Free - One Shot - Cerita 1 [ff]

12
0
Deskripsi

Cerita Gratis 1 

Tolong Bantu Like dan Share nya ya untuk cerita ini, cerita ini sebelumnya pernah di up di facebook aku, jangan lupa di add dan follow ya untuk sosmed aku :

Buat yang mau beli cerita lama, cerita promo, atau sekedar kasih masukan dan kasih ide bisa langsung chat aku yaaa… 

Tag : kakak-adik, saputangan handuk, femdom, femsub, handuk

Cast : Shinta & Dini

Prolog : Baca langsung aja yaaa….

JANGAN LUPA DI LIKE SAMA SHARE YAAA…Bikin cerita itu ga gampang, butuh waktu yang ga sebentar, butuh otak yang dipake mikir, butuh kopi sama matcha juga buat nemenin bikin cerita jadi tolong hargailah cerita-cerita yang aku post secara gratis dengan bantu like sama share di grup yang punya ketertarikan sama dengan cerita ini…

Terimakasih.

.

Pulang sekolah enaknya memang istirahat dan rebahan di kasur tercintah. Namun nasib aku sangat bertolak belakang dengan yang aku impikan. Mempunyai kakak yang demen banget berantakin rumah adalah suatu hal yang sangat harus aku tabahi sejak dini.

Dia sudah kuliah dan sekarang juga kerja di cafe. Dia terlanjur masuk universitas dekat sini sebelum mamah dan papah beli rumah baru di daerah Bandung. Alhasil dia jadi tinggal disini awalnya mau sendiri, namun pas pengen pindah ternyata aku keterima di salah satu SMA Negeri terbaik di daerahku dan akhirnya aku memutuskan untuk tinggal berdua dengan kakakku disini.

Oh iya, namaku Shinta.

Dan kakakku bernama, Dini.

Aku sangat dekat dengan kakakku sejak kecil, bahkan sampai sekarang dia sangat dekat denganku.

Sampai pada saat dimana aku pulang sekolah, dan sudah ganti baju. Aku mengenakan celana pendek dan juga kaus oversized yang panjangnya menutupi pahaku.

Aku sedang merapihkan ruang tengah yang begitu berantakan bak kapal pecah. Berbagai macam selimut yang bertebaran, bantal dan guling yang sudah tidak memakai bajunya, serta berbagai sampah snack.

Padahal kemarin baru saja aku bereskan, namun sekarang sudah kembali seperti semula saat belum di bersihkan.

Dan sore pun tiba, jam dimana waktunya kakakku pulang. Aku sedang bersantai di kamar menonton acara tv yang isinya kartun, dan tiba-tiba saja kakakku masuk ke kamarku. Dia sudah mandi, wangi sabunnya sangat jelas tercium. Dia mengenakan onesie panda lalu duduk di kasurku.

“Dek, dek, dek.” panggilnya.

“Apaan?”

“Kakak baru beli alat pijet, kamu mau nyobain gak?” kata dia sambil nyembunyiin sesuatu di punggungnya.

“Wahh, boleh tuh shinta cobain. Pas banget badan shinta pada pegel abis beresin nih rumah.” ujarku antusias.

"Tapi biar kayak yang di Instagram-instagram ga sih? biar kayak treatment gitu?" usulnya.

"Hmmm, boleh tuh. Jadi shinta harus gimana?" tanyaku.

"Kamu buka baju sana, pake jubah mandi aja." suruhnya.

"Okehh." aku langsung sigap membuka semua pakaianku, lalu memakai jubah mandiku yang berwarna pink. Karena kupikir ini dengan kakakku, jadi aku tidak memakai apa-apa di balik jubah mandi ini.

Saat aku kembali, di kasur sudah digelar sebuah handuk putih di bagian tengah. Dan kak dini sedang memegang alat berbentuk mic dan juga sebuah mainan telur plastik dengan dua kapsul kecil yang tersambung dengan kabel, dan juga ada benda telur yang sama namun kabel yang tersambung hanya satu dan kapsulnya cukup besar.

"Tu alat pijetnya kak?" tanyaku yang sangat bingung karena pertama kali ngeliat benda kayak gitu.

"Iya dek, dah kamu tiduran aja dulu disini." suruh kakakku menunjuk ke handuk yang sudah ia bentangkan.

