Heart Flight ✈ Chapter 36

3
0
Deskripsi

Wildan mengeraskan rahangnya. Sulit mempercayai ucapan John karena ia lebih lama mengenal Rani, gadis itu terlihat ramah dan tidak banyak bicara. Bahkan bukankah ia juga banyak membantu Jihan ketika Jihan masih dalam masa training? Rani juga menjaga Jihan ketika Jihan pingsan.

“Mama darimana?”

“Ziarah,”

Wildan mengernyit, mengapa ia tidak tahu kalau ada anggota keluarga mereka yang meninggal?

Wildan meletakkan minumnya dan mengikuti langkah mamanya yang tengah meletakkan payung. Tumben-tumbenan puteranya itu mau pulang ke rumah karena Wildan sudah punya apartemen sendiri yang lokasinya dekat dengan bandara.

“Ke makam siapa? Pahlawan?”

Mama Wildan mengetatkan bibir, bisa-bisanya di usia yang tidak lagi remaja puteranya itu bercanda seperti itu.

“Marcellia,”

Alis Wildan mengernyit lagi. Seingatnya mereka tidak punya anggota keluarga yang bernama Marcellia.

“Siapa emang?”

“Kamu nggak kenal. Dulu beliau sering datang untuk bantu bersih-bersih taman bunga mama yang di belakang. Kan mama sering cerita,”

Walau sedikit lupa, tapi Wildan masih ingat bahwa mamanya dulu pernah cerita ada seorang wanita yang lebih muda sedikit dari mamanya memohon minta pekerjaan supaya bisa membayar uang sekolah dua orang anaknya. Karena iba, akhirnya mama Wildan menyuruh wanita tersebut untuk bantu-bantu membersihkan pekarangan belakang rumah mereka, meskipun sejatinya mereka sudah memiliki tukang kebun dan tukang potong rumput sendiri.

Tapi seperti yang dikatakan mama Wildan, Wildan mungkin tidak mengenalinya karena tidak pernah bertemu, karena saat itu Wildan sudah lulus sekolah penerbangan dan baru tinggal di cluster yang disediakan maskapai.

“Oh... Meninggalnya kenapa?”

“Komplikasi sepertinya. Mama juga dikasih tau sama tetangga lama kita, kalau engga ya mama juga ga akan tau,”

Wildan mengangguk. Ia bersyukur mamanya masih dalam keadaan sehat walau secara usia lebih tua dari wanita yang diceritakan mamanya tersebut.

“Oh ya. Kamu mau bantuin mama ngga?”

“Bantuin apa?”

“Kamu cari keluarganya, terus kasih ini,” Wildan melirik amplop besar cokelat yang memiliki tali, amplop itu terlihat penuh alih-alih hanya berisi kertas seperti orang-orang biasa menggunakannya untuk melamar kerja. Wildan melihat isinya dan tertegun. “Mama yakin Wildan disuruh nyari keluarganya buat ngasih ini?”

“Mama khawatir, kalau jangan-jangan dia meninggal karena mendonorkan ginjalnya ke mama...”

Perkataan sang ibu membuat Wildan tertegun. Kenapa Wildan tidak mengetahuinya? Dimana dia sebagai anak ketika mamanya sedang butuh transplantasi ginjal?!

“Kok mama ga cerita sama Wildan?”

“Kamu lagi di Jerman, waktu itu keadaannya sudah sangat darurat, tidak bisa ditunda. Mama juga heran kenapa waktu itu dia mau memberikan ginjalnya ke mama, padahal dia sudah tidak bekerja lagi. Yang mama tahu, dia juga kebetulan ada di rumah sakit yang sama sama Mama karena anaknya juga dirawat disitu,”

Wildan merasa bahwa dia sudah terlalu jauh karena nyaris tidak mengetahui apa-apa tentang mamanya.

“Mama bahkan tidak sempat mengucapkan apa-apa sama dia,”

Wildan hampir tidak percaya, apa benar masih ada orang se-tanpa-pamrih itu pada ibunya?

*

Wildan hampir bosan menunggu di dalam mobil. Mamanya tidak memberikan petunjuk apa-apa ketika menyuruhnya mencari keluarga Marcellia, wanita yang pernah bekerja di rumah mereka, karena wanita itu hanya bekerja sekitar tiga minggu saja, tapi sudah begitu baik. Bahkan selain membersihkan pekarangan bunga, ia juga suka menawarkan mama Wildan untuk di pijat dan membuatkan teh di sore hari.

Wildan baru saja meringsutkan tubuhnya untuk menunggu hal-hal yang tidak pasti, ibunya hanya bilang pasti ada anggota keluarga yang datang untuk ziarah ke makam Marcellia.

Karena benar saja, seorang perempuan datang membawa bunga dan meletakkannya di atas makam Marcellia. Wildan tidak yakin dengan penglihatannya, tapi perempuan itu sangat mirip seperti..

“Jihan..?”

*

Wildan hendak keluar dari mobilnya, tapi urung ketika tidak sengaja menoleh ke kaca spion dan terlihat ada Hanif di belakangnya, yang turut menemani dan menunggu Jihan selama ziarah. Jadi Wildan memilih untuk meringsutkan tubuhnya agar semakin tidak terlihat.

Beberapa menit kemudian gadis yang ternyata memang Jihan menghampiri Hanif, mereka pun pergi meninggalkan TPU dengan berboncengan.

Sambil melangkah menuju makam yang di ziarahi Jihan, Wildan melihat sekeliling, melihat nama-nama dari makam yang lain. Bisa saja bukan cuma satu yang namanya Marcellia disana kan?

Tetapi setelah tak bisa membuktikan kecurigaannya, Wildan kembali masuk ke mobilnya, ia harus menemui seseorang.

*

John membuka pintu setelah mendengar bel apartemennya berbunyi dua kali.

“Tumben lo ga nelfon dulu,” ujarnya setelah mengetahui Wildan lah yang ada di balik pintunya.

“Ada yang mau gue tanyain,”

“Siapa, babe?”

“Wildan!” seru Johnatan pada kekasihnya yang bertanya dari dalam apartemen.

“Diora lagi latihan cover buat di upload di TooTube. Kita ngobrol di luar aja ya,”

Setelah berpamitan pada pacarnya, merekapun berbicara di kafe apartemen.

“Lo tau apalagi selain kakaknya Jihan yang meninggal pas masih jadi pramugara?”

“Ga ada. Masih yang kemaren. “

“Terus lo tau darimana?”

“Kan udah gua bilang, begitu orang-orang di maskapai tau lo punya hubungan sama Jihan, mereka langsung cari tau tentang Jihan. Emang lo pikir si Jihan sampe kaya sekarang gara-gara siapa? Gara-gara lu!”

“Kok gara-gara gua sih?”

“Wil, lo tuh pura-pura tutup mata apa emang sengaja buta sih? Banyak banget Wil, banyak banget cewe-cewe di maskapai yang demen ama lo! Apa perlu gue pertegas? Ga lo doang yang s*ngean, mereka juga s*nge ngeliat lo! Kalo gue sih udah mual liatnya, udah pengen gua muntahin satu-satu!”

John melihat kanan-kirinya, takut suaranya terlalu keras dan orang-orang jadi tidak nyaman karena apa yang baru saja dia ucapkan di tempat makan seperti ini.

Tentu saja Wildan tahu kalau beberapa perempuan di maskapai menyukainya, tapi kalo kata John sampe ‘banyak banget’, itu maksudnya sebanyak apa?

“Apalagi si Rani ama si Sandra, gue heran kenapa si Jihan bisa temenan ama si Sandra, udah jelas-jelas si Sandra itu orang bawaannya Rani,”

“Emang kenapa Rani?”

John mengalihkan wajahnya dengan kikuk, harusnya dia tidak menyinggung nama itu. Tapi sudah terlanjur nyebur, biarlah jadi basah.

“Sorry ya, Wil. Gua bukan mau jelek-jelekin temen lu,”

Wildan berteman dengan Rani dari TK sampai SMA, awalnya Rani hanya kuliah bahkan sudah mendaftar, tapi karena Wildan daftar sekolah penerbangan, dia jadi ikut daftar sekolah penerbangan juga dan bahkan pindah jurusan.

“Sebelum lo balik dari Jerman, si Rani sering ngaku-ngaku lo punya hubungan sama dia sama semua orang yang ada di maskapai. Pas lo gabung lagi ke Nirwana Airlines, dia senang banget. Tapi dia ga bisa buktiin omongannya karena lo selalu ngejar-ngejar Jihan. Rani itu selalu ngintilin kemanapun lo dan Jihan berduaan.”

“...”

“Lo ingat pas gua tanya lo ngapain sama si Jihan di galley? Ayu bilang dia di suruh ngambilin makanan buat Rani. Biar apa? Biar waktu lo kepergok sama Jihan, Rani bisa ngelabrak dan Ayu yang jadi saksi mata, biar seakan-akan Jihan yang goda-godain lo dan dibenci karena udah ngerebut pacar orang.”

John meneguk kopinya, seret dikit ga ngaruh.

“Menurut lo, siapa yang nyebarin video lo sama Jihan? Lo juga ga pengen tau kenapa Jihan tiba-tiba bisa di lecehin sama Fero, anak training? Karena Rani dan Sandra bilang ke orang-orang kalau Jihan itu punya kerjaan sambilan, open B.O! Rani tau dimana-mana aja lo sama Jihan main!?”

