, Han,” ucapnya dengan nada pesimis.
“Jujur aja, Nif. Pacar lo cowo juga gapapa, kok,”
Seketika Hanif tertegun, senyumannya membeku. Tidak biasanya Jihan peduli tentang urusan asmaranya, ia tahu betul gadis itu takut membahas yang seperti ini karena tidak mau menyinggung, jadi Jihan kalau bertanya sangat hati-hati dan jarang asal nyeplos, beda dengan Hanif.
“Yaudah, nanti gua kenalin. Sekarang naik dulu!” ajak Hanif, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Jihan memutar kunci motor Hanif padahal baru saja dinyalakan oleh sang pemilik. Membuat Hanif lagi-lagi bingung.
“Lo mau nikah??” cercah Jihan kemudian. Bahkan nada bicaranya kali ini terdengar kesal.
“Apaan sih, Han?”
“Lo jujur sama gue, Nif!”
“Jujur apa?! Lo mau gue jujur soal orientasi gue? Apa gimana!? Ga jelas, tau ga--”
Jihan menangkup wajah Hanif. Ia ingin tahu apakah Hanif berbohong atau tidak dengan menatap matanya. Lama Jihan memandang sahabatnya itu dengan jarak yang cukup dekat, dan akhirnya Hanif menyerah. Laki-laki itu mengerjap kaku, tidak bisa memandang Jihan berlama-lama.
“Lo bohong sama gue, Nif! Selama ini lo bohongin gue. Kenapa, Nif..??!”
“Han, gue ga ngerti maksud lo,”
“Lo ga suka cowo!! Lo normal! Iya, kan???! Terus kenapa lo bilang sama gue kalo orientasi lo beda!? Buat apa, Nif!?”
Hanif mengusap wajahnya. Ini tidak sesepele yang orang-orang bayangkan. Hanif punya alasan kenapa dia harus berpura-pura tidak normal bahkan pada sahabatnya sendiri. Tapi Hanif juga yakin bahwa diluar sana ada beberapa orang yang melakukan hal yang sama dan pasti akan mengerti.
“Terus ini!”
Hanif menatap pada selembar foto yang di tunjukkan Jihan.
“Maksudnya apa?”
Hanif membelalakkan mata. Ia bahkan malu untuk membaca tulisannya sendiri yang ditulisnya di belakang foto Jihan yang ia simpan di kamarnya, dan sejujurnya, Hanif bahkan sudah lupa kalau ia menyimpannya.
“Han, gue bisa jelasin-”
“Ya apa???!!!”
Hanif hendak menyentuh foto itu tapi Jihan tidak mengizinkannya.
Dengan gusar ia melepas helm yang sudah dikenakannya dan turun dari motor.
“Oke! Gua akan jujur sekarang!”
Hanif mengambil pergelangan tangan Jihan, merebut foto itu.
“Lo udah baca tulisan ini kan?” tanya Hanif sambil mengangkat foto itu ke hadapan wajah Jihan. “Iya! Gua suka sama lo! Gua sayang sama lo! Gua cinta sama lo! More than besties! More than friends! More than everything, apapun itu! Kenapa gue harus ngaku-ngaku belok? Lo pengen tau?”
Jihan masih shock dengan ungkapan Hanif barusan yang dituturkan dengan penuh emosional, dan ia masih berusaha mencernanya dengan pikiran yang jernih.
“Lo inget temen-temen gua pernah nge-ceng-cengin kita, mereka bilang gua temenan sama lo karna ada maunya? Mereka bilang lo harus hati-hati ke gue karena gua punya niat jahat ke lo?”
Jihan ingat. Teman-teman Hanif pernah mengatakan kalau setiap Hanif berkumpul dengan mereka Hanif menceritakan bagian-bagian tubuh Jihan, mengatakan bahwa Hanif berniat merekam Jihan diam-diam agar bisa di bagikan ke teman-temannya untuk dijadikan bahan masturbasi. Pada saat itu Jihan tidak langsung percaya, tapi karena terlalu banyak mulut yang bicara akhirnya Jihan memilih menjaga jarak dengan Hanif sebagai antisipasi. Dan satu-satunya cara agar Jihan tetap mau berteman dengannya, adalah dengan mengatakan bahwa dia tidak suka perempuan. Hanif mengatakan bahwa dia sebenarnya menyukai salah satu teman perkumpulannya itu. Dan itu berhasil.. Hanif dan Jihan kembali berteman.
“Lo ngejauhin gue, Han! Lo menghindar! Padahal gue sengaja.. temenan sama lo, deketin lo, supaya gue bisa ngelindungin lo, karena temen-temen gua punya niat jahat ke lo, Han! Mereka yang pengen macem-macem ke lo!!”
Jihan tidak bisa mengatupkan bibirnya.
“Iya gua suka sama lo! Dari dulu gua emang punya perasaan sama lo! Dan itu yang bikin temen-temen gue pengen misahin kita, karena mereka ga terima gua yang berhasil deketin lo!”
“....”
“..Iya gua bilang ke orang tua gua kalo mungkin gua bakal nikahin lo tahun ini! Gua minta maaf ke lo kalo gua banyak bohong, Han..” suara Hanif bergetar, kedua matanya berkaca-kaca. “..Gua hidup pas-pasan bukan karena biayain keluarga gue sepenuhnya, adik-adik gua dapet beasiswa, uang pensiun bokap gue masih jalan, dan mereka merasa cukup hidup dari uang beasiswa dan pensiunan itu.. Gua ambil 3 job dan hidup pas-pasan karena gua pengen ngumpulin duit biar bisa hidup bareng lo.. Dan kalo lo mau tau, gua juga jadi pramugara biar orangtua lo suka sama gue...”
Satu lagi fakta yang membuat Jihan terpaku, semakin banyak Hanif mengungkapkan rahasianya, semakin Jihan merasa tidak mengenal sahabatnya itu.
“..Gua buang cita-cita gue untuk jadi broadcaster.. “
Jihan tahu Hanif pernah bilang kalau dia mau lanjut kuliah ambil jurusan Komunikasi, tapi entah karena apa tiba-tiba saja Hanif tidak mendaftar kuliah dan tiba-tiba saja sudah di terima di Kadasa Airlines, maskapai yang sama dengan mendiang kakak laki-lakinya dulu.
“.. Se-effort itu gua biar bisa dapetin lo, Han....”
Bahkan setelah ibu Jihan sudah tiada, Hanif tak sedikitpun menyesali keputusannya menjadi pramugara meski tujuan awalnya adalah agar direstui oleh ibu Jihan, dan kakak laki-laki Jihan, Jason telah banyak membantu Hanif agar Hanif diterima di keluarga mereka sebagai calon menantu. Sayangnya laki-laki itu sudah....
Hanif menggelengkan kepalanya. Ia mengusap kasar matanya yang nyaris mengeluarkan cairan bening. Ia bersumpah bahwa ia bukanlah pria yang cengeng, tapi ketika ia mengungkapkan kebohongan demi kebohongan yang ia simpan begitu lama, membuatnya seakan bisa merasakan perasaan Jihan.
“...Sorry kalo gue lancang.. Gua simpen foto lo tanpa izin, dan gua bawa-bawa nama lo ke keluarga gue..”
Hanif kemudian mengeluarkan sesuatu yang ia simpan di bawah jok motornya.
“...Gua bener-bener tulus ke lo, Han... Lo mau kan... nikah sama gue..?”
Jihan mundur satu langkah. Ia memang pernah membayangkan bahwa andai saja Hanif straight dan mereka bisa menjadi pasangan, tapi entah kenapa setelah harapannya menjadi kenyataan, rasanya malah bukan jadi kabar yang menyenangkan. Apakah karena Hanif telah banyak membohonginya?
Hanif menyentuh ujung bahu Jihan dengan salah satu tangan yang masih memegang cincin. Cincin yang dibelinya beberapa hari lalu sebelum Jihan menginap di rumahnya dan pernah ia tanyakan pada adik sulungnya lewat chat.
“...Han, gue terima lo apa adanya. Gua ga masalah lo udah ngelakuin apa aja sama pilot bajingan yang lo ceritain itu.. Gua mau nerima lo-”
Hanif memutuskan ucapannya ketika Jihan menjauh. Gadis itu tampak shock mendengar ucapan Hanif. Jihan tidak pernah bilang kalau dia lolos tes karena bersedia tidur dengan salah satu pilot. Saat ia menangis menemui Hanif itu karena dia menceritakan bahwa ada yang mencoba memperkosanya ketika sedang flight training di luar negeri. Jadi, darimana Hanif tahu semuanya?
***
Wildan berdiri dengan malas, ia baru saja menghabiskan beberapa botol white rum dan bir lokal kalengan ketika bel apartemennya berbunyi. Meski jalan sedikit lambat dan agak sempoyongan, tapi Wildan masih punya cukup kesadaran untuk sekedar membuka pintu dan mengenali tamu yang akan ia hadapi.
Jihan mengusap kasar air mata di pipinya, sepanjang perjalanan ia terus menangis karena tidak kuat dengan ucapan-ucapan Hanif yang masih terngiang di kepalanya.
Jihan berbalik setelah mendengar suara pintu terbuka. Ia berjalan cepat ke arah Wildan.
“Bapak ngomong apa sama Hanif..?”
Wildan reflek melangkah mundur. Ia sama sekali tidak expect kalau Jihan lah yang akan datang dengan aura kemarahan yang sangat jelas menyelimuti tubuh mungilnya.
“Ga sopan kamu, datang-datang langsung nuduh,”
“Saya lagi ga pengen bercanda ya,” Jihan menggertakkan giginya. “Bapak ga punya hak ikut campur urusan saya dan orang-orang di sekitar saya!”
“Temen kamu yang pura-pura belok itu udah cerita ya ke kamu?” Wildan kembali duduk di sofa, melanjutkan kegiatannya semula. Ia menenggak sisa rum di slokinya. “Cocok sih kalian. Sama-sama ga punya harga diri. Yang satu nidurin istri orang biar jadi pramugara, yang satu jual perawan biar jadi pramugari,”
Wildan mendelik Jihan dengan ekor mata dan tersenyum sinis. Tatapannya jelas sangat mencemooh seolah Jihan yang saat ini berdiri di depannya sangatlah menjijikkan baginya.
Jihan mengambil segelas air yang ada di meja dan menyiramkannya ke wajah Wildan. Membuat mata pria itu menyalang hingga kesadarannya nyaris terkumpul seratus persen.
“Bapak gatau apa-apa tentang saya dan Hanif!! DAN BAPAK GA BERHAK NGOMONG SEPERTI ITU?!!!!”
Wildan beranjak dari duduknya. “Oh ya?? Soal apa? Apa yang engga saya ketahui? Soal ibu kamu yang sakit selama berbulan-bulan? Soal tagihan rumah sakit ke kamu yang puluhan juta? Soal hutang kamu di bank? Soal kakak kamu yang kecelakaan? Soal papa kamu-”
“Stop!!” Jihan menutup telinganya rapat-rapat. Tak ingin mendengar lebih banyak dari mulut Wildan. Jihan akui dia tak bisa berkata-kata dengan apa yang sudah diketahui Wildan tentang hidupnya sampai saat ini tapi bukan berarti Wildan bisa dengan lancang memamerkannya seolah itu adalah prestasi!
“Justru karena saya tahu semuanya, Jihan! Gampang buat saya nyari tau tentang kalian berdua!” terlebih Jihan dan Hanif masih sama-sama berada di dunia penerbangan, koneksi Wildan cukup untuk mengorek informasi tentang mereka.
Walaupun Wildan sempat terkejut mengetahui bahwa Hanif yang kata Jihan tidak normal lulus jadi pramugara karena tidur dengan HRD di maskapainya, yang notabennya seorang wanita dan masih ada hubungan keluarga dengan Selvina, salah seorang pramugari yang pernah terlibat dengannya.
“Satu-satunya yang ga saya ketahui adalah... apakah cuman saya.. yang menggunakan perasaan waktu kita berhubungan?”
Jihan memundurkan langkahnya. Entah kenapa laki-laki itu terus melangkah maju walau perlahan, membuat Jihan takut.
“Apapun itu... Bapak ga berhak bilang ke sahabat saya kalau saya udah jual diri ke Bapak! Urusan kita udah selesai!--”
“Gada yang selesai, Jihan!”
“Kita ga punya hubungan apa-apa lagi, Pak-”
“Berhenti panggil saya ‘Pak’! Saya bukan atasan kamu lagi!” Wildan berteriak kesal, dia tidak nyaman dengan panggilan itu. Ia lebih suka ketika Jihan memanggilnya ‘Mas’ seperti pertama kali mereka bertemu. “Urusan kita bukan cuma di tempat tidur... tapi juga disini..” Wildan menekan dadanya beberapa kali seolah ia bisa menusuk dan mengeluarkan hatinya hanya dengan jari telunjuknya.
“Saya ga peduli kamu anggap saya mesin uang, ATM berjalan, anything that shit, I-really-don’t-give a fck!” Wildan menekankan beberapa kata terakhirnya. “Saya cuma mau kamu ada di samping saya, selalu ada untuk saya, saya butuh kamu, Jihan.... Bukan untuk muasin nafsu saya... Tapi untuk stay di sisi saya selamanya...”
Wildan mengulurkan tangannya, tapi respon yang ia dapati Jihan justru semakin mundur, seakan memang tak mengizinkan Wildan menyentuhnya lagi. Atau gadis itu sedang antisipasi? Entahlah.
Sebelum melihat keadaan meja Wildan yang penuh dengan alkohol, Jihan sudah dapat mencium aromanya sejak Wildan membuka pintu. Laki-laki ini sedang mabuk, dan dia tidak sadar apa yang sedang di bicarakannya.
“...Saya.... ga bisa terima Bapak-”
“-Wildan,” Wildan menggeram rendah, memperingatkan Jihan untuk tidak menyebutnya demikian lagi.
Jihan mengedipkan matanya nanar. Dia harus segera pergi jika tak ingin sesuatu yang tak diinginkan terjadi. “..Saya mencintai Hanif... “
Wildan menatap tajam gadis di hadapannya yang sudah beberapa langkah mundur sejak tadi, mungkin takut Wildan akan menyakitinya.
“Cinta?” Wildan menyeringai, tapi matanya malah terlihat berkaca-kaca, tidak sinkron dengan ekspresinya. “Kamu cinta sama laki-laki yang udah bohongin kamu? Kamu cinta sama laki-laki yang udah menghianati kamu?” Wildan berdecih. “Berarti apa yang dikatakan laki-laki yang kamu anggap sahabat itu benar? “
“.. Lo ga lebih dari sekedar mesin duit buat Jihan pas ibunya sekarat. Sebatas itu,”
“..Selama kamu sama saya, kamu cuma anggap saya mesin uang? Sebatas itu?”
Bersambung.
22:24 12.09.2024
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