Aku menurut saja dan langsung tiduran di sana, dia nyuruhnya tengkurep yang lagi" aku hanya mengikuti instruksinya.

"Mata adek di tutup ya, sama mulutnya juga." lah, aku masang muka bingung.

"Kenapa gitu?" tanyaku.

"Gak tau, instruksi dari tokonya pas kakak beli." jelasnya dengan wajah yang kikuk.

"Yaudah deh." hahh, mau bagaimana lagi.

Dia mengambil handuk putih dan handuk pink. Dia melipatnya agar tidak terlalu lebar. Pertama dia gunakan handik pink untuk menutup mataku. Lalu dia menempelkan handuk putihnya di bibirku.

"Buka dek mulutnya!" suruhnya.

"Hah?? kok aneh sih. Perasaan shinta ini kan mau di pijet kenapa harus di giniimmppphhhhh." tanpa memperdulikan ocehanku, kak dini langsung menyumpal mulutku.

"Ini karena ada beberapa bagian otot yang harus sedikit kenceng jadi kakak iket pake scarf ya dek." ujar kak dini yang menarik kedua lenganku ke belakang.

"Hhmmphhh hhhmphhhh." aku menolak perbuatan itu, namun tenaga kak dini lebih besar. Ditambah lagi dulu dia sempat ikut kegiatan Pramuka cukup lama di SMA nya.

Dan kini lenganku berakhir terikat menyatu ke belakang. Dia mengikat di atas lengan jubah mandi nya, jadi pergelangan tanganku tidak terlalu sakit. Lalu kini dia beralih ke kedua kakiku. Dia mengikat kaki kananku menyatu dengan paha kanan. Dia mengikat dengan simpul yang cukup kuat. Begitu juga dengan kaki kiriku.

Setelah kakiku sudah terikat terlipat seperti ini, dia menaruh benda yang kuyakini adalah alat yang berbentuk mic. Dia menaruh di selangkanganku, dengan kepala alat itu menempel persis di depan vaginaku yang tak tertutup apapun.

Lalu dia menghimpit mic itu dengan kedua pahaku, dan kini dia mengikat dengkulku menyatu dengan simpul yang kini begitu kuat sehingga membuat dengkulku sedikit sakit. Dia juga mengikat pahaku dengan scarf.

"Hhmmphhh hhhmphhh hhhmphhh." protesku karena ini bukan malah kayak mau di pijit, malah kayak orang diculik.

Kini ikatan dipergelangan tanganku disambung ke ikatan dengkulku. Sehingga tanganku tidak bisa ku tarik ke atas. Jika ku tarik, itu akan membuat dengkulku sakit karena ikatan yang begitu kencang. Aku semakin panik dan mulai menggerakkan tubuhku dengan gelisah, berusaha melepaskan diri, tapi ikatan itu begitu kuat. Kak Dini hanya tersenyum melihatku, seakan menikmati situasi ini. Desahan tertahan keluar dari mulutku, namun semuanya teredam oleh handuk yang masih menutup rapat bibirku.

"Hhmmpphh... hhhmmfff..." Suaraku terbungkam sempurna oleh handuk putih yang masih menempel erat di mulutku. Aku mencoba menggoyangkan tubuhku, tapi semakin aku bergerak, semakin kuat ikatan pada tanganku menarik dengkulku, membuat rasa tidak nyaman semakin intens.

"Tenang aja, Dek. Kakak janji, ini nggak akan lama kok," katanya dengan nada menenangkan, tapi aku masih merasa bingung dan takut.

Dia kemudian menyalakan alat yang berbentuk mic tadi. Getaran halus mulai terasa dari benda itu, dan aku langsung merasakan sensasi aneh di sekitar area selangkanganku. Getaran itu semakin kuat, menghantam titik-titik sensitif di tubuhku. Aku mengerang, tubuhku bergetar mengikuti ritme alat yang Dini tempelkan di sana.

"Mmmpphhh... hhhmmmffff..." desahanku semakin intens seiring dengan alat itu terus bergetar di antara pahaku. Aku mencoba merapatkan pahaku lebih erat, tapi ikatan di dengkulku dan pahaku yang kuat membuatku tidak bisa bergerak dengan bebas.

Sementara itu, Kak Dini tetap tenang, sesekali memperhatikan reaksiku sambil mengencangkan ikatan pada tanganku agar aku benar-benar tidak bisa bergerak.

"Adek, pasti enak kan? Nggak apa-apa, lepaskan aja," ucap Dini, suaranya terdengar samar-samar di tengah suara getaran yang semakin intens.

Aku tidak bisa menolak lagi. Tubuhku sepenuhnya berada di bawah kendali kakak Dini. Getaran itu semakin mengguncang tubuhku, dan aku hanya bisa menerima sensasi yang terus menyerang tanpa henti. Meskipun awalnya aku menolak, perasaan aneh dan nikmat mulai merayap di sekujur tubuhku.

"Mmmmpphhh... aaahhhmmmpp..." aku berusaha memprotes lagi, tapi mulutku tetap terbungkam oleh handuk. Suaraku hanya keluar sebagai gumaman teredam yang membuat Kak Dini tersenyum puas.

Kak Dini terus memperhatikan reaksiku dengan tatapan yang semakin intens. Dia terlihat menikmati setiap gerakanku yang terbatas karena ikatan, desahanku yang teredam, dan ketidakberdayaanku di bawah kontrolnya. Perlahan, dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah saputangan handuk berwarna biru tua dengan motif garis-garis kecil berwarna putih. Handuk itu tampak tebal dan lembut, dan aku bisa melihat dia menggulungnya dengan rapi sebelum menuangkan cairan dari sebuah botol kecil transparan ke atasnya. Cairan itu menetes perlahan, membasahi sebagian besar permukaan handuk.

Tatapan licik kak Dini membuatku semakin panik. 

"Adek pasti suka yang ini," ucapnya dengan senyum penuh kepastian. "Ini akan menambah kenikmatanmu lebih dari yang kamu bayangkan." 

Aku hanya bisa memandangi kak Dini dengan mata yang tertutup handuk, namun ketegangan yang kurasakan semakin bertambah. Cairan yang ia tuangkan tampak mencurigakan, dan aku mulai merasakan ketakutan bercampur rasa penasaran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kak Dini mendekatkan saputangan handuk biru tua itu ke wajahku. Aroma yang menyeruak segera memenuhi ruang di sekitarku. Aroma manis dan sedikit tajam, seolah-olah ada campuran herbal dan bunga yang mendalam. Namun di balik aroma itu, ada sesuatu yang lebih aneh menenangkan namun menggoda, seolah-olah mengundang tubuhku untuk merespons secara otomatis.

"Aprodisiac, Dek," bisik Dini di telingaku, suaranya terdengar menggoda. "Ini akan merangsang tubuhmu, membuatmu semakin sensitif dan peka terhadap setiap sentuhan."

Aku terkejut, mencoba menggelengkan kepala, tapi gerakanku terbatas. Sebelum aku bisa melakukan apa-apa, kak Dini dengan cepat membekapkan saputangan handuk yang sudah dibasahi aprodisiac itu ke mulut dan hidungku, menggantikan handuk putih yang tadi menutup bibirku.

"Hmmmppphhh... hhhmmmmfff..." erangan tertahan keluar dari mulutku, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan. Handuk biru tua itu kini sepenuhnya menutupi hidung dan mulutku, sementara aroma aprodisiacnya semakin kuat menguasai pikiranku. Setiap tarikan napas yang aku ambil membawa masuk zat itu lebih dalam ke tubuhku, membuat tubuhku mulai merespons dengan cara yang tak bisa kucegah.

Aprodisiac itu membuat kepalaku sedikit berputar, tubuhku terasa ringan, dan sensasi geli bercampur kenikmatan mulai menyebar ke seluruh tubuh. Getaran alat di antara pahaku yang tadi sudah terasa intens kini semakin mengguncang tubuhku dengan lebih keras, setiap sentuhan terasa sepuluh kali lebih kuat. Jantungku berdetak lebih cepat, kulitku terasa panas, dan setiap desahan yang keluar dari mulutku terdengar lebih intens meskipun teredam oleh handuk.

"Hhhmmmppphhh... aaahhhhmmmpphhh..." aku hanya bisa mendesah pasrah di bawah kontrol kak Dini, tubuhku tak bisa berhenti merespons zat tersebut. Semua rasa yang aku rasakan menjadi lebih mendalam nikmat, menenangkan, namun di saat yang sama membuatku kehilangan kendali penuh atas diriku sendiri.

"Bagus kan, Dek? Rasain aja, jangan dilawan," ucap kak Dini sambil sesekali mengganti posisi alat itu di selangkanganku, membuat getarannya terus-menerus menghantam titik-titik sensitif.

Dalam kondisi yang tak bisa aku lawan, aroma handuk biru tua dan aprodisiacnya kini sepenuhnya menguasai tubuh dan pikiranku.

Tubuhku semakin memanas seiring detik berlalu, seolah tiap sel kulitku bereaksi terhadap getaran alat pijat yang kak Dini letakkan di antara pahaku. Setiap kali alat itu bergetar, rasanya semakin intens dan menusuk, getarannya merambat melalui tulangku hingga membuat seluruh tubuhku gemetar tanpa henti. Aku tak kuasa melawan, seolah rasa pasrah ini justru membuat tubuhku semakin menerima dan menikmati sensasi yang tak bisa aku cegah.

"Hmmmphhh... hhhhmmpphh...!" eranganku semakin keras, teredam oleh saputangan handuk biru tua yang masih menempel erat di mulut dan hidungku. Aroma aprodisiac itu terus menghantam pikiranku, membuat kesadaranku sedikit kabur tapi tetap terfokus pada rasa yang mengalir di tubuhku.

Kak Dini tersenyum licik di sudut mataku, tampak menikmati betul apa yang sedang terjadi. Dia duduk santai di sampingku, pandangannya tajam, tapi jelas penuh dengan kepuasan melihatku berada di bawah kendalinya. Tangannya yang memegang remote alat getar bergerak perlahan, dan dengan suara berbisik yang sangat dekat di telingaku, dia berkata, "Kita tambah lagi, ya, Dek... Biar lebih terasa."

Aku berusaha menggelengkan kepala, mencoba menolak, tapi tubuhku malah merespons sebaliknya. Kak Dini tanpa ragu menekan tombol pada alat tersebut, dan seketika itu juga, getarannya melonjak ke tingkat maksimal. Seluruh tubuhku langsung bergetar hebat, getaran yang tadinya sudah kuat kini berubah menjadi gelombang yang sangat intens, menghantam titik-titik paling sensitif di tubuhku.

"Hmmmpphhh... hhhhmmphhhhh!" jeritanku keluar teredam, tapi tak bisa ku tahan. Erangan yang kutahan sepanjang waktu kini meledak tak terkendali, tubuhku melengkung ke belakang, mencoba melawan tapi malah semakin tenggelam dalam rasa yang tak tertahankan. Getaran itu terasa menyebar seperti arus listrik, mulai dari selangkangan hingga ke punggung, menyusup ke setiap ototku. Setiap getaran membuatku ingin berteriak lebih keras, tapi saputangan di mulutku menahan semua suaraku menjadi erangan berat.

Mata kak Dini berbinar puas, senyum di bibirnya semakin lebar. Dia terlihat benar-benar menikmati saat tubuhku bergetar hebat di bawah kontrol alat yang dia atur. "Bagus... Lihat kan, Dek, nikmat kan?" suaranya terdengar halus, tapi penuh kendali. Tangannya mengelus lembut pahaku, memperkuat sensasi getaran yang membuat seluruh badanku terperangkap dalam pusaran kenikmatan. Kak Dini semakin mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke telingaku sambil berbisik, "Nggak lama lagi, kan, Dek?"

Aku hanya bisa mengangguk pasrah, tubuhku gemetar tanpa kendali. Sensasi itu semakin memuncak, gelombang demi gelombang kenikmatan mulai menggulung tubuhku hingga tak bisa lagi ditahan. Setiap getaran alat di antara pahaku seperti ledakan kecil yang terus menerus terjadi, seakan tubuhku dipaksa untuk terus menikmati tanpa jeda. Nafasku berat dan terputus-putus di balik bekapan saputangan handuk, sementara tubuhku meronta kecil karena sensasi yang terlalu kuat.

"Hmmmphhhh... aaahhhhmmphhhh...!" teriakanku semakin keras, suaraku tertelan di balik handuk, tapi rasanya seolah akan meledak keluar kapan saja. Kak Dini hanya tertawa kecil, ekspresinya puas, seolah dia tahu bahwa sebentar lagi aku akan mencapai puncaknya.

Getaran semakin kuat, dan akhirnya, tubuhku tak lagi mampu menahan, tubuhku tegang, punggungku melengkung, dan dalam hitungan detik, aku terhempas ke dalam ledakan yang tak bisa ku lawan, tubuhku mengejang. Sementara erangan tertahan yang keluar dari bibirku berubah menjadi napas yang tak teratur. 

"Hhhhmmpphhhhh... hhhhmmmmfff...!"

Tubuhku terasa sangat lemas setelah ledakan kenikmatan yang baru saja menghantam. Nafasku terengah-engah, tersendat di balik saputangan yang masih menyumpal mulutku, sementara hanya suara erangan kecil yang bisa aku keluarkan. “Hhhhmmpphhh… hhhmmffhhh…” suara itu terdengar serak dan terputus-putus, sisa-sisa energi dari tubuh yang seakan habis terkuras.

Kak Dini perlahan mematikan alat pijat yang masih menempel di selangkanganku. Aku bisa merasakan getarannya berhenti, tapi tubuhku masih bergelombang dengan sensasi yang tersisa. Kak Dini hanya tersenyum kecil, matanya berbinar penuh kepuasan, seolah menikmati melihatku dalam kondisi lemah dan tak berdaya. 

Tanpa banyak bicara, dia beranjak mengambil sesuatu dari tasnya, dan aku melihatnya kembali membawa botol yang berbeda, cairan lain yang aku tidak kenali. Aku ingin bertanya, tapi mulutku masih teredam oleh handuk. Kak Dini kemudian mengambil saputangan handuk biru tadi yang sebelumnya telah ia teteskan dengan aprodisiac, lalu menuangkan cairan baru dari botol itu ke atas handuk tersebut.

Perasaan aneh mulai muncul di benakku campuran antara penasaran dan ketakutan. Tubuhku sudah sangat lemas untuk melawan, dan aku hanya bisa menatapnya dalam diam. Kak Dini bergerak cepat, dia dengan cekatan membuka semua kain yang menutup mulutku, menarik sumpalan handuk putih yang selama ini menahan suaraku. Nafasku langsung terasa lega, paru-paruku akhirnya bisa mendapatkan udara segar setelah sekian lama terhalang. Aku terbatuk kecil, berusaha mengembalikan ritme nafas normal. 

Namun kelegaan itu tidak bertahan lama.

Kak Dini, dengan senyum licik yang sama, menyiapkan handuk biru itu kembali. Setelah meneteskan cairan dari botol yang aku tak tahu apa isinya, dia dengan lembut membekapkan handuk tersebut ke mulut dan hidungku lagi, lebih erat kali ini. 

“Tenang, Dek… Sssttt… shhhhh…” suara Kak Dini terdengar sangat lembut, seolah sedang menenangkanku. “Tarik nafas yang dalam, hirup pelan-pelan… Ini akan bikin kamu istirahat dengan nyenyak…”

“Aahhh… hhmmfff…” Aku mencoba memprotes, tapi tubuhku sudah terlalu lemah. Begitu aroma handuk itu mulai masuk ke hidungku, aku langsung merasakan efeknya. Aromanya begitu pekat, ada sedikit bau kimia bercampur dengan wangi aprodisiac yang masih tersisa di serat handuk itu. Setiap kali aku menarik nafas, aroma itu semakin kuat, dan aku mulai merasa ringan, seakan otakku perlahan-lahan tenggelam ke dalam kabut.

“Ssstt… bagus, Dek… Tarik nafas yang dalam lagi,” suara Kak Dini semakin lembut, dia mendekatkan bibirnya ke telingaku, berbisik, “Tertidur aja, istirahat… Semua baik-baik aja…”

Aroma dari handuk itu semakin mendalam, membuat kepalaku terasa semakin berat. Mataku mulai kabur, pandanganku berputar-putar, tubuhku semakin tidak merasakan apapun kecuali kelelahan yang menyelimuti. Kak Dini terus membekapkan handuk tersebut, menahan nafas terakhir yang bisa kuhirup.

“Shhhhh… Itu dia… Bagus, Dek, terus hirup… pelan-pelan…” suaranya semakin jauh, seperti memudar bersamaan dengan kesadaranku.

Aku berusaha melawan rasa kantuk yang semakin dalam, tapi tubuhku sudah tidak mampu merespon. Nafasku semakin pelan, tertahan di balik handuk yang masih erat menempel di wajahku. Aroma yang menenggelamkan ini, lama kelamaan, membuat mataku tertutup perlahan. Napasku semakin teratur, tubuhku semakin rileks, dan akhirnya… semuanya menjadi hitam.

Aku pingsan, tenggelam dalam tidur yang penuh dengan aroma handuk itu.

Shinta terbangun dengan perasaan sedikit bingung. Pandangannya kabur sejenak sebelum akhirnya fokus ke langit-langit kamarnya. Dia merasa tubuhnya sudah kembali ringan, tidak ada lagi sensasi terikat atau tekanan di sekujur tubuhnya. Dia menggerakkan tangannya, menyadari bahwa dia sudah mengenakan pakaian tidur biasa sebuah kaus dan celana pendek bukannya jubah mandi seperti sebelumnya.

Saat dia duduk di atas kasur, Shinta melihat sebuah catatan kecil tergeletak di samping bantalnya. Dengan rasa penasaran, dia meraih note itu dan mulai membacanya.

"Terima kasih sudah mau mencoba alat pijat yang kakak beli, Dek. Maaf kalau tadi agak keterlaluan. Kakak cuma pengen kasih kamu pengalaman yang berbeda. Kalau kamu nggak suka, kakak minta maaf ya."

Shinta menatap catatan itu dalam diam, senyum tipis tersungging di bibirnya. Bukannya marah atau merasa tidak nyaman, yang ada di pikirannya justru hal yang sangat bertolak belakang. Dia ingin merasakan lagi. Semua sensasi tadi dari setiap sentuhan, ikatan, hingga tekanan yang membuat tubuhnya begitu terjebak dan tidak berdaya memicu rasa penasaran dan keinginan yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. 

Aroma handuk yang dibekapkan di wajahnya tadi, getaran alat yang menghantam tubuhnya, hingga setiap suara napas dan erangan yang tak bisa dia kendalikan, semua itu terus berputar di kepalanya. Sebuah pengalaman yang tidak hanya membuatnya tertantang, tetapi juga memunculkan sesuatu yang baru dalam dirinya.

Shinta menggenggam note itu lebih erat, sementara pikirannya mengembara ke apa yang terjadi tadi. Bagian dari dirinya menginginkan lebih, sesuatu yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat hanya dengan memikirkannya.

“Apa… kakak juga akan melakukannya lagi?” gumamnya pelan sambil memandangi pintu kamar yang tertutup.

Keinginan untuk merasakan sensasi yang sama mulai tumbuh. Entah bagaimana, Shinta merasa ada bagian dari dirinya yang kini terbuka dan menunggu untuk dicoba lebih jauh…

.

Buat yang mau support atau kasih tip aku terima banget buat lebaran hihihi…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Handuk
Selanjutnya Midwife Story - 1 (Gita) [f/f]
4
0
Cerita ini aku buat seperti One Shot, setiap part akan ada karakter yang berbeda, kecuali Novi.Midwife Story 1 - GitaWords : 4287 Words, 11 pagesTag : bidan, massage, terapi, chcl3, saputangan, handuk, scarf, femdomCast : Novi & GitaProlog : Novi, seorang bidan sekaligus terapis kesehatan yang terampil, telah membangun karier dengan memberikan layanan massage dan konsultasi homecare, terutama kepada klien wanitanya. Di balik profesionalismenya, Novi menyimpan ketertarikan unik terhadap dunia anestesi, sering kali menggunakan beberapa alat dalam praktiknya yang lebih pribadi seperti handuk dan beberapa cairan kimia. Suatu rahasia yang membuatnya tetap menjalani hidup single hingga saat ini..Potongan scene :Mmmpphhh, terdengar lagi, kali ini lebih sering, mengindikasikan perlawanan yang masih berlangsung. Aku berbisik lagi, Biarkan dirimu menikmati aroma ini, Git. Lepaskan semua keteganganmu, serahkan pada sensasi yang kuberikan. Aku janji akan memberikanmu kenikmatan yang belum pernah kamu rasakan..
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan