
Ada sebuah pertanyaan?, apa yang akan terjadi ketika manusia gagal melaksanakan tumbal di dalam pesugihan.
Karena banyak cerita tentang pesugihan, namun hanya sedikit yang membahas hal ini dalam ceritanya.
Aku akan menceritakannya sedikit, agar kalian paham kenapa pesugihan itu dilarang untuk dilakukan, karena itu akan berhubungan dengan nyawa dan jiwa kalian yang terjerat dengan mereka.
Jangan lupa TIP nya ya
Ada sebuah pertanyaan?, apa yang akan terjadi ketika manusia gagal melaksanakan tumbal di dalam pesugihan.
Karena banyak cerita tentang pesugihan, namun hanya sedikit yang membahas hal ini dalam ceritanya.
Aku akan menceritakannya sedikit, agar kalian paham kenapa pesugihan itu dilarang untuk dilakukan, karena itu akan berhubungan dengan nyawa dan jiwa kalian yang terjerat dengan mereka.
***
Suatu perjanjian yang selalu berhubungan dengan para makhluk gaib yang selama ini berada di sekitar kita tanpa kita sadari, selalu menimbulkan risiko dan akan disesali oleh seseorang yang melakukan perjanjian itu semasa hidupnya.
Terutama, perjanjian-perjanjian yang mewajibkan para manusia untuk mengirimkan tumbal kepada mereka. Sebagai syarat bahwa derajat mereka lebih tinggi dan para manusia tersebut tunduk kepada mereka sebagai seseorang yang lemah dan butuh bantuan mereka dalam hidupnya.
Mereka akan mengabulkan apapun mau itu kekayaan, kejayaan, ataupun keilmuan. Semua keinginan manusia akan terkabul secara instan, asal mereka harus di agungkan layaknya dewa, dengan persembahan-persembahan yang harus mereka berikan kepada makhluk itu di malam-malam tertentu.
Itulah yang terjadi dengan manusia yang sudah rapuh dan putus asa dalam hidupnya. Atau, para manusia yang iri atas pencapaian manusia lain sehingga ingin membalasnya dengan cara yang sangat kotor dan tidak beradab.
Banyak dari mereka yang akhirnya benar-benar kaya, mempunyai istri yang cantik jelita, karir yang bagus hingga ke puncak, bahkan di hormati banyak orang dan mempunyai keilmuan yang mumpuni di kalangan manusia.
Banyak pintu yang akan terbuka jika kita mencari kenikmatan duniawi dengan cara seperti ini, tentunya. Banyak pula persyaratan dan perjanjian yang berbeda di setiap ritualnya, yang mau tidak mau harus mereka penuhi.
Meskipun, semakin lama persyaratan yang harus mereka penuhi akan semakin berat.
Pak Budi adalah salah satunya, kini dia sedang berkeliling kota untuk mencari salah satu hewan penting yang harus dia sembelih sebelum malam tiba. Tubuhnya yang gemuk terlihat berlari dengan tergesa-gesa mencari ke pasar ternak yang kini tak jauh dari parkiran tempat dia menyimpan mobilnya.
“Pak mau cari kambing? ” Kata pedagang yang mencoba memanggil Pak Budi yang masih terlihat berlari memasuki pasar tersebut.
Dengan baju kemeja, celana dan sepatu yang sedikit mewah pada tahun tersebut, Pak Budi kini terlihat mendekati pedagang kambing yang tepat beberapa puluh meter dari tempatnya sambil berlari.
“Ah iya Pak, kalau kambing yang berwarna hitam legam keseluruh tubuh ada gak ya Pak? ” Kata Pak Budi dengan nada yang tergesa-gesa.
“Hmmm, aduh Pak, kalau semuanya hitam mah gak ada, adanya yang hitam bercorak putih, ” Kata pedagang itu sambil memperlihatkan kambing-kambingnya yang terikat di belakangnya.
“Waduh gak ada ya, kira-kira aku harus cari lagi ke mana ya Pak, apakah ada pasar kambing lagi di sekitar sini Pak? " Kata Pak Budi dengan nada yang sangat panik.
“Hmmmm, bentar Pak, coba Bapak ke daerah selatan Pak, ya ke Ciwidey atau ke Pangalengan lah. Siapa tahu di sana ada Pak. ”
“Eh emang buat apa Pak kambingnya harus hitam semua? ” Kata pedagang itu dengan nada yang heran .
“Itu,, mmm, buat anak ku Pak, dia pengen kambing tapi warnanya harus hitam semua gak boleh ada corak putihnya sama sekali,” Jawab Pak Budi dengan wajah yang kini tampak semakin panik.
“Atuh kalau anak mah beli aja satu ini pak, nanti tinggal di cat hitam aja. Gampang,” Katanya sambil menarik salah satu kambingnya yang terlihat bugar.
Namun, Pak Budi hanya menggelengkan kepala. Dia hanya berterima kasih sekaligus meminta maaf kepada pedagang itu karena apa yang dia cari tidak ada di sana, dan dengan tergesa-gesa. Dia kembali ke mobilnya yang terparkir di parkiran yang tak jauh dari pasar itu.
Sebuah mobil T**ota S*arlet XL yang tergolong mewah pada zaman itu, terlihat sangat berbeda dengan mobil-mobil lain yang terparkir di parkiran tersebut. Mobil kecil yang cocok digunakan oleh eksekutif muda seperti Pak Budi ini, menjadi idaman para pekerja kantoran yang sedang meniti karir di suatu perusahaan.
Dengan mobil yang berwarna merah dan corak garis putih di sekitar bodynya, membuat mobil itu tampak menawan. Apalagi dengan velg putih dan ban yang kecil, membuatnya sangat cocok dipakai oleh orang-orang dewasa yang ingin tampil trendi pada tahun tersebut.
Brum, brum,
Pak Budi tampak buru-buru, dia langsung menancapkan gasnya ke arah selatan Kota Bandung.
Terdengar suara ayam yang berkokok di bagasi belakangnya. Suara dari ayam cemani yang dia beli dengan harga mahal kini terikat disana, juga berbagai buah-buahan, seperti kelapa, jeruk, pisang serta kembang tujuh rupa yang dia beli di salah satu jalan di Kota Bandung terlihat memenuhi bagasi mobilnya pada saat itu.
***
Pak Budi mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang tinggi, jalanan yang masih sepi dan lengang membuatnya bisa menyalip beberapa kendaraan sekaligus di depannya.
Beberapa kali Pak Budi melihat jam tangannya, sebuah jam tangan R**ex mewah berwarna kuning keemasan dengan berlian yang berkilau di setiap ujungnya. Namun wajahnya terlihat sangat pucat, keringat nya kini bahkan membanjiri tubuhnya yang agak gemuk di dalam mobil.
Pak Budi adalah salah satu kepala dari salah satu pabrik produksi kain di Bandung Timur.
Pabrik yang awalnya hanyalah pabrik kecil, hanya dalam waktu dua tahun, pabrik itu menjadi pabrik yang besar dengan produksi yang berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Bukan tanpa sebab, di balik suksesnya pabrik itu, ada sosok Pak Budi yang ikut membesarkan pabrik tersebut.
Entah mengapa, dia selalu berhasil membujuk clientnya agar bisa bekerja sama dengan pabrik tempat dia bekerja, dan itu adalah salah satu pencapaian Pak Budi yang cemerlang.
Auranya sebagai pemimpin terpancar jelas, dengan kewibawaan yang membuat siapapun akan menghormatinya, dia terkenal baik di kalangan para pekerja, apalagi statusnya yang tinggi tidak membuat dirinya angkuh dan sombong.
Hidupnya sederhana, dia seringkali ikut makan bersama dengan para karyawan di ruangan belakang, sebuah ruangan karyawan yang cukup kotor dan hanya tersedia sebuah kantin kecil untuk mereka membeli rokok atau kopi.
Pak Budi sadar, dia sendiri adalah orang yang merangkak dari paling bawah hingga akhirnya bisa menjabat menjadi kepala bagian hanya dalam waktu kurang dari dua tahun. Membuat semua orang takjub kepada pencapaian Pak Budi.
Karier yang semakin naik, berbanding lurus dengan kekayaan yang dia peroleh. Beberapa kali dia melakukan seminar agar semua orang bisa mengikuti jejaknya. Dan tentu saja, siapa pun yang ingin mendapatkan ilmunya dari Pak Budi, harus merogoh kocek yang agak dalam, agar bisa menyerap ilmunya.
Namun, dibalik itu. Ada sesuatu yang tidak dia kemukakan, sesuatu yang dia ketahui sendiri atas pencapaian itu, dan itu adalah kunci suksesnya selama ini, bukan dari semua ucapannya dan teknik-teknik yang dia bicarakan setiap meeting atau ketika menjadi pembicara di seminar yang dia hadiri.
Sesuatu yang sangat gelap yang disimpan sendirian tanpa sekalipun dia buka ke publik, sesuatu yang selama ini membantunya untuk bisa mencapai puncak karirnya dalam waktu singkat, dan sesuatu yang membuatnya kini tampak panik dan kebingungan di dalam mobil.
“Aku harus segera mencari kambing hitam itu, karena kalau tidak. Karier yang sudah aku bangun akan hancur seketika. ”
***
Jalanan yang menanjak dan berliku-liku, bersamaan dengan rintik hujan yang kini membasahi jalanan di antara pegunungan yang Pak Budi lewati. Sudah hampir satu jam setengah Pak Budi berkeliling di daerah selatan Kota Bandung, berusaha mencari kambing berwarna hitam pekat yang tak kunjung ditemukan saat ini.
Suara dari deru mesin yang terdengar kencang dengan roda yang menggerus jalanan dan genangan air yang turun ke jalan pada sore itu, membuat mobil yang dikendarai Pak Budi melaju sangat kencang di jalanan yang berliku di selatan Kota Bandung.
“Aku harus kemana lagi mencarinya? ” Kata Pak Budi panik.
Kedua tangannya memegang setir mobil dengan lihainya, jalanan yang sangat lengang ketika masuk ke perkampungan membuat Pak Budi bebas menjalankan mobil tersebut dengan sekencang-kencangnya, apalagi dengan air hujan yang turun dengan sangat deras bersamaan dengan langit sore yang sangat gelap, hingga menutupi matahari sore yang ingin menyinari Pak Budi dengan sinarnya yang hangat.
Wajahnya tidak karuan, baju kemeja mewah yang dia pakai kini dia lepas dan hanya menyisakan kaos oblong berwarna putih yang kini dia kenakan. Rasa cemas kini terlihat dengan jelas, beberapa kali dia melihat jam tangan mewahnya karena merasa waktu terbuang percuma.
Pak Budi tampak putus asa, karena dia tidak menyangka. Apa yang dia bangun secara beberapa tahun ini, kini menimbulkan bencana.
Mengingat, masih ada sesuatu yang masih belum dia penuhi sebagai syarat yang harus dia berikan di tahun ini. Dan apabila itu gagal, dia khawatir semua yang dia bangun akan sirna sepenuhnya, dan Pak Budi akan kembali menjadi orang biasa tanpa ada keistimewaan yang seperti dia rasakan sekarang.
***
Waktu terus berlalu, awan mendung yang memuntahkan air hujan yang turun dengan sangat deras, tampaknya tidak berhenti hingga malam tiba.
Pak Budi yang dari tadi siang berkeliling dengan mobil kecilnya kini tampak lesu. Mobilnya terparkir dalam salah satu Rumah Makan di daerah pariwisata di selatan Kota Bandung, tempat wisata yang menjadi primadona bagi siapa saja yang berkunjung ke Bandung pada saat itu.
Dua ayam bakar, dua teh manis, beberapa bungkus makanan ringan, juga dua kopi hitam terlihat di atas meja. Sungguh aneh memang, Pak Budi hanya makan sendiri, namun dia memesan semuanya dalam dua porsi.
Terlihat, Pak Budi dengan lahapnya memakan ayam bakar beserta lalapan dan nasi yang memenuhi piring yang dia sajikan.
Rasa cemas dan khawatir yang dia rasakan tadi siang kini membuat dirinya lapar, dalam beberapa kali gigitan dia memakan semua makanan yang ada di depannya dengan sangat cepat. Saking cepatnya, dia beberapa kali tersedak dan meminum teh manis yang dia pesan sebelumnya.
Entah apa yang merasukinya pada saat ini. Namun, satu porsi tidak dia sentuh, dia sengaja menata makanan itu layaknya dua orang yang sedang makan bersama. Bahkan dia juga menyiapkan kursi kosong yang dia bawa di meja sebelah untuk di simpan di depannya.
Tidak ada perasaan takut dan khawatir akan orang-orang yang melihatnya makan, dia melahap makanan itu seperti kesurupan.
Namun, dia beberapa kali mengangguk dan tersenyum ketakutan ketika melihat ke arah kursi kosong yang ada tepat di depannya.
Pikirannya masih belum tenang, dia masih memikirkan kambing hitam yang harus dia cari yang hingga saat ini belum dia temukan. Hujan yang terus-menerus membasahi selatan Kota Bandung membuat usahanya mencari kambing semakin terhambat.
Karena, di waktu hujan seperti ini, para penjual kambing biasanya akan pulang lebih cepat dan akan kembali berdagang di pasar ternak di esok paginya ketika cuaca cerah menjelang.
Srettt
Tiba-tiba,
Piring yang berisi ayam bakar yang berada di dekat kursi kosong tiba-tiba bergerak secara perlahan ke depan Pak Budi, bersamaan dengan kopi pahit yang dia pesan juga teh manis yang sama-sama bergeser secara perlahan ke arahnya.
Pak Budi tampak tidak takut akan hal itu, seperti sudah terbiasa dengan kejadian yang seperti itu. Pak Budi hanya mengangguk dan mengambil makanan yang kini mendekatinya.
Makanan yang sudah dia santap kini habis tak bersisa, menyisakan makanan yang tadi bergerak ke arahnya dengan kondisi utuh di atas meja.
Ammm
Mulut Pak Budi terbuka lebar, ayam bakar yang tampak lezat itu dia makan dengan beberapa kali suapan. Namun, ekspresinya kini tampak berbeda, mulutnya tidak mengunyah dengan lahap seperti ayam bakar yang sebelumnya dia habiskan.
Dia seperti terpaksa ketika memakan makanan itu, karena rasanya kini terasa hambar. Tidak ada rasa daging ayam dengan kecap manis yang memenuhi lidahnya kini, semuanya terasa seperti air mineral tanpa rasa yang masuk ke dalam mulutnya.
Namun, wajahnya yang tampak ketakutan kepada sesuatu yang tampaknya duduk di kursi kosong itu, memaksanya untuk memakan semua makanan itu meskipun rasanya sangat hambar.
Hingga,
Duarrrrr
Suara petir menyambar, bersamaan dengan langit yang kini gelap yang menandakan bahwa malam menemani mereka di tempat itu.
Dan di saat yang bersamaan, di antara sinar petir yang menyambar dan terdengar hingga ke tempat makan tempat Pak Budi memakan makanan yang dia santap.
Tiba-tiba,
Sebuah suara terdengar dengan jelas, suara yang membuat Pak Budi semakin cemas atas apa yang akan terjadi pada dirinya di malam ini.
“Heeeeeeee, heeeeeeh, Budiii, ingettttt, saacan jam dua belas peuting, maneh kudu meuncit hayam jeung domba hideung, jeung kudu di bikeun ka Abah. (Budiiii, ingatttt, sebelum jam dua belas malam, kamu harus menyembelih ayam dan domba hitam, dan kamu juga harus memberikannya ke Abah. )
“Didagoan ku urang di tempat itu. Inget Budi, syarat eta teh gampang, daripada maneh kudu numbalkeun jelema jang syaratna. ( Aku tunggu di tempat itu. Inget Budi, syarat itu gampang, daripada kamu harus menumbalkan manusia sebagai syaratnya. )”
Duarrr
Petir kembali menyambar tempat makan itu. Bahkan kini, membuat lampu yang menyala mendadak mati karena ada gardu yang tersambar petir di dekat tempat makan tersebut.
Petir-petir tersebut menyambar beberapa kali. Namun, ketika cahaya dari petir tersebut menyala, terlihat sesosok bayangan berwarna hitam terlihat sedang duduk di depan Pak Budi. Dengan kaki yang diangkat ke atas dan tangan yang di simpan di lutut bayangan tersebut.
Dia terlihat sedang tersenyum dan menyeringai ke arah Pak Budi, dan ketika cahaya petir tersebut menghilang, bayangan itu ikut menghilang bersamaan dengan kopi hitam yang kini tidak bersisa di dekat kursinya.
Hujan masih deras di luar dan wajah Pak Budi tampak semakin panik, ketika sosok yang ada di depannya kini menampakan dirinya sendiri di antara cahaya petir yang menggelegar pada malam itu.
Dia melihat jam tangannya, tinggal lima jam lagi sebelum tengah malam. Dengan perasaan yang gelisah dan wajah yang tidak karuan, dia berdiri dari duduknya untuk membayar apa yang dia makan dengan tergesa-gesa.
Mulutnya penuh dengan sisa nasi yang menempel di sekitar mulutnya, Namun dia tidak peduli, dia lebih memikirkan kambing berwarna hitam pada saat ini daripada harus memikirkan penampilannya.
Jaket mewahnya yang tadi dia lepas hanya di simpan di dalam mobil, bersamaan dengan ayam cemani dan buah-buahan serta kemenyan yang dia bawa di dalam bagasi.
Dia kini hanya memakai kaos oblong bergambar artis band rock terkenal pada masa itu, dengan gayanya yang nyentrik dan rambut kribo nya yang menjadi ciri khas dari band rock tersebut.
“Berapa Kang? ” Kata Pak Budi sambil mengeluarkan dompet kulit dari saku celananya.
“Euu, tadi ayam dua, kopi dua, teh manis dua, terus apalagi Kang? ” Kata pemilik Rumah Makan itu yang mencatat pesanan dari Pak Budi.
Tangannya bergetar hebat ketika dia mencatat dan menghitung apa yang Pak Budi makan. Karena, dia melihatnya sendiri Pak Budi makan seperti orang yang sedang kesurupan, tidak seperti orang lain yang sering makan di Rumah Makan tersebut.
“Sama satu bungkus pilus, satu bungkus kacang Kang, ” Kata Pak Budi sambil menunjuk ke arah rak tempat beberapa cemilan jajanan anak yang sering dia makan selama bekerja.
Pak Budi memang tidak merokok, namun dengan hobby nya yang sering kali memakan cemilan. Membuat tubuhnya sedikit agak gemuk. Meskipun, sekarang umurnya yang hampir kepala tiga, dia dengan cueknya memakan jajanan anak-anak selama bekerja.
“Semuanya lima belas ribu Kang,” Kata pemilik Rumah Makan itu.
Pak Budi dengan sigap memberikan dua lembar uang dua puluh ribuan, dengan lembaran gambar burung cendrawasih yang menjadi primadona di ujung timur sana.
“Eh Pak, ini kebanyakan, ” Kata pemilik Rumah Makan itu sambil mengembalikan satu lembar uang kepada Pak Budi.
Namun Pak Budi menolak, dan berkata bahwa uang yang satu lembar lagi tidak usah dia kembalikan. Tak lama, Pak Budi dengan tergesa-gesa kembali menancap gas mobilnya ke arah selatan, berharap dia masih menemukan kambing yang harus dia bawa ke tempat ritual di tengah hujan yang terus-menerus mengguyur pada malam itu.
Wajahnya terlihat sangat gelisah, dia takut syarat yang harus dia berikan tidak terpenuhi pada malam ini. Dan dia khawatir atas nasibnya apabila dia tidak bisa memenuhi hal itu sebelum jam dua belas malam.
***
Pak Budi terus menerus mengendarai mobilnya ke arah selatan, dia menerka-nerka dimana dirinya harus mencari kambing hitam di tengah hujan deras seperti ini.
Hatinya gelisah, beberapa kali dia melihat jam di tangannya dengan waktu yang semakin dekat dengan tengah malam.
Duarr, petir kembali menyambar, kilatnya yang terang menerangi seisi mobil Pak Budi dalam sekejap.
Namun, nampak ada sebuah bayangan hitam yang duduk di belakang mobil ketika petir itu menyambar. dia hanya terdiam dengan dengan sedikit menyeringai di tengah-tengah kepanikan Pak Budi pada malam itu.
Mulutnya semakin terbuka lebar, dia seperti semakin senang ketika waktu semakin dekat dengan apa yang sudah dia katakan di tempat makan itu.
“Inget buddd, ngan sababaraha jam deui nepi ka teungah peuting, omat, syarat kabeh kudu aya. (Ingat budd, hanya beberapa jam lagi sampai ke tengah malam, ingat, syarat semua harus ada.)”
Bayangan itu kembali berbisik ke arah Pak Budi yang berada di belakang kemudi. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat ketika dia mendengar suara tersebut dari belakang. Pak Budi hanya membalasnya dengan anggukan, dia terlalu takut untuk menoleh kebelakang dan menjawab apa yang dia katakan.
Tak lama, Pak Budi pun berhenti, tepatnya di sebuah pom bensin untuk mengisi mesin bensin mobilnya pada saat itu, mobil yang melaju dari tadi siang, membuat bensinnya habis dan harus terisi kembali.
Pak Budi turun dari mobil dengan tergesa-gesa, dia meminta mobil yang dia tumpangi terisi penuh agar dia bisa kembali mencari kambing yang menjadi syarat terakhir yang belum dia penuhi pada malam ini.
Sesekali dia melihat jam dinding yang menempel di sebuah bangunan di dekat pom bensin, dia semakin panik, karena kini waktu tinggal tiga jam lagi sebelum tengah malam tiba.
Di tengah-tengah kepanikan itu, tiba-tiba dia berkata kepada petugas pom bensin yang sedang sibuk mengisi bahan bakar mobilnya pada malam itu.
“Kang.”
“Itu, eee, di sekitar sini ada penjual kambing ga, atau orang yang ternak kambing?” Kata Pak Budi dengan nada yang panik.
Dia bertanya kepada operator itu sambil sesekali melihat jam dinding yang ada di dekatnya, tubuhnya yang panik dengan wajahnya yang terlihat pucat sangat terlihat jelas.
Beberapa kali dia mengusap wajahnya, menggerak-gerakan tangan dan kakinya, hanya untuk melepaskan rasa panik yang dia rasakan pada malam itu.
Operator itu terdiam sebentar, seperti sedang memikirkan jawaban atas apa yang Pak Budi katakan, sedangkan Pak Budi menunggu jawaban itu dengan rasa cemas yang dia rasakan.
“Owh iya pak, ada peternak kambing di kampung belakang pom ini, bapak tinggal masuk ke gang sebelah pom yang tembus ke sawah, nanti sekitar 200 meter ada sebuah kampung kecil disana.”
“Tanyain aja ke rumah Mang Duleh, mereka berdua punya kandang kambing di rumahnya.” Jawab operator itu sambil mencabut selang dan menempelkannya di mesin setelah mengisi full mobil Pak Budi pada malam itu.
Mendengar jawaban tersebut, Pak Budi seperti sedikit lega, dia sedikit menghela nafas dan berterima kasih kepada operator tersebut. Bahkan, dia memberi tips beberapa lembar uang atas informasi yang dia berikan.
Tak butuh waktu lama, dia kembali masuk ke dalam mobilnya, lalu menyalakannya kembali dan memarkirkannya di dekat pom bensin itu.
Dia kembali turun di sebuah gang kecil yang nampak becek akibat hujan yang masih mengguyur pada malam itu dengan derasnya.
Pak Budi nampaknya sudah tidak peduli dengan tubuhnya yang kini basah akibat hujan, dia berlari masuk ke dalam gang itu dan berharap dia menemukan apa yang dia cari selama ini.
Rasa takut akan persyaratan yang tidak terpenuhi lebih menakutkan daripada sakit akibat hujan yang terus-terusan turun tanpa henti hingga malam tiba.
Air yang menggenang di sepanjang gang kini membasahi sepatu Pak Budi, dia terlihat basah kuyup akibat hujan, Pak Budi berlari melewati persawahan di belakang pom bensin tersebut.
Tidak ada kewibawaan yang terpancar sekarang, tidak ada aura yang membuat orang lain bisa menghormatinya, semuanya seperti luntur di dera hujan, rambutnya yang basah, bajunya yang kini kotor akibat lumpur dari jalanan gang yang becek, juga sepatunya yang basah membuat dirinya kini seperti orang biasa.
Lima menit berlalu, akhirnya dia sampai di kampung yang diceritakan oleh operator bensin itu, dia sangat bersyukur karena ketika sampai, dia mendengar suara-suara kambing yang terdengar hingga ke telinganya.
Seketika, dia mencari asal suara kambing tersebut, melewati rumah-rumah warga yang ada di kampung itu, dan tak lama kemudian, dia menemukan sebuah kandang kecil yang ada di sudut kampung dengan sebuah rumah sederhana yang ada di dekatnya.
Suara kambing itu semakin lama semakin keras ketika Pak Budi datang. Entah mengapa, mereka seperti ketakutan atas apa yang dilihatnya, mereka tidak takut dengan Pak Budi yang nampaknya basah kuyup karena hujan.
Namun, dia takut dengan sosok yang ada di belakang Pak Budi, yang senantiasa mengikutinya dan seringkali menyeringai ketika waktu semakin dekat dengan tengah malam.
“Permisi, permisi, kalau ini rumah Mang Duleh.”
Pak Budi mengetuk-ngetuk pintu rumah itu, ketukannya sedikit agak kuat karena dia ingin segera membeli kambing untuk dibawa ke dalam mobilnya.
Tak lama, dia mendengar sebuah suara dari dalam, seseorang yang berjalan ke arah pintu dengan langkahnya yang pelan, dia membuka kunci rumah dengan perlahan, membukanya pintunya dan menyambut Pak Budi dengan sedikit senyuman.
Pak Budi yang melihat pemilik kambing itu, akhirnya mengutarakan maksud dan tujuan dia datang ke rumahnya, dia bertanya tentang kambing yang ada di dalam kandang, kambing berwarna hitam pekat untuk dia beli pada malam itu dengan harga yang tinggi.
Mang Duleh yang mendengar hal itu awalnya heran, karena melihat Pak Budi yang kondisinya basah kuyup, bahkan dia menolak untuk masuk ke dalam rumah karena terburu-buru atas apa yang dia lakukan.
Namun, setelah melihat kambing-kambingnya yang terus-terusan bersuara tanpa henti seperti ketakutan akan sesuatu, Mang Duleh seperti mengetahui sesuatu atas apa yang dilakukan oleh Pak Budi pada malam itu.
Mang Duleh sedikit terdiam, dia mengingat-ingat apakah ada kambing-kambingnya yang berwarna hitam pekat, dia mengangkat wajahnya, menempelkan salah satu tangannya ke arah dagunya.
Lalu, tak lama dia kembali berkata.
“Pak,” katanya dengan nada pelan.
“Mendingan Bapak milarian nyalira kambing na ka lebet, engke lamun aya anu cocok nembe ka dieu deui. (mendingan bapak nyari sendiri kambingnya ke dalam, kalau ada yang cocok baru kembali lagi kesini.)”
Pak Budi langsung mengangguk ketika mendengar jawaban itu, waktu yang semakin lama semakin dekat dengan tengah malam membuatnya langsung berlari ke arah kandang kambing itu.
Kotor, bau juga basah akibat hujan tidak dia pedulikan, dia masuk ke dalam dan mencari-cari kambing yang ada disana.
Namun, setelah mencarinya dengan seksama, dia tidak menemukan satupun kambing yang berwarna hitam, yang ada hanyalah kambing berwarna putih bercorak hitam, atau kambing berwarna hitam dengan corak putih di bagian kepala.
Pak Budi terdiam, dia seperti putus asa atas apa yang sedang dia lakukan, apalagi waktu kini tinggal beberapa jam lagi sebelum jam dua belas tiba.
Otaknya berputar dengan cepat, dia berpikir akan sesuatu yang tidak terpikirkan olehnya pada saat itu.
Seketika, dia mengambil satu kambing yang berwarna hitam dengan corak putih di bagian kepala, membawanya secara perlahan turun dari kandang dan pergi menemui Mang Duleh yang menunggu di depan rumahnya.
“Mang, aku akan membawa yang ini saja, berapa harganya.”
Mang Duleh hanya terdiam, tatapannya terlihat sangat tajam, dia seperti memandangi Pak Budi, namun apa yang dia lihat bukan sosok Pak Budi yang membawa kambing itu, namun sosok di belakangnya yang kini membuka mulutnya dengan lebar dengan gigi taringnya yang panjang seperti tertawa melihat apa yang Pak Budi lakukan.
Dia seperti merasakan firasat yang buruk ketika Pak Budi membawa kambing itu, sehingga membuat Mang Duleh menghelas nafas panjang.
Tak lama, Mang Duleh kembali berkata dengan pelan kepada Pak Budi pada saat itu.
“Teu nanaun, sawios, candak we nya, teu kedah dibayar. (Tidak apa-apa, bawa aja ya, ga perlu dibayar.)”
Hal itu tentu saja membuat Pak Budi heran, kenapa Mang Duleh tiba-tiba memberikan kambingnya tanpa harus dibayar sepeserpun.
Apalagi, harga kambing itu tidaklah murah, namun Mang Duleh langsung memberikannya saja tanpa memberitahu harganya.
“Ga, ini berapa harganya pak, masa tiba-tiba mang memberikannya begitu saja.” Kata Pak Budi dengan nada yang heran.
Namun, Mang Duleh kembali menggelengkan kepala, bahkan kini dia mengangkat tangannya untuk menolak uang yang akan Pak Budi berikan atas kambing yang dia bawa.
“Teu kedah, candak we, sanes tadi bapak teh buru-buru, (Ga usah, bawa aja, bukannya bapak itu buru-buru.)” Katanya sambil mengangkat kedua tangannya.
“Nu pasti, Mang mah ngan ngingetan, cing salamet we nya (yang pasti, Mang hanya mengingatkan, semoga kamu selamat.)”
Mang Duleh tiba-tiba berdiri, dia kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rumah dengan rapat, bahkan dia mengunci pintunya dan mematikan lampu rumahnya.
Hal itu membuat Pak Budi heran atas sikap Mang Duleh pada malam itu. Namun beberapa menit dia terdiam di rumah Mang Duleh, dia baru sadar bahwa dia harus segera melakukan sesuatu sebelum tengah malam.
Sehingga, dia kembali berlari, membawa kambing itu melewati persawahan yang luas hingga sampai ke tempat mobilnya yang terparkir.
Dengan tergesa-gesa, dia membuka bagasi mobilnya, seperti sedang mencari sesuatu di antara tumpukan sesajen yang sudah dia persiapkan, dia menyingkiran sesajen itu dan membuka sebuah kotak peralatan yang ada di dekat kursi belakang.
“Syukurlah, sepertinya isinya masih ada.”
Pak Budi mengambil sebuah kaleng pilox berwarna hitam yang ada di dalam dus mobilnya, pikirannya sudah sangat kacau, sehingga dia melakukan segala cara agar persyaratan untuk ritual pada malam ini harus terkumpul semua.
Entah apa yang ada di dalam pikirannya, corak putih yang ada di kepala kambing itu dia tutupi dengan pilox berwarna hitam, dia sengaja melakukan hal tersebut agar kambing yang dia bawa dari Mang Duleh kini menjadi warna hitam pekat seperti sebuah persyaratan yang harus dia lengkapi pada malam itu.
Cat pilox yang berisi setengahnya itu dia semprotkan semuanya ke arah kepala kambing yang ada di dekatnya, membuatnya menjadi hitam pekat sesuai dengan badannya yang berwarna hitam.
Rasanya sedikit lega, karena kini semua persyaratan yang ada sudah dia penuhi sekarang. Kini, yang tersisa adalah ritual, sebuah ritual persembahan kepada makhluk yang sudah melakukan perjanjian dengannya, sehingga membuat dirinya bisa sukses seperti ini dalam waktu dua tahun saja.
***
Hujan yang terus mengguyur dari sore, rupanya belum berhenti, waktu sudah menunjukan jam sebelas lebih tiga puluh menit. Namun belum ada tanda-tanda bahwa hujan akan segera berhenti.
Udara dingin semakin menusuk, juga dengan suasana yang mencekam kini Pak Budi rasakan di sebuah hutan di selatan kota Bandung, sebuah tempat yang sering di datangi oleh orang-orang yang ingin melakukan jalan pintas dalam hidupnya.
Seperti yang kini sedang Pak Budi lakukan di tempat ini, dia mengeluarkan semua persyaratan ritual yang harus dia jalani sebelum jam dua belas malam pada malam ini.
Buah-buahan, ayam cemani, kambing yang tadi dia beli, dia bawa semua ke tempat itu.
Tidak ada kuncen ataupun orang yang menemaninya, dia lakukan sendirian di tengah hujan yang masih mengguyur tempat tersebut.
Tubuhnya semakin basah kuyup di terpa hujan, namun tampaknya dia tidak peduli, karena ini adalah sesuatu yang harus dia lakukan agar karirnya terus berkembang dari tahun ke tahun.
Duarrr
Suara petir kembali menyambar, hutan yang lebat itu kini terlihat jelas, tak jauh dari tubuh Pak Budi yang kini sedang sibuk menata buah-buahan di sebuah nampan kuningan, ada sebuah altar kecil yang terbuat dari batu yang sudah berlumut.
Altar kecil itu seperti sebuah tangga yang penuh dengan sesajen di sekelilingnya, dupa-dupa yang awalnya menyala kini basahi oleh hujan, juga sesajen-sesajen busuk kini meninggalkan bau yang tak sedap dan tak enak untuk dilihat oleh mata.
Tapi, itulah yang para manusia lakukan, saking banyaknya orang yang putus asa dan menyerah dalam hidupnya, mereka rela menjual dirinya dan menjadi pelayan bagi penghuni altar ini.
Dia melacurkan diri dengan persyaratan yang sulit, hanya untuk sebuah karir atau kekayaan yang semu dalam hidupnya.
Begitu pula dengan Pak Budi, selesai dirinya menata sesajen, dia mengambil ayam cemani, memotong lehernya dengan pisau kecil yang dia bawa, dan menuangkan darahnya ke sebuah mangkuk kecil yang sudah dia sediakan sebelumnya.
Darah dari ayam cemani itu dia tampung disana, bersamaan dengan air hujan yang masih mengguyur tempat itu dengan derasnya.
Tubuhnya menggigil, giginya di gertakan karena saking dinginnya hawa yang ada di sekitar hutan tersebut, namun dia tidak peduli, dia terus saja memotong ayam cemani itu dan mengeluarkan darahnya hingga tak bersisa.
“Sekarang, tinggal kambingnya.” kata Pak Budi, yang tangannya kini berlumuran darah.
Duarrr
Suara petir itu menyambar dengan kerasnya, bahkan kali ini membuat pepohonan tinggi yang ada di sekitar bergetar sehingga membuat daun-daun yang ada di atas sana berjatuhan ke arah Pak Budi pada saat itu.
Dia berjalan mendekati kambing yang sudah dia beli di dekat pom bensin, kambing yang sebenarnya tidak sesuai dengan persyaratan yang harus dia siapkan, namun dia mengakalinya sehingga seluruh tubuhnya kini menjadi hitam pekat.
Kambing itu seperti panik, dia menggerak-gerakan tubuhnya seperti ingin melepaskan ikatannya, matanya melirik ke kiri dan ke kanan, seperti sedang melihat sesuatu yang muncul di antara pepohonan yang gelap itu.
Tentu saja, hal itu tidak di sadari oleh Pak Budi, atau mungkin, lebih tidak perduli dengan apa yang sedang mengawasinya.
Mata-mata merah yang menyala secara perlahan-lahan muncul di sela-sela pepohonan, mengawasi Pak Budi dari kejauhan, mereka tersenyum, mereka menyeringai, karena ada manusia bodoh yang kini muncul di depan mereka, dan menyerahkan sesuatu sebagai sesembahan bagi mereka semua yang ada disana.
Pisau yang masih berlumuran darah ayam, seketika dia tancapkan ke arah leher dari kambing itu. Matanya melotot tajam, dia ingin segera mengakhiri ritual itu dan segera pergi dari tempat ini dengan segera.
Darah yang keluar dari kambing itu dia tampung kembali ke sebuah bejana kuningan yang sudah dia siapkan, dia mengeluarkan seluruh tenaganya agar bisa membunuh kambing itu dengan tubuhnya yang sedikit gemuk itu.
Tentu saja, Pak Budi tidak tahu cara menyembelih hewan dengan benar, dia hanya menusuk-nusukan pisaunya ke arah leher dari kambing itu sehingga membuatnya meronta-ronta.
Darah yang seharusnya mengucur ke bejana kini berjatuhan kemana-mana, membasahi daun-daun kering yang ada di tanah sehingga warna merah yang pekat kini terlihat dengan jelas, bersamaan dengan air hujan yang tercampur begitu saja disana.
Pak Budi yang berwibawa, yang dihormati oleh semua karyawannya, juga Pak Budi yang menjadi kunci sukses dari perusahan yang dia pegang kini menjadi pribadi yang berbeda.
Sebuah kepribadian yang hanya muncul di tempat ini, sebuah pribadi yang serakah, yang menghalalkan segala cara agar dirinya bisa naik ke posisinya sekarang. tentunya, dengan bantuan mahluk yang sudah melakukan perjanjian dengannya.
Dia ingat, bagaimana dia menyingkirkan kawan-kawannya satu persatu sehingga dia bisa naik secara perlahan hingga jabatannya yang sekarang, dari mulai dibuat tidak betah sehingga dirinya mengundurkan diri, lalu dibuat sakit sehingga harus keluar dengan terpaksa. Juga, seseorang yang harus meninggal karena kecelakaan kerja, dan Pak Budilah yang kini menggantikannya.
Kambing yang sudah kehilangan darah itu dia biarkan begitu saja di sana, dia hanya membawa darah kambing yang sudah dia simpan di dalam bejana untuk dipersembahkan di dekat altar kecil yang berada tak jauh dari tempatnya.
Dia menata nampan yang berisi buah-buahan, kopi hitam yang diseduh dengan air termos yang dia bawa, juga darah ayam dan darah kambing yang sudah dia persiapkan.
Setelah semuanya di tata dengan rapi, dia kemudian bersila, matanya terpejam secara perlahan di tengah hujan.
Mulutnya bergumam, seperti sedang membacakan mantra untuk memanggil sesosok mahluk yang sudah membantunya pada saat ini.
Dia membacakan mantera itu dengan serius, kedua kakinya disilangkan dengan kedua tangannya yang diangkat ke atas seperti sedang menyembah sesuatu.
Namun,
Entah mengapa, setelah hampir sepuluh menit berlalu, altar tempat dia melakukan ritual terasa hening, dia tidak merasakan kehadiran dari makhluk yang dia panggil.
Tidak ada angin besar yang menerpa, atau sebuah perasaan bahwa sosok itu muncul dengan wujudnya yang besar.
Yang ada, hanyalah sebuah bayangan yang setiap hari mengikutinya di belakang sana, berdiri menatapnya dari kejauhan dengan mata-mata merah yang menyala di balik pepohonan yang gelap gulita.
Pak Budi nampak heran, dia terus-terusan bergumam tanpa henti hingga tak terasa waktu sudah melewati tengah malam. Apalagi, kini hujan sudah mulai berhenti secara perlahan, menyisakan angin dingin yang membuat tubuh Pak Budi bergidik kedinginan.
Pak Budi menyangka bahwa ritualnya sudah selesai, buktinya hujan yang begitu derasnya kini sudah terhenti secara perlahan ketika dia membacakan mantranya.
Pak Budi kemudian bersujud, menempelkan bahunya di bawah altar tersebut, lalu berdiri dan berjalan kembali ke arah mobil dengan perasaan lega.
Rasa khawatir dan rasa takut yang tadi dia rasakan kini menghilang sekejap, wajahnya yang panik kini kembali menjadi normal. Dia kembali ke dalam mobil dan menyalakan mobil tersebut untuk meninggalkan tempat itu dengan segera, karena dia harus bekerja kembali di esok hari seperti biasanya.
Mobil yang awalnya melaju kencang kini nampak santai, semua syarat juga ritual yang rutin dia lakukan beberapa bulan sekali dia laksanakan, sekarang bagaimana caranya dia akan meniti karir lebih tinggi dari ini, tentunya dengan bantuan mahluk yang sudah melakukan perjanjian dengannya.
Dia duduk di belakang kemudi sambil tersenyum, pikirannya melayang-layang tentang karirnya yang akan menanjak lagi sekarang.
Namun.
Di tengah-tengah lamunannya itu.
Tiba-tiba
Ckitttt
Mobil Pak Budi mendadak berhenti, ketika dia melihat sosok bayangan yang selalu mengikutinya muncul di tengah-tengah jalan, bayangan hitam yang selalu membantunya itu kini terlihat tertawa, membuka mulutnya dengan lebar sehingga gigi taringnya terbuka lebar.
Di belakang bayangan hitam itu, ada bayangan lain yang lebih besar muncul, bayangan yang tingginya melebihi tinggi Pak Budi, bahkan melebihi mobil yang sedang dia kendarai sekarang.
Dia adalah sosok yang Pak Budi panggil, sosok yang seharusnya muncul di altar ketika Pak Budi membacakan mantera.
Tentu saja, Pak Budi keheranan atas apa yang dia lihat, kenapa kedua makhluk itu tiba-tiba muncul dan menghalangi mobilnya untuk melaju meninggalkan tempat ini dengan segera.
Apalagi, bayangan yang seringkali muncul di belakangnya dan kini muncul di depan mobilnya, tiba-tiba berkata secara pelan pada saat itu.
“Buddd, bangsa aing moal bisa di bobodo, maneh geus ngabohong ka bangsa aing, ayeuna, maneh apalkan lamun syarat teu ka cumponan resikona naun? (Budd, bangsaku tidak bisa kamu bohongi, kamu sudah berbohong ke bangsaku, sekarang kamu tahu kan kalau syarat tidak terpenuhi resikonya apa?)”
Bayangan itu tiba-tiba tertawa, dia semakin membuka mulutnya dengan sangat lebar, gigi taringnya yang putih kini terlihat jelas, sedangkan bayangan besar yang berdiri di belakangnya hanya terdiam, dia seperti melihat Pak Budi saja tanpa melakukan sesuatu kepadanya pada saat itu.
Namun.
Pak Budi yang heran atas ucapan dari bayangan itu, nampaknya tidak menyadari sesuatu, bahwa pohon besar yang tepat berada di sebelah mobilnya secara tiba-tiba tumbang, dan menghantam mobil yang sedang Pak Budi kendarai dengan keras.
Krakkk
Batang pohon yang besar jatuh tepat ke area depan mobil, dimana tanpa Pak Budi sadari, batang pohon itu langsung menimpa kepala sehingga membuat dirinya tidak selamat.
Tubuhnya remuk, kepalanya hancur, dengan darah yang mengucur keluar dari sela-sela mobil yang kini tidak berbentuk lagi.
Pak Budi seketika tidak bernyawa di tengah hutan, dengan mobilnya yang hancur seketika.
Tidak ada yang bisa Pak Budi lakukan, dia tidak bisa menyelamatkan dirinya, karena ketika dirinya sudah melakukan perjanjian dengan mereka, cepat atau lambat, jiwa dan nyawa dirinya sudah ada di dalam genggamannya.
Sehingga, karir yang dia pupuk seketika lenyap, kekayaan yang dia kumpulkan kini tidak berguna setelah tubuhnya tidak bernyawa lagi.
Tubuh Pak Budi yang hancur tertimpa pohon besar itu, akhirnya diketahui oleh warga sekitar ketika pagi tiba, tepatnya ketika para warga yang melintas kesana menemukan mobil Pak Budi yang tidak berbentuk sehingga para warga bisa segera mengevakuasi tubuh Pak Budi dengan segera.
Namun, dibalik itu, jiwa Pak Budi nampaknya tidak bisa di selamatkan, meskipun tubuhnya sudah dibawa pulang untuk dikuburkan, namun jiwanya masih terjebak di sana, menjadi budak dari para mahluk yang tinggal di hutan itu dengan siksaan yang amat perih dari mereka, dan itu adalah konsekuensi yang harus mereka dapatkan apabila mereka melakukan perjanjian dengan para makhluk yang mereka sembah atas sebuah jabatan semu yang mereka dapatkan dari hidupnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