Wildan mengeraskan rahangnya. Sulit mempercayai ucapan John karena ia lebih lama mengenal Rani, gadis itu terlihat ramah dan tidak banyak bicara. Bahkan bukankah ia juga banyak membantu Jihan ketika Jihan masih dalam masa training? Rani juga menjaga Jihan ketika Jihan pingsan.

*

Rani menghentikan langkahnya. Ia hendak menemui Wildan untuk menyambut kedatangannya kembali, tetapi senyuman antusiasnya meluntur tatkala melihat pria yang dikaguminya sedang bercumbu dengan seorang wanita asing.

Rani juga mengikuti mobil Wildan yang mengarah ke apartemen pria itu bersama Jihan di dalamnya. Bahkan melalui gelas yang ia tempelkan di pintu, ia dapat sedikit mendengar suara desahan keduanya dari dalam kamar apartemen.

Rani juga sempat memvideokan ketika Wildan dan Jihan berhubungan di dalam mobil, karena penasaran mengapa Wildan tidak pulang dan mobilnya masih ada di depan cluster Jihan jam 2 pagi. Meskipun saat itu sedang hujan, tapi kamera ponsel Rani masih dapat menangkap aktivitas keduanya walau terhalang kaca jendela yang berembun dan penuh tetesan air hujan. Tentu saja, dari telapak tangan keduanya yang beberapa kali menyentuh kaca mobil dapat dengan mudah membuat orang menyimpulkan se-erotis apa kegiatan mereka di dalam sana.

Juga di galley, maupun di mobil yang di pinjam Wildan saat mereka terbang ke Korea Selatan. Rani ada di sana. Memendam dalam keheningan ketika mobil yang di tumpangi Wildan dan Jihan bergerak tidak lazim di antara mobil lain yang parkir di area drive-in cinema. Walau ada juga penonton yang berciuman di mobil, tapi tentu saja Rani tidak menaruh perhatian pada penonton-penonton lain yang tidak dia kenal dan bukan siapa-siapanya.

*

“Lo kalo mau tau keluarga Jihan, tanya tuh sama Pak Tariq. Kan dia yang input data kru, pasti ada data keluarganya Jihan dari KK, alamat lengkap rumahnya, sama daftar sekolahnya,” John lanjut berbicara ketika Wildan masih melamun, memikirkan apa mungkin Rani sepicik seperti yang John katakan?

Wildan terperangah, ia sama sekali tidak terpikirkan bahwa Tariq bisa membantunya, tapi Wildan punya cara lain. Ia sedang tidak mood berbicara atau bertemu siapapun di kantor maskapai, selain faktor utamanya karena ia sedang jadi bahan perbincangan hangat, tapi juga karena takut tidak bisa mengontrol emosi dan menyebabkan keributan lagi. Pun Tariq sedang berusaha membersihkan nama maskapai dari laporan orangtua Fero. Kalau sampai Wildan memukul orang, itu hanya akan mempersulit Tariq dan menambah buruk citra Nirwana Airlines.

Akhirnya Wildan sampai di rumah sakit, bertemu dangan Charlie, dokter yang sering memeriksanya untuk check up. Laki-laki itu telah menerima e-mail dari admin yang menangani data administrasi ibu Jihan. Charlie lalu menunjukkan pada Wildan.

Di layar itu Wildan dapat melihat nama ibu Jihan yang menjadi pasien sebelum berpulang. Marcellia. Persis seperti yang di ucapkan mamanya. Wanita yang berusia 49 tahun dan di larikan ke rumah sakit sejak sepuluh bulan lalu dan di diagnosa mengalami ensefalitis dan meningitis-- penyakit radang pada selaput yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh infeksi, namun karena adanya keterlambatan dalam memeriksakan diri penyakit yang dimilikinya menjadi komplikasi.

“Gua boleh minta copy-annya ga?”

Setelah diberikan data pasien bernama Marcellia oleh Charlie, Wildan melacak lokasi rumah Jihan. Gadis itu tinggal di pemukiman yang sebenarnya bukan kawasan orang miskin, bahkan beberapa warga memiliki rumah dua lantai. Apakah mereka dulunya berkecukupan? Karena Wildan masih tidak connect apa yang membuat Jihan mau menukar virginitasnya demi menjadi seorang pramugari.

Jihan lahir dari keluarga mapan. Ayahnya anggota Pasukan Angkatan Udara, kakak laki-lakinya pramugara, then...?

Apakah Jihan hanya ingin mengikuti jejak ayah dan kakaknya?


 

19.8.2024

22:15

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Heart Flight ✈ Chapter 37
3
0
Wildan menarik tubuh mungil Jihan dalam pelukannya saat suara isak tangis gadis itu terdengar semakin memilukan. Entah kenapa, ada perasaan hangat yang menyentuh sesuatu di dalam dadanya. Perasaan yang berbeda dengan ketika Wildan memeluk Jihan saat mereka berhubungan. Juga keinginan yang sangat besar untuk melindungi Jihan dari apapun..
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan