Dendam Anak Tiri - DEMO PART 1 - 5 only FREE!!!

3
1
Deskripsi

Karya Full:

https://karyakarsa.com/mrsundaynight/dendam-anak-tiri

Tragedi selalu menyisakan dendam. Karma selalu memainkan perannya di sela-sela waktu yang indah. Ia datang, ia pergi sesuka hati, setara dengan kejamnya waktu yang tidak pernah peduli. 

Kebahagiaan Ratni menjadi istri Pria sederhana bernama Suwito pupus sudah. Saat seseorang yang bernama Kuncoro mengingini tubuh ibu beranak satu itu. Dengan memanfaatkan tragedi, Kuncoro berhasil memperistri Sang Rembulan Ratni. 

Siksaan Batin...

1. Tangis di bawah Rembulan

Dingin yang tertahan, tangis yang mengalir, di mata air di bawah cahaya bulan purnama. Janda kembang itu menangis. Kecantikannya dari sejak ia belia memang sudah amat tersohor seantero 4 Desa yang berdekatan satu sama lain. Namun, bagi dirinya, kecantikannya itu kini merupakan satu kutukan yang keji yang tidak bisa lepas dari tubuhnya. 

Dalam dingin, Ratni mandi di pancoran indah itu. Terang bulan membantu wanita itu membersihkan dirinya. Rambut lurus hitam sepinggulnya sudah basah. Kulit putih nan mulus itu disekanya dengan amat kasar, seolah-olah ada noda yang sangat menjijikkan menempel erat di tubuhnya. Air pancoran yang cukup deras itu cukup menyamarkan suara isak tangisnya yang cukup keras.

Sambil menangis dan sulit menerima kenyataan kini Ratni sudah dimiliki oleh seorang yang paling ia benci, yaitu kepala Desa Tegalbiru yang bernama Kuncoro. Usia mereka terpaut 17 tahun. Pria yang bekelahiran 1924 itu adalah iblis berbentuk manusia. Ia merupakan mimpi buruk Ratni yang berubah menjadi kenyataan. Tak berdaya Ratni melawan pahitnya hidup jika diingini olehnya. 

Kuncoro berjasa dalam memberantas pengkhiatan negri dari G30-S. Pintar menjilat di pemerintahan. Ia pun punya pendukung-pendukung buta yang bisa disogok oleh uang. Keluarga Ratni adalah korban kekejaman pria Cabul itu. 

Merasa kotor dan hina. Teringat dengan mantan suaminya yang Ratni sangat cintai, yang memberikan seorang buah hati saat ia berusia 15 tahun. Mantan suami Ratni menghilang begitu saja dimalam gelap, dijemput paksa, lalu yang kembali hanya kabar yang tak jelas, antara hilang atau sudah mati. Kejadian itu membuat nasibnya berubah, ia kehilangan tempat tinggal dan harus menikah dengan Kuncoro. Hal itu terpaksa dilakukan untuk mendapatkan hak hidup bagi keluarganya yang tersisa. Mereka juga tidak akan dihakimi oleh Warga yang diprovokasi oleh kepala desa Tegalbiru, yang kini sah menjadi Suaminya meskipun hanya hawa nafsu sepihak. 

Usai membersihkan tubuh yang ia anggap hina itu, Ratni kembali ke ranjangnya. Rumah kayu itu sudah dibuat khusus oleh Kuncoro untuk mereka berdua berbulan madu di bukit yang dipenuhi oleh pohon. Pancoran indah itu adalah mata air yang langsung mengalir dari gunung, sebagian dialihkan ke rumah itu dengan selokan kecil lalu mengucur dari batang bamboo, dan dibuatkan kamar mandi terbuka yang ditumbuhi daun paku, serta kembang sepatu berbagai warna yang mempercantik sisi kiri dan kanan. Disana ada bak mandi yang terbuat dari batu untuk menampung air. Pancoran itu langsung terhubung ke kamar yang dibuat dari kayu Jati, dimana hanya ada kasur meja rias dan lemari, dari kamar itu langsung bisa melihat pancoran, dan hanya dibatasi oleh tirai bamboo. 

Ratni mengeringkan seluruh tubuhnya dengan handuk. Berkaca pada cermin meja rias yang hanya diterangi oleh damar. Ia lihat wajahnya dengan rambut basah yang acak-acakan, ia perkuat dirinya agar bisa menghadapi hari-hari dengan orang yang tidak ia cintai sama sekali. Kemudian air ia minum dari kendi, dan pergi menuju kasur empuk bulu angsa tempat peraduannya. Tempat dimana Kuncoro menikmati tubuh sintal indahnya. 

Ia tidur hanya menggunakan kemben, di sebelah suaminya sambil membelakangi pria itu. 

“Hmm…” Desah Kuncoro. “Lama sekali tidak kurasakan kepuasan ini. Tubuhmu sangan nikmat. Baru saja kita selesai bertempur, aroma wangi tubuhmu membuatku ingin menidurimu lagi.”

Dengan bibir bergetar dan keadaan pasrah Ratni hanya bisa membiarkan suaminya. “Lebih baik besok Mas, kita masih banyak punya waktu. Aku janji akan melayanimu lebih dari tadi.”

“Banyak waktu untuk mencoba, apa tadi itu terlalu cepat?”

“Tidak Mas, aku sangat tidak menyangka kau sangat perkasa.” Kata Ratni berbohong. “Mungkin kita terlalu lelah setelah hari pernikahan kita.” 

“Mungkin juga…” Kata Kuncoro yang sangat gemas pada Istrinya. “Esok aku akan buat kau menjerit meminta ampun. Tapi aku tidak akan mengampunimu, kupakai tubuh ini agar aku puas dan rahim ini.” Kata Kuncoro seraya membelai Ratni. “Akan melahirkan anak kita…”

“Iya Mas…” Jawab Ratni Sedih. Sungguh ia tidak sudi menghasilkan keturunan dari pria cabul ini. “Sebaiknya kita tidur. Aku janji, kita lanjut esok hari.”

“Hmm… Baiklah…” 

Karena Kuncoro terus menerus mengganggunya Ratni hanya bergeming. Ratni Cukup bersyukur karena pria 43 tahun ini lemah, nafsu menggebu di awal namun selesai begitu cepat. Ia berharap semoga selama pernikahannya dengan Kuncoro cepat selesai, entah ia yang mati atau diri Ratni.

***

Pagi-pagi buta Ratni sudah bangun, ranjang indah nan empuk itu menjadi sebuah mimpi buruk untuknya. Hari pertama pernikahannya ia lalui cukup berat. Syukurlah burung-burung hutan yang berkicau dan desir angin dari kejauhan menolong jiwanya untuk pulih. Ratni duduk di teras, sambil menikmati nuansa alam sambil mengingat mendiang Suaminya yang sudah setahun lamanya hilang tak berbekas. begitu pula ayahnya. 

Gestapu terjadi di seluruh negri. Nusantara mencekam. Suatu malam Suwito yang merupakan suami sah dan ayah Ratni dijemput oleh beberapa orang, itulah kali terakhir sang rembulan Ratni melihat sang ayah dan suami. Tiga hari kemudian terdengar rumor tak mengenakkan, suaminya dituduh salah seorang pengkhianat-pengkhianat negri. 

Ratni yang menangis berhari-hari tidak bisa melakukan apapun. Harta dirampas kebun diambil, rumah dibakar, karena ia dianggap pengkhianat dan hartanya berhak untuk dijarah, ia sampai tidak punya tempat tinggal. Di desa ia terlunta-lunta dengan anaknya yang baru berumur 9 tahun, bekerja serabutan sampai ditawari menjadi wanita penghibur di kota. Namun, ia bersikukuh demi norma dan martabat meskipun miskin ia tidak mau melakukan hal itu. 

Pak Kuncoro yang senang bukan kepalang, nafsunya bisa ia salurkan pada Bunga Desa lembayung yang kini telah menjada. Ia menawarkan kehidupan untuk Ratni. Keluarganya akan memiliki kebunnya kembali, jika ia mau menjadi istri kedua Kuncoro. Ratni jelas menolak mentah-mentah. Namun, Satu tahun menunggu, Ratni yang awalnya melolak akhirnya menerima tawaran itu. Ia tidak tahan melihat ibunya mengeluh, Kakak laki-lakinya jatuh sakit karena bekerja terlalu keras untuk keluarganya, dan juga Wulandari yang kekurangan gizi. 

Ratni yang tidak punya pilihan akhirnya mengiyakan ajakan itu. Ia meminta waktu untuk merawat ibu dan anaknya terlebih dahulu. Akhirnya Kuncoro membiyayai semuanya, termasuk mengembalikan rumah Ratni yang kemarin dirampasnya. Tidak semua, tapi cukup untuk tinggal dan sedikit berkebun. Tepat setelah 1 tahun kepergian mendiang suaminya. Pernikahan berlangsung meriah sambil disaksikan oleh istri pertama Kuncoro yang sedang terkulai lemah duduk di atas kursi roda. Meskipun sakit kangkernya semakin parah, ia terlihat bahagia melihat suaminya menikahi wanita yang 17 tahun lebih muda dari dirinya. Paling tidak, Kuncoro tidak bermain wanita lagi.

Kini, hanya nasib yang berjalan. Ratnianti hanya bisa menerawang ke halaman yang asri itu. Ia masih tidak bisa menerima apa yang sudah ia lakukan. Meskipun mantan suaminya tidak jelas ada dimana, ia masih tidak bisa melupakan cinta mereka. Ia percaya bahwa cintanya pada Suwito masih ada, meskipun kenyataan pahit harus ia jalani.

Menikah dengan orang yang sama sekali ia tidak cintai. 

 

2. Untuk Cinta yang dibunuh nafsu

Kuncoro bangun dari tidurnya yang lelap. Suara percikan air memenuhi ruangan itu. Membuat tenang dirinya yang sedang kasmaran untuk yang kedua kalinya. Ia bangun lalu berjalan menuju ruang depan, Istri mudanya sedang merenung di teras sambil memandangi bukit. Mengenakan kebaya putih dan kain lurik coklat dengan rambut yang diikat kebelakang.  “Sayang… Kau bangun pagi sekali.”

“Eh, iya Mas.” Kata Ratni kaget. “Mungkin suasana baru, saya masih belum terbiasa.

“Padahal di sini tenang sekali. Rumah ini khusus aku buatkan untuk kita. Nanti sesekali kita beristirahat di sini saat akhir pekan. Apa kau senang di sini?”

“Senang Mas, suasananya sejuk, dan juga sangat tenang.”

“Tapi sepertinya kau gusar.” Kata Kuncoro sambil memeluk Ratni.

“Saya rindu Wulandari mas.” Kata Ratni mencari-cari alasan.

“Ah… tenanglah. Pembantu dirumahku pasti merawatnya dengan baik. Karena sekarang ia anakku juga.”

“Iya mas terima kasih.” Kata Ratni. 

“Ah apa kau lapar?”

“Tidak terlalu Mas.”

“SIIIHHH!” Panggil Kuncoro.

“Iya pak.” Kata bibi Sulasih yang cepat-cepat menuju teras.

“Buatkan kopi dan teh untuk kami.”

“Sudah Pak, sebentar lagi saya antarkan, pisang dan ketela masih saya goreng. Mohon bersabar sebentar pak.”

“Ya sudah Cepat. Aku tidak mau membiarkan istriku kelaparan!” Sahut Kuncoro dengan nada angkuhnya. 

Ratni hanya tersenyum sungkan dan mengangguk, ia merasa lebih baik ada di posisi bibi Sulasih. “Sudah Mas, aku tidak begitu lapar. Maaf aku tidak menyiapkan kopi pagi ini. Tadi bu Sulasih melarangku.”

“Halah… Untuk apa? Derajatmu sudah naik sekarang. Kau tidak sama lagi dengan mereka.”  

“Terima kasih Mas, saya hanya mencoba untuk menjadi istri yang baik untuk Mas. Seperti yang dilakukan Kakak Puspita.”

Kuncoro hanya menggelengkan kepala. “Sayang istriku itu hidupnya tidak lama lagi. Dokter sudah menyerah akan penyakitnya. Uang sudah habis banyak. Tapi untung saja, ia menggunakan uangnya sendiri tidak menjamah hartaku, ada untungnya juga ia yang mengatur semua warisan dan keuangan.”

“Mas…”

“Iya.” Kata Kuncoro santai. Sambil menghidupkan rokok kreteknya. 

“Mengapa setelah bertahun-tahun menikah dengan kakak Puspita hanya beranak satu?”

“Ah… Puspita…” Kuncoro menghirup rokoknya. “Dulu itu ia cantik, Keturunan Kompeni. Ibu Pribumi, dan Bapak Belanda, Jerome Van Beckhoff. Sayangnya Ayah Puspita meninggal karena malaria, dan juga sudah lanjut usia. Saat melahirkan Bagas ia kritis, karena tekanan darah rendah, dan sejak itu ia tidak mau hamil lagi. Maka dari itu Anak kami hanya Bagas seorang.”

“Apa Kakak Puspita tidak melakukan kewajibannya sebagai istri?”

“Menurutku iya, seharusnya harta kekayaannya seluruhnya milikku, ia bersikeras tidak mau memberikannya dan lebih mempercayakan Bagas anakku untuk mengelolanya. Tapi tidak jadi masalah, aku masih mendapat setengah bagiannya.”

“Saya mendengar rumor, Mas sering melelang ronggeng ya? Apa karena itu?”

Kuncoro terkekeh. “Wah pertanyaanmu, sepertinya cemburu.”

“Maaf Mas…” Ratni tertunduk, tidak setitikpun ada rasa itu dihatinya. 

“Menikah itu salah satu tujuannya adalah berhubungan badan. Seperti kita tadi malam. Puspita sudah tidak bisa melakukannya karena ia sakit. Jadi ya saya terpaksa bermain di luar. Lagipula mereka semua terbeli.” Kata Kuncoro seolah manusia ada harganya.

Bu Sulasih membawakan Kopi, Teh beserta pisang goreng. Kuncoro menyeruput kopi hitamnya yang masih panas itu. “Kamu sendiri, sudah 10 tahun dengan mendiang Suwito, kenapa hanya punya anak satu?”

“Setelah melahirkan Wulandari, Saya pernah keguguran 2 kali Mas. Karena terlalu keras bekerja, yang pertama karena kami pernah gagal panen. Yang kedua karena terlalu letih bekerja di tambak, waktu itu almarhum ayah baru saja membuat kolam gurami.”

Kuncoro memegang tangan Ratni. “Tenanglah, hidup bersama saya kamu tidak akan bekerja keras seperti dulu. Kamu akan bersolek dengan cantik. Saya akan suruh para pembantu untuk lulur tubuh putihmu biar kamu menjadi seperti remaja lagi. Kalau perlu kau bisa mandi susu. Tapi… Tidak harus seperti itu tubuhmu sudah sangat menggoda. Beruntung sekali Suwito memperawanimu.”

Ratni hanya tersenyum mendengar kelakar suaminya. Ia pun jadi merasa bersalah karena ia juga mengkhianati warga Desa. Warga desa yang biasa diperas dan diperlakukan semena-mena, dililit bunga hutang yang tak masuk akal. Mungkin sekarang Ratni sedang menjadi buah bibir di seluruh Desa. 

Tidak habis pikir dengan perasaan hati yang sangat sedih. Ratni memulai kehidupan barunya yang lebih dekat pada kesakitan daripada kesenangan. Ia hanya berharap keluarga dan anaknya hidupnya terjamin. 

“Sepertinya kita harus mandi agar segar. Di pancoran belakang itu khusus aku siapkan untuk kita berdua bisa mandi bersama, Ayo temani aku.”

“Iya Mas.” Kuncoro menggaet tangan Ratni untuk mandi bersama. Sebuah ajakan yang tidak bisa Ratni tolak karena sangat takut. 

***

Sebenarnya rumah kayu kecil itu Indah, dibangun dengan sangat baik dan biyaya yang cukup mahal. Sayangnya Ratni tidak bisa menikmati keindahannya. 

Dibawah sinar Mentari pagi yang cerah itu Kuncoro menikmati hari bersama istrinya Pengantin baru itu menikmati pancoran dengan air yang dingin. Syukurlah suara air menyamarkan isak tangis Ratni.

 

3. Perjaka Desa Tegalbiru

Cahaya matahari terik menembus dedaunan hutan. Menerpa tubuh seorang pria yang perkasa. Keringat menetes di dadanya yang bidang, guratan-guratan otot tangannya mengencang saat mengayun kapak. Hanya dua tebasan kayu tebal itu terbelah. Pria itu menarik nafas dalam-dalam setelah menyelesakan pekerjaannya. Kayu yang berantakan itu dikumpulkannya lalu ia duduk sejenak. Memandang pohon jati yang tinggi seraya disapa oleh orchestra alam nan alami, saat Kicauan burung menjadi melodi, Ringkikan serangga menjadi Ritme dan gemerisik pepohonan menjadi perkusi. Semua menyatu dan menyeruak masuk dalam pendengaran dan memberikan ketenangan bagi jiwa yang cukup lelah. 

Sambil menunggu Pria itu membuat api unggun kecil, kemudian seorang paruh baya mendekatinya dengan menenteng burung Ruak-ruak yang tadi ia tangkap dengan jebakan bamboo. Burung itu dicabuti bulu-bulunya dan dibersihkan. Jeroannya langsung dibakar di atas api yang menyala-nyala. Sambil ditambah lagi kayu agar Api makin besar. Hanya dibubuhi garam, merica dan kecap, burun itu ditancap di bamboo lalu diletakkan di sisi api. 

“Sudah lama saya tidak menikmati alam liar ini. Terima kasih sudah menemani saya pak Wo.” Sahut pria muda seraya meneguk air dari tempat minum militer. 

“Iya Den Bagas, saya lihat Den Bagas sibuk di pabrik, di Gudang dan menjaga ibu.” Balas Pak Sujiwo yang akrab dipanggil pak Wo. “Tapi tadi daun sama akar-akarnya sudah dapet Den?”

“Sudah pak, lumayan lah buat persediaan satu bulan. Nanti ini dijemur.”

“Semoga Ibu cepat sembuh ya Den, sudah lama sekali Ibu sakit. Saya itu sedih sekali melihat Ibu, sudah sakit begitu malah tidak dirawat oleh Bapak, justru malah ditinggal kawin lagi.”

“Ibu tidak ditinggal kawin lagi pak. Ibu sudah mengijinkan, bahkan menyarankan agar Bapak kawin lagi.” 

“Tapi istri mudanya kalau tidak salah sebaya dengan umur den Bagas.”

“Soal itu saya kurang tau ya pak. Tapi yang jelas saya tau dia yang tercantik di desa Lembayung. Belum pernah saya melihat wanita secantik dia.”

“Yah pantas saja Bapak langsung kesemsem. Paling tidak Bapak tidak jual anak-anak Desa lagi ke kota. Kasihan mereka, karena ekonomi terpaksa mengikuti jalan itu.”

“Tapi ya tidak begitu juga pak. Harusnya mereka itu dididik.” Kata Bagas sambil membalik-balikkan burung Ruak-ruak yang sudah mencoklat. “Selama ini maafkan perlakuan ayah saya pak. Kemarin saya dengar bapak dimarahi karena menjatuhkan sekarung pala.”

“Itu salah saya Den sudalah.”

“Salah dimana pak? Tubuh itu ada batasnya, bapak bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 7 malam.” Kata Bagas sambil meniup-niup Burung Ruak-ruak panggangnya. 

“Namanya mencari sesuap Nasi Den. Saya si orang bodoh Den, nggak sekolah. Beda sama pak Kuncoro, orang pintar.”

“Justru seharusnya orang pintar itu berbuat baik pada orang yang tidak pintar. Itu namanya pemaksaan pak. Kita sudah tidak hidup di jaman Jepang. Romusha sudah berakhir pak.”

“Kalau saja saya punya pilihan Den. Istri anak harus makan. Tapi Den, maaf ya. Den itu mirip Ibu, dulu waktu masih sehat ibu selalu senyum sama semua orang, meskipun ia keturunan kompeni, ia tidak menindas.”

“Iya pak, saya banyak dengar cerita. Cuman ya dari kecil saya kenal bapak saya seperti itu. Padahal mendiang kakek dan nenek saya bukan orang pemaksa seperti itu. Maka dari itu saya sangat berusaha bagaimana caranya agar bapak tidak ikut campur urusan pekerjaan pabrik kami. Manusia itu cepat kalap kalau diberi kekuasaan.”

“Tapi Den Bagas tidak begitu. Meskipun sudah diberikan kekuasaan atas pabrik dan kebun. Den Bagas baik pada kami. Sayang saja Den Bagas bukan lurah yang punya kuasa.”

“Ah, itu. Saya tidak begitu peduli. Yang saya pedulikan adalah kalian makan yang baik dan keluarga kalian sehat. Yah, yang jelas, saya hanya ingin, apa yang saya pimpin semuanya hidup sejahtera, saya juga orang pak, punya kekurangan.”

“Iya Den. Saya senang bisa membantu Den Bagas, jikalau ada sesuatu yang sekiranya Den Bagas butuhkan, Nyawa pun saya kasi Den.”

“Ah, tak usah berlebihan pak. Ayo kita santap dulu burung Ruak ini, rasanya enak juga, seperti ayam hanya lebih manis.”

Akhirnya makanan mereka matang, sambil berbincang mereka menyantap daging burung itu dengan rasa seadanya. Kemudian mereka memilah beberapa daun obat-obatan untuk ibu Bagas, yang sedang berbaring lemah di ranjang. Meskipun sedikit harapan untuk pulih sempurna, tapi paling tidak bagi Bagas ia masih ingin berada di sisi ibunya sampai akhir waktu.

Bagas meninggalkan kehidupan semu-nya sebagai anak penguasa. Ia sebenarnya sudah sekolah militer selama 1 tahun, lalu mengundurkan diri karena Ibunya sakit. Dicalonkan sebagai murid terbaik dan tentara tertangguh. Bahkan ada beberapa atasan mengatakan bahwa ia bisa menjadi jendral selanjutnya dan di tugaskan di Ibu Kota. 

Bagas menghabiskan harinya dengan membaca buku. Semenjak keluar dari Angkatan darat. Buku berBahasa Belanda pun di bacanya. Ia juga belajar ekonomi di kota saat menunggu Ibunya, membaca tulisan-tulisan dokter saat dirumah sakit dan banyak hal yang ia pelajari setelah hidup sebagai warga sipil. 

Disiplin, Jujur dan sangat dermawan, itulah yang orang kenal dari Bagas. Layaknya pohon, ia adalah buah yang sangat jauh jatuh dari pohonnya, berbanding terbalik dengan ayahnya. Setiap sumbangan ia pantang menulis namanya. Para karyawan pabrik dan para buruh begitu yakin, apa yang dikatakan oleh Bagas dan Ibu Puspita seluruhnya adalah kebenaran, karena sudah terbukti hidup mereka disejahtrakan. 

“Udah Den, udah banyak ini kayunya. Makasi ya Den sudah menolong.” Kata pak Wo.

“Tambah lagi pak, nanti saya bantu bawa.” Balas Den Bagas.

“Wah ngerepotin Den. Saya kan yang diberi upah oleh Den, malah Den Bagas yang repot.”

“Jangan begitu pak. Kita sama-sama Bantu. Pak Wo juga yang bantu saya untuk mencari akar liar ini, saya kurang begitu paham karena nyaris tak ada bedanya.” Bagas mengangkat kayu glontongan yang sangat berat itu. “Ayo kita turun bukit pak sebelum petang.”

“Siap Den.” Jawab pak Kuncoro semangat. 

***

Perjalanan dari rumah bukit menuju Bukit Gedang, memakan waktu selama 20 menit. Melewati kebun kopi yang luas. Ratni hanya memandang jalan dalam diam, ini baru pertama kali ia menaiki mobil, kepalanya sedikit pusing karena jalanan yang bergelombang dan aroma mesin. Di Jalan tanah itu mobil berjalan pelan, menerpa udara sejuk yang memasuki mobil. 

Sampailah Mobil di halaman Villa yang luas itu. Batu kerikil di halaman depannya. Bagas melihat mobil itu menepi. “Oh, aku kira bapak di rumah bukit 5 hari. Ternyata hanya sehari.”

“Saya kurang paham Den.” Kata pak Wo.

Bagas meletakkan kayunya di pinggir lalu mengusap keringat dengan baju kaosnya. Dilihatnya Ayag turun dengan baju batik dan kacamata pilot hitam. Kemudian ia menghamipiri Bagas. Sebagai Tanda bakti, Bagas menyalami dan mencium tanganya. 

“Aih, Kotor sekali dirimu.”

“Dari hutan Ayah mencari kayu Bakar dan akar herbal untuk ibu.”

“Hmm…” Gumam Kuncoro. “Kemarin kau baru melihat Ibu barumu kan? Belum sempat berkenalan dengannya?”

“Iya Ayah.” 

“Ratni… Kemarilah, kenalkan ini anakku Bagas.” 

Ratni turun dari Datsun bluebird 1962, wajahnya putih berseri dengan mata sendu dan bibir merona merah, rambutnya diikat kepang satu panjang melebihi pinggul. Ia memandang Bagas yang sedang tidak mengenakan baju dan penuh dengan peluh. 

Ratni tertegun beberapa saat, melihat lelaki yang berdada bidang dan berwajah rupawan itu. Matanya tajam bagai elang, bibirnya tipis, dan bertubuh tinggi dan tegap, jauh lebih tinggi dari dirinya. Rambut ikal pendek yang hitam membuat pesona Bagas begitu gagah. Sesaat Ratni tertegun Wulandari berlari ke arahnya dan langsung memeluknya. 

“Bu, di rumah enak bu, makanannya enak-enak. Trus mas Bagas ngajarin aku bikin PR. Aku juga di Foto lho bu.” Sahut Wulandari. 

“Oh iya, Makasi Nak Bagas sudah menjaga Wulandari.” Kata Ratni sambil tersenyum. Bagas hanya mengangguk. 

“GAS! Ratni itu sekarang ibu! Ayo salim.” Kata Pak Kuncoro. 

Bagas melihat Ayahnya dengan tatapan agak marah. Namun, ia menepis pikiran amarah itu ia memandang Ratni yang berwajah cantik. “Maaf tangan saya kotor. Karena menghormati ayah, saya akan panggil anda Ibu. Meskipun saya tau anda hanya 3 tahun lebih tua dari saya.”

Ratni tersenyum manis lalu menjulurkan tangannya. “Maaf, merepotkan. Terima kasih sudah menjaga Wulandari, ia juga kini adikmu.” Bagas mengelap tangannya lalu sungkem pada Ratni.

“Sama-sama Bu, Wulandari sekarang sudah mau masuk sekolah tengah. Ia sangat pintar. Esok, ada Bu Mumun yang mengurus surat pindah sekolahnya ke Desa Tegalbiru. Nanti tiap hari akan diantarkan dengan pak Jum sopir kami.”

“Makasi Bagas, Maaf sudah merepotkan.” Kata Ratni menunduk.

“Tidak apa Bu. Maaf badan saya kotor. Saya mau mandi dulu. Sudah mau sore.” 

Ratni hanya tersenyum manis dan mengangguk pelan sambil memegang pundak anaknya yang beranjak remaja. Bagas hanya tersenyum saat memandang Ratni. Meninggalkan ibu dan Anak itu di halaman. 

 

4. Bakti

Setelah mandi, Bagas menuju dapur. Diambilnya karung goni yang berisi daun-daun herbal yang ia dapatkan dari hutan. Sekalipun obat buatannya tidak terlalu menolong Ibunya, daun-daun itu sangat membantu meredam rasa sakit yang diderita Puspita. Daun-daun dan beberapa akar itu ditumbuk, dicampur madu lalu diseduh.

Cangkir panas itu dibawa Bagas ke kamar ibunya melewati lorong panjang dengan tegel hitam serta pilar-pilar putih yang kokoh. Jendela-jendela bergaya Victorian dan cat rumah putih kusam berada sepanjang Bagas berjalan. Kemudian pintu jati yang berwarna putih itu diketuk, dengan pelan kamar Ibu dimasukinya. 

Kedatangan pria itu disambut senyuman. Senyuman lemah wanita paruh baya yang bernama Puspita yang Sebagian rambutnya memutih. Wajahnya pucat, matanya sayu, sisa-sisa kecantikan masih terpancar dari wajahnya. Kangker sudah menggerogoti tubuhnya yang kurus. Rumah ini adalah sejarah indah baginya, Rumah mendiang ayah yang dipercayakan pada Puspita anak kesayangan Van Beckhoff. Dengan harapan yang sederhana, ia ingin selama mungkin menikmati suasana rumah yang ia cintai itu. 

Aroma Jamu menyeruak ke dalam indra penciuman, wangi pekat nan pahit. Dengan pelan ditiup agar panas berkurang, kemudian diseruput. “Hmm… sudah semakin tak terasa. Harusnya ini pahit sekali meskipun diberi madu.” Kata Puspita lemah.

“Sudahlah Bu, yang penting membantu mengurangi rasa sakit.” Kata Bagas sambil merapikan tempat tidur Ibunya . 

“Maaf ya Nak, harusnya kamu bisa berbakti pada negri ini, Seperti pamanmu, tapi kamu malah menjaga ibu terus-terusan.” 

“Tidak apa-apa Bu. Sudah tugas anak untuk berbakti pada orang tuanya.”

“Sewaktu pernikahan ayahmu berlangsung. Apa kau sudah mengambil dokumen-dokumen itu di kota Nak?”

“Sudah Ibu. Sudah saya ambil.” Bagas mengambil dokumen-dokumen dari tas kulitnya yang ia taruh di lemari kayu kamar Ibunya. 

“Masih sama peraturannya, Ayahmu hanya mendapat 10% dari semua harta kekayaan ini. Tapi kau harus berbohong padanya, selalu katakan padanya bahwa itu 70%. Lalu 90% hasilnya adalah untukmu, jika nanti kau sudah berkuasa, bangunlah waduk untuk kesejahtraan penduduk Desa. Ibu bangga, dari cerita-cerita para pegawai yang menjenguk. Mereka selalu berkata dirimu adalah pribadi yang bertanggung jawab. Entah dari apa hatimu terbuat… Tapi Ibu sangat amat bangga.” Ibu meneteskan air matanya. Ingin rasanya ia meilhat anaknya paling tidak sampai menikah, tapi rasa itu sepertinya tidak bisa ia dapatkan. Puspita meraih pulpen dan dokumen-dokumen itu. “Dimana Ibu harus tanda tangan.”

Bagas menunjuk bagian-bagian yang harus ditandatangani, seraya membalikkan map satu-persatu. “Bu, kenapa harus sekarang?” Kata Bagas, air matanya sudah mengucur sangat deras. “Ibu belum mau pergi kan? Ini bisa dilakukan lain waktu. kami masih membutuhkanmu.”

“Kita tak tau kapan waktunya. Jujur di kehidupan ini Ibu cukup menyesal Ayah sebagai pendamping hidup. Ia pintar mempengaruhi kakek. Akal busuknya hanya pada kekayaan Ibu. Tapi untunglah kau jauh lebih mirip Ibu dan mendiang Pamanmu Tinggi dan Perkasa. Hanya saja, kulitmu yang sama dengan Ayah. Ibu sangat bangga padamu. Pesan ibu…” 

Puspita terbatuk. “Kau tidak harus menyiksa dirimu untuk menjadi orang baik. Terkadang, kau juga perlu untuk berbuat tegas, tapi jangan lakukan itu pada mereka yang lemah. Lakukan itu pada mereka, para penindas. Ingat pesan Ibu, Jadilah kuat untuk lawan mereka yang jahat. Jadilah baik untuk mereka yang lemah. Biar hanya sebentar kau tetap seorang Tentara kan?”

“Baik Bu… Saya mengerti.” 

“Mana Wulandari? Anak itu baik dan lucu sekali.”

“Ia sedang bersama Ibunya.”

“Oh, Sudah pulang dari bulan madu rupanya. Mudah-mudahan mereka bahagia. Ibu hanya kasihan pada Ratni. Sangat terlihat jika ia sangat terpaksa.”

“Saya masih tidak terima mengapa ibu mengijinkannya menikah lagi?”

“Ibu sudah seperti ini, apa lagi yang bisa ibu perbuat. Sudalah… Ibu masih punya kamu.”

“Terima kasih Ibu…” Bagas merapikan semua dokumen-dokumen tebal yang sudah ditanda tangani dan beberapa harus cap jempol. “Ini sudah semua, sekarang waktunya Ibu mandi agar Cantik.”

“Habis ibu mandi, panggil Wulandari ya, ibu masih berhutang dongeng untuknya.”

“Baik Bu… ”

Dengan cepat, Bagas memanggil para pembantunya untuk mengambilkan air hangat, sabun dan kain lap. Di atas Kasur 2 orang membantu memegang tubuh Ibu. Biasanya Wulandari juga ikut membantu mengganti kain lap tapi kini ia berkangen-kangenan dengan ibunya yang sudah tidak ditemuinya selama seminggu sejak acara pernikahan. 

Bagas mengelap tubuh yang kini hanya kulit berbalut tulang itu. Dengan telaten dan penuh kasih sayang. Tetesan air mata pegawai di rumah itu mengalir saat melihat Bagas merawat Ibu yang sudah lelah itu. Dari mata pria itu, terpancar ketulusan seorang anak yang mencoba membalas budi pada Ibunya, meskipun tak akan pernah sanggup, karena kasih Ibu sepanjang masa.  

Gemericik air menetes di kulit putih pucat. Tubuh Puspita semakin lama semakin ringan. Dilihat sangat berbeda dari foto hitam putih yang ada di kamar itu. Wajah Puspita masih sangat cantik, dan sangat mirip dengan Bagas. 

Bagas Putrasukma Pangkujagat, adalah anak berbakti yang hidup dari kasih sayang Ibunya yang tidak pernah ia bisa balaskan. 

***

Ratni sangat kagum melihat rumah peninggalan Belanda yang besar itu. Rumah yang bernama Groene Heuvel Villa terletak di atas bukit Gedang Alas. Halaman sangat luas dan besar, di belakang ada banyak pohon tinggi nan teduh, di bagian depan penuh dengan bunga-bunga. Pegawai yang ada di sana sekitar 35 orang jumlahnya. Jalan menuju rumah itu sendiri memakan waktu semenit dari gerbang kebun desa Tegalbiru. Di paling atas terdapat kebun kopi, di bawahnya ada kebun cengkeh, Pala, Kapulaga, dan beberapa jenis tanaman komoditi lainnya, lalu dibawah bukit hamparan sawah itu ada tambak luas membentang. Itu semua milik keluarga Kuncoro dan masih berkembang terus tergantung kebutuhan komoditi.

Ratni berjalan melintasi rumah bergaya Belanda itu, bangunan yang berusia lebih dari 1 abad lamanya. Kokoh dan sangat megah. Banyak motif ukiran gaya Victorian nan indah. Sayangnya belum dialiri listrik karena program listrik masuk desa masih berlangsung. Di dalam rumah itu sendiri terdapat banyak furniture dan beberapa barang-barang mewah dari Eropa. Kebanyakan itu adalah warisan dari mendiang keluarga Beckhoff. Bahkan masih ada plat tembaga penghargaan dari VOC yang terpampang di ruang depan. 

“Bagaimana Ratni? Apakah dirimu menyangka akan menyadi Nyi Kuncoro? Tinggal di rumah besar nan megah ini?” Kata pak Kuncoro yang menyusul dari belakang. 

“Ah, Mas! mengagetkan saja.” Kata Ratni, ia sama sekali tidak mengingini tinggal di tempat ini. Terlalu besar dan cukup suram. “Dimana kamar saya Mas?”

“Mari saya antar.”

Ratni mengikuti pak Kuncoro menaiki tangga lalu menuju kamar tidur mereka. Kamar itu terletak di Lantai 2, sangat luas dengan dipan yang sangat besar. Semua yang ada di sana rapi dan tertata indah. Di kamar itu pun ada kamar mandi mewah yang airnya selalu terisi penuh. Ada bathub putih bergaya victorian yang cukup besar dan cantik. 

“Dulu di sini saya dan Istri saya beristirahat. Semenjak ia sakit, ia pindah ke kamar bawah. Agar semua kebutuhannya mudah terpenuhi.”

“Iya Mas. Indah sekali…” Kata Ratni yang masih mengagumi dekorasi khas Eropa ruangan itu. “Saya merasa bersalah Mas, pada Kakak Puspita, saya melangkahi hak-nya. Bolehkan saya juga mengurus beliau?”

“Ratni. Tidak usah melakukan itu. Hidup Puspita tinggal meninggu bulan, paling lama Tahun. Lagipula ada Bagas yang mengurusnya. Kau tidak perlu repot.”

“Tapi Mas, menurut saya… ” Ratni tertunduk “Tidak ada satupun wanita di dunia ini yang ingin di madu. Meskipun saya tau Kakak Puspita sangatlah baik.”

“Oh, ternyata istri pertamaku sangat terknal ya. Ah, berpikirmu terlalu jauh sayangku… ” Pak Kuncoro menggenggam lengan Ratni. “Justru Puspita sendiri yang mewasiatkan agar aku menikah terlbih dahulu sebelum ia pergi. Kalau tidak percaya silakan tanyakan padanya. Ia tau, aku tidak bisa hidup tanpa Wanita. Ia juga sudah lelah melihatku bermain sana-sini. Maka dari itu ia ingin agar kepergiannya ia tenang.”

“IBU!!!” Wulan berlari kea rah Ratni. “Ah, Maaf A- ayah…”

Kuncoro tersenyum “Kau mirip sekali dengan Ibumu ya, Sudah gadis rupanya. Bagaimana rasanya tinggal di sini?”

“Menyenangkan Ayah. Ibu Bagas sering mendongeng.”

“Ah, iya, Ia suka sekali membaca, dan kini turun ke Bagas. Wulan kalau ingin sesuatu ayah belikan ya.”

“Iya Ayah…”

“Baik, saya akan pergi sejenak. Ada tamu dari kecamatan sore ini. Nanti malam kita makan bersama ya.” Kata Kuncoro. Kemudian Ratni menyalami dan mencium tangan suaminya dan diikuti oleh Wulan. 

“Bawa apa itu nak?” Tanya Ratni pada anaknya. 

“Apem bu, enak sekali. Di bawah ada dapur besar, di sana banyak makanan. Mari makan bu, kau terlihat bertambah kurus.” Kata Wulan dengan sangat periang. 

“Kurus bangaimana? Kau ini. Yuk mari kita makan. Ibu buatkan Teh ya.”

“Tidak usa bu, tinggal panggil Bibi nanti mereka yang buatkan.”

“Ahh… Ya sudah yuk, kita duduk di balkon. Sepertinya pemandangannya indah.” Setelah itu Ratni bergegas berjalan ke balkon seraya Wulan memanggil bibi untuk membuatkannya teh. 

Pemandangan yang sangat indah terhampar dari atas villa itu. Kebun Kopi, kebun cengkeh dan juga penampakan desa Tegalbiru dari atas. Ratni mengagumi pemandangan yang indah itu. Ia duduk tenang dan membiarkan angin semilir menerpa wajahnya dan menerbangkan helai-helai rambutnya. Ia merenung bahwa sampai selamanya ia harus menerima keadaan yang sulit. Paling tidak, saat Kuncoro tidak ada ia bisa sedikit lebih rileks. Dalam waktu sempit itu Ratni merenung.

Bukan hanya sekedar menjadi pendamping hidup. Tetapi juga harus bisa berbakti pada suami yang sama sekali tidak dicintainya. Air mata Ratni menetes pelan, ingin marah tapi tak berdaya. Syukurlah Wulan mengajaknya bercanda sehingga sore kelabu itu menjadi sedikit lebih bermakna. 

 

5. Keluarga Baru

Makanan di meja telah siap. Ratni masih berawajah datar, Kuncoro tersenyum sumringah, sedangkan Wulandari duduk dengan tenang. “Itu Mas Bagas datang! Ayo makan.” Kata Wulandari semangat.

“Hai Wulan, sudah kangen-kangenannya sama Ibu?”

“Sudah Mas, maaf tadi Ibu minta ditemenin jadinya nggak bisa bantu Mas Bagas.”

“Tidak apa Wulan.” Bagas tersenyum sambil mengusap-usap kepala anak periang itu. “Ibu sudah mandi. Makasi ya sudah bantu-bantu.”

“Wah, Wulan bantu-bantu merawat Ibu?” Kata Kuncoro. 

“Iya yah, soalnya Ibu kasian, sudah tidak bisa jalan. Aku ingat dulu waktu aku sakit. Ibu Mas Bagas juga sering cerita tentang dongeng. Ceritanya macam-macam. Kalau ibu Wulan Cuma tau cerita si kancil.”

”Dasar, kamu ini.” Ratni tersenyum lalu mencubit pinggul anaknya. Setidaknya hanya itu secercah kesenangannya di meja makan. 

“Yah nanti kamu yang giliran menceritakan Ibumu.” Sahut Bagas kalem.

“Oh iya Kak Bagas, kapan ada acara anak di TVRI?”

“Setiap Senin, Rabu, Jumat. Aku lupa.”

“Hmm… Seandainya saja kita bisa nonton di rumah ini ya?”

Bagas tersenyum. “Tanya saja pada pak Lurah. Kapan listrik masuk desa? Kalau itu sudah terjadi yah, kita semua tidak perlu lagi membeli batrai untuk radio, dan bisa ada Tv.”

Ratni dan Wulan memandang Pak Kuncoro. “Tidak perlu, untuk apa? Hanya akan membuat kalian malas.”

“Tidak begitu juga Ayah, masa kita masih membaca tiap malam dengan lampu sentir, padahal di kota aku belajar dengan bola lampu yang bagus.”

“Tinggal saja di Kota jangan di sini.” Kata Kuncoro sambil memilah-milah ayam gorengnya.

“Tanah di ujung sungai berikan saja pada pemerintah, bangun Dam lalu pasang turbin, maka empat Desa bisa teraliri listrik. Hidup lebih sejahtera.” 

“Tidak usah sok kamu ya!” Kata Kuncoro sedikit emosi. “Anak muda tau apa soal mengelola Desa. Kau baru anak kemarin sore berani-beraninya melawan.”

Bagas tersenyum. “Aku tidak bermaksud melawan, aku hanya berpendapat, di Orde baru ini pemerintah mulai membangun bangsa. Seyogyanya kita sebagai warga Tegalbiru yanga paling memungkinkan untuk jalur –“

“CUKUP!” Kata Kuncoro, sambil memukul meja. Kemudian menunjuk Bagas. “Hari ini suasana hatiku sedang baik, jadi kau tidak perlu membahas soal tanah untuk dijadikan dam. Sampai matipun aku tidak mengijinkan sejengkalpun tanah kita hilang. Apalagi untuk kepentingan banyak orang. Hidup ini hanya sekali perkaya dirimu! Berkuasalah!”

“Oh, benarkah begitu? Bukankah hidup yang sekali itu harus dipergunakan agar bermanfaat untuk orang lain? Bukannya menghilangkan suami orang lalu meniduri istrinya dengan paksa.” Sahut Bagas pelan. 

“BICARA APA KAU INI!?” Hentak Kuncoro. “Anak durhaka! Jika suasana hatiku tidak baik, sudah kutempeleng kepalamu.”

Bagas menghentikan makannya lalu memandang Kuncoro dengan senyuman. “Aku berlatih dibawah desingan peluru, merangkak di lumpur dan suara Bedil dimana-mana. Kau kira tempelenganmu itu lebih hebat dari itu? Aku abdi negara sedangkan kau.” Kata Bagas pelan. “Penjual nyawa.”

Kuncoro menarik nafas panjang agar tenang. “Baiklah, silakan kau bicara. Suatu hari nanti kelak jika ini semua adalah sah milikku. Kau kuanggap bukan anakku lagi.”

“Dengan senang Hati.” Kata Bagas sambil melanjutkan makannya. 

Satu Meja langsung hening, Wulan keringat dingin dan Ratni berbeming. Mereka makan dalam diam. Dilihatnya Kuncoro masih emosi. Sedangkan Bagas begitu tenang menikmati semua lauk dan nasinya. Ratni sadar, dan befikir, tidak mungkin Bagas berani berkata seperti itu jika tidak mengetahui sesuatu. 

Stelah selesai makan, Ratni pergi ke kamar bersama Kuncoro, dimana berbekal telur setengah matang dan merica untuk memperkuat stamina. Ratni sudah mempelajari bagaimana caranya agar Kuncoro cepat mencapai puncak, ia sudah bisa berpura-pura mendesah puas agar Kuncoro merasa perkasa. Hal itu berhasil ia praktekan di waktu-waktu yang tersisa di rumah Bukit.

“Kau lihat kan Bagas?” Kata Kuncoro dari tempat tidur. Sedangkan Ratni sedang melepas ikatan rambutnya. 

“Iya Mas.”

“Itulah contoh anak salah didikan. Gara-gara istri tuaku yang sakit-sakitan itu ia menjadi anak yang pembangkang.” Kata Kuncoro. 

“Iya…” Jawab Ratni polos. Ia tak tau apa yang harus dikatakan sekalipun hatinya mendukung semua pemikiran Bagas. 

“Tau apa ia soal hidup? Anak baru kemarin sore saja sombong sekali sudah menasehati orang tua. Berbicara tentang politik.”

“Sudalah Mas… Istirahatlah… mungkin kau lelah.”

“Hmm… Kemarilah sayang…” Kata Kuncoro. “Hanya ini yang bisa menghiburku malam ini.“ Kuncoro memeluk Ratni yang berdiri di hadapannya. 

“Iya Mas, aku sudah jadi milikmu, sudah suatu kewajiban aku melayanimu di ranjang.” Ratni pasrah saat bajunya dibuka, dan sekejap ia sudah bertelanjang dada di hadapan suaminya. “Maafkan aku yang tidak bisa bertahan lama-lama, karena milikmu sangat nikmat.”

“Hmm… kau benar-benar rindu akan keperkasaanku.” Kata Kuncoro sambil menjilati ujung mungil coklat, gunung kembar Ratni yang besar itu. Kemudian tubuh Ratni yang putih dan sintal itu dituntun ke ranjang dan siap untuk dinikmati. Ratni diam tak melawan, ia hanya membalas lidah Suaminya yang masuk dan menari-nari dalam mulutnya. 

 Sebelum menikah pun, Ratni mempelajari agar bisa menunda kehamilannya. Ia tidak sudi rahimnya memberikan keturuan bagi pria cabul ini. Jamu datang bulan ia siapkan secara diam-diam agar rahimnya tidak terbuahi. Malam itu, Ratni harus terlentang, membentangkan kedua pahanya lebar-lebar. Tubuh telanjang ditindih oleh suaminya, burung pipit sudah bersarang di hutannya. Ratni pasrah tanpa perlawanannya saat selangkangannya dikoyak, meskipun tak begitu terasa karena burung pipit itu cukup lemah. Ia hanya bisa berpura pura mendesah-desah seraya mengejang-ngejangkan tubuh agar suaminya bisa cepat menyelesaikan perbuatan bejat pada dirinya. 

Saat suaminya sudah tidur karena kelelahan. Ratni pergi ke kamar mandi, ia membersihkan dirinya. Termenung sejenak ia membayangkan kejadian yang terjadi di meja makan. Diam-diam Ratni memperhatikan Bagas, ia masih tak percaya, jejaka sebaik dan setampan itu adalah darah daging pria brengsek yang akan mengagahinya tiap malam. Kalau saja ia mengenal pria itu dulu, pasti suatu kewajaran jika ia menyukainya. Sayangnya lamaran mendiang Suwito terlalu cepat sampai padanya sehingga rumor tentang Jejaka Desa Tegalbiru yang bernama Bagas tidak digubrisnya sama sekali. 

***

Puspita begitu senang saat melihat Wulan, gadis itu-pun meloncat kegirangan dan langsung mendekap Ibu, dan dengan wajah sumringah ibu menyambut Wulan seakan ia adalah anak kandungnya. “Ibu, Ibu kemarin lanjut cerita Bu.” Kata Wulan sambil membantu ibu bersandar. 

Bagas datang dan memberikan jamu. Kemudian Wulan membantu Ibu untuk menyesapnya. “Diminum Ibu, agar Ibu mudah tertidur.” Kata Bagas, Kemudian meredupkan lampu petromak, dan juga menghidupkan damar agar suasana menjadi sendu. 

Ibu dengan sangat baik menceritakan kisah pangeran yang mengalahkan Naga demi menyelamatkan putri. Seperti biasa, wajah cantik Wulan terkesima mendengarnya. Kemudian Wulan memeluk Ibu “Bu, janji ya Ibu mau ceritain wulan terus… Ibu jangan pergi ya.” Kata Wulan tulus.

“Wulan kan sudah besar, rajinlah membaca. Semua buku-buku dongeng itu masih ada di lemari Bagas.” Kata Puspita. 

“Lain kalau dengar Ibu cerita.” Sahut Wulan manja. 

“Wulan…”

“Iya Bu.”

“Kemarin Ibu dengar kamu sudah datang bulan ya? Sudah menstruasi.”

“Iya Bu, perut Wulan sakit, nyeri sekali. Untung diberi jamu sama bi Minah. Jadi dua hari selesai.”

“Ingat-ingat ya tanggalnya. Ibu ngerasa kamu bakal tumbuh dan berkembang jadi gadis yang sangat baik. Cantik lagi… ” Kemudian Ibu memandang Bagas lalu tersenyum. 

“Bagaimana Bu? Sudah ingin tidur?”

“Hmm… Belum…” Puspita mengusap-usap kepala Wulan. Dipandangnya mata bulat Gadis kecil itu. Kulit putih, hidung mancung nan mungil, bibir tipis dan wajah bulat. Ia begitu mirip dengan Ratni ibunya, hanya saja yang membedakan adalah rambut bergelombang panjangnya dan gingsul di bagian kanan giginya yang membuatnya bertambah manis. “Dari dulu… Ibu itu pingin sekali punya anak Gadis, Ibu pingin menyisir rambutnya, pingin kepang, pingin ajak bermain keliling taman. Tapi keadaan tidak memungkinkan. Tapi… Sekarang malah datang dirimu. Anak Gadis Ibu.” Kata Puspita lalu memeluk Wulan. “Kalau kau dewasa pasti ibu akan seleksi pria-pria yang mendekatimu.” 

Bagas dan Wulan tertawa. 

“Ah, Ibu… memikirkan itu saja aku belum pernah.” 

Puspita tersenyum, “Tidak usah dipikirkan, ada pria setampan pangeran di dongeng Ibu. Kau pantas bersanding dengannya karena kau secantik putri raja.”

“Wah, dia ada dimana Bu?”  

“Di ruangan ini…” Kata Puspita dengan tawa kecilnya. 


Karya Full
https://karyakarsa.com/mrsundaynight/dendam-anak-tiri


Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya My Little Lisa
1
0
Kesepian, kesedihan, dan kemarahan, membuat Lisa memutuskan untuk menghabiskan masa SMA di Bali bersama Ibunya. Sifat periangnya, berhasil menutupi kenyataan dibalik keadaan keluarganya yang sedang berantakan. Kecintaan Lisa akan fotografi merupakan sebuah hasrat yang tak terbendung. Dari hasil jepretan tangannya, terciptalah sebuah mahakarya yang luar biasa. Willy seorang MVP lagenda SMU. Spontan dan tak terduga.Ethan seorang pria yang mempunyai wawasan luas dan tujuan hidup yang pasti. Secara tidak sengaja Lisa terlibat diantara persetruan antara dua lagenda sekolah yang tersohor itu. Dibalik musibah dan diantara dua hati yang saling membenci Lisa harus memutuskan kisahnya. Kisah yang akan mengubah jalan hidup selamanya.   DEMO: Prologue to chapter 10 Prologue : Magnificent JourneyLampu dim light di beberapa kursi sudah mulai dimatikan. Seorang pria duduk santai melihat orang-orang di sekitarnya yang sudah mulai tertidur. Pramugari mulai berjalan keliling kabin untuk membereskan beberapa meja. Mereka merapikan gelas, dan membuang beberapa sampah. Di ujung deret kanan kursi tempat pria itu duduk. Seorang Ibu sedang memeluk anaknya yang tertidur lelap, sembari mengajak suaminya berbincang dengan suara kecil. Suasana di kabin begitu tenang. mewakili sepinya malam di angkasa, saat pesawat terbang melintasi awan diatas megahnya  samudra Atlantik.Pria itu membuka kembali Laptopnya kemudian mengakses file hasil tulisan tentang perjalanan hidupnya di Bali. Ia menulis tentang teman-temannya, mendeskripsikan mereka secara detail. Ia lebih banyak membaca daripada mengetik. Terkadang ia merasa geli sendiri mengenang masa putih abu-abu. Malam ini mood pria itu sedang tidak begitu baik untuk menulis. Jet lag ataupun mata yang sudah lelah namun tidak mengantuk, membuat ia agak enggan untuk meneruskan tulisannya. Dengan wireless mouse hitam di tangan kanan Pria itu, ia hanya memainkan scroll mouse screen naik turun. Memeriksa seluruh tulisannya jika terdapat salah kata atau grammar yang terlewatkan. Tubuh letih, namun semangat untuk menulis masih ada, mengingat banyak sekali momen yang terjadi di akhir tahun masa SMA. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk berusaha sekuatnya memperhatikan tulisan itu. Miss kata pria itu dari kursinya, seorang pramugari berjalan berbalik ke arah pria tersebut Can I have coffee please? Pikiran itu terlintas dan kata itu terucap begitu saja, mungkin karena tubuhnya sedang membutuhkan tenaga ekstra.Are you sure sir? sahut pramugari itu ramah. Raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kelelahannya walaupun senyumnya terlihat sumringah. It's almost midnightYes, I have something to doOk, wait a moment sirThank youAnytime, sir Sambil menunggu Pria itu membuka tasnya, sebuah buku yang berwarna putih dikeluarkan untuk dibaca. Sekejap meja kecil menjadi kantor dadakan, buku, notebook, tablet dan handphone berserakan di atas meja kecil itu. Pria itu membuka kembali buku putih yang masih digenggamnya, Hard cover foto Barong menghiasi sampul depan buku, dengan desain tulisan putih minimalis yang menawan. Buku yang tebalnya sekitar 240 halaman itu berisi tentang perpaduan fotografi dan literasi bertema Bali, berjudul Beyond the Imagination.Excuse me, here's your coffee sir... Pramugari itu menyerahkan secangkir kopi, namun agak bingung sejenak melihat meja kecil yang penuh dengan barang. Secepat kilat Pria itu membereskan meja itu, hingga tinggal tersisa laptop dan buku pada genggamannya. With sugar sir? or milk maybe? sambung pramugari itu, saat meja sudah tertata sambil meletakkan cangkir putih dimeja kecil itu. Pria itu menolak dengan menggeleng pelan, serta senyuman kecil terbersit di wajahnya.Thanks lanjut Pria itu, dan dibalas anggukan pelan serta senyuman dari pramugari berambut pirang tersebut. Aroma tajam semerbak, memenuhi tempat pria itu duduk. Sejenak ia menikmati aroma asam dan wangi, dengan asap masih mengepul dari cangkir putih. Aroma itu membuat ia tergoda untuk menyeruput kopi tersebut. Diambilnya cangkir itu saat suhunya agak turun, ditiup lalu seruputnya pelan. Rasa pahit dan hangat pelan-pelan melewati mulut lalu tenggorokannya. Beberapa menit kemudian, sambil menunggu bantuan kafein merasuki otaknya. Pria itu memutuskan untuk membaca lagi buku karangannya sambil menikmati sesapan demi sesapan kopi hangat itu. Sampai akhirnya isi cangkir itu berkurang setengahnya.Halaman demi halaman ia balik pelan. Perlahan namun pasti mengamati kembali hasil tulisannya. Melihat kembali foto-foto tentang Bali yang indah. Dari megahnya sunset Tanah Lot, indahnya Danau Batur, Agungnya Pura Besakih, Eksotisnya upacara Ngaben serta seluruh tempat dan kegiatan di Bali. Akhirnya Pria ini membalik halamannya ke halaman terakhir buku. Dilihat kembali Profilnya sebagai penulis serta foto dirinya yang memenuhi satu halaman itu. Di halaman selanjutnya, terpampang sebuah foto yang lain. Gadis bertopi kupluk merah, sedang memegang kamera Fujifilm XT10. Gadis itu tersenyum sangat manis, berdiri di dek pinggir danau dengan latar danau yang luas, serta kabut sangat tipis yang menghiasi permukaan air.Senyuman kecil terbersit di wajah Pria itu. Serasa waktu berputar kembali mengingat kenangan tentang Gadis bertopi kupluk merah. Karena Gadis itulah buku ini tercipta. Dari tangan seorang fotografer muda yang ambisius dan bertalenta. Namun bukan hanya itu, Gadis ini juga yang mengubah hidupnya, bahkan hampir seluruhnya. Gadis itu Merapikan arti persahabatan yang sudah berantakan. Mengenalkan arti cinta, mengajarkan untuk merasa tegar, serta mengurangi rasa egois. Setelah puas memandangi foto itu ditutupnya buku putih itu, diletakkan kembali di dalam tasnya. Dibukanya laptop Asus Rog, yang dari tadi menunggu untuk dioperasikan. Meja dibereskan, tablet dan ponsel sudah dikemas rapi dalam tas.Malam hari diatas samudra Atlantik, di dalam pesawat tujuan Montreal Canada. Walaupun tubuh pria itu lemas, perlahan menguat berkat efek kafein yang terus mengalir. Kafein yang memaksa otak kembali aktif. New file di klik oleh pria itu, dalam kertas digital putih yang masih kosong. Diketikkan sebuah nama, nama seorang Gadis yang sangat berarti bagi hidupnya.Lisa... Part 1 : Gadis itu Bernama LisaHiruk pikuk terminal kedatangan Jakarta - Denpasar di bandara Ngurah Rai memang sedang penuh. Karena bulan ini masih musim liburan tengah tahun. Wisatawan sepanjang tahun terus datang tak henti-hentinya untuk menikmati keindahan pulai seribu Pura ini. Beberapa wisatawan asing pun terlihat bersliweran di koridor bandara. Ditengah keadaan bandara yang sedang sibuk siang itu. Seorang gadis, bertopi Kupluk merah, dengan jaket jeans lusuh berwarna biru yang sudah pudar, sedang mengamati ponsel. Tas ransel besar coklat menggantung di punggung, tangan kirinya menenteng kardus coklat. Langkahnya tergopoh-gopoh menyeruak diantara kerumunan orang, yang sedang sibuk mengamati mesin pengantar koper yang berjalan. Kemudian Gadis itupun melihat ke arah dimana kopernya datang dari mesin X-Ray. Sampai akhirnya koper merah yang besar dan berat akhirnya muncul dan menghampirinya. Diraihnya koper merah yang luar biasa beratnya. Seluruh tenaganya dikerahkan untuk mengangkat koper itu. Tenaga lebih dikeluarkan Gadis bertubuh kurus itu melebihi asupan kalorinya. Ia sedikit ngos-ngosan saat meletakkan koper itu, dan berhasil berdiri di lantai. Tuas hitam ditarik dari koper itu, bergegas Gadis tersebut berjalan meninggalkan kerumunan orang yang masih menunggu barang mereka. Dik, dik... terdengar teriakan sayup yang akrab akan dirinya  Lisa! Lisa... teriakan itu mengeras dan memperjelas maksudnya. Suara yang sangat diingat gadis itu, suara yang sangat menenangkan. Senyuman sumringah yang sangat lebar menghiasi wajah seorang ibu paruh baya dari balik pembatas railing diluar ruangan. Serentak Lisa kaget saat suara itu sampai ke telinganya yang mungil. Lisa menoleh ke kiri dan kekanan, ia melihat sosok ibu itu melambai. Pandangan Lisa langsung teralih pada tangan ibu itu. Seragam batik khas Bali berwarna coklat, dikenakannya, rambut pendek lurus dan kulit putih dengan tubuh yang agak berisi. Nametag bros kecil yang bertuliskan 'Dina Rianti B.' masih tersemat di dadanya.Mama... Kata Lisa lirih, ia melambai dengan smartphone masih dalam genggaman di tangan kanannya. Terdiam sejenak, seolah tak percaya, rasa rindu yang ingin menyeruak dari dalam dadanya meledak. Lisa mempercepat langkahnya menuju sosok wanita yang sangat ia rindukan itu, waktu yang memisahkan mereka begitu lama, kurang lebih tiga tahun lamanya.Koper dilepas. Kardus diletakkan begitu saja di lantai. Di depan ibunya Lisa menatap dalam mata lesu itu, Kini wajah ibunya terlihat semakin cantik dengan polesan make-up tipis. Mengingat dulu Ibunya hanyalah ibu rumah tangga biasa yang jarang berdandan. Mata Dina memerah sembab diantara eyeliner ungu. Dielusnya kepala Lisa, digenggamnya topi kupluk merah pelindung  rambutnya yang lurus panjang melewati bahu. Anakku sudah Gadis sekarang... katanya kagum seolah tak percaya Kamu cantik sekali nak ucapan lirih dan tulus yang keluar dari mulut seorang ibu, yang sudah terpisah lama dari sang buah hati. Berhambur Lisa memeluk ibu itu Lisa kangen ma... kangen sekali... kata Lisa lirih. Wajah Lisa terbenam dipundak Dina. Dieratkannya pelukan Lisa. Kehangatan yang dalam ia rasakan kembali. kehangatan seorang ibu yang selalu menemaninya dulu. Keadaanlah yang membuat mereka dulu terpisah. Mama juga kangen kamu nak... aduh... Lis... lama sekali nak... Dina terharu tak bisa menahan tangisnya. Dadanya mulai sesak dan sesegukan kecil keluar dari tenggorokannya. Lama terpisah, Ibu dan anak bertemu kembali dalam sebuah perjumpaan yang baik siang itu. Lisa adalah seorang Gadis periang. Namun dibalik semua sifatnya itu ia hanya menyimpan perasaan sakit hati dan kehilangan yang amat dalam. Usianya baru empat belas tahun. Dua puluh empat Agustus nanti ia akan genap berusia lima belas Tahun. Ibu dan Ayah Lisa berpisah tiga tahun yang lalu, karena mendadak sukses mendapat proyek besar dan lupa daratan. Pergi dan berfoya-foya, selingkuh dengan wanita lain  dan melupakan istrinya. Lisa ingat betul pertengkaran itu. Dina adalah seseorang Wanita sunda yang bersahaja. Ia hanya ibu rumah tangga yang peduli pada anak-anaknya. Namun ia tak tahan dengan perlakuan Bram, suaminya yang pulang mabuk, ataupun lebih sering marah-marah. Lisa mengingat saat ibunya datang ke kamarnya, memeluk dirinya, sambil menangis karena tak tahan akan keadaan ini. Tidak ada yang bisa dilakukan Lisa, pandangannya kosong menatap langit-langit rumah sambil menggenggam boneka cookie monster biru di tangan kanannya. Saat itu ia akan menghadapi UAN tingkat sekolah dasar. Ia hanya ingat luka lebam di pipi kiri ibunya dan sosok yang ia cintai itu, akan meninggalkannya. Saat pimpinan perusahaan tempat ayah Lisa bekerja terkena kasus oleh KPK. Ayah Lisa dan beberapa pegawai lainnya terkena PHK. Keadaan bukannya membaik, malah sebaliknya. Ayah berubah menjadi pribadi yang sangat keras. Ibu sudah meninggalkannya dan Kevin anak laki-lakinya yang paling besar terjerat kasus narkoba. Dalam keadaan kelam Lisa masih bertahan di rumah putih yang besar. Rumah memang menjadi sangat tenang saat Ayahnya tak ada. Meringkuk Lisa di kamarnya sendiri. Mendengarkan radio, sambil mengerjakan PR, membaca buku pelajaran, ataupun hanya bengong menatap dinding yang sudah kusam. Ketenangan itu berubah, saat mendengar suara mobil ayahnya yang memasuki halaman rumahnya. Perasaan takut menyelimuti diri Gadis mungil itu, karena tidak jarang ia sering dimarahi tanpa alasan. Disekolah Lisa menjadi anak yang sangat minder. Dengan smartphone Sony second kesayangan yang dibelikan ibunya. Lisa mencoba memfoto bunga-bunga dimanapun ia temukan. Ia tak tahu untuk apa foto-foto itu kelak, hidupnya sudah cukup pahit untuk dijalani. Sudah ratusan foto ia koleksi, dari bunga-bunga indah yang berjejer di toko bunga, sampai bunga liar di tepi jalan. Secara autodidak ia tau bagaimana memposisikan objek ditengah dipinggir, serta mengatur latar. Ada satu ingatan yang meninggalkan luka batin dalam hati Lisa. Waktu itu, ia sedang menyetrika baju. pekerjaan rumah adalah salah satu pelarian dari kesedihannya. Saat menyetrika ia nonton tv di sore hari. Kebetulan itu adalah acara kartun kesukaanya. Namun karena keasyikan ia lupa mengangkat strika dari kemeja ayahnya. Kemeja itu akan digunakan untuk interview besok. Kemeja itu bolong dan sudah tak layak pakai lagi. Ayah Lisa datang dan melihat kemejanya yang paling berharga dirusak, dalam hitungan detik Ayahnya langsung naik pitam sejadi-jadinya. Tanpa banyak kata diraihnya strika yang masih panas itu dilemparkannya pada Lisa, reflek Lisa melindungi dirinya, dan strika itu mendarat ditangan kirinya. Dengan nafas terengah-engah Ayahnya menatap Lisa tajam sambil menggenggam kemejanya yang sudah bolong itu. Takut, sedih, trauma, shock, bingung, entah perasaan apa yang membanjiri diri Lisa saat itu. Sekujur tubuhnya terasa panas dan tak karuan. Pikiran irrasional muncul, Lisa tak bisa mengendalikan dirinya. Perasaannya hanya berkata untuk lari, lari dan lari. Serentak Lisa pergi kekamar mandi dikuncinya pintu, dihidupkannya shower, masih dengan pakaian lengkap ia mengguyur tubuhnya. Air dingin shower serta air matanya bercampur, Lisa hanya bisa melotot kedepan cermin. Saat dilihat dirinya sedang menangis, ia memaksa dirinya untuk tertawa. Atau setidaknya tersenyum, ataupun terlihat bahagia. Namun yang disaksikannya di cermin hanyalah.Tubuh mungil menggigil saat menangis dalam tawa dari hati yang tersayat. ***Waktu berjalan cepat, keputusan untuk tinggal bersama ibunya sudah Lisa pikirkan matang-matang sejak ia lulus SMP. Ia tidak punya target ataupun cita-cita tinggi, yang ia inginkan adalah bersama dengan Ibunya selama mungkin. Karena ia percaya kehangatan dengan ibunya dahulu bisa memperbaiki suasana hatinya.  Lisa kamu lapar? Dina menyadari suara dari perut anaknya yang terus menerus bersuara. Saat itu mereka berdua sedang berjalan di sebuah koridor yang panjang. Iya Ma, laper banget nih, dari pagi belum makan, cuma makan kacang sama permen di pesawat kata Lisa pelan. Sebelum ke sini gak sarapan?Nggak Ma, langsung berangkatDina hanya menggeleng pelan. Ia sangat prihatin dengan kondisi Lisa, kurus kecil dan berwajah agak pucat. Ingin rasanya ia menangis mengingat kondisi Lisa yang tidak terurus itu. Burger mau? di sana temen-temen mama nunggu, yuk sekalian mama kenalinBole Ma! kata Lisa antusias. Bergegas mereka menuju restaurant Burger King yang ada di airport. Dina langsung menuju dua orang wanita yang berseragam sama dengan dirinya. Mereka sedang duduk menikmati softdrink dan kentang goreng. Mang, De, Ni anakku yang kuceritain kemarin Dina memperkenalkan Lisa pada kedua temannya itu. Lisa menjulurkan tangannya pada kedua wanita karir yang hendak bersalaman. Komang sahut wanita berkacamata yang masih terlihat sangat muda. Dewanti sambung wanita yang kira-kira sebaya ibunya, saat Lisa menjabat tangannya.Ini managernya Mama Lis, kemarin tante Dewanti yang bantuin mama nyari kos. Ini mbok Komang Lis, temen seperjuangan Mama. nanti kamu panggilnya mbok, soalnya masih bajang Kata Dina antusias. Beh, bajang! bisa aja mamamu kata Komang dengan logat Balinya yang kental. Bajang? kata Lisa dengan ekspresi bingung.Masih remaja tu artinya, bajang itu remaja, kayak kamu sahut Dewanti Jegeg, sekali anakmu Din, lebih putih dari kamu. Jegeg? sambung Lisa dengan wajah mengkerut semakin bingung. Cantik, Sayangku Komang tertawa. Dia baru datang Mang, mana ngerti, Dina menatap Lisa dengan senyuman Ya nanti kan kamu tau istilah-istilah itu.  Din, Kasian tu anakmu, kurus gitu, makan sana, pesen, kenken ne meme ne? (Gimana sih ibunya?) Dengan sebatang kentang goreng yang masih dimulutnya Dewanti menyahut. Oh iya, ayo Lis pesen Dina menuju ke meja kasir disusul Lisa setelah meletakkan tas ransel dan kopernya di sebelah meja. Setelah memesan merekapun kembali dan mulai makan. Apa yang terjadi membuat Komang dan Dewanti kaget, sedangkan Dina hanya terdiam heran dan melongo. Saat itu obrolan mereka tertahan sejenak. Mereka melihat Lisa melahap paket terbesar dalam daftar menu Burger King. Dengan tambahan dada ayam goreng, ekstra kentang tidak ketinggalan extra Coke, Porsi makan yang sangat teramat sadis untuk seorang gadis. Apalagi tidak ada hitungan menit, burger itu sudah habis hampir setengahnya. Lisa yang menyadari dirinya sedang diperhatikan oleh mereka semua membalas tatapan mereka dengan mulut masih penuh dengan burger. Pipinya mengembung besar. Kemudian ia memelankan kunyahannya dan mencoba sekuat tenaga untuk tersenyum, dengan saos masih menempel di bibir atasnya. Ketiga orang itu cekikikan geli. Sebenarnya mereka kasihan, tetapi  melihat wajah cantik mengembang tak karu-karuan itu, mereka tak bisa menahan rasa lucu yang bercampur rasa haru. Reflek Dina mengambilkan tissue dan mengelap bibir atas Lisa sambil tersenyum geli. mha-hap ma, ah-u la-her... ho-li, ho,... li Berdecap-decap Lisa mengucapkan kata, entah siapa yang akan mengerti maksudnya. Dewanti, Komang dan Dina tak sanggup lagi menahan tawa, mereka tertawa sampai meringkuk di meja. Uda, uda... kunyah dulu, kamu itu makan masih kayak anak kecil, cemot dimana-mana... kata Dina sambil menahan geli. Aduh Din... Kata Komang lalu disusul gelak tawanya lagi Anakmu polos sekali ya... Lisa hanya tersenyum geli, setelah burger itu berhasil ia kunyah dan memaksa untuk menelannya. Dengan bantuan tegukan Coke yang terdengar keras saat melewati tenggorokannya. Saking malunya wajah Lisa merona merah, agak enggan melanjutkan makannya. Makan lagi sayang, pelan-pelan tapi ya... Kata Dina sambil tersenyum dan dibalas Lisa dengan anggukan pelan. Termenung beberapa detik, Lisa kemudian melahap burger itu jauh lebih pelan dari sebelumnya. Dirasakan setiap rasa dari burger itu, dikunyah pelan, lalu ditelan. Lisa tidak ingat kapan terakhir ia makan seenak ini. Mungkin karena suasana dengan Ibu yang ia rindukan. Momen itu lama sekali ia tidak rasakan, dimana seluruh senyuman canda dan tawa mewarnai seluruh meja makan. Saat keluarganya masih utuh dulu. Saat ia berebut ayam goreng dengan Kevin. Saat ibunya mengelap kedua bibir anaknya dengan senyum dan kasih sayang. Saat ayah tertawa atas tingkah polah mereka. Terakhir dalam ingatan Lisa meja makan itu sudah kosong. Hanya ada vas bunga yang sudah berdebu. Dingin dan tak ada kehidupan. Sekuat tenaga ia berhasil menahan air mata yang akan jatuh menetes. Merasakan kehangatan itu kembali, sekalipun itu terasa asing. Dari relung hatinya yang terdalam ia sangat ingin merasakan itu kembali.  Part 2 : Cangkir yang RetakLisa tiba di daerah Sesetan, Kota Denpasar,  di sebuah bangunan indah yang masih baru berwarna krem. Mereka menuju kamar nomor lima di lantai dua, terdapat ruangan cukup luas dengan dua kasur yang terpisah disana, didepannya ada TV flat berukuran 32. Kamar itu lengkap dengan kamar mandi dan dapur, disana terdapat juga sebuah balkon yang cukup besar. Lisa berdecak kagum pada kerapian kamar itu. Dina adalah orang yang tidak bisa sama sekali menoleransi ketidak teraturan. Bahkan debu yang tebalnya seperempat milimeter saja diperhintungkan. Keadaan kamar Kos itu sangat berbeda dengan rumah besar tempat tinggal Lisa di Jakarta. Semenjak ditinggal Dina, rumah putih yang besar itu menjadi seperti gudang, berantakan, hampa dan berdebu. Nah ini kamar Mama Lis... Dina sejenak memandang berkeliling dengan tersenyum bangga. Ga sebesar di rumah dulu sih, tapi ya... cukup untuk kita berdua."Cukup banget Ma, ada dapur sama ruang makan juga Kata Lisa sambil memandang berkeliling.  Lisa langsung duduk di lantai dekat tempat tidur ia membuka kopernya, mengeluarkan barang-barang pribadinya, buku komik, boneka Cookie Monster kesayangan Lisa yang ia bela-bela bawa, karena tanpa kehadiran boneka itu ia takkan pernah bisa terlelap. Kemudian ada sesuatu yang membuatnya terenyuh. Mainan superhero yang sudah usang itu, mengingatkan ia pada Kevin. Lisa dan Kevin terpaut empat tahun. Dulu sewaktu kecil, mereka sering bermain perang-perangan, Batman melawan Superman, Flash melawan Green Lantern, Wonder Woman melawan Cyborg. Kemudian ada juga replika kecil Arrow, Robin, dan Nightwing. Seiring waktu berjalan mainan itu ditinggalkan Kevin. Lisa hanya merasa sayang saat mainan itu akan disumbangkan, kemudian ia memutuskan untuk menyimpannya. Mainan itu selalu setia menemaninya di meja belajar manapun tempat Lisa tinggal. Sambil berharap ia bisa bermain dengan kakaknya lagi, berkhayal, ataupun bercerita. Mengingat ia pernah melihat kakaknya yang sedang sakau di kamarnya, pemandangan yang sangat mengerikan yang ia ingin lupakan. Sebuah Kotak hitam yang paling berharga yang Lisa punya, diangkat dan dibuka. Sebuah kamera Mirror less Fujifilm XT10, Beserta Notebook 13 ASUS putih. Kedua barang itu adalah hartanya yang paling berharga dan paling mahal. Bukan terlihat dari harga materi benda itu, tetapi kisah dibalik itu semua. Bram terus merasa bersalah setelah kejadian pelemparan setrika itu. Kemudian ia mencoba ingin lebih mengerti tentang anaknya, tak sengaja Lisa meninggalkan ponselnya di ruang tamu dalam keadaan tidak terkunci. Kemudian Bram tercengang melihat galeri Lisa yang penuh dengan empat ratus tiga puluh lima images foto bunga hasil jepretan Lisa. Ayah Lisa langsung menawarkan Lisa tentang kelas Fotografi, ternyata bakat itu menurun dari kakeknya yang dulu bekerja sebagai wartawan. Lisa mengikuti kelas tersebut dengan sangat antusias, diijinkannya Lisa absen dua minggu mengikuti kelas fotografi di Bandung. Setelah lulus pelatihan oleh fotografer ternama, Lisa dibelikan Bram Notebook ASUS dan kamera Fujifilm XT10 dari sisa uang hasil PHK-nya. Bram meminta maaf pada Lisa, dan ia berjanji akan mendukung apapun keputusan Lisa. Keputusan terberat yang harus ditanggungnya adalah melepaskan anak Gadisnya pergi bersama Dina. Mungkin itu akan memberikan waktunya untuk berfikir, dan menyadarkan Kevin. Kameramu bagus sekali Dik... Dina datang tiba-tiba membawakan Lisa teh hangat yang masih mengepul dalam teko. Kemudian meletakkannya di meja lipat kecil disebelah tempat Lisa membongkar semua muatannya. Di beliin Papa ma... Hadiah kelulusan katanya... kata Lisa dengan senyuman.Dina hanya membalas dengan senyuman getir Ya, baguslah... Dia masih sadar punya anak, tiap hari Mama khawatir sama keadaanmu di sana Lis, Mama juga ga sampe hati denger Kevin kayak gitu Dina duduk lalu merangkul Lisa. Lisa hanya menyandarkan kepalanya sambil memandang kameranya. Sampe kamu kurus gini... Di sana kalo mau makan gimana nak? Bi Raha masih ada?"Makan Soto Ma, hehehe... Aku cuma makan apa yang bi Raha buat. Pas aku kelas sembilan bi Raha pulang, ga balik, mau nemenin anaknya. Mama masih marah banget ya sama Papa? Tanya Lisa pelan.Dina hanya menggeleng dan mengalihkan pandangannya seolah enggang menjawab, sambil menatap dinding krem. Mama memang marah, tapi sama sekali mama ga benci, Mama masih sayang sama papamu, cuma untuk sementara lebih baik begini. Semoga untuk sementara, Mama pingin sih masih ada kemungkinan kembali Kemudian Dina menatap lagi anaknya yang masih penasaran akan kata-katanya. Mama seneng di sini nak, punya temen baik, karir mama lumayan bagus, Bali tempatnya bagus buat merenung, tapi yang paling menyiksa adalah saat mama kangen sama kamu sama Kevin. Dina mengelus kepala anaknya Kakakmu pasti sembuh nak, cuma sekarang Papamu yang sedang berusaha. Lis, disini Mama cuma mau kita berdua bisa kumpul lagi kayak dulu, biar waktu yang jawab gimana kedepannya Dina menuangkan teh yang masih panas dari teko, asapnya masih mengepul. Hubungan keluarga kita kayak cangkir Lis, tapi yang sudah pecah, trus diperbaiki dengan sangat teliti dan rapi sampe ga ada bocornya sama sekali, tapi retakannya masih terlihat. Bagi sebagian orang itu ga masalah, yang penting masih punya fungsi yang sama. Dina meraih cangkir putih itu menyodorkannya pada Lisa  Wadah untuk teh yang nikmat Lisa tersenyum meraih cangkir itu. Hatinya yang dingin seperti disirami air hangat yang membasahi sampai ke sela-sela terkecil nuraninya. Sore bersama Mama, dengan teh manis yang harum. Sambil mencerna maksud Dina tadi, Lisa tanpa sadar langsung meminum teh yang masih mengepul itu. UKHHHH! Mulut Lisa langsung menolak teh itu, disemburnya teh itu. HHHHAAAAA PAANNASSS... dengan cepat Cangkir itu diletakkannya di meja kecil. Lisa langsung mengibas-ngibaskan tanganya di depan mulutnya. Dina Langsung tertawa geli, melihat dahi anaknya yang mengerenyit, menahan bibirnya yang kepanasan. Ditiup dulu sayaaaanggg Dina kembali tertawa. Terpesona ya?Ah, Mama nih! kata Lisa dengan senyuman manisnya. Dari dulu Dina memang paling juara memberikan petuah-petuah untuk Lisa, mungkin karna ia lulusan sastra.  Dina langsung memeluk anaknya yang manis itu, melepas rasa rindu yang sangat sambil badannya bergerak pelan. Mama kangen sekali nak... Ya ampun Lisa... Sampai hari itu berlalu mereka berdua sibuk merapikan kamar, hingga semua tertata sebagaimana mestinya. Sebelum tidur Lisa dan Ibunya ngobrol dari kasur masing-masing, Lisa mengambil kasur yang dekat dengan meja belajar. Kasur yang sudah dilapisi sprai kuning warna kesukaan Lisa. Acara TV diacuhkannya, hingga tak sadar mereka berdua tidur dengan suara sayup TV hingga surya terbit di ufuk timur pulau Dewata untuk menghadapi lembar kehidupan baru.   Part 3 : PhotographPagi yang cerah merwarnai hari pertama Lisa di Pulau Dewata. Sinar mentari timur memenuhi kamar kos yang sudah rapi. Saat cahaya mentari menembus jendela dan menerangi ruangan. Lisa sarapan seadanya, yaitu nasi goreng dua piring. Dina sangat heran melihat nafsu makan anaknya, yang selalu bisa menyikat bersih santapan yang ada di depan matanya. Ia sangat senang hari itu melihat Lisa yang dengan semangatnya melahap masakannya. Apalagi kebahagiaan seorang Ibu selain makan bersama buah hatinya.Naga diperutmu lagi ngamuk ya nak? beberapa piring kosong diangkat dari meja, setelah Dina selesai makan. Sedangkan Lisa masih semangat menghabiskan butir-butir nasi di piringnya.Nggak tau ni ma, kok bawaannya laper terus ya? Lama ga makan nasi gorengnya mamaEnak nggak?Hotel bintang lima lewaaaattt....Sini sekalian mama cuciinMakasi ma, harusnya aku yang nyuci sahut Lisa menghampiri Dina.Nggak pa-pa nak, nanti kan bisa giliran sejenak Dina terdiam oh ya! tiba-tiba Dina teringat sesuatu, saat ia meletakkan piringnya di tempat pengeringan samping wastafel Katamu kemarin kamu ikut kelas fotografi?Lisa mengangguk sambil meneguk air. Di Bandung dua minggu Lanjutnya.Itu kelas apaan sih? ada ya pelajaran gitu?Ya adalah ma, di sana aku diajarin 'rule of third', diajarin juga 'golden ratio', trus ada juga namanya shutter speed, ISO, Diafragma, Cuma aku ikut kelas basic, gak ikut kelas yang udah professionalWah, kenapa ga ikut? Kan sekalian aja, mumpung ada di sana.Belum kepingin ma, ga tau kenapa, Kelas selanjutnya foto model, harus nentuin Lightning, Dim light, natural color yah macem-macem dehWow sahut Dina singkat, piring terakhir sudah selesai dibereskan Trus maksudnya pelajaran yang dibilang 'basic' itu apa?Lisa bingung mau menjelaskan dari mana. Ya udah sini deh Ma, aku liatin Bergegas Lisa menuju meja tempat laptopnya diletakkan, laptop mungil itu dihidupkan kemudian diperlihatkan file-filenya.Lis, mama yang ga ngerti aja, bilang ini bagus. Kayak itu lho, wallpaper windows. diperlihatkan foto pohon diantara rerumputan hijau, foto sawah yang sangat hijau dengan langit biru cerah tanpa awan setitik pun. Terdapat juga foto kumpulan jeruk yang sangat menggiurkan. Itu jeruknya keliatan seger banget ya.Iya ma, itu foto waktu aku ke supermarket pas pulang dari Bandung. Ini semua foto setelah aku ikut kelas Ma, ini yang sebelum aku ikut kelas ditunjukkannya semua foto bunga yang ia temui di jalan, di taman, sampai di toko bunga.Kok bunga semua? sahut Dina spontan.Dulu ga ngerti foto ma, suka aja, pulang dari sekolah kalo nungguin angkot, pas jalan nyari angkot, kalo ketemu aku foto. Kadang aku liat-liat lagi, lumayan ngusir sepi maItu aja udah bagus sayang... Memang ya mata fotografer bisa ngeliat sisi yang berbeda dari objek, trus tu apa? Dina menunjuk folder yang lainnya.Ini foto luar biasa ma, udah pake kamera itu Lisa menunjuk Fujifilmnya, kemudian ia meng-klik folder tersebut dan hanya ada segelintir foto di sana. Dina jauh lebih takjub akan foto-foto tersebut.Ada foto hitam putih sekelompok anak di taman bermain. Ekspresi mereka menunjukkan keceriaan. Ada juga foto nenek-nenek sedang memandang keluar jendela. Ada foto ikan Koi, yang pas jumlahnya sembilan ekor sedang berenang. Ada juga foto seorang memasak kerak telur, dengan lidah api yang menyembur dari tungkunya.Lis, ini bener-bener... Dina mengelus dada melihat hasil foto anaknya. Bikin Mama bangga, nak. Tekuni terus, mama tau ini bukan yang terhebat. Tapi kalo bisa, teruslah berkarya nak.Perkataan itu dibalas Lisa dengan anggukan pelan beserta senyuman. Oh, iya ma. Ada lagi! tiba-tiba Lisa teringat akan sesuatu. Diambilnya tas hitam yang berada tidak jauh darinya. Dikeluarkannya dua sertifikat. ta- da- dengan bangganya Lisa mengangkat kedua sertifikat tersebut. Pertama adalah sertifikat penghargaan telah mengikuti kelas fotografi, dengan grade Outstanding. Kedua adalah penghargaan sebagai peserta termuda. Sertifikat tersebut bersegel emas, dan kurang lebih ada empat tanda tangan diatas kedua sertifikat itu.Dina mengambil sertifikat itu, membacanya pelan bahwa nama anaknya 'Lisa Magdalena Baskara' terpampang dengan tulisan tangan nan indah di sertifikat itu. Well... Then... My Wonder Girl! Dina merapikan kedua sertifikat tersebut. Lisa hanya mengangkat kedua jempolnya dengan memainkan alisnya naik turun. Mata Dina teralih lagi ke laptop. Itu yang terakhir foto apa Lis?Oh ini... serentak Lisa kembali ke mousenya dengan cepat meng-klik foto tersebut, foto potrait hitam putih itu membesar memenuhi layar. Disana terpampang foto seseorang, dengan rambut klimis disisir rapi ke belakang yang sudah mulai memutih, tangan disilangkan di dada, dan senyuman lebar memenuhi wajahnya. Namun senyuman itu tidak bisa membohongi ekspresi pada wajah yang lelah, mata lesu, dan kerutan di dahi.Mas, Bram... kata Dina lirih, senyuman getir mewarnai wajahnya.Saya sengaja foto itu, pas nyoba kamera baru Mah, ga tau malah hasilnya bagus kata Lisa agak canggung.Iya ga pa-pa Lis, bagus kok... kamu boleh jenguk papa kok sekali-sekali. Sahut Dina, sembari mengelus pundak LisaLisa hanya menggeleng Lisa maunya, jenguk papa bareng mama, biar bisa kumpul kayak dulu... Kita masih bisa bareng lagi kan ma?Sejenak mereka terdiam, saling memandang namun sama sekali tidak ada unsur kemarahan dalam pandangan Dina. Justru ekspresi dingin yang dipancarkan dari wajahnya. Lisa mulai tertunduk,ia mengira mungkin saja Ibunya marah atas perkataanya barusan. Tapi perkataan itu tulus keluar dari hatinya yang terdalam.Doakan ya sayang, semoga semua bisa baik jalannya, Mama cuma percaya semua akan indah pada waktunya. Dina pergi ke lemari mengambil map kosong lalu meletakkan sertifikat itu di dalam map tersebut. Lisa, sekarang jangan pikirin itu dulu, sekolah dulu, kembangin bakatmu, nikmati Bali, nanti mama ajak jalan-jalan, kita bisa foto sunset, kita bisa ke Beachwalk, nonton film bareng, atau kalo kamu suka makan mama ajak makan ayam betutu Kata Dina antusias.Bener ma? ayam betutu? yang pedes itu? Kata Lisa antusias.Iya, nanti mama pesenin... kata Dina lembut.Iyeeee... Lisa naik ke kursi lalu berpose pahlawan bertopeng. Nagaku tidak akan pernah kelaparan lagi, HA, HA, HA...Iya, iya tapi ga naik-naik kursi gitu, turun-turun, masi aja kayak anak kecil Dina menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini kamu isi duluApa ni ma? pendaftaran akademi superhero?Formulir pendaftaran sekolah, baca dong! Tu kan ada tulisannya...SMAK Swastiastu Denpasar, Jalan Serma Kawi, nanti aku sekolah di sini ma? tanya Lisa antusias.Iya, sekolah di situ, deket dari sini cuma 15 menit, mama uda beliin kamu motor matic, buat kamu sekolah, disini angkutan umum agak susah soalnya, itu isi lengkapin, nanti mama anterin daftarTinggi badan boleh di skip ga ma?Emang kenapa?Malu ma tinggiku cuma 158cm Lisa tertawa pelan.Halah, mama cuma 155cm, kamu udah lebih tinggi dari mama Lisa, ga usa malu tulis ajaLisa menatap lembaran formulir itu, ia tak percaya dirinya sudah masuk SMA. Dirinya yang masih suka Spongebob, dan membantu Dora mencari harta karun. Dengan tatapan percaya diri, Lisa memandang Ibunya sambil mengangkat jempol kirinya dan memainkan alisnya.  Part 4 : sahabat-sahabat tak terdugaPagi yang cerah di Denpasar, jalanan masih terbebas dari macet dan bisingnya kendaraan yang berlalu lalang. Scoopy matic pink, berjalan pelan mengarungi jalan satu arus yang masih terlihat lengang dan agak sepi. Dengan santainya Lisa mengendarai motornya yang baru dibelikan ibunya. Kira-kira 15 menit lamanya perjalanan yang ia tempuh dari rumah menuju sekolahnya. Terlintas di pikiran Lisa, bahwa ia mempunyai resolusi tengah tahun, kehidupan barunya di Bali membuat ia dapat berpikir jernih dan positif menjalani hari. Lisa berkomitmen dengan kehidupan sekolah barunya ini ia harus menjadi pribadi yang yang periang dan mempunyai banyak teman. Lisa tak mau terlihat ia mempunyai masalah, apapun keadaannya saat ini ia hanya ingin melewati waktu bersama ibunya selama mungkin. Hari itu adalah awal dari masa orientasi siswa, para siswa sudah berkumpul di lapangan, semuanya sudah berbaris rapi dan teratur. Termasuk Lisa, ia berada di urutan ketiga dari depan upacara pertama dilangsungkan di lapangan yang cukup terik itu. Saudara-saudara sekalian, Trima kasih sudah berkumpul dengan tertib untuk mengikuti rangkaian acara Masa Orientasi Siswa ini. Dengan ini saya Drs.Sunarya... Kepala sekolah melanjutkan pidatonya, terlihat beberapa anak mulai menguap. Namun ada satu hal yang aneh, semua murid senior kelas sebelas dan dua belas ada di depan beranda kelas mereka, padahal jam pelajaran sebentar lagi akan dimulai. Sekolah terlihat sangat ramai dan penuh. Dengan dilaksanakannya Masa Orientasi Siswa ini, Kami segenap pihak sekolah, Siswa senior dan para guru. Menyatakan! terdapat jeda sedikit dalam pidato kepala seolah. Bahwa tidak ada aksi penggojlokan, atau yang disebut juga Perploncoan atau yang dalam istilah yang sudah umum di sebut juga Pembulian, atau Bulliying. Tepuk tangan riuh dari semua siswa yang menyaksikan pidato itu, Anak kelas X bingung dan hanya melihat ke arah para siswa senior bertepuk tangan. Beberapa dari mereka hanya saling lihat dan beberapa berbisik. Serius kita ga di kerjain nih? kata seorang gadis dari belakang Lisa. Iyah, itu lho, denger-denger kasus tahun lalu sahut seorang lagi dari belakang. Lisa melihat berkeliling dan ternyata semuanya banyak yang saling berbisik. Setelah teriakan riuh redam itu reda, Kepala sekolah melanjutkan pidatonya. ***Pekan itu MOS berlangsung sangat menarik, Kakak kelas hanya bertugas membimbing juniornya. Tidak ada aksi bentak-bentakan, tidak ada aksi memaki. Meskipun ada hukuman, namun itu semata hanya sebuah games yang dimainkan bersama untuk membentuk teamwork. Lisa sangat senang, dengan awal yang baik itu. Hampir seluruh kelas ia kenal, Lisa tidak peduli akan sikapnya ia berbincang pada siapa saja yang ditemui. Ia menjadi daya tarik bagi seluruh kelas terlebih Pria, kecantikannya yang di atas rata-rata serta sikapnya yang 'agak' tengil membuat suasana positif bagi semua orang. Hari pertama pelajaran sekolah dimulai, Kelas X-3 IPS sudah dipenuhi oleh para siswa kira-kira berjumlah tiga puluh orang. Pagi itu Lisa datang ke kelas tersebut begitu ia membuka pintu, ia hampir menabrak Made dan Edo yang bermain dengan sapu. Sori, sori Lis, dengan cepat Edo menghindarbeh!, Nyari kesempatan... kata Made masih memegang sapuKle(Bahasa bali Setara dengan 'anjrit') Sapa tau dapet, 'qe'(sebenarnya diambil dari kata Awake'kamu' bahasa Bali, namun hanya dikatakan di daerah Badung) tuh! Edo hanya tertawa kecilAwas, kena kepalaku, lagian ngapain sih pagi-pagi kalian main sapu? Kata Lisa sambil berjalan. adoo bule sunda ni! pagi-pagi udah ribut... tiba-tiba Gede menyahut dari belakang, Ia juga baru memasuki kelas. Neng! jalan, Neng! minggir Serentak Lisa menepuk tangan Gede yang besar itu Eh, Bagong! enak aja Bule Sunda! awas manggil gitu lagi Gede hanya tertawa. Pagi-pagi rasis amat sih! sahut LisaIya Bule ga pernah liat Sapi! kata MadeHah, kok bisa? sahut Edoqe ga tau kemarin? kita kelaperan gara-gara anak ini, sama tu si Jepang, si Rusia juga tu Made menimpali si Asuka, sama Valle Kata EdoIya, kita ngambilin sampah di pinggiran pantai, mereka malah jalan ke tegalan(Kebun belakang), pas jam makan ilang, di cari Novi, eh! bertiga selfian sama sapi, untung bajunya putih, coba merah! Made berjalan menuju pojokan Itu Lisa merah tu kepalanya Sahut Gede Lis, Itu topi ga pernah dilepas ya? sepanjang hidup nempel terus di kepalamu, jangan-jangan kamu kutuan ya sengaja disembunyiin! Edo langsung duduk di meja depan. Lisa hanya berdiri terpaku di tengahnyaAnjrit! Enak aja Cungkring Laknat! Kata Lisa langsung memukul tangan Edo, Namun Edo hanya tertawa geli. Teman-teman Lisa memang sudah terbiasa menerima ejekan Lisa, namun tak satupun dari mereka bisa menemukan ejekan yang cocok untuknya. e, e, e, minggir, minggir, Ibu suri tibaaaa kata Made memberi Jalan, serentak gerombolan anak-anak tadi menyamping membentuk jalan. Ini pada ngapain sih!? Novi lewat dengan tas birunyaTauk ni Nov, pagi-pagi aku di bully... Sahut LisaDari SMP, qe ga pernah berubah! ga bisa liat orang cantik dikit! Kata NoviYe, qe juga galaknya masih sama! ketua kelas lagi. Sahut MadeSetelah itu Lisa duduk di barisan ketiga dari depan, barisan kedua, ada Vallerie, dan Asuka sedangkan teman sebangku Lisa adalah Chandri, gadis Bali tulen yang agak pemalu. Asuka adalah Gadis blasteran Jepang dan Vallerie blasteran Russia. Geng Balamade, begitu sekelas menyebutnya mungkin mereka terinspirasi dari baliho-baliho yang ada di jalan, yang isinya orang-orang besar bertato dan berbaju hitam. Made adalah kepala korlapnya disana ada Edo, Gede, dan Gungde. Mereka Duduk dibelakang Lisa, dan mereka berempat ributnya minta ampun. Hanya Gungde yang punya kharisma dan sangat kalem, ia adalah pemain basket berbakat, terlihat dari postur tubuhnya yang cukup tinggi dan tegap. ***Kelas Lisa bisa dibilang kelas ajaib, I Kadek Noviyanti Dewi, atau yang sering dipanggil ibu Suri, sebagai kepala suku yang bertanggung jawab atas kelas mereka. Novi membaginya menjadi beberapa spesies, ada Otaku, ada Koreaboo, ada Ormas (organisasi masyarakat, dan tentu saja terinspirasi dari baliho), ada Bandar Bokep, ada Spesies umum, sampai pada Louis yang paling ajaib disebut juga 'google brain' kacamata tebal, rambut lurus, dan gigi agak tongos, biasanya dia dimanfaatkan teman sekelas untuk mengerjakan tugas. Namun karena namanya terlalu keren, Louis ia dijuluki Robocop oleh Surya, mungkin karena jalannya yang terlalu kaku. Satu minggu sudah berlalu, tanpa terasa di dalam kelas itu terasa begitu riuh. Semuanya tanpa terkecuali menjadi sinkron satu dengan yang lainnya. Suatu hari ada pelajaran kosong,  Guru Sejarah hanya memberikan tugas untuk meringkas isi materi tentang manusia purba. Apa yang terjadi, tentu saja tidak satupun orang yang mengerjakan, dengan niat yang aneh mereka membuat ruangan kelas seperti meja konfrensi. Dengan niat yang tulus Ormas Balamade (Made, Edo, Gede, dan Gungde) mensponsori tiga bungkus kacang kulit besar dan sebungkus kuaci. Mereka semua bericara tentang apa saja isi kepala mereka. Dari pengalaman MOS sampai, membahas siaran TV yang semakin hari semakin buruk, dan tentu saja, Spesies Otaku yang paling protes dengan hal ini karena kartun anime kesayangan mereka hilang, dan dengan terpaksa mereka menyaksikan Nobita di hari minggu pagi yang tak kunjung naik kelas. Lisa, Vega dan Keira juga sangat setuju dengan mereka, dan mengecam keras aksi penyensoran 'tupai berbikini' pada kartun spongebob Suasana kelas riuh redam, dan Orang-orang tidak peduli dan mereka hanya tertawa terbahak-bahak. Kelas dengan tiga puluh murid itu, bak stadium bola yang bersorak saat team dukungannya mencetak gol.MANA TUGAS KALIAN!!? Serentak seluruh kelas kaget ketiga pak Dwi wakil kepala sekolah memukul meja paling depan. Dengan riuh dan suasana kacau semua mencari selamat sendiri, layaknya Barak tentara yang mendapat serangan tiba-tiba. Suasana berubah seperti kapal titanic yang mau tenggelam, saling mendorong satu sama lain. Seluruh anggota kelas mencoba kembali ke posisi semula. Mencari tempat duduk seadapatnya, sampai Pak Dwi mendatangi mereka satu-satu. Mana Tugasmu!? Pak Dwi menunjuk Jessen yang kebetulan duduk terdekat dengan posisinya. Jessen hanya menggeleng. Keluar!, Kamu? pak Dwi menunjuk Eka Kamu? Ekapun menggeleng lalu menunduk. Pak Dwi memukul meja yang tepat didepannya Keluar!, Yang lain tugasnya mana? satu kelas hening dan tertunduk lesu. Kalian semua! Diberi tugas bukannya dikerjakan malah ribut, Ribut kalian itu kedengaran sampai ruang guru, TAU KALIAN! satu kelas pun hening, Pak Dwi berjalan keliling dengan emosi ditemukannya barang bukti, Ini ada kacang ada kuaci, kalian pikir ini pos ronda? sekarang semua orang tanpa terkecuali, keluar! berdiri di lapangan sampai jam pulang! CEPAT! serentak kelas kaget dan berbondong-bondong keluar menuju lapangan. Seluruh mata dilorong yang mereka lalui menatap mereka, satu kelas dihukum karena ribut. Mereka semua berdiri di tengah lapangan yang terik itu, keringat sudah bercucuran di dahi mereka. Lalu terdengar isakan tangis dari belakang barisan mereka, disana terlihat Louis sedang terisak. We, Robocop! diem! ngapain nangis! qe tu cowok! bisik Almanto teman Louis agak keras, lebih tepatnya pawang Louis. Seumur hidup, To, baru sekarang aku dihukum kata Louis sambil terisak. Hina banget aku, mana bisa aku kerja di Google nanti, kalau gini aja masih ga becus Sekelas cekikikan, dan ada yang setengah mati menahan tawa. Kleee, Lebai sajan ci, siep nae, kedekkin jak onyang nawang ci!(Lebai sekali kamu, diem dong, diketawain sama semua tau!) kata Surya dari belakangnya, keringatnya sudah bercucuran membasahi pundaknya. Suryapun berusaha agar suaranya terdengar jelas, untuk menyamarkan tawanya. Jam sekolah berakhir, bel berbunyi lantang, semua orang sudah keluar dari kelas, di lapangan ada pak Dwi yang mengawasi mereka dari tempat yang teduh. Disana terlihat semua orang memandang mereka, dominan dari penilaiannya mereka semua tertawa. Sepanjang sejarah sekolah, jarang sekali ada yang dihukum satu kelas, dan kelas X-4 IPS sudah mencetak sejarah itu, tepatnya satu minggu setelah Masa orientasi siswa.   Part 5 : Wacana kuah pindangSetelah kejadian satu kelas dihukum, murid-murid kelas X-4 IPS menjadi terkenal, dan mendapat omelan dari wali kelas mereka Bu Wiwik. Siang itu setelah pelajaran matematika, semua murid meringkas buku-bukunya, sambil merenggangkan otot mereka yang tegang. Wajar, karena guru matematika mereka adalah Pak Anton sang lagenda antar generasi. Guru terkiler seantero semesta, Suaranya keras, orangnya hitam, rambutnya keriting, jika membentak seluruh kaca bergetar. Tidak segan-segan ia mengeluarkan murid. Salah satu korbannya adalah Vega, Cosplayer spesies otaku yang tertangkap membaca komik Yaoi di jam pelajarannya. Komiknya dirobek, dan Vega dikeluarkan, diluar Vega hanya berdiri dengan tatapan kosong dan ia shock. Namun keesokannya ia sudah diperbolehkan lagi untuk mengikuti pelajaran.Lis, pulang mau kemana? ke Bu Jero yuk, makan rujak ajak Chandri.Ngerujak? bole deh! kata Lisa semangat, Ia sudah terbiasa dengan banyak makanan Bali yang dominan pedas.Ikut dong! Tiba-tiba Novi menimpali.Ayo nov, makin rame makin asik! Yang lain mau gak? tanya Lisa.Ada daluman di sana? sahut Eriana, cewek yang jago surfing dengan kulit eksotis, gayanya tomboy, namun wajahnya manis.Ada ri, yuk bareng kata Novi.Kemudian mereka berempat menuju warung yang tidak begitu besar ada di dekat pojokan jalan perumahan, waktu itu sudah terlihat sepi, biasanya sangat ramai pada jam makan siang. Kemudian mereka memesan rujak kuah pindang, kecuali Eriana yang dengan pelan menyendok dalumannya.Me! Tipat Cantok lagi satu, lomboknya dua ya sahut Lisa sambil mengangkat tangannya.Nggih... sahut bu Jero yang sudah agak tua, dengan semangat ia langsung mengulek kacang.Lis, baru kali ini aku liat makhluk kayak kamu Novi melanjutkan menyendok rujaknya.Kenapa Nov? tanya Lisa, dengan semangat tinggi ia menyendok kuah rujak hingga piringnya kering.Pelihara apa sih di perutmu? Qe bawa bekel, habis itu makan lagi di kantin, tapi masih aja badanmu kecil gitu.Ada naga di sini kamu ga liat? Kalo ga dikasi makan dia ngamuk kamu di makan mau!? Lisa menepuk perutnya.Eh Jegeg Buduh (Cantik gila)! yah, makan yang banyak biar cepet gede! Eriana menimpaliEh, btw, Gungde sekarang sering dispen ya... Kata Chandri.Iya, dia kan mau tanding, katanya sih mau ngerebutin Denpasar cup, minggu depan kita jadi tuan rumahnya, dia hebat banget lho... sahut Novi.Kok bisa tau Nov? kata ErianaYah, aku kan ekskul basket juga!Oh, gitu... pantes aja jam pelajaran terakhir sering ga ada. Chandri menyendok lagi rujaknya.Kayaknya ada yang kangen nih. Lisa nyeletuk.Hmmm.... Novi dan Eriana berguman.Kok kalian mikir gitu? Chandri tertunduk, terlihat wajahnya memerah.Kamu aneh Chan, orangnya duduk dibelakangmu, pas ada kamu diemin, pas ga ada ditanyain... Sambung Lisa. Eh makasi bu! Lisa meraih piring yang berisi tipat cantok.Novi angguk-angguk sambil tersenyum, Kemudian ada motor diparkir di depan warung.Lho, ini arisan ya? kalian kok di sini? Ibu Suri ada di sini kata Eka tiba-tiba Me, Rujak gula kalih, ngajeng dini nah, nyanen timpal tiang kal teke, jak es gula kalih(Me (singkatan ibu), Rujak gula dua makan di sini ya, nanti teman saya datang, sama es gula dua)Beres Ka! ade bien?(ada lagi?)Ten me, to gen Suksema (Tidak bu, itu saja, trima kasih) Eka langsung duduk di sebelah Eriana. kayaknya seru! boleh ikut?Silahkaaan... Eriana menjawab pelan.Apa nih Wacana kita? nanti si Surya ke sini.Resmi sekali bahasanya 'Wacana', Wacana apa? Wacana kuah pindang? sahut Novi.Iya nih kalian pesennya kuah rujak asem semua, Lagi ngidam ya? Kata Eka.Iya, ngidam, nih nagaku ngamuk! kata Lisa menepuk perutnya lagi.Kle, Lisa nih, Cantik-cantik sedeng(sinting) ya!Apa tuh Sedeng? tanya Lisa.Ga, ga ada, sedeng tu cantik plus manis! kata Eka.Bohong, kalian mau nipu aku lagi ya! aku tau cantik itu Jegeg bukan Sedeng, Chan kasi tau Chan. Chandri hanya tersenyum. Saat Eka mengedipkan mata padanya, memberi kode untuk diam.Kemudian Surya datang membawa gerombolan X-4 IPS lagi, kali ini dia dengan Teolita, Komang, dan Gede. Mereka langsung melebur dan duduk dalam satu meja makan, setelah mereka memesan mereka mengobrol ringan. Topik yang dibahas dari kejinya tirani Pak Anton sampai hari-hari mereka di kelas.Tapi aku ngerasa hebat lho, kemarin pas MOS, kita ga dibentak, kita ga dimaki-maki, disuruh bawa aneh-aneh. kok bisa ya? tanya Lisa.Kamu dari Luar sih ya, jadi ga tau kasus di sekolah kita sekarang Sahut Surya.Emang kenapa Sur? tanya Eriana yang kebetulan ia juga dari SMP luar.Denger-denger sih, ini gosipnya ya, mungkin juga Novi, Teo, Komang juga tau Surya memandang mereka satu-satu Kita semua bisa kayak gini karena Willy sama Ethan.Ethan? Mission impossible? Wow, Sekolah kita ada secret agent. kata Lisa.Bukan Ethan yang itu! Sahut Eka.Aku ceritain ya, yang aku denger, dan ini versiku Lanjut Surya Willy itu lagenda basket kita, kapten basket sekolah, kaptenya Gungde, Kalian tahu kan kalo Gungde itu udah resmi jadi starter di klub basket, dia jadi point guard. Semua orang manggut-manggut pelan Nah, Kalo Ethan, dia itu anak Kelas XII-IPB, dia lagenda karena setiap pekan kreatifitas siswa, stand kelasnya dia selalu jadi juara. Mereka berdua pas kelas satu juga lagenda pas MOS Cuma mereka dari satu kelas yang berani nantangin kakak senior Pas mereka kelas dua, mereka bikin rusuh satu sekolah, setauku mereka itu teman baik dari kecil.Rusuh gimana Sur? tanya Lisa kini 'tumben' wajahnya terlihat agak serius.Wah, kalo tau dulu gila! hampir setiap sudut sekolah kita liat anak-anak berkelahi! kasusnya cuma satu Buliying Gede melanjutkan.Iya, katanya, angkatan diatas kita yang lulus kemarin, katanya banyak yang gak diluluskan, gara-gara mereka terus membully adik-adik kelas. Kata Novi. Itu gerakan Anti bulliying di sekolah gara-gara Willy sama Ethan, setiap anak yang dibully direkam. dilaporin pihak sekolah ato di sebar di youtubeCoba waktu itu kita udah di sini ya, mau aku ikut berkelahi tuh. kadang terlalu juga mereka ngebully, begitu yang ngebully ngelawan balik, eh malah ngelibatin orang luar. Surya melanjutkan. Willy sama Ethan tuh ngelaporin mereka semua, yah maklumlah, banyak yang kesel sama tukang ngadu, tapi masalahnya mereka malah didukung adik-adik kelas sama temen-temen kelas XI, akhirnya hari itu Ributlah satu jalan Serma Kawi ni.Menurut Lagenda juga, Si Ethan tuh yang ga bisa dilawan, denger-denger kemarin dia dikeroyok 5 orang kakak kelas, trus masuk rumah sakit Novi menyedot minumannya sampai kering.Ethan masuk rumah sakit? Sahut Eriana.Bukan Gede menggeleng.Yang ngeroyok! sahut Surya tegas Ada yang keplintir tangannya, ada yang keseleo kakinya, ada yang sobek pelipisnya. yah ga tau deh, pokoknya semua cidera, Ethannya ga pa-pa, kan sampe dikasusin Ethan sama Willy, hampir dicariin pengacara juga tu mereka.Tuh, kan! dia itu Secret agent! misinya apa ya di sekolah kita? Lisa nyeletukAh, qe nih, serius, gitu memang gosipnya, dia kalo ga salah dia itu Karate apa gitu... sahut NoviMirip Tom Cruise gak Ya? tanya ErianaYang jelas Ganteng Er, dia anak blasteran kayak Vallerie, cuma ini versi cowoknya, Willy juga, mukanya kayak aktor Korea gitu, kayak Lee Min Ho aduuuuuhhh... Wajah Novi meronaDasar cewek! sahut Surya.Bro, tau gak pas MOS dulu aku denger dari Gungde, Willy sama Ethan kelakuannya gimana? tiba-tiba Made angkat bicara. Surya hanya menggeleng pelan. Jadi, waktu itu ada hukuman bagi siapa yang melanggar atribut. nah! yang ngelanggar itu wajib bawain Mie Instan besoknya. Trus, si Willy sama Ethan masing-masing bawa mie instan satu dus. Mereka nolak bawa barang-barang aneh yang disuruh senior...Serius? kata NoviIya, Willy tuh yang punya ide, trus mereka berdua dijemur seharianTapi kak Willy masih berduka lho, Kasian dia... Teolita menimpali Beberapa bulan lalu kan adiknya meninggal, Kecelakaan.Iya, bener, kasian banget adiknya, Ellen ya? namanya? Tanya Novi.Ellena, ya dipanggil Elen juga si, kecelakaan motor. Satu sekolah berduka, aku liat di FBnya kakak kelas waktu itu. Masuk koran juga katanya, Rame banget pemakamannya, kalo ga salah dia penari lanjut Teolita.Pembicaraan menjadi hening saat membahas Ellena, entah kenapa dari cerita Teolita Ellena adalah pribadi yang hangat. Setelah membahas lagenda sekolah mereka semua bubar, jam menunjukkan pukul tiga siang, dan mereka semua pulang kerumah masing-masing. Mengarungi jalan di Denpasar yang sudah mulai padat.  Part 6 : MVPGung, aku tau ini pertandingan pertamamu, tapi jangan tegang gitu rileks aja ya.Iya kak Willy, dulu aku pas SMP ga segini tegangnya. sahut Gungde dari bangku ruang ganti.Ayo-ayo semua siap, sudah mulai! Coach datang dang memeberi semangat. Willy! kata Coach pelan, sejenak Willy menoleh saat semua orang sudah keuar dari ruangan Kamu, yakin bisa? masih berduka?Bisa Pak, saya yakin. tatapan Willy tajam.Gini, Bapak sih pinginnya kamu keluar di quarter ke dua sampe habis, quarter satu biar Arka aja yang megang kendali. Kamu amati, kamu pelajari, setelah itu baru maksimalin operan dari Gungde, anak baru itu cepat sekali operannya Kata Coach semangat.Baik pak! sahut Willy yakin. ***Suasana Kelas X-4 IPS 'cukup' tenang saat itu, Lisa sedang asik membaca komik Death Note cetakan pertama, yang ia pinjam dari Vega, dengan headset menancap erat ditelinganya. Disebelahnya Vega pun melakukan Hal yang sama, dan masih dengan komik Yaoi kesayangannya. Chandri, Novi, Vallerie, Asuka, dan beberapa anak cewek lainnya masih asik berbincang, di pojok belakang ada tiga grup yang sedang bermain Poker, Remi dan 41.Pengumuman! Megaphone di luar kelas berbunyi Pertandingan basket SMA Swastiastu dengan SMA 5 segera dimulai, Para siswa diharapkan memberi dukungan secara tertib dan jam pelajaran ditiadakan untuk menyaksikan jalannya pertandingan, Trimakasih.Udah mulai tuh, Yuk dukung Gungde! Kata Eka, serentak seluruh kelas langsung bergemuruh keluar, namun mereka masih merasa ada satu yang ketinggalan.Lis, Lis Teriak Vega yang sudah ada di depan kelas.LISAAAA! LISAAAA! LISAAAA! LISAAAA! LISAAAA! serempak teman-teman sekelas meneriaki Lisa yang masih menggunakan headset, ia benar-benar tak sadar akan kejadian disampingnya karena membaca komik sambil menghadap tembok.HAH! Serentak Lisa kaget, suara itu menembus headset yang ia kenakan. Uda mulai?Cepet! woi! Jessen berteriak. Dengan cepat Lisa menyusul mereka semua, dan di balkon depan kelas, seluruh kelas sudah mulai memenuhi pinggir balkon. Lapangan basket hawanya menjadi seperti arena gladiator.Mata Surya menusuri setiap pemain yang ada Mana nih Gungde?Eka menunjuk ke arah pemain yang sedang berlari pelan. Tuh apa! nomor 12.Novi hanya menyikut Chandri yang dari tadi senyum-senyum sendiri, Nomor 12 jangan sampe lolooooosss teriak Novi menyindir.Apaan sih!? Sahut Chandri malu-malu.Sikat Gung! itu bola ngapain dihadang, Pukul aja orangnya kalo ga mau kasi! Lisa berteriak.Main basket Lis, bukan UFC Kata Jessen dari sebelah EkaApa tuh UFC? KFC? ayam goreng? Lisa tak mau kalah.Yang waras ngalah Jess percuma. kata Asuka cekikikan dari belakang Jessen.Lisa langsung memandang Asuka Miyabi! aku waras tau, cuma satu kelas sama orang gila kayak kalian. Asuka hanya membalas dengan senyuman panggilan Miyabi baginya bukan masalah besar Woi, offside tuh! masa boleh di duluin ngoper gitu! Lisa teriak lagi.Basket! bu! bukan Sepak bola woi! Asuka nyeletuk.Keira, salah satu spesies Koreabo, yang selalu mencoba makan apapun dengan sumpit, tertawa geli Ah, jauh-jauh ah, pura-pura ga kenal, Cakep-cakep sableng!Teriakan Gemuruh memenuhi satu sekolah saat Gungde berhasil melakukan 3 point shoot. Pertandingan semakin intens, kedua tim kembali saling menyerang.Ayo Chan kasi dukungan dong... jangan terpesona gitu! susah lho tu... kata Eka.Dia dukungnya dari sini Ka kata Novi menunjuk ke dadanya.Wajah Chandri kini bertambah merah seperti udang rebus Novi uda deeeeeehh... qe tu nok!Ehem-ehem. Serentak semua berpura-pura batuk, saat Gungde melakukan Assist yang sangat menabjubkan.Chandri agak ngambek. O, Kalian gitu dah! males dah aku nonton...Ya, ya, ya, udah we, de nae keto(Jangan begitu) Surya menyahut.Babak satu telah usai dengan skor 12 untuk Away dan 18 untuk Home, dengan ini Swastiastu masih unggul. Para pemain beristirahat diluar lapangan, sedangkan di sisi Kelas X-4 IPS semuanya masih berbincang-bincang seru. Sampai istirahat 10 menit selesai, dan semua pemain kembali ke lapangan.Babak kedua dimulai, seketika itu suara teriakan riuh redam menggema satu sekolah, sang MVP tahun lalu, sang lagenda telah memasuki lapangan. Teriakan riuh itu 80% didominasi oleh cewek-cewek dari seluruh penjuru kelas.Oh, Lee min ho ku... tu liat ganteng banget kan... Kini Wajah Novi yang giliran memerah, hampir semua cewek kelas X-4 IPS terpesona. Tubuh tinggi tegap dan atletis itu memasuki lapangan dan mendribel bola dengan lincahnya. Sebagai pemain center, Willy sangat kuat dalam menerobos gerombolan musuh. Strategi yang ia atur sangat rapi, kemudian pertandingan berlangsung dengan didominasi oleh team Swastiastu. Hingga berakhir dengan skor 48 - 63 dengan kemenangan diraih oleh SMA Swastiastu.Seluruh kelas X-4 IPS merasa sangat bangga,salah satu teman mereka menjadi orang yang sangat berpengaruh dalam team. Namun Novi, justru terus membicarakan Lee Min Ho-nya dengan hampir seluruh cewek dikelas X-4 IPS. Kemudian mereka semua duduk di tempat masing-masing menunggu jampelajaran berikutnya dimulai.  Part 7 : The Journey BeginsSiang itu, Bali sedang terik-teriknya, Lisa baru saja pulang sekolah. Seperti biasa kamar kos yang kosong, The best of Phil Collins ia stel pada CD player yang usianya hampir 10 tahun, Phil Colins adalah faforit ibunya. Lisa berjalan ke arah kulkas, mengambil botol tempat air dingin diletakkan disana, dengan gelas bersih dituangkannya air itu hingga embun melapisi bagian luar gelas kaca itu. Diteguknya air dingin itu, dengan cepat.Now we're here, there's no turning back, We have each other, We have one Voice...Dengan fasih lisa menyanyikan lagu itu sambil berjoget ala kadarnya karena lagunya cukup nge-beat. Sejenak pandangan Lisa teralih keluar jendela, dilihatnya layangan yang sudah beterbangan di luar, Layangan yang bentuknya aneh seperti ikan pari berwarna hitam, kuning, Merah.Masih mengenakan baju sekolah terbersit dalam pikiran Lisa, untuk mengambil gambar dari layangan itu. Diraihnya kamera yang selalu ada di meja belajarnya, kemudian kamera itu dihidupkan, sampai terlihat indikasi batterai yang masih setengah. Lisa keluar dan berdiri di depan balkon kecil kosnya, sambil menyeting kamera. Sebenarnya jam 1 siang merupakan jam yang sangat buruk untuk mengambil gambar. Namun dengan trik yang Lisa pelajari di kelas fotografi dulu, halangan itu bisa sangat diminimalisir. Dibidiknya layangan warna-warni yang ramai menghiasi langit pulau Dewata yang cerah dan tanpa awan setitikpun.Lisa tersenyum saat mendapatkan moment yang cukup unik, layangan Bali memang bentuknya khas. Sejak di Bali ia jarang sekali memotret sesuatu. Waktunya lebih banyak ia habiskan untuk ngobrol dengan ibunya. Lisa hanya sempat Jalan-jalan dekat rumah dan di sekitar kota Denpasar. Delapan jepretan dari beberapa angle yang berbeda berhasil Lisa dapatkan. Setelah itu ia mengganti bajunya lalu mengisi perutnya dengan ayam goreng kalasan, serta sambal tomat yang terenak buatan Dina, dilengkapi dengan lalapan kubis, kemangi dan kacang panjang. Setelah ia makan dan mencuci piring, Lisa duduk santai di kamarnya meraih kameranya dan mengamati hasil jepretannya tadi.Sontak Lisa agak kaget saat terdengar sayup riuh dari kejauhan, suara gamelan yang begitu ramai terdengar gaduh namun teratur. Bergegas Lisa mengenakan celana Jeans, sepatu sneakers hitam. Kemeja kotak-kotak merah maroon dikenakan begitu saja tanpa di kancing hanya untuk melindungi baju kaos putihnya. Topi kupluk merah yang ada bordiran K & L sudah menutupi kepalanya, dan yang terakhir Fujifilm sebagai senjata utamanya.Lisa berlari keluar gang rumahnya, ia sangat takjub akan apa yang dilihatnya, Upacara ngaben yang menjadi ikon khas Bali sedang dilaksanakan. Para pria mengiringi Bade(tugu tinggi yang berwarna kuning) sedang berjalan ditengah teriknya matahari. Tanpa ragu lagi, meskipun keringat sudah membasahi keningnya Lisa memotret momen tersebut, caranya mengambil gambar pun sudah seperti seorang yang professional. Setiap angle dibidiknya tanpa ragu, Flash on/off di settingnya dengan cepat. Mengatur shutter speed dan diafragma adalah makanan sehari-hari baginya. Difotonya juga para pria dan Wanita yang membawa gamelan dan sesajen dengan busana Khas Bali. Lisa tidak mau melewati momen itu sedikitpun, diikutinya rombongan itu dan difotonya setiap ada kesempatan, terlebih saat mereka semua sampai di perempatan jalan, orang-orang memutar Bade yang cukup tinggi. Lisa tidak sendiri, ternyata dibelakangnya ada tiga orang tourist berpasangan sedang mengabadikan momen ngaben.Lisa terus mengikuti rombongan Ngaben itu sampai pada Setra (kuburan Bali), dilihatnya juga Lembu hitam besar yang berdiri di sana, disana adalah tempat diletakkannya jenasah. Lisa agak canggung memasuki kuburan yang sudah dipadati orang-orang berbaju adat Bali. Namun ada beberapa tourist yang memasuki area tersebut dengan santainya, kemudian ada seseorang bapak yang mengarahkan mereka agar tidak terlalu dekat dengan dengan lembu karena setelah beberapa prosesi lembu akan dibakar.Prosesi berjalan baik, Lisa kini berada di sebelah pasangan tourist tersebut, untuk mengambil gambar. Tiba saatnya Lembu dibakar, Lisa merasa auranya agak seram, melihat jenazah mendiang terlalap api, namun karena insting fotografinya sudah cukup terlatih, baginya ini adalah momen yang tidak boleh terlewatkan. Dengan memaksimalkan angle dan rule of third Lisa bisa mendapatkan gambar yang ia inginkan. Setelah melihat beberapa orang memasuki pura dalem yang tidak jauh dari sana Lisa hanya bisa mengambil gambar dari depan gerbangnya.Waktu menunjukkan pukul 4 sore, beberapa orang sudah mulai pulang, dan Lisapun berjalan berjalan menuju kosnya, jika sempat ia mengambil beberapa gambar di jalan. Petualangan hari ini cukup melelahkan, namun hari ini ia cukup puas karena banyak momen yang ia dapatkan.***Sayaaanggg, mama bawain betutu spesial nih! Dina memasuki kamar, Lisa hanya menoleh ke arah pintu kamarnya. Dari tadi sore ia tidak beranjak dari Laptopnya untuk menyortir hasil 'buruan'nya tadi, beberapa ia edit dan beberapa lagi sizenya dikecilkan untuk di upload di instagram pribadinya.Makasi ma! Kata Lisa kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke arah monitor.Tumben serius banget, biasanya joget-joget kalo mama pulang, lagi ngapain sih? Penasaran, Dina menghampiri Lisa Wow, ini apa dik?Ngaben Ma, Tadi aku hunting foto, lumayan hasilnya Lisa menunjukkan slide demi slide foto hasil jepretannya. Dina hanya bisa tercengang saat melihat Bade yang begitu gagah tinggi menjulang, tidak ada porsi yang salah disana, fokus pas ditengah, diambil dari angle 'worm eye' dengan latar belakang langit yang sangat bersih.Astaga Lis... ini sih bisa dijadiin wallpaper semua... Dina hanya berdecak kagum atas hasil jepretan Lisa Mama minta yang ini ya, buat Wallpaper Dina menunjuk foto Bade.Ya, Ma, habis ini ya Ma, aku edit dulu biar warnanya agak teduh, padahal tadi ISOnya udah kukecilin. Agak susah foto siang-siang.kecupan hangat Dina mendarat pada ubun-ubun kepala Lisa dan dibalas dengan senyuman Ya uda, jangan keasikan, nanti lupa waktu, Mama siapin makan dulu ya...***Mau diapain nanti fotonya? Dina mencoba melepaskan daging dari tulang, tangannya sudah belepotan, karena ayam betutu jauh terasa lebih nikmat jika disantap tanpa sendok.Ga tau ma, koleksi-koleksi aja, Tau ga Ma! tadi aku ngobrol sama Bule lho! Ada antusiasme di Suaranya. Dia, nanya 'are you a photographer?' trus aku cuma jawab 'yes, yes, I am a photo sir' eh, dia malah ketawaSerentak Dina ketawa Kok Mama ketawa sih, salahku dimana? Lisa merasa ada hal konyol yang ia katakan.Dia nanya kamu itu fotografer, trus kamu jawab aku ini foto, ya bingung lah orang... Yah, yang penting kan maksudnya jelas, trus tau ga ma? dia mau liat hasil Fotoku, ya ku kasi aja liat, 'wow, nice' gitu katanya Berhenti sejenak untuk mengunyah kemudian Lisa melanjutkan Ma, aku pingin banget keliling Bali Ma foto-foto, trus nanti aku cetak, kutempel di kamar, biar jadi kayak art galery gitu Ma kayak aku lihat di Bandung. Dina hanya manggut-manggut mendengar Lisa bicara.Boleh-boleh, coba nanti kita cari waktu ya, susah mama kerja di hotel, justru pas libur yang rame. Mama juga ngerasa bersalah ga ngajak kamu kemana-mana, tapi kan waktu akhir MOS kamu penutupan di pantai mana tu? Yang di profil FBmu kamu foto selfie sama sapi, mama ga nyangka punya anak aneh! Dina tertawa geli.Di Batu Bolong, Canggu, habis, lucu sih Ma, Sapinya di lepasin gitu aja Kemudian Lisa menyodorkan piringnya yang hanya tersisa tulang. Ma, tadi jalan jauh banget...Bilang aja mau nambah.Lisa hanya memamainkan kedua alisnya naik turun, Dinapun meng-iyakan permintaaan itu.Enak ini Ma... dengan semangat Lisa mengambil ayam Betutunya lagi. Dina hanya tersenyum melihat Lisa, ia hanya tak bisa membayangkan bagaimana dulu Lisa saat tinggal bersama ayahnya dirumah putih besar yang sudah lusuh dan kosong itu. Setidaknya Dina bangga Lisa sudah mempunyai kegiatan positif untuk hobinya.Lis tiba-tiba Dina memanggil, Lisapun menghentikan makannya sejenak kalo suka foto, tekuni terus ya nak! kesempatan pasti datang bagi orang yang tekun melakukan satu hal! Mama bangga sama kamu nak, tinggal kamu harapan Mama yang masih tersisa. Dina melihat Lisa yang diam dan tertunduk Maafin Mama sama Papa, hubungan kita memang sedang tidak baik, Mama pingin kamu bahagia dan kamu benar-benar tegar nak, apa yang kamu lalui di Jakarta selama tiga tahun memang meninggalkan akar yang sangat pahit. Mama juga ga mau nuntut banyak, bentar ya dik, mama mau ngambilin sesuatu.Kemudian Dina pergi untuk mencuci tangan, lalu mengambilkan sebungkus Kado. Lisa kaget melihat kado itu, diletakkannya di meja makan. Mama cuma bisa kasi ini, sama makan sederhana malam ini, Selamat ulang tahun nak, hari ini tanggal dua puluh empat AgustusDina tersenyum lalu melanjutkan kata-katanya Mama sayang kamu nak...Hati Lisa terenyuh, hari ulang tahunnya tidak pernah terasa sangat spesial sejak kepergian Mamanya, namun perayaan yang sangat sederhana itu membuat hatinya luluh. Aku sendiri ga sadar ini tanggal berapa. Lisa mencoba menahan hatinya yang penuh sesak dengan rasa haru. Tiga tahun ga ada yang inget, sampe aku sendiri lupa Ma... Kemudian Lisa beranjak dari bangkunya untuk mencuci tangannya. Setelah itu ia kembali dan mengambil kado itu, air matanya menentes saat melihat kado yangterbungkus rapi. Lisa memeluk Mamanya, dan terisak Ma-ka-si Ma kataLisa lirih Aku sayang mama Lisa mengeratkan pelukannya saat airmata mengalir pelan di pipinya.  Part 8 : Melarung dalam EmosiPantai Matahari terbit, Sanur, Sore itu, dimana seorang gadis sedang meletakkan canang dan sebatang dupa di pinggir pantai. Tangannya yang lemah gemulai mengayun pelan di depan dahinya, Setelah beberapa saat Gadis itu berbalik ke belakang dan agak kaget melihat sosok tampan, tinggi tegap dengan rambut lurus hampir menutupi matanya. Pria itu membawa satu buket rangkaian bunga yang diikat rapi.EH! Bli Willy, bikin kaget aja Sahut gadis ituApa kabar Luh? Kata Willy.Baik Bli, mau ziarah ya?Willy hanya mengangguk pelan, kemudian ia berjalan menuju tepian pantai, lalu meletakkan bunga disamping sesajen itu, sejenak ia merunduk lalu memandang jauh ke arah samudra lepas. Waktu itu cepet banget ya Luh... kayak masih ada dia di sini...Iya Bli, saya kangen banget sama Ellena... Sedih rasanya, di sanggar saya jadi kesepian, biasanya kita nari berdua.Dirumah aku juga kesepian, ga ada yang diajak berantem, ga ada yang diajak rebutan... Willy kembali tertunduk, ditatapnya pasir yang membenamkan kakinya. Kemudian Willy berdiri dan berjalan menuju Iluh. Kamu sering ke sini?Nggak Bli, cuma sebulan sekali... kadang juga kalo lagi kangenOh, sama kalo gitu, kebetulan kita ketemu ya...Iluh hanya tertunduk, tersenyum lalu mengangguk pelan, kemudian mereka berjalan berdua. Iluh, kalo mau main kerumah, main-main aja, sejak Ellena ga ada di rumah ga ada yang rewel lagi.Iya, kapan-kapan saya mampir, Bli juga kalo mau ke sanggar mampir aja Bli.Willy hanya menganggukkan kepalanya, kemudian mereka berdua berjalan menusuri pantai sambil berbincang ringan, sekedar menanyakan kabar keluarga masing-masing.Dari balik pohon yang agak rindang itu, ada seorang pria dari tadi memperhatikan mereka, saat mereka berdua berlalu, pria itu menuju pantai. Diletakkannya buket bunga yang berwarna warni di samping bunga Willy. Kemudian pria itu pergi mendekati sisi laut, dirasakan ombak pelan itu yang menerpa kakinya.Diambilnya burung bangau kertas dari sakunya, sesaat di pandangnya burung putih itu, ia teringat akan sang mendiang yang mengajarkan cara membuat burung kertas. Pikirannya kembali ke beberapa tahun silam. Diingatnya waktu mereka SD setengah mati melipat burung, di ingatnya kembali senyuman Ellena yang polos itu. Tak terasa kini Ellena sudah melebur dengan alam, saat terakhir yang ia ingat abunya sudah di tebar di samudera lepas di pantai ini. Dimana harapan dan cinta dari orang-orang terdekat melepas kepergiannya dengan air mata.Dilarungkan burung kertas itu kelaut, yang bertuliskan isi hati yang pria tersebut untuk sang mendiang. Dilihatnya burung itu itu mengambang pelan menuju samudra dengan terpaan ombak. Masa-masa dimana mereka bersama dulu tidak akan pernah terlupa oleh pria itu, dimana mereka menghabiskan hari-harinya bertiga, antara dirinya, Ellena dan Willy. Aku sudah tak menghitung lamanya hari sejak kejadian itu. Kejadian yang tidak akan pernah kami lupakan. Sekarang keadaan Kami semakin dingin. Kami sudah tak bertegur sapa.EllenaKami ingin merasakan kehangatanmu lagi. dan dari hatiku yang tedalam Bolehkah aku masih rindu akan kehadiranmu?Sejenak Pria itu menatap indahnya laut sore, beberapa menit kemudian ia pergi meninggalkannya. Burung kertas pengantar harapan dan doa telah melarung bebas menuju samudra lepas. Part 9 : Have a Bad DayCewek... ih, sombong banget, di panggil ga noleh...Apaan sih! Cungkring!, iseng banget, matiin tu rokok asapnya ganggu tau!Edo langsung membuang rokok itu di kebun dekat gerbang sekolah. Biasanya sama Chandri, mana dia?Uda dateng duluan. Hari ini ga ada PR Do?Hellloooo nona manis, yakin kamu nanya gitu sama aku? kata Edo menggoda.Hais! kumpulan makhluk-makhluk ormas gini dah! Edo hanya tertawa mendengar itu, kemudian saat mereka naik ke kelas mereka hanya melihat Gede, Gungde dan Made.Edo mendekati mereka dengan tampang agak bingung. Bro! semua makhluk hidup kemana? ini kelas sepi kayak kuburan.Ga ngerti, 15 menit lagi masuk, jam pertama pak Anton, ini semua nyari mati ya? mau dihukum sekelas lagi? kata Gungde.Setelah itu, kira-kira dua menit kemudian murid-murid X-4 IPS datang berbondong-bondong masuk kelas. Wah kalian berlima santai banget ya, kalian sudah fotokopi ini? Novi menunjukkan lembaran putih berisi tentang materi.EH IYA! itu yang nanti mau di bahas sama pak Anton kan? yang ga fotokopi di suruh keluar.Serius? Lis? Made langsung memotong.Ee, Nov mana? sini bawa, aku mau fotocopy nih! Sahut Gungde, Dengan santainya Novi memberikan kertas itu, kemudian setelah meletakkan tas, Lisa, Made, Gungde, Edo dan Gede langsung menuju parkiran motor, mereka pergi ke fotocopy terdekat. Sampai disanapun mereka mengantri.Setelah itu mereka kembali ke sekolah, jam pelajaran sudah dimulai, berharap Pak Anton dengan jalannya yang lambat namun pasti belum memasuki kelas mereka. Mereka berlima berlari-lari seperti dikejar setan, melewati pak Min satpam sekolah. Namun dengan sekuat tenaga mereka menaiki tangga yang jumlahnya tidak sedikit, karena kelas mereka ada di lantai paling atas. Mereka berlima ngerem mendadak tepat di depan pintu kelas mereka yang sudah tertutup, lalu Edo dengan santainya membuka pintu.Haha... kita selamat! Hai semua! dengan PDnya Edo masuk, sedangkan Lisa, Gungde, Gede dan Made masih di depan pintu dengan tatapan kosong.Hei boooss... Siapa suruh kamu masuk...!? nada itu pelan namun mengerikan, suara agak serak yang sangat lagendaris dari masa ke masa. Dengan tatapan tidak percaya Edo langsung mengalihkan pandangan ke sosok tersebut, iapun langsung terlonjak kaget. Sedangkan beberapa teman yang lainnya geli menahan tawa.Sosok Hitam, gemuk, dan berwajah seram, sudah berdiri di depan kelas dengan atribut faforitnya, Penggaris kayu satu meter dua puluh senti. Kenapa telat? pak Anton melanjutkan.Keringat dingin sudah menetes di dahi Saya fotokopi pak, materi bapak... kata Edo pelan.Pak Anton memperbaiki letak kacamatanya, dengan senyum sinis penuh kemenangan Saya kan sudah bilang, dari minggu yang lalu... kenapa baru sekarang kalian, itu si topi merah, yang paling ribut, kenapa baru fotocopy? Pak Anton menunjuk gerombolan Lisa yang masih berdiri mematung di depan pintu. Itu namanya kalian malas, tidak bertanggung jawab... teman-teman kamu bisa tepat waktu, dan melakukan tugasnya.Edo agak bingung, karena ditatap tajam oleh pak Anton Tapi pak, anu... mereka kan,- fotokopi tadi- anu- tadi pagi pak...TIDAK ADA ALASAN! KELUAR KAMU!!! HARI INI TIDAK BOLEH IKUT JAM PELAJARAN SAYA!!! Serentak semua kaget, suara itu seperti menggetarkan kaca, semua kelas X-4 IPS langsung tertunduk.SAYA TIDAK BISA TOLERANSI ORANG MALAS!!! KELUAR!!! KALIAN JUGA KELUAR!!! Pak Anton menunjuk Lisa dan rombongannya.Kami sudah diluar pak. Lisa nyeletuk dengan wajah polosnya.SAYA TAHU! SIAPA SURUH KAMU NGOMONG? KEEELUUUAAARRR!!!!Kata-kata itu menghancurkan mental mereka berkeping-keping, mereka semua shock berat, dan langsung duduk dalam diam di depan kelas, Lisa hanya terdiam mematung geng Balamade pun hanya tertunduk tak bicara, Tampang mereka seperti Ormas tapi hati mereka helo kitty, lembut dan rapuh. Namun ada sesuatu yang mengusik ketenangan itu, yaitu suara perut Lisa.Nagamu ikutan ngamuk tuh! Sahut Made, sekelas sudah mengetahui jika Lisa memelihara naga dalam perutnya.Iya ni De, aku belum sarapan...Ya udah, ga pa-pa ke kantin yuk! nyari bakso, ato nasi kuning, seduk basang cang ne!(perutku laper) Made langsung berdiri dan diikuti oleh Lisa, Gungde, Gede dan Edo yang masih shock.***Uda lah Lis, biasa gitu, satu dua kali di hukum, ga apa? aneh deh ngeliat kamu biasanya rewel jadi diem gitu... Soft drink itu di sedot Edo sampai botolnya kosong. Katanya Laper kok ga beli makan?Bentaran Do, duh! kok aku sering dihukum ya? Lisa mengeluh.Jangan nangis qe kaya robocop... sambung Gede.Bro, BTW. Gungde langsung memotong Aku ga kebanyang, kalo kelas X-1 IPA dihukum sekelas kayak kita kemarin gimana ya? Isinya kan anak-anak yang 'superior' otaknya model-modelnya Robocop gituWah pasti mereka meratap semua, menangis ngeraung-raung di tengah lapangan sambil pelukan merasa diri hina dan paling berdosa. kata MadeIya tu dah! Kadang jengkel juga ngeliat Jelema-jelema ((Bahasa yang agak kasar) orang-orang) gitu. Kayak dia paling pintar aja Setelah Edo ngomong, bahunya di tepuk oleh Gede.Willy tuh! Gede menunjuk, tiga orang dengan jaket biru, sedang membeli snack.Kapten! Gungde langsung menyapa.Lho, ngapain di sini jam pelajaran? sahut Willy kemudian ia menghampiri mereka Lisa masih diam dan menatap Willy biasa kemudian tertunduk lagi. Willy tidak mempedulikannya ia hanya berhigh five pada mereka berempat Sering sekali kelas kalian dihukum! X-4 IPS memang lagenda.Iya bli, kita lain dari yang lain, Bli ngapain? dihukum juga?Ga ada guru, males di kelas, bolos aja kemudian Willy tertawa, dua orang yang mengikuti Willy bergabung bersama mereka. Beberapa menit kemudian meja sudah dipenuhi oleh kacang atom, bakso, dan kripik-keripik. Ni, ni, ambil, nyate ajaBoleh ni Bli? kata GedeBebas, sikat! Kemudian perhatian Willy teralih ke Lisa, memang topi kupluk Lisa menjadi daya tarik tersendiri, selain karena warnanya yang mencolok. Nih, ambil, dari tadi kamu diem aja Willy menyodorkan Keripik singkong ke Lisa, namun Lisa hanya tersenyum menggeleng. Ya udah nanti ambil sendiri, Gung! Kemarin pas latihan itu sayang banget, Willy langsung membuka topik. Mereka semua berbicara seru tentang basket, kedua teman Willy, Morgan dan Sudiartha ikut nimbrung obrolan jadi seru di kantin yang sepi itu, hanya Lisa yang tidak bisa menikmati obrolan mereka.Aku beli makan dulu ya Kata Lisa lalu ia bangun dari kursinya. Edo hanya mengangguk, mereka masih tertawa karena candaan dari Sudiartha tentang seputar guru-guru.Lisa membeli sepiring nasi kuning, setelah ia terima, ia merogoh kantong roknya, terlintas di pikirannya 'oh iya, dompetku kan di tas, tadi uangnya pake fotokopi'. Bu, bentar dulu ya, saya mau ambil uang, saya lupa, hehehe...Ya, makan dah dulu gek (sebutan untuk anak cewek), nanti habis makan bayarnya. kata Ibu kantin.Do, Do, Lisa mencuil bahu Edo yang sedang asik mengobrol, kemudian Edo menoleh ada sepuluh ribu gak? Edo hanya menggeleng, Kemudian Edo memanggil Gede, Made, Gungde sayangnya dikantong mereka hanya tersisa duaribuan, kalau digabung tidak sampai sepuluh ribu.Kenapa, si kepala merah? Kata Willy.Itu dia lupa bawa duit Bli, ga mungkin balik, soalnya pak Anton masih dikelas Kata Edo.Ooo... Willy langsung merogoh dompetnya dan menyerahkan uang lima belas ribu pada Lisa.Maaf, Kak Willy sepuluh ribu aja kata LisaTrus, kamu makan ga minum?Dengan enggan Lisa menerima, uang itu. Makasi kak Willy, nanti saya kembalikan.Santai... nggak juga gapa-pa... Wajah manis Willy sejenak membuat Lisa tertegun, terkesima sekian detik.Kemudian Lisa makan dengan canggung diantara obrolan anak basket dan teman-temanya, sampai bel berbunyi dua kali. Lisa, Gede, Made, Edo dan Gungde kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran bu Wiwik. Part 10 : Another bad ThingsCURRRAAAANNNGGGG..... Novi berteriak pada Lisa. Pake Jimat apa sih qe?Novi apaan sih... biasa aja kali! kebetulan juga... kata Lisa duduk santai sambil menyalin PR Sejarah Robocop, Menyalin PR teman sangat jarang Lisa lakukan kecuali untuk pelajaran yang isinya menghafal.Tau gitu aku aja yang tadi di hukum ya!Heh, ga boleh gitu, yang dihukum tadi ulangannya dipotong satu dan ga ada remedi! kata Chandri mau qe?Ya enggak sih... Trus-trus gimana? kata Novi antusias.ya ga gimana-gimana Nov, tanya Gungde gih! dia tu yang tadi ngobrol-ngobrol sama kaptennya!Lisa... pinjem topimu, mungkin itu yang bawa keberuntungan tiba-tiba Keira datang dari belakang dan langsung menyambar topi Lisa yang kebetulan diletakkan di meja. UMHFFFF Kata Keira tiba-tiba, Kamu pake shampo bayi ya? baunya sama kaya shampo Ponakanku.Iya! soalnya ga perih di mata... Lisa nyeletuk.Rambutmu padahal panjang, ga ketombean? kamu itu ajaib ya, gaya biasa aja, shampo bayi, badan bau Viks, tapi gebetannya kapten Basket, di sekolah ini banyak banget yang pingin deketin Willy, tapi kamu cerita kayak biasa aja... Emang di Jakarta banyak cowok ganteng ya? yang kayak Willy jadi kayak biasa aja. kata Keira, topi Lisa sudah melekat di kepalanya.Nggak juga, sama aja... Aku akuin sih ganteng, trus kalo udah gitu mau ngapain? Masa si bau Viks padahal aku uda pake deodorant Lisa mengendus badannya.Kalo aku jadi qe Lis, kudeketin, yah sukur-sukur diajak nonton, diajak jalan-jalan... emang kamu ga ada pingin, punya pacar mungkin? Keira menopangkan dagunya di meja.Lisa berhenti menyalin, ia berfikir sejenak. Ga sih, tauk juga... hahaha... ga tertarik yang begituan.Trus, emangnya apa yang buat kamu tertarik?Ayam goreng! Jawab Lisa sekenanya Uda ah, Keira... Aku mau nyalin dulu nih, biar nanti ga di Hukum sama pak Sis... Eh, tau gak sih, kalo Willy banyak yang ngincer, tapi dia kayak nutup hatinya gitu... Tau ga kemarin dia pernah pacaran sama Widya, trus diputisin gitu pas adiknya meninggal... Novi langsung bergosip, Keira, Chandri dan beberapa teman lainnya langsung ikut nimbrung. Sedangkan Lisa hanya menjadi pendengar setia, sampai PRnya selesai.***Suara Bel menandakan jam pelajaran berakhir, semua anak berkemas dan bersiap untuk pulang. Beberapa menit kemudian lorong sudah dipenuhi siswa-siswi yang berlalu lalang. Suara motor sudah terdengar dan pintu gerbang sudah dipenuhi antrian kendaraan yang akan keluar.Lisa berjalan keluar kelas, menusuri lorong menuju kelas XII- IPS 1, saat sampai di sana Lisa merasa agak canggung diantara kakak kelas. Beruntung ia melihat Willy yang masih di dalam kelas ngobrol bersama beberapa cewek teman sekelasnya. Lisa hanya melambai pelan saat Willy bergegas keluar dan menggendong tasnya.X-4 IPS kan!? kata Willy tepat di depan Lisa.Lisa hanya mengangguk dan tersenyum, Kemudian Ia merogoh tasnya dan mengambil selebaran sepuluh ribu dan lima ribu, kemudian menyodorkannya ke Willy. Maaf tadi ngerepotin kak, ini uangnya saya kembalikan.Wah, ga usah. kata Willy sambil melambaikan tangannya.Tadi saya kan bilang mau ngembaliin, jangan gitu kak saya ngerasa ga enak, nih. Lisa agak memaksa.Ya udah kalo kamu maksa, Makasi ya... Willy meraih uang itu, lalu memasukkannya ke kantong celananya.Permisi kak... Lisa hanya tertunduk lalu tersenyum, Willy hanya membalas senyuman itu, Kemudian Lisa pergi meninggalkan Willy.K and L, itu artinya apa? kata Willy tiba-tiba, sejenak pertanyaan itu membuat langkah Lisa terhenti.iya kak?K and L itu artinya apa? Willy langsung menghampiri Lisa dengan langkah pelan.Oh, ini... bola mata Lisa mengarah ke atas, tangan kanan menunujuk ke kepala K itu Kevin, L itu Lisa...Oh, gitu... Kata Willy Siapa Kevin? dari tadi aku perhatiin itu topi ga lepas-lepas dari kepalamuKevin itu kakakku, iya kak Ini rajutan Mama... dari dulu waktu aku SD, pas sekeluarga pergi ke Bromo, dibuatin topi ini, suka aja makenya kak... Habis aku kan kecil, kalo hilang biar aku gampang ditemuin. orang-orang kan kepalanya item tuh, aku sendiri yang merah.Willy hanya tersenyum agak geli mendengar pernyataan itu Kakakmu kelas berapa Lis, pasti rame ya rumah ada anak kayak kamu.Di Jakarta kak... harusnya dia Lulus tahun lalu tapi... tiba-tiba air muka Lisa berubah.kamu ga pa-pa? Kata Willy yang menyadari akan sesuatu dari wajah Lisa.Lisa mencoba untuk menjauhkan pikiran tentang Kevin, ia menatap Willy dengan tersenyum. Ga pa-pa kak.Ya udah, pulang yuk... kamu parkir dimana?Di belakang kak.Ooo... oke, yuk bareng aku juga parkir di sana. Lorong agak sepi, hanya Lisa dan Willy yang berjalan berbarengan. Mereka berjalan dalam diam, karena merasa deg-degan oleh pesona kapten basket lagenda sekolah. Lisa lebih memilih melihat lantai abu-abu tua tempatnya melangkah. Semenit kemudian, Lisa dan Willy sampai pada lorong halaman parkir belakang. Motormu yang mana? Tiba-tiba Willy menghentikan langkahnya.Lisa menunjuk motornya yang paling pojok Yang itu kak, Scoopy putih-pink.Ya udah kamu di belakangku ya. kata Willy.Emang kenapa kak?Uda, ikutin aja, cuma ngerasa ga beres aja...Lisa melihat ada empat orang di sana yang sedang duduk secara tidak wajar diatas motor NMAX putih. Batang rokok terselip di jari-jari mereka, dan dari caranya mereka berpakaian seragam terlihat mereka adalah anak-anak yang tidak beres. Saat Willy mendekat, ke NMAX putih itu mereka berempat langsung berdiri menghadang Willy.Bro, kita kan sudah damai, ga ada apa-apa lagi... udalah, aku ga mau ribut kata Willy mencoba untuk tenang.Tetep aku ga terima, Kakakku gak lulus gara-gara qe... kata Seorang anak yang berbadan hitam namun kurus.Kakakmu itu suka bully temen-temen sekelasku, ga cuma dia gengnya juga. Udalah sama orangnya aku udah damai kenapa qe masih ga terima? terdengar nada Willy meninggi.Anak itu langsung mendorong Willy DIA DIRUMAH STRESS BANGKE! QE MASIH BISA PACARAN!Kemudian Willy mendekat dan menatap pria itu. Heh, anjing! ngajak Duel qe bangsat!? Banci qe! pake bawa temen! besok pake rok aja qe banci!Pukulan langsung melayang ke arah pelipis Willy, namun pukulan Willy jauh lebih cepat mendarat pada pipi anak tadi. Ketiga teman anak itu langsung berhambur memukuli Willy, badan Willy yang tinggi cukup kuat menahan serangan dari mereka berempat. Willy memukul habis, pria tadi, sedangkan ketiga temannya masih memukuli punggung Willy.Lisa hanya shock melihat perkelahian itu, ia tidak bisa berlari menuju motornya otaknya masih berputar kacau, meleraipun ia tidak berani. Kemudian Lisa melangkah mundur, teman pria itu menyadari akan hal tersebut, lalu menghampiri Lisa dan menarik tangannya.Qe pasti mau ngelapor! teman Pria itu menunjuk ke wajah Lisa.APAAN SIH! LEPASIN! Lisa meronta. LEPASIIIIIN APAAN SIH! Tangannya ditarik oleh teman pria tadi.WOI! Willy yang langsung menyadari akan hal itu dengan sekuat tenaga mempitting leher Pria yang memegang tangan Lisa Lari! Lari! kata Willy tajam.Lisa agak ngeri melihat sorot mata Willy yang tajam itu penuh dengan amarah dengan pipi yang sudah membiru dan pelipis yang lecet. Lisa langsung lari begitu tangannya terlepas dari genggaman Pria tadi yang kini sedang sesak nafas karena lehernya dipitting oleh tangan Willy yang cukup besar.PAAAK, PAAAK, TOLONGG ADA YANG BERKELAHI DI PARKIRAN BELAKANG Lisa berteriak saat sampai di Pos satpam, kemudian beberapa murid yang ada di sana langsung berhambur mengikuti satpam ke halaman belakang. Lisa dengan keringat dingin mengikuti beberapa anak dan satpam menuju tempat itu. Sesampainya di sana mereka melerai Willy.Sekolah bukan tempat untuk berkelahi! pulang sana! bentak pak Satpam. Anterin dia ke UKS pak satpam menunjuk Willy. Kemudian Lisa mendekat dan menatap wajah Willy yang penuh dengan memar, keringat dan sedikit darah.***AW, AW, AW Willy meringis ketika Lisa membersihkan darah dari pelipisnya Tanganmu getar? pertama kali liat orang berkelahi? Lisa hanya mengangguk pelan, kemudian ia menenangkan dirinya dan mengelap lagi luka Willy. Kita kenalan aja belum sempat kamu udah kena masalah.Ga pa-pa kak, mungkin lagi hari sial aja... bad day... Saya kasi obat merah lagi ya? Lisa mengambil obat merah lalu mengoleskannya dengan cutton bud di pelipis Willy yang lecet. Willy hanya meringis, Lisa mengolesnya agak kasar karena tangannya masih bergetar.LisaYa kak?Namamu Lisa kan?Iya sahut Lisa pelan, lalu Willy menggenggam tangan Lisa yang sedang mengolesi luka lecetnya dengan cutton bud, kemudian menatap mata Lisa dalam-dalam. Tatapan itu begitu teduh, damai dan sangat berbeda dari kejadian tadi. Jantung Lisa berdebar kencang, genggaman hangat tangan Willy begitu berkesan.Kamu pulang aja, aku bisa urus ini sendiri, oke... Willy tersenyum dan meraih cutton bud dari tangan Lisa.Beneran itu kak gapa-pa?Tanganmu geter gitu, malah perih kalo ngoles, gapapa kok, biasa gini... Pulang ya, hati-hati Senyuman Willy begitu manis meskipun ujung bibirnya membiru.Lisa hanya mengangguk lalu pergi dari ruangan itu, ia meraih tasnya, kemudian pak Nada guru Kimia yang kebetulan sedang piket siang datang. Ia menghampiri Willy dan bertanya tentang kronologi perkelahian. Pikiran Lisa masih kacau balau, dan jantungnya masih berdetak kencang tangannya basah oleh keringat. Namun saat ia mengendarai motor menuju rumahnya terlintas wajah Willy, biar bagaimanapun Willy sudah menyelamatkan dirinya. Mungkin yang dibilang Novi dan Keira itu benar, kalau Willy itu memang cakep, dan mempesona tapi bayangan kejadian tadi membuat pikiran Lisa kembali kacau.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan