
Karya Full:
https://karyakarsa.com/mrsundaynight/dendam-anak-tiri
Tragedi selalu menyisakan dendam. Karma selalu memainkan perannya di sela-sela waktu yang indah. Ia datang, ia pergi sesuka hati, setara dengan kejamnya waktu yang tidak pernah peduli.
Kebahagiaan Ratni menjadi istri Pria sederhana bernama Suwito pupus sudah. Saat seseorang yang bernama Kuncoro mengingini tubuh ibu beranak satu itu. Dengan memanfaatkan tragedi, Kuncoro berhasil memperistri Sang Rembulan Ratni.
Siksaan Batin...
1. Tangis di bawah Rembulan
Dingin yang tertahan, tangis yang mengalir, di mata air di bawah cahaya bulan purnama. Janda kembang itu menangis. Kecantikannya dari sejak ia belia memang sudah amat tersohor seantero 4 Desa yang berdekatan satu sama lain. Namun, bagi dirinya, kecantikannya itu kini merupakan satu kutukan yang keji yang tidak bisa lepas dari tubuhnya.
Dalam dingin, Ratni mandi di pancoran indah itu. Terang bulan membantu wanita itu membersihkan dirinya. Rambut lurus hitam sepinggulnya sudah basah. Kulit putih nan mulus itu disekanya dengan amat kasar, seolah-olah ada noda yang sangat menjijikkan menempel erat di tubuhnya. Air pancoran yang cukup deras itu cukup menyamarkan suara isak tangisnya yang cukup keras.
Sambil menangis dan sulit menerima kenyataan kini Ratni sudah dimiliki oleh seorang yang paling ia benci, yaitu kepala Desa Tegalbiru yang bernama Kuncoro. Usia mereka terpaut 17 tahun. Pria yang bekelahiran 1924 itu adalah iblis berbentuk manusia. Ia merupakan mimpi buruk Ratni yang berubah menjadi kenyataan. Tak berdaya Ratni melawan pahitnya hidup jika diingini olehnya.
Kuncoro berjasa dalam memberantas pengkhiatan negri dari G30-S. Pintar menjilat di pemerintahan. Ia pun punya pendukung-pendukung buta yang bisa disogok oleh uang. Keluarga Ratni adalah korban kekejaman pria Cabul itu.
Merasa kotor dan hina. Teringat dengan mantan suaminya yang Ratni sangat cintai, yang memberikan seorang buah hati saat ia berusia 15 tahun. Mantan suami Ratni menghilang begitu saja dimalam gelap, dijemput paksa, lalu yang kembali hanya kabar yang tak jelas, antara hilang atau sudah mati. Kejadian itu membuat nasibnya berubah, ia kehilangan tempat tinggal dan harus menikah dengan Kuncoro. Hal itu terpaksa dilakukan untuk mendapatkan hak hidup bagi keluarganya yang tersisa. Mereka juga tidak akan dihakimi oleh Warga yang diprovokasi oleh kepala desa Tegalbiru, yang kini sah menjadi Suaminya meskipun hanya hawa nafsu sepihak.
Usai membersihkan tubuh yang ia anggap hina itu, Ratni kembali ke ranjangnya. Rumah kayu itu sudah dibuat khusus oleh Kuncoro untuk mereka berdua berbulan madu di bukit yang dipenuhi oleh pohon. Pancoran indah itu adalah mata air yang langsung mengalir dari gunung, sebagian dialihkan ke rumah itu dengan selokan kecil lalu mengucur dari batang bamboo, dan dibuatkan kamar mandi terbuka yang ditumbuhi daun paku, serta kembang sepatu berbagai warna yang mempercantik sisi kiri dan kanan. Disana ada bak mandi yang terbuat dari batu untuk menampung air. Pancoran itu langsung terhubung ke kamar yang dibuat dari kayu Jati, dimana hanya ada kasur meja rias dan lemari, dari kamar itu langsung bisa melihat pancoran, dan hanya dibatasi oleh tirai bamboo.
Ratni mengeringkan seluruh tubuhnya dengan handuk. Berkaca pada cermin meja rias yang hanya diterangi oleh damar. Ia lihat wajahnya dengan rambut basah yang acak-acakan, ia perkuat dirinya agar bisa menghadapi hari-hari dengan orang yang tidak ia cintai sama sekali. Kemudian air ia minum dari kendi, dan pergi menuju kasur empuk bulu angsa tempat peraduannya. Tempat dimana Kuncoro menikmati tubuh sintal indahnya.
Ia tidur hanya menggunakan kemben, di sebelah suaminya sambil membelakangi pria itu.
“Hmm…” Desah Kuncoro. “Lama sekali tidak kurasakan kepuasan ini. Tubuhmu sangan nikmat. Baru saja kita selesai bertempur, aroma wangi tubuhmu membuatku ingin menidurimu lagi.”
Dengan bibir bergetar dan keadaan pasrah Ratni hanya bisa membiarkan suaminya. “Lebih baik besok Mas, kita masih banyak punya waktu. Aku janji akan melayanimu lebih dari tadi.”
“Banyak waktu untuk mencoba, apa tadi itu terlalu cepat?”
“Tidak Mas, aku sangat tidak menyangka kau sangat perkasa.” Kata Ratni berbohong. “Mungkin kita terlalu lelah setelah hari pernikahan kita.”
“Mungkin juga…” Kata Kuncoro yang sangat gemas pada Istrinya. “Esok aku akan buat kau menjerit meminta ampun. Tapi aku tidak akan mengampunimu, kupakai tubuh ini agar aku puas dan rahim ini.” Kata Kuncoro seraya membelai Ratni. “Akan melahirkan anak kita…”
“Iya Mas…” Jawab Ratni Sedih. Sungguh ia tidak sudi menghasilkan keturunan dari pria cabul ini. “Sebaiknya kita tidur. Aku janji, kita lanjut esok hari.”
“Hmm… Baiklah…”
Karena Kuncoro terus menerus mengganggunya Ratni hanya bergeming. Ratni Cukup bersyukur karena pria 43 tahun ini lemah, nafsu menggebu di awal namun selesai begitu cepat. Ia berharap semoga selama pernikahannya dengan Kuncoro cepat selesai, entah ia yang mati atau diri Ratni.
***
Pagi-pagi buta Ratni sudah bangun, ranjang indah nan empuk itu menjadi sebuah mimpi buruk untuknya. Hari pertama pernikahannya ia lalui cukup berat. Syukurlah burung-burung hutan yang berkicau dan desir angin dari kejauhan menolong jiwanya untuk pulih. Ratni duduk di teras, sambil menikmati nuansa alam sambil mengingat mendiang Suaminya yang sudah setahun lamanya hilang tak berbekas. begitu pula ayahnya.
Gestapu terjadi di seluruh negri. Nusantara mencekam. Suatu malam Suwito yang merupakan suami sah dan ayah Ratni dijemput oleh beberapa orang, itulah kali terakhir sang rembulan Ratni melihat sang ayah dan suami. Tiga hari kemudian terdengar rumor tak mengenakkan, suaminya dituduh salah seorang pengkhianat-pengkhianat negri.
Ratni yang menangis berhari-hari tidak bisa melakukan apapun. Harta dirampas kebun diambil, rumah dibakar, karena ia dianggap pengkhianat dan hartanya berhak untuk dijarah, ia sampai tidak punya tempat tinggal. Di desa ia terlunta-lunta dengan anaknya yang baru berumur 9 tahun, bekerja serabutan sampai ditawari menjadi wanita penghibur di kota. Namun, ia bersikukuh demi norma dan martabat meskipun miskin ia tidak mau melakukan hal itu.
Pak Kuncoro yang senang bukan kepalang, nafsunya bisa ia salurkan pada Bunga Desa lembayung yang kini telah menjada. Ia menawarkan kehidupan untuk Ratni. Keluarganya akan memiliki kebunnya kembali, jika ia mau menjadi istri kedua Kuncoro. Ratni jelas menolak mentah-mentah. Namun, Satu tahun menunggu, Ratni yang awalnya melolak akhirnya menerima tawaran itu. Ia tidak tahan melihat ibunya mengeluh, Kakak laki-lakinya jatuh sakit karena bekerja terlalu keras untuk keluarganya, dan juga Wulandari yang kekurangan gizi.
Ratni yang tidak punya pilihan akhirnya mengiyakan ajakan itu. Ia meminta waktu untuk merawat ibu dan anaknya terlebih dahulu. Akhirnya Kuncoro membiyayai semuanya, termasuk mengembalikan rumah Ratni yang kemarin dirampasnya. Tidak semua, tapi cukup untuk tinggal dan sedikit berkebun. Tepat setelah 1 tahun kepergian mendiang suaminya. Pernikahan berlangsung meriah sambil disaksikan oleh istri pertama Kuncoro yang sedang terkulai lemah duduk di atas kursi roda. Meskipun sakit kangkernya semakin parah, ia terlihat bahagia melihat suaminya menikahi wanita yang 17 tahun lebih muda dari dirinya. Paling tidak, Kuncoro tidak bermain wanita lagi.
Kini, hanya nasib yang berjalan. Ratnianti hanya bisa menerawang ke halaman yang asri itu. Ia masih tidak bisa menerima apa yang sudah ia lakukan. Meskipun mantan suaminya tidak jelas ada dimana, ia masih tidak bisa melupakan cinta mereka. Ia percaya bahwa cintanya pada Suwito masih ada, meskipun kenyataan pahit harus ia jalani.
Menikah dengan orang yang sama sekali ia tidak cintai.
2. Untuk Cinta yang dibunuh nafsu
Kuncoro bangun dari tidurnya yang lelap. Suara percikan air memenuhi ruangan itu. Membuat tenang dirinya yang sedang kasmaran untuk yang kedua kalinya. Ia bangun lalu berjalan menuju ruang depan, Istri mudanya sedang merenung di teras sambil memandangi bukit. Mengenakan kebaya putih dan kain lurik coklat dengan rambut yang diikat kebelakang. “Sayang… Kau bangun pagi sekali.”
“Eh, iya Mas.” Kata Ratni kaget. “Mungkin suasana baru, saya masih belum terbiasa.
“Padahal di sini tenang sekali. Rumah ini khusus aku buatkan untuk kita. Nanti sesekali kita beristirahat di sini saat akhir pekan. Apa kau senang di sini?”
“Senang Mas, suasananya sejuk, dan juga sangat tenang.”
“Tapi sepertinya kau gusar.” Kata Kuncoro sambil memeluk Ratni.
“Saya rindu Wulandari mas.” Kata Ratni mencari-cari alasan.
“Ah… tenanglah. Pembantu dirumahku pasti merawatnya dengan baik. Karena sekarang ia anakku juga.”
“Iya mas terima kasih.” Kata Ratni.
“Ah apa kau lapar?”
“Tidak terlalu Mas.”
“SIIIHHH!” Panggil Kuncoro.
“Iya pak.” Kata bibi Sulasih yang cepat-cepat menuju teras.
“Buatkan kopi dan teh untuk kami.”
“Sudah Pak, sebentar lagi saya antarkan, pisang dan ketela masih saya goreng. Mohon bersabar sebentar pak.”
“Ya sudah Cepat. Aku tidak mau membiarkan istriku kelaparan!” Sahut Kuncoro dengan nada angkuhnya.
Ratni hanya tersenyum sungkan dan mengangguk, ia merasa lebih baik ada di posisi bibi Sulasih. “Sudah Mas, aku tidak begitu lapar. Maaf aku tidak menyiapkan kopi pagi ini. Tadi bu Sulasih melarangku.”
“Halah… Untuk apa? Derajatmu sudah naik sekarang. Kau tidak sama lagi dengan mereka.”
“Terima kasih Mas, saya hanya mencoba untuk menjadi istri yang baik untuk Mas. Seperti yang dilakukan Kakak Puspita.”
Kuncoro hanya menggelengkan kepala. “Sayang istriku itu hidupnya tidak lama lagi. Dokter sudah menyerah akan penyakitnya. Uang sudah habis banyak. Tapi untung saja, ia menggunakan uangnya sendiri tidak menjamah hartaku, ada untungnya juga ia yang mengatur semua warisan dan keuangan.”
“Mas…”
“Iya.” Kata Kuncoro santai. Sambil menghidupkan rokok kreteknya.
“Mengapa setelah bertahun-tahun menikah dengan kakak Puspita hanya beranak satu?”
“Ah… Puspita…” Kuncoro menghirup rokoknya. “Dulu itu ia cantik, Keturunan Kompeni. Ibu Pribumi, dan Bapak Belanda, Jerome Van Beckhoff. Sayangnya Ayah Puspita meninggal karena malaria, dan juga sudah lanjut usia. Saat melahirkan Bagas ia kritis, karena tekanan darah rendah, dan sejak itu ia tidak mau hamil lagi. Maka dari itu Anak kami hanya Bagas seorang.”
“Apa Kakak Puspita tidak melakukan kewajibannya sebagai istri?”
“Menurutku iya, seharusnya harta kekayaannya seluruhnya milikku, ia bersikeras tidak mau memberikannya dan lebih mempercayakan Bagas anakku untuk mengelolanya. Tapi tidak jadi masalah, aku masih mendapat setengah bagiannya.”
“Saya mendengar rumor, Mas sering melelang ronggeng ya? Apa karena itu?”
Kuncoro terkekeh. “Wah pertanyaanmu, sepertinya cemburu.”
“Maaf Mas…” Ratni tertunduk, tidak setitikpun ada rasa itu dihatinya.
“Menikah itu salah satu tujuannya adalah berhubungan badan. Seperti kita tadi malam. Puspita sudah tidak bisa melakukannya karena ia sakit. Jadi ya saya terpaksa bermain di luar. Lagipula mereka semua terbeli.” Kata Kuncoro seolah manusia ada harganya.
Bu Sulasih membawakan Kopi, Teh beserta pisang goreng. Kuncoro menyeruput kopi hitamnya yang masih panas itu. “Kamu sendiri, sudah 10 tahun dengan mendiang Suwito, kenapa hanya punya anak satu?”
“Setelah melahirkan Wulandari, Saya pernah keguguran 2 kali Mas. Karena terlalu keras bekerja, yang pertama karena kami pernah gagal panen. Yang kedua karena terlalu letih bekerja di tambak, waktu itu almarhum ayah baru saja membuat kolam gurami.”
Kuncoro memegang tangan Ratni. “Tenanglah, hidup bersama saya kamu tidak akan bekerja keras seperti dulu. Kamu akan bersolek dengan cantik. Saya akan suruh para pembantu untuk lulur tubuh putihmu biar kamu menjadi seperti remaja lagi. Kalau perlu kau bisa mandi susu. Tapi… Tidak harus seperti itu tubuhmu sudah sangat menggoda. Beruntung sekali Suwito memperawanimu.”
Ratni hanya tersenyum mendengar kelakar suaminya. Ia pun jadi merasa bersalah karena ia juga mengkhianati warga Desa. Warga desa yang biasa diperas dan diperlakukan semena-mena, dililit bunga hutang yang tak masuk akal. Mungkin sekarang Ratni sedang menjadi buah bibir di seluruh Desa.
Tidak habis pikir dengan perasaan hati yang sangat sedih. Ratni memulai kehidupan barunya yang lebih dekat pada kesakitan daripada kesenangan. Ia hanya berharap keluarga dan anaknya hidupnya terjamin.
“Sepertinya kita harus mandi agar segar. Di pancoran belakang itu khusus aku siapkan untuk kita berdua bisa mandi bersama, Ayo temani aku.”
“Iya Mas.” Kuncoro menggaet tangan Ratni untuk mandi bersama. Sebuah ajakan yang tidak bisa Ratni tolak karena sangat takut.
***
Sebenarnya rumah kayu kecil itu Indah, dibangun dengan sangat baik dan biyaya yang cukup mahal. Sayangnya Ratni tidak bisa menikmati keindahannya.
Dibawah sinar Mentari pagi yang cerah itu Kuncoro menikmati hari bersama istrinya Pengantin baru itu menikmati pancoran dengan air yang dingin. Syukurlah suara air menyamarkan isak tangis Ratni.
3. Perjaka Desa Tegalbiru
Cahaya matahari terik menembus dedaunan hutan. Menerpa tubuh seorang pria yang perkasa. Keringat menetes di dadanya yang bidang, guratan-guratan otot tangannya mengencang saat mengayun kapak. Hanya dua tebasan kayu tebal itu terbelah. Pria itu menarik nafas dalam-dalam setelah menyelesakan pekerjaannya. Kayu yang berantakan itu dikumpulkannya lalu ia duduk sejenak. Memandang pohon jati yang tinggi seraya disapa oleh orchestra alam nan alami, saat Kicauan burung menjadi melodi, Ringkikan serangga menjadi Ritme dan gemerisik pepohonan menjadi perkusi. Semua menyatu dan menyeruak masuk dalam pendengaran dan memberikan ketenangan bagi jiwa yang cukup lelah.
Sambil menunggu Pria itu membuat api unggun kecil, kemudian seorang paruh baya mendekatinya dengan menenteng burung Ruak-ruak yang tadi ia tangkap dengan jebakan bamboo. Burung itu dicabuti bulu-bulunya dan dibersihkan. Jeroannya langsung dibakar di atas api yang menyala-nyala. Sambil ditambah lagi kayu agar Api makin besar. Hanya dibubuhi garam, merica dan kecap, burun itu ditancap di bamboo lalu diletakkan di sisi api.
“Sudah lama saya tidak menikmati alam liar ini. Terima kasih sudah menemani saya pak Wo.” Sahut pria muda seraya meneguk air dari tempat minum militer.
“Iya Den Bagas, saya lihat Den Bagas sibuk di pabrik, di Gudang dan menjaga ibu.” Balas Pak Sujiwo yang akrab dipanggil pak Wo. “Tapi tadi daun sama akar-akarnya sudah dapet Den?”
“Sudah pak, lumayan lah buat persediaan satu bulan. Nanti ini dijemur.”
“Semoga Ibu cepat sembuh ya Den, sudah lama sekali Ibu sakit. Saya itu sedih sekali melihat Ibu, sudah sakit begitu malah tidak dirawat oleh Bapak, justru malah ditinggal kawin lagi.”
“Ibu tidak ditinggal kawin lagi pak. Ibu sudah mengijinkan, bahkan menyarankan agar Bapak kawin lagi.”
“Tapi istri mudanya kalau tidak salah sebaya dengan umur den Bagas.”
“Soal itu saya kurang tau ya pak. Tapi yang jelas saya tau dia yang tercantik di desa Lembayung. Belum pernah saya melihat wanita secantik dia.”
“Yah pantas saja Bapak langsung kesemsem. Paling tidak Bapak tidak jual anak-anak Desa lagi ke kota. Kasihan mereka, karena ekonomi terpaksa mengikuti jalan itu.”
“Tapi ya tidak begitu juga pak. Harusnya mereka itu dididik.” Kata Bagas sambil membalik-balikkan burung Ruak-ruak yang sudah mencoklat. “Selama ini maafkan perlakuan ayah saya pak. Kemarin saya dengar bapak dimarahi karena menjatuhkan sekarung pala.”
“Itu salah saya Den sudalah.”
“Salah dimana pak? Tubuh itu ada batasnya, bapak bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 7 malam.” Kata Bagas sambil meniup-niup Burung Ruak-ruak panggangnya.
“Namanya mencari sesuap Nasi Den. Saya si orang bodoh Den, nggak sekolah. Beda sama pak Kuncoro, orang pintar.”
“Justru seharusnya orang pintar itu berbuat baik pada orang yang tidak pintar. Itu namanya pemaksaan pak. Kita sudah tidak hidup di jaman Jepang. Romusha sudah berakhir pak.”
“Kalau saja saya punya pilihan Den. Istri anak harus makan. Tapi Den, maaf ya. Den itu mirip Ibu, dulu waktu masih sehat ibu selalu senyum sama semua orang, meskipun ia keturunan kompeni, ia tidak menindas.”
“Iya pak, saya banyak dengar cerita. Cuman ya dari kecil saya kenal bapak saya seperti itu. Padahal mendiang kakek dan nenek saya bukan orang pemaksa seperti itu. Maka dari itu saya sangat berusaha bagaimana caranya agar bapak tidak ikut campur urusan pekerjaan pabrik kami. Manusia itu cepat kalap kalau diberi kekuasaan.”
“Tapi Den Bagas tidak begitu. Meskipun sudah diberikan kekuasaan atas pabrik dan kebun. Den Bagas baik pada kami. Sayang saja Den Bagas bukan lurah yang punya kuasa.”
“Ah, itu. Saya tidak begitu peduli. Yang saya pedulikan adalah kalian makan yang baik dan keluarga kalian sehat. Yah, yang jelas, saya hanya ingin, apa yang saya pimpin semuanya hidup sejahtera, saya juga orang pak, punya kekurangan.”
“Iya Den. Saya senang bisa membantu Den Bagas, jikalau ada sesuatu yang sekiranya Den Bagas butuhkan, Nyawa pun saya kasi Den.”
“Ah, tak usah berlebihan pak. Ayo kita santap dulu burung Ruak ini, rasanya enak juga, seperti ayam hanya lebih manis.”
Akhirnya makanan mereka matang, sambil berbincang mereka menyantap daging burung itu dengan rasa seadanya. Kemudian mereka memilah beberapa daun obat-obatan untuk ibu Bagas, yang sedang berbaring lemah di ranjang. Meskipun sedikit harapan untuk pulih sempurna, tapi paling tidak bagi Bagas ia masih ingin berada di sisi ibunya sampai akhir waktu.
Bagas meninggalkan kehidupan semu-nya sebagai anak penguasa. Ia sebenarnya sudah sekolah militer selama 1 tahun, lalu mengundurkan diri karena Ibunya sakit. Dicalonkan sebagai murid terbaik dan tentara tertangguh. Bahkan ada beberapa atasan mengatakan bahwa ia bisa menjadi jendral selanjutnya dan di tugaskan di Ibu Kota.
Bagas menghabiskan harinya dengan membaca buku. Semenjak keluar dari Angkatan darat. Buku berBahasa Belanda pun di bacanya. Ia juga belajar ekonomi di kota saat menunggu Ibunya, membaca tulisan-tulisan dokter saat dirumah sakit dan banyak hal yang ia pelajari setelah hidup sebagai warga sipil.
Disiplin, Jujur dan sangat dermawan, itulah yang orang kenal dari Bagas. Layaknya pohon, ia adalah buah yang sangat jauh jatuh dari pohonnya, berbanding terbalik dengan ayahnya. Setiap sumbangan ia pantang menulis namanya. Para karyawan pabrik dan para buruh begitu yakin, apa yang dikatakan oleh Bagas dan Ibu Puspita seluruhnya adalah kebenaran, karena sudah terbukti hidup mereka disejahtrakan.
“Udah Den, udah banyak ini kayunya. Makasi ya Den sudah menolong.” Kata pak Wo.
“Tambah lagi pak, nanti saya bantu bawa.” Balas Den Bagas.
“Wah ngerepotin Den. Saya kan yang diberi upah oleh Den, malah Den Bagas yang repot.”
“Jangan begitu pak. Kita sama-sama Bantu. Pak Wo juga yang bantu saya untuk mencari akar liar ini, saya kurang begitu paham karena nyaris tak ada bedanya.” Bagas mengangkat kayu glontongan yang sangat berat itu. “Ayo kita turun bukit pak sebelum petang.”
“Siap Den.” Jawab pak Kuncoro semangat.
***
Perjalanan dari rumah bukit menuju Bukit Gedang, memakan waktu selama 20 menit. Melewati kebun kopi yang luas. Ratni hanya memandang jalan dalam diam, ini baru pertama kali ia menaiki mobil, kepalanya sedikit pusing karena jalanan yang bergelombang dan aroma mesin. Di Jalan tanah itu mobil berjalan pelan, menerpa udara sejuk yang memasuki mobil.
Sampailah Mobil di halaman Villa yang luas itu. Batu kerikil di halaman depannya. Bagas melihat mobil itu menepi. “Oh, aku kira bapak di rumah bukit 5 hari. Ternyata hanya sehari.”
“Saya kurang paham Den.” Kata pak Wo.
Bagas meletakkan kayunya di pinggir lalu mengusap keringat dengan baju kaosnya. Dilihatnya Ayag turun dengan baju batik dan kacamata pilot hitam. Kemudian ia menghamipiri Bagas. Sebagai Tanda bakti, Bagas menyalami dan mencium tanganya.
“Aih, Kotor sekali dirimu.”
“Dari hutan Ayah mencari kayu Bakar dan akar herbal untuk ibu.”
“Hmm…” Gumam Kuncoro. “Kemarin kau baru melihat Ibu barumu kan? Belum sempat berkenalan dengannya?”
“Iya Ayah.”
“Ratni… Kemarilah, kenalkan ini anakku Bagas.”
Ratni turun dari Datsun bluebird 1962, wajahnya putih berseri dengan mata sendu dan bibir merona merah, rambutnya diikat kepang satu panjang melebihi pinggul. Ia memandang Bagas yang sedang tidak mengenakan baju dan penuh dengan peluh.
Ratni tertegun beberapa saat, melihat lelaki yang berdada bidang dan berwajah rupawan itu. Matanya tajam bagai elang, bibirnya tipis, dan bertubuh tinggi dan tegap, jauh lebih tinggi dari dirinya. Rambut ikal pendek yang hitam membuat pesona Bagas begitu gagah. Sesaat Ratni tertegun Wulandari berlari ke arahnya dan langsung memeluknya.
“Bu, di rumah enak bu, makanannya enak-enak. Trus mas Bagas ngajarin aku bikin PR. Aku juga di Foto lho bu.” Sahut Wulandari.
“Oh iya, Makasi Nak Bagas sudah menjaga Wulandari.” Kata Ratni sambil tersenyum. Bagas hanya mengangguk.
“GAS! Ratni itu sekarang ibu! Ayo salim.” Kata Pak Kuncoro.
Bagas melihat Ayahnya dengan tatapan agak marah. Namun, ia menepis pikiran amarah itu ia memandang Ratni yang berwajah cantik. “Maaf tangan saya kotor. Karena menghormati ayah, saya akan panggil anda Ibu. Meskipun saya tau anda hanya 3 tahun lebih tua dari saya.”
Ratni tersenyum manis lalu menjulurkan tangannya. “Maaf, merepotkan. Terima kasih sudah menjaga Wulandari, ia juga kini adikmu.” Bagas mengelap tangannya lalu sungkem pada Ratni.
“Sama-sama Bu, Wulandari sekarang sudah mau masuk sekolah tengah. Ia sangat pintar. Esok, ada Bu Mumun yang mengurus surat pindah sekolahnya ke Desa Tegalbiru. Nanti tiap hari akan diantarkan dengan pak Jum sopir kami.”
“Makasi Bagas, Maaf sudah merepotkan.” Kata Ratni menunduk.
“Tidak apa Bu. Maaf badan saya kotor. Saya mau mandi dulu. Sudah mau sore.”
Ratni hanya tersenyum manis dan mengangguk pelan sambil memegang pundak anaknya yang beranjak remaja. Bagas hanya tersenyum saat memandang Ratni. Meninggalkan ibu dan Anak itu di halaman.
4. Bakti
Setelah mandi, Bagas menuju dapur. Diambilnya karung goni yang berisi daun-daun herbal yang ia dapatkan dari hutan. Sekalipun obat buatannya tidak terlalu menolong Ibunya, daun-daun itu sangat membantu meredam rasa sakit yang diderita Puspita. Daun-daun dan beberapa akar itu ditumbuk, dicampur madu lalu diseduh.
Cangkir panas itu dibawa Bagas ke kamar ibunya melewati lorong panjang dengan tegel hitam serta pilar-pilar putih yang kokoh. Jendela-jendela bergaya Victorian dan cat rumah putih kusam berada sepanjang Bagas berjalan. Kemudian pintu jati yang berwarna putih itu diketuk, dengan pelan kamar Ibu dimasukinya.
Kedatangan pria itu disambut senyuman. Senyuman lemah wanita paruh baya yang bernama Puspita yang Sebagian rambutnya memutih. Wajahnya pucat, matanya sayu, sisa-sisa kecantikan masih terpancar dari wajahnya. Kangker sudah menggerogoti tubuhnya yang kurus. Rumah ini adalah sejarah indah baginya, Rumah mendiang ayah yang dipercayakan pada Puspita anak kesayangan Van Beckhoff. Dengan harapan yang sederhana, ia ingin selama mungkin menikmati suasana rumah yang ia cintai itu.
Aroma Jamu menyeruak ke dalam indra penciuman, wangi pekat nan pahit. Dengan pelan ditiup agar panas berkurang, kemudian diseruput. “Hmm… sudah semakin tak terasa. Harusnya ini pahit sekali meskipun diberi madu.” Kata Puspita lemah.
“Sudahlah Bu, yang penting membantu mengurangi rasa sakit.” Kata Bagas sambil merapikan tempat tidur Ibunya .
“Maaf ya Nak, harusnya kamu bisa berbakti pada negri ini, Seperti pamanmu, tapi kamu malah menjaga ibu terus-terusan.”
“Tidak apa-apa Bu. Sudah tugas anak untuk berbakti pada orang tuanya.”
“Sewaktu pernikahan ayahmu berlangsung. Apa kau sudah mengambil dokumen-dokumen itu di kota Nak?”
“Sudah Ibu. Sudah saya ambil.” Bagas mengambil dokumen-dokumen dari tas kulitnya yang ia taruh di lemari kayu kamar Ibunya.
“Masih sama peraturannya, Ayahmu hanya mendapat 10% dari semua harta kekayaan ini. Tapi kau harus berbohong padanya, selalu katakan padanya bahwa itu 70%. Lalu 90% hasilnya adalah untukmu, jika nanti kau sudah berkuasa, bangunlah waduk untuk kesejahtraan penduduk Desa. Ibu bangga, dari cerita-cerita para pegawai yang menjenguk. Mereka selalu berkata dirimu adalah pribadi yang bertanggung jawab. Entah dari apa hatimu terbuat… Tapi Ibu sangat amat bangga.” Ibu meneteskan air matanya. Ingin rasanya ia meilhat anaknya paling tidak sampai menikah, tapi rasa itu sepertinya tidak bisa ia dapatkan. Puspita meraih pulpen dan dokumen-dokumen itu. “Dimana Ibu harus tanda tangan.”
Bagas menunjuk bagian-bagian yang harus ditandatangani, seraya membalikkan map satu-persatu. “Bu, kenapa harus sekarang?” Kata Bagas, air matanya sudah mengucur sangat deras. “Ibu belum mau pergi kan? Ini bisa dilakukan lain waktu. kami masih membutuhkanmu.”
“Kita tak tau kapan waktunya. Jujur di kehidupan ini Ibu cukup menyesal Ayah sebagai pendamping hidup. Ia pintar mempengaruhi kakek. Akal busuknya hanya pada kekayaan Ibu. Tapi untunglah kau jauh lebih mirip Ibu dan mendiang Pamanmu Tinggi dan Perkasa. Hanya saja, kulitmu yang sama dengan Ayah. Ibu sangat bangga padamu. Pesan ibu…”
Puspita terbatuk. “Kau tidak harus menyiksa dirimu untuk menjadi orang baik. Terkadang, kau juga perlu untuk berbuat tegas, tapi jangan lakukan itu pada mereka yang lemah. Lakukan itu pada mereka, para penindas. Ingat pesan Ibu, Jadilah kuat untuk lawan mereka yang jahat. Jadilah baik untuk mereka yang lemah. Biar hanya sebentar kau tetap seorang Tentara kan?”
“Baik Bu… Saya mengerti.”
“Mana Wulandari? Anak itu baik dan lucu sekali.”
“Ia sedang bersama Ibunya.”
“Oh, Sudah pulang dari bulan madu rupanya. Mudah-mudahan mereka bahagia. Ibu hanya kasihan pada Ratni. Sangat terlihat jika ia sangat terpaksa.”
“Saya masih tidak terima mengapa ibu mengijinkannya menikah lagi?”
“Ibu sudah seperti ini, apa lagi yang bisa ibu perbuat. Sudalah… Ibu masih punya kamu.”
“Terima kasih Ibu…” Bagas merapikan semua dokumen-dokumen tebal yang sudah ditanda tangani dan beberapa harus cap jempol. “Ini sudah semua, sekarang waktunya Ibu mandi agar Cantik.”
“Habis ibu mandi, panggil Wulandari ya, ibu masih berhutang dongeng untuknya.”
“Baik Bu… ”
Dengan cepat, Bagas memanggil para pembantunya untuk mengambilkan air hangat, sabun dan kain lap. Di atas Kasur 2 orang membantu memegang tubuh Ibu. Biasanya Wulandari juga ikut membantu mengganti kain lap tapi kini ia berkangen-kangenan dengan ibunya yang sudah tidak ditemuinya selama seminggu sejak acara pernikahan.
Bagas mengelap tubuh yang kini hanya kulit berbalut tulang itu. Dengan telaten dan penuh kasih sayang. Tetesan air mata pegawai di rumah itu mengalir saat melihat Bagas merawat Ibu yang sudah lelah itu. Dari mata pria itu, terpancar ketulusan seorang anak yang mencoba membalas budi pada Ibunya, meskipun tak akan pernah sanggup, karena kasih Ibu sepanjang masa.
Gemericik air menetes di kulit putih pucat. Tubuh Puspita semakin lama semakin ringan. Dilihat sangat berbeda dari foto hitam putih yang ada di kamar itu. Wajah Puspita masih sangat cantik, dan sangat mirip dengan Bagas.
Bagas Putrasukma Pangkujagat, adalah anak berbakti yang hidup dari kasih sayang Ibunya yang tidak pernah ia bisa balaskan.
***
Ratni sangat kagum melihat rumah peninggalan Belanda yang besar itu. Rumah yang bernama Groene Heuvel Villa terletak di atas bukit Gedang Alas. Halaman sangat luas dan besar, di belakang ada banyak pohon tinggi nan teduh, di bagian depan penuh dengan bunga-bunga. Pegawai yang ada di sana sekitar 35 orang jumlahnya. Jalan menuju rumah itu sendiri memakan waktu semenit dari gerbang kebun desa Tegalbiru. Di paling atas terdapat kebun kopi, di bawahnya ada kebun cengkeh, Pala, Kapulaga, dan beberapa jenis tanaman komoditi lainnya, lalu dibawah bukit hamparan sawah itu ada tambak luas membentang. Itu semua milik keluarga Kuncoro dan masih berkembang terus tergantung kebutuhan komoditi.
Ratni berjalan melintasi rumah bergaya Belanda itu, bangunan yang berusia lebih dari 1 abad lamanya. Kokoh dan sangat megah. Banyak motif ukiran gaya Victorian nan indah. Sayangnya belum dialiri listrik karena program listrik masuk desa masih berlangsung. Di dalam rumah itu sendiri terdapat banyak furniture dan beberapa barang-barang mewah dari Eropa. Kebanyakan itu adalah warisan dari mendiang keluarga Beckhoff. Bahkan masih ada plat tembaga penghargaan dari VOC yang terpampang di ruang depan.
“Bagaimana Ratni? Apakah dirimu menyangka akan menyadi Nyi Kuncoro? Tinggal di rumah besar nan megah ini?” Kata pak Kuncoro yang menyusul dari belakang.
“Ah, Mas! mengagetkan saja.” Kata Ratni, ia sama sekali tidak mengingini tinggal di tempat ini. Terlalu besar dan cukup suram. “Dimana kamar saya Mas?”
“Mari saya antar.”
Ratni mengikuti pak Kuncoro menaiki tangga lalu menuju kamar tidur mereka. Kamar itu terletak di Lantai 2, sangat luas dengan dipan yang sangat besar. Semua yang ada di sana rapi dan tertata indah. Di kamar itu pun ada kamar mandi mewah yang airnya selalu terisi penuh. Ada bathub putih bergaya victorian yang cukup besar dan cantik.
“Dulu di sini saya dan Istri saya beristirahat. Semenjak ia sakit, ia pindah ke kamar bawah. Agar semua kebutuhannya mudah terpenuhi.”
“Iya Mas. Indah sekali…” Kata Ratni yang masih mengagumi dekorasi khas Eropa ruangan itu. “Saya merasa bersalah Mas, pada Kakak Puspita, saya melangkahi hak-nya. Bolehkan saya juga mengurus beliau?”
“Ratni. Tidak usah melakukan itu. Hidup Puspita tinggal meninggu bulan, paling lama Tahun. Lagipula ada Bagas yang mengurusnya. Kau tidak perlu repot.”
“Tapi Mas, menurut saya… ” Ratni tertunduk “Tidak ada satupun wanita di dunia ini yang ingin di madu. Meskipun saya tau Kakak Puspita sangatlah baik.”
“Oh, ternyata istri pertamaku sangat terknal ya. Ah, berpikirmu terlalu jauh sayangku… ” Pak Kuncoro menggenggam lengan Ratni. “Justru Puspita sendiri yang mewasiatkan agar aku menikah terlbih dahulu sebelum ia pergi. Kalau tidak percaya silakan tanyakan padanya. Ia tau, aku tidak bisa hidup tanpa Wanita. Ia juga sudah lelah melihatku bermain sana-sini. Maka dari itu ia ingin agar kepergiannya ia tenang.”
“IBU!!!” Wulan berlari kea rah Ratni. “Ah, Maaf A- ayah…”
Kuncoro tersenyum “Kau mirip sekali dengan Ibumu ya, Sudah gadis rupanya. Bagaimana rasanya tinggal di sini?”
“Menyenangkan Ayah. Ibu Bagas sering mendongeng.”
“Ah, iya, Ia suka sekali membaca, dan kini turun ke Bagas. Wulan kalau ingin sesuatu ayah belikan ya.”
“Iya Ayah…”
“Baik, saya akan pergi sejenak. Ada tamu dari kecamatan sore ini. Nanti malam kita makan bersama ya.” Kata Kuncoro. Kemudian Ratni menyalami dan mencium tangan suaminya dan diikuti oleh Wulan.
“Bawa apa itu nak?” Tanya Ratni pada anaknya.
“Apem bu, enak sekali. Di bawah ada dapur besar, di sana banyak makanan. Mari makan bu, kau terlihat bertambah kurus.” Kata Wulan dengan sangat periang.
“Kurus bangaimana? Kau ini. Yuk mari kita makan. Ibu buatkan Teh ya.”
“Tidak usa bu, tinggal panggil Bibi nanti mereka yang buatkan.”
“Ahh… Ya sudah yuk, kita duduk di balkon. Sepertinya pemandangannya indah.” Setelah itu Ratni bergegas berjalan ke balkon seraya Wulan memanggil bibi untuk membuatkannya teh.
Pemandangan yang sangat indah terhampar dari atas villa itu. Kebun Kopi, kebun cengkeh dan juga penampakan desa Tegalbiru dari atas. Ratni mengagumi pemandangan yang indah itu. Ia duduk tenang dan membiarkan angin semilir menerpa wajahnya dan menerbangkan helai-helai rambutnya. Ia merenung bahwa sampai selamanya ia harus menerima keadaan yang sulit. Paling tidak, saat Kuncoro tidak ada ia bisa sedikit lebih rileks. Dalam waktu sempit itu Ratni merenung.
Bukan hanya sekedar menjadi pendamping hidup. Tetapi juga harus bisa berbakti pada suami yang sama sekali tidak dicintainya. Air mata Ratni menetes pelan, ingin marah tapi tak berdaya. Syukurlah Wulan mengajaknya bercanda sehingga sore kelabu itu menjadi sedikit lebih bermakna.
5. Keluarga Baru
Makanan di meja telah siap. Ratni masih berawajah datar, Kuncoro tersenyum sumringah, sedangkan Wulandari duduk dengan tenang. “Itu Mas Bagas datang! Ayo makan.” Kata Wulandari semangat.
“Hai Wulan, sudah kangen-kangenannya sama Ibu?”
“Sudah Mas, maaf tadi Ibu minta ditemenin jadinya nggak bisa bantu Mas Bagas.”
“Tidak apa Wulan.” Bagas tersenyum sambil mengusap-usap kepala anak periang itu. “Ibu sudah mandi. Makasi ya sudah bantu-bantu.”
“Wah, Wulan bantu-bantu merawat Ibu?” Kata Kuncoro.
“Iya yah, soalnya Ibu kasian, sudah tidak bisa jalan. Aku ingat dulu waktu aku sakit. Ibu Mas Bagas juga sering cerita tentang dongeng. Ceritanya macam-macam. Kalau ibu Wulan Cuma tau cerita si kancil.”
”Dasar, kamu ini.” Ratni tersenyum lalu mencubit pinggul anaknya. Setidaknya hanya itu secercah kesenangannya di meja makan.
“Yah nanti kamu yang giliran menceritakan Ibumu.” Sahut Bagas kalem.
“Oh iya Kak Bagas, kapan ada acara anak di TVRI?”
“Setiap Senin, Rabu, Jumat. Aku lupa.”
“Hmm… Seandainya saja kita bisa nonton di rumah ini ya?”
Bagas tersenyum. “Tanya saja pada pak Lurah. Kapan listrik masuk desa? Kalau itu sudah terjadi yah, kita semua tidak perlu lagi membeli batrai untuk radio, dan bisa ada Tv.”
Ratni dan Wulan memandang Pak Kuncoro. “Tidak perlu, untuk apa? Hanya akan membuat kalian malas.”
“Tidak begitu juga Ayah, masa kita masih membaca tiap malam dengan lampu sentir, padahal di kota aku belajar dengan bola lampu yang bagus.”
“Tinggal saja di Kota jangan di sini.” Kata Kuncoro sambil memilah-milah ayam gorengnya.
“Tanah di ujung sungai berikan saja pada pemerintah, bangun Dam lalu pasang turbin, maka empat Desa bisa teraliri listrik. Hidup lebih sejahtera.”
“Tidak usah sok kamu ya!” Kata Kuncoro sedikit emosi. “Anak muda tau apa soal mengelola Desa. Kau baru anak kemarin sore berani-beraninya melawan.”
Bagas tersenyum. “Aku tidak bermaksud melawan, aku hanya berpendapat, di Orde baru ini pemerintah mulai membangun bangsa. Seyogyanya kita sebagai warga Tegalbiru yanga paling memungkinkan untuk jalur –“
“CUKUP!” Kata Kuncoro, sambil memukul meja. Kemudian menunjuk Bagas. “Hari ini suasana hatiku sedang baik, jadi kau tidak perlu membahas soal tanah untuk dijadikan dam. Sampai matipun aku tidak mengijinkan sejengkalpun tanah kita hilang. Apalagi untuk kepentingan banyak orang. Hidup ini hanya sekali perkaya dirimu! Berkuasalah!”
“Oh, benarkah begitu? Bukankah hidup yang sekali itu harus dipergunakan agar bermanfaat untuk orang lain? Bukannya menghilangkan suami orang lalu meniduri istrinya dengan paksa.” Sahut Bagas pelan.
“BICARA APA KAU INI!?” Hentak Kuncoro. “Anak durhaka! Jika suasana hatiku tidak baik, sudah kutempeleng kepalamu.”
Bagas menghentikan makannya lalu memandang Kuncoro dengan senyuman. “Aku berlatih dibawah desingan peluru, merangkak di lumpur dan suara Bedil dimana-mana. Kau kira tempelenganmu itu lebih hebat dari itu? Aku abdi negara sedangkan kau.” Kata Bagas pelan. “Penjual nyawa.”
Kuncoro menarik nafas panjang agar tenang. “Baiklah, silakan kau bicara. Suatu hari nanti kelak jika ini semua adalah sah milikku. Kau kuanggap bukan anakku lagi.”
“Dengan senang Hati.” Kata Bagas sambil melanjutkan makannya.
Satu Meja langsung hening, Wulan keringat dingin dan Ratni berbeming. Mereka makan dalam diam. Dilihatnya Kuncoro masih emosi. Sedangkan Bagas begitu tenang menikmati semua lauk dan nasinya. Ratni sadar, dan befikir, tidak mungkin Bagas berani berkata seperti itu jika tidak mengetahui sesuatu.
Stelah selesai makan, Ratni pergi ke kamar bersama Kuncoro, dimana berbekal telur setengah matang dan merica untuk memperkuat stamina. Ratni sudah mempelajari bagaimana caranya agar Kuncoro cepat mencapai puncak, ia sudah bisa berpura-pura mendesah puas agar Kuncoro merasa perkasa. Hal itu berhasil ia praktekan di waktu-waktu yang tersisa di rumah Bukit.
“Kau lihat kan Bagas?” Kata Kuncoro dari tempat tidur. Sedangkan Ratni sedang melepas ikatan rambutnya.
“Iya Mas.”
“Itulah contoh anak salah didikan. Gara-gara istri tuaku yang sakit-sakitan itu ia menjadi anak yang pembangkang.” Kata Kuncoro.
“Iya…” Jawab Ratni polos. Ia tak tau apa yang harus dikatakan sekalipun hatinya mendukung semua pemikiran Bagas.
“Tau apa ia soal hidup? Anak baru kemarin sore saja sombong sekali sudah menasehati orang tua. Berbicara tentang politik.”
“Sudalah Mas… Istirahatlah… mungkin kau lelah.”
“Hmm… Kemarilah sayang…” Kata Kuncoro. “Hanya ini yang bisa menghiburku malam ini.“ Kuncoro memeluk Ratni yang berdiri di hadapannya.
“Iya Mas, aku sudah jadi milikmu, sudah suatu kewajiban aku melayanimu di ranjang.” Ratni pasrah saat bajunya dibuka, dan sekejap ia sudah bertelanjang dada di hadapan suaminya. “Maafkan aku yang tidak bisa bertahan lama-lama, karena milikmu sangat nikmat.”
“Hmm… kau benar-benar rindu akan keperkasaanku.” Kata Kuncoro sambil menjilati ujung mungil coklat, gunung kembar Ratni yang besar itu. Kemudian tubuh Ratni yang putih dan sintal itu dituntun ke ranjang dan siap untuk dinikmati. Ratni diam tak melawan, ia hanya membalas lidah Suaminya yang masuk dan menari-nari dalam mulutnya.
Sebelum menikah pun, Ratni mempelajari agar bisa menunda kehamilannya. Ia tidak sudi rahimnya memberikan keturuan bagi pria cabul ini. Jamu datang bulan ia siapkan secara diam-diam agar rahimnya tidak terbuahi. Malam itu, Ratni harus terlentang, membentangkan kedua pahanya lebar-lebar. Tubuh telanjang ditindih oleh suaminya, burung pipit sudah bersarang di hutannya. Ratni pasrah tanpa perlawanannya saat selangkangannya dikoyak, meskipun tak begitu terasa karena burung pipit itu cukup lemah. Ia hanya bisa berpura pura mendesah-desah seraya mengejang-ngejangkan tubuh agar suaminya bisa cepat menyelesaikan perbuatan bejat pada dirinya.
Saat suaminya sudah tidur karena kelelahan. Ratni pergi ke kamar mandi, ia membersihkan dirinya. Termenung sejenak ia membayangkan kejadian yang terjadi di meja makan. Diam-diam Ratni memperhatikan Bagas, ia masih tak percaya, jejaka sebaik dan setampan itu adalah darah daging pria brengsek yang akan mengagahinya tiap malam. Kalau saja ia mengenal pria itu dulu, pasti suatu kewajaran jika ia menyukainya. Sayangnya lamaran mendiang Suwito terlalu cepat sampai padanya sehingga rumor tentang Jejaka Desa Tegalbiru yang bernama Bagas tidak digubrisnya sama sekali.
***
Puspita begitu senang saat melihat Wulan, gadis itu-pun meloncat kegirangan dan langsung mendekap Ibu, dan dengan wajah sumringah ibu menyambut Wulan seakan ia adalah anak kandungnya. “Ibu, Ibu kemarin lanjut cerita Bu.” Kata Wulan sambil membantu ibu bersandar.
Bagas datang dan memberikan jamu. Kemudian Wulan membantu Ibu untuk menyesapnya. “Diminum Ibu, agar Ibu mudah tertidur.” Kata Bagas, Kemudian meredupkan lampu petromak, dan juga menghidupkan damar agar suasana menjadi sendu.
Ibu dengan sangat baik menceritakan kisah pangeran yang mengalahkan Naga demi menyelamatkan putri. Seperti biasa, wajah cantik Wulan terkesima mendengarnya. Kemudian Wulan memeluk Ibu “Bu, janji ya Ibu mau ceritain wulan terus… Ibu jangan pergi ya.” Kata Wulan tulus.
“Wulan kan sudah besar, rajinlah membaca. Semua buku-buku dongeng itu masih ada di lemari Bagas.” Kata Puspita.
“Lain kalau dengar Ibu cerita.” Sahut Wulan manja.
“Wulan…”
“Iya Bu.”
“Kemarin Ibu dengar kamu sudah datang bulan ya? Sudah menstruasi.”
“Iya Bu, perut Wulan sakit, nyeri sekali. Untung diberi jamu sama bi Minah. Jadi dua hari selesai.”
“Ingat-ingat ya tanggalnya. Ibu ngerasa kamu bakal tumbuh dan berkembang jadi gadis yang sangat baik. Cantik lagi… ” Kemudian Ibu memandang Bagas lalu tersenyum.
“Bagaimana Bu? Sudah ingin tidur?”
“Hmm… Belum…” Puspita mengusap-usap kepala Wulan. Dipandangnya mata bulat Gadis kecil itu. Kulit putih, hidung mancung nan mungil, bibir tipis dan wajah bulat. Ia begitu mirip dengan Ratni ibunya, hanya saja yang membedakan adalah rambut bergelombang panjangnya dan gingsul di bagian kanan giginya yang membuatnya bertambah manis. “Dari dulu… Ibu itu pingin sekali punya anak Gadis, Ibu pingin menyisir rambutnya, pingin kepang, pingin ajak bermain keliling taman. Tapi keadaan tidak memungkinkan. Tapi… Sekarang malah datang dirimu. Anak Gadis Ibu.” Kata Puspita lalu memeluk Wulan. “Kalau kau dewasa pasti ibu akan seleksi pria-pria yang mendekatimu.”
Bagas dan Wulan tertawa.
“Ah, Ibu… memikirkan itu saja aku belum pernah.”
Puspita tersenyum, “Tidak usah dipikirkan, ada pria setampan pangeran di dongeng Ibu. Kau pantas bersanding dengannya karena kau secantik putri raja.”
“Wah, dia ada dimana Bu?”
“Di ruangan ini…” Kata Puspita dengan tawa kecilnya.
Karya Full
https://karyakarsa.com/mrsundaynight/dendam-anak-tiri
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
