
Kisah sakinah di tanah Madinah, mungkin begitu angannya. Sheina mencintai Kota Madinah dibandingkan dirinya sendiri. Ia enggan kembali ke tanah air meski pendidikan S1-nya di Riyadh sudah selesai. Gadis itu memutuskan melanjutkan kuliahnya ke jenjang S2 di Universitas Taibah. Menetap lebih lama di kota terakhir di mana nafas Nabi berhembus.
Tak seperti saat kuliah S1, kali ini dia membutuhkan syarat mahram tinggal bagi pelamar beasiswa putri. Keputusan untuk tidak pulang ke tanah air juga mendapat...
Al Hadra, Al-Madinah al-Munawwarah 42368, Arab Saudi, 2022.
PEREMPUAN dengan khimar hitam terlihat duduk di salah satu kursi tunggu Madinah Station. Sebuah stasiun yang terletak di sekitar kawasan utara Madinah dan merupakan salah satu dari dua stasiun utama di jalur Haramain High-Speed Railway. Stasiun tersebut menghubungkan Madinah dengan Mekkah, Jeddah, dan Riyadh.
Sheina tengah menunggu keretanya tiba untuk kembali ke Riyadh setelah urusan penyerahan berkas-berkas kelengkapan registrasinya selesai. Tangannya sibuk berselancar di layar menyala sambil kembali membaca pesan yang sudah dia ketikan sebelumnya.
Kriteria calon suami:
- Tidak berpikiran kuno dan menganggap perempuan tak harus sekolah tinggi-tinggi.
- Tidak merokok.
- Menguasai bahasa Inggris C1 Advanced.
- Tidak tertarik lawan jenis.
- Bersedia menetap di Madinah selama dua tahun.
Kursor teks di ponselnya masih berkedip. Sheina mempertimbangkan kira-kira aspek apa lagi yang dia butuhkan dari sosok laki-laki. Rasa-rasanya kriteria standar seperti salat berjamaah, memiliki adab dan tutur kata yang baik, bisa membaca Al-Quran, menjalankan hal-hal yang wajib, bertanggung jawab, hal-hal semacam itu yang menjadi bare minumum sebagai seorang muslim pasti sudah diketahui oleh kakak laki-lakinya. Dia tidak mungkin mencarikan calon suami berkarakter Abu Lahab untuknya.
Akhirnya pesan tersebut terkirim tatkala lima kriteria itu sudah cukup baginya. Sheina membutuhkan laki-laki yang egonya tidak akan terusik saat tahu dia membutuhkan kehadiranya untuk melanjutkan studi S2. Dia benci laki-laki perokok, sebab hampir dua kali masuk IGD karena matanya terkena abu rokok dari pengendara motor saat masih kuliah di Jakarta. Minimal menguasai bahasa Inggris, karena Sheina tahu agak mustahil bagi kakaknya untuk menemukan laki-laki yang fasih bahasa Arab, apalagi bahasa Arab amiyah. Dia bisa mengambil kursus bahasa Arab saat menetap di Madinah nanti selama dia menguasai bahasa Inggris, dan syarat yang keempat … sebentar, teleponnya berdering.
“Itu poin empat nggak salah? Kamu mau menikahi kaum Sodom? Nyari di mana laki-laki yang nggak tertarik perempuan, Na?”
“Nggak gitu juga maksudnya, Kak…. Maksud aku, laki-laki yang nggak mudah bergaul dan akrab dengan perempuan, laki-laki yang ghadul bashar, yang nggak tertarik untuk melirik perempuan lain sekalipun ada manusia secantik Aseel Omran di sampingnya.” Seorang Athaya Khalil Adnan hanya ber-oh ria diiringi tawa kecil setelah mendengar penjelasannya.
“Kamu janji, ya? Setelah kakak menemukan laki-laki yang cocok, kamu harus pulang ke Indonesia untuk taaruf dan nazor. Jangan sampai berubah pikiran. Kamu sudah khatam bahwa pernikahan bukan untuk main-main. Apalagi untuk perempuan, memutuskan menikah itu konsekuensinya besar.”
Sheina memijat keningnya yang mulai terasa berputar setiap kali membahas ini dengan kakaknya, “Maka dari itu, karena pernikahan bagi perempuan adalah soal ketaatan, Kak Atha harus menemukan laki-laki yang layak dan pantas untuk aku taati seumur hidup. Sama satu lagi, jangan cari cowok kayak Kak Atha.”
“Kamu kira Kakak bukan—” Sheina mengakhiri panggilannya sebelum memasuki sesi ceramah panjang. Seketika materi tentang adab berguguran kala bertelepon dengan sang kakak.
Keretanya sudah tiba dan pengumuman keberangkatan sudah diumumkan kepada para penumpang melalui sistem tata suara di stasiun. Dia harus menemukan nomor kereta beserta tempat duduknya. Bahagianya sesederhana bisa mendapat kursi kelas bisnis dengan berhemat dua puluh riyal karena memesan tiket jauh-jauh hari secara online dari HHR Train dibandingkan membeli tiket langsung di counter.
Tempat menaruh barang di kereta Haramain berada di bagian paling belakang gerbong, dekat dengan toilet. Sheina pergi menaruh kopernya terlebih dahulu sebelum memutuskan duduk. Dia menatap kanan-kiri, mencari train attendant yang bisa dimintai tolong untuk mengangkat kopernya yang lumayan berat.
“Nggak baik perempuan bepergian sendirian.” Lelaki dengan tubuh menjulang tinggi tiba-tiba mengambil alih kopernya dan membantunya menaruh barang tersebut. Sheina sangat mengenali gaya bicara amiyah Mesir yang begitu kental itu. Suara yang tak asing di telinganya sejak ia menetap di Riyadh.
“Ammar?”
“Kayf halik? Mendaftar ke Universitas Taibah?” Rahang dan matanya nampak terlihat begitu tegas. Sheina tidak menyangka menemukan pria itu di sini, terlebih di kereta dengan tujuan yang sama. Ammar merupakan putra tunggal dari syaikhah yang menjadi guru mengajinya Sheina selama di Riyadh.
“Kamu mengurus administrasi S2-nya Lael di universitas yang sama juga?”
Tepat satu hari setelah wisudanya selesai, Sheina mendapatkan undangan dari teman sekelasnya Lael Almahyra Mohammed untuk menghadiri malam henna night-nya, sebuah tradisi menerapkan henna di tangan dan kaki pengantin wanita. Ini adalah salah satu tradisi yang melibatkan nyanyian, tarian, dan hiburan yang hanya dihadiri perempuan.
Sheina tidak pernah menyangka bahwa mempelai laki-laki yang menjadi pasangan Lael adalah Ammar, putra dari gurunya. Sekelebat perasaan membayangkan pria ini yang paling pantas menjadi pendampingnya sirna saat mengetahui mereka telah melaksanakan akad nikah beberapa bulan lalu yang hanya dihadiri keluarga dan baru akan menggela walimah setelah Lael wisuda.
“Iya, Lael mendaftar S2 di Universitas Taibah. Mungkin kalian akan berada di program studi yang sama lagi.” Bagi Ammar, Sheina hanya menanyakan perihal teman kuliahnya. Tak lebih.
Setelah hanya menjawab itu, pria tersebut berpamitan berlalu pergi menuju kursinya yang ternyata terhalang dua kursi di depan Sheina. Tidak pernah ada interaksi yang lebih, akan tetapi entah bagaimana Sheina masih merasakan jantungnya bekerja lebih hebat bahkan ketika tahu Ammar sudah sempurna menjadi milik perempuan lain.
Tidak ada kisah cinta. Segala hal manis terhadap lawan jenis sebelum menikah hanyalah kisah zina. Dengan tidak tahu dirinya dia masih memiliki perasaan terhadap suami temannya sendiri. Harusnya dia mengikuti jejak kakak iparnya untuk mengambil studi S2 di Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, atau memilih belahan bumi lain yang berseberangan dengan Madinah agar tidak perlu bertemu dengan pria itu lagi.
Sheina duduk di kursinya, dia menghela nafas panjang dan menatap ke luar jendela. Kursi kelas bisnis tak lagi terasa nyaman baginya setelah pertemuannya dengan Ammar. Tentu saja, Ammar mencari tempat kuliah yang dekat dengan kampusnya UIM, agar dia tidak perlu tinggal terpisah dengan istrinya. Niat hati berpindah dari Riyadh ke Madinah untuk menemukan ketenangan, malah ketidaktenangan itu yang akan menemaninya selama dua tahun ke depan.
Pikiran Sheina kembali mengingat pada masa-masa ia terlena dengan kebaikan pria perantau asal Mesir itu. Seharusnya perlakuan baik yang berlebihan, tak selalu dimaknai adanya perasaan. Memang pada dasarnya orang-orang Mesir lahir dengan hati selembut kain sutra.
“Aku akan mengenalkan kamu pada guruku. Namanya Syaikhah Syarah, beliau asal Mesir dan akan sangat cocok saat kamu bilang butuh guru mengaji dan belajar dari dasar.” Lael antusias mengenalkan segala hal tentang kota kelahirannya pada gadis asing asal Indonesia yang baru ia kenal kurang dari satu bulan. Orang-orang yang melihat kedekatan mereka, tidak akan percaya bahwa mereka baru berkenalan di bangku universitas.
“Syaikhah Syarah?”
“Ya. Beliau orang Mesir yang sekarang menetap di Riyadh, rumahnya lumayan dekat dengan rumahku. Hafalan Al-Qurannya sudah 30 juz mutqin. Tahu, kan? Bagi orang Mesir, nggak punya hafalan itu adalah aib. Aku sudah bilang tentang kamu pada Syaikhah sejak kemarin, beliau antusias saat aku bercerita ada mahasiswa Indonesia yang ingin belajar darinya.”
“Tapi Lael… jangankan hafalan, bacaan Al-Quranku aja masih banyak yang perlu dikoreksi. Kamu tahu aku datang ke sini hanya bermodal nekat dan belajar kurang dari dua tahun.”
“Justru karena itu, kalau ilmu kamu udah sebanyak butiran pasir di el-Sahara el-Beida, buat apa cari guru? Kita belajar karena kita nggak tahu apa-apa, makanya memerlukan sosok pendidik. Syaikhah pasti senang banget ketemu orang Indonesia. Hari kamis aku nggak bisa datang, kamu aja ke sana. Nanti aku kirimkan alamatnya. Mungkin kamu bakalan agak pusing di awal, karena beliau berbicara dengan bahasa amiyah Mesir, tapi perlahan kamu pasti akan terbiasa.”
Lael tahu bagaimana struggle-nya Sheina ketika datang ke Riyadh pertama kali meski dia sudah banyak belajar bahasa Arab di negaranya. Keterkejutan budaya yang hampir dialami semua mahasiswa asal Indonesia ketika datang ke Arab Saudi, sebab kebanyakan dari mereka mempelajari bahasa Arab fusha atau bahasa arab baku, sedangkan masyarakat di sana menggunakan bahasa Arab amiyah dalam percakapan sehari-hari.
Sesuai dengan hari dan jam yang telah disepakati, berbekal rasa ingin belajar lebih banyak tentang agamanya, Sheina nekat bertamu padahal tidak kenal sama sekali. Dia mendapatkan lokasi rumah Syaikhah Syarah dari Lael.
Gadis itu dibuat syok dengan pertemuan pertamanya, dia dijamu sedemikian rupa oleh Syaikhah Syarah sampai-sampai rasanya seperti berkunjung ke rumah saudara. Berbagai makanan rumah khas Mesir disajikan. Mulai dari daging-dagingan seperti hawawshi, kebda iskandarani, dan shawarma. Hingga makanan ringan semacam kunafah dan basbousa.
Syaikhah Syarah sangat antusias memasak sebab ini pertama kalinya beliau bertemu seorang perempuan asal Indonesia langsung. Beliau banyak mendengar hal-hal baik tentang Indonesia selama masih tinggal di Mesir. Salah satunya tentang pembangunan RSI, Rumah Sakit Indonesia di Bayt Lahiya bagian utara Gaza.
Mesir memang memiliki perbatasan Rafah yang merupakan satu-satunya titik perlintasan antara Mesir dan Jalur Gaza. Perempuan muda itu hanya mampu tersenyum kikuk penuh rasa canggung, merasa tidak layak menerima semua penjamuan dan kebaikan ini atas sesuatu yang tidak dilakukan olehnya.
Syaikhah Syarah mengatakan bahwa ruangan yang ditempati Sheina saat itu bebas dari laki-laki ajnabi, sehingga Sheina bisa leluasa makan dengan melepas cadarnya. Ruangan itu memang tertutup, seluruh lantainya ditutupi karpet motif khas Timur Tengah.
Perempuan yang Sheina tebak sebaya dengan ayahnya itu juga menaikan niqabnya, sehingga dia mengikutinya karena merasa sungkan. Sejujurnya Sheina sudah makan sebelum datang ke tempat tersebut, namun dia mencoba mencicipi hidangan yang disajikan untuk menghargai pemilik rumah.
Tengah asik berbincang dengan Syaikhah, tiba-tiba seorang lelaki masuk ke ruangan tersebut tanpa didahului salam atau ketukan pintu. Dia mengira hanya ibunya sendirian berada di dalam. Kejadian itu kontan membuat Sheina terburu-buru mencari cadarnya—dan tersedak teh—hingga membuat Syaikhah mengomeli anak lelakinya yang tiba-tiba masuk.
Begitulah pertemuan pertamanya dengan sosok Ammar Eshaq, mahasiswa UIM yang saat itu tengah pulang ke Riyadh mengunjungi ibunya karena bertepatan dengan hari Jumat. Sebagian besar negara-negara di Timur Tengah memiliki kebijakan hari libur akhir pekan pada hari Jumat dan Sabtu, dengan hari kerja efektif hari Minggu sampai Kamis.
Sore itu saat Sheina berpamitan untuk pulang, dia sempat berpapasan dengan Ammar di depan pintu dan lelaki itu meminta maaf atas ulahnya tadi.
“Anti agnabiy?” (Anda orang asing?) Momen itu menjadi ingatan pertama Sheina bagaimana Ammar berbicara dengan aksen amiyah Mesir.
“Aywah, ana min andunisiyya.” (Ya, saya orang Indonesia)
“’Andak eih hena?” (Apa yang kamu lakukan di sini?) Barulah saat itu Sheina merasa bingung dengan apa yang ditanyakan. Dia baru dua bulan di Riyadh. Bahasa Arab yang dipakai oleh penduduk asli Riyadh saja kadang belum sepenuhnya bisa dia pahami. Kebingungan Sheina ternyata disadari lawan bicara, hingga Ammar mengulang pertanyaan dengan bahasa yang lebih bisa dipahami Sheina.
“Apa yang kamu lakukan di Riyadh?”
“Saya mahasiswa pertukaran pelajar di Princess Nourah University.”
Percaya atau tidak, setelah percakapan kilat mereka di pertemuan pertama itu. Mereka tidak pernah berbicara lagi, selain karena Ammar jarang ada di Riyadh dan menetap di Madinah karena kuliahnya, lelaki itu sangat-sangat menjaga dirinya dari terlibat dengan hal-hal yang berkaitan dengan perempuan.
Ammar memang tak pernah terlihat lagi. Mungkin dalam satu tahun, pertemuan mereka mampu dihitung jari tanpa ada lagi komunikasi. Terdengar ganjil, hanya dengan beberapa kali pertemuan bagaimana mungkin mampu menciptakan kekaguman yang begitu dahsyat dalam diri Sheina, akan tetapi nyatanya rasa kagum tetap muncul saat gadis itu banyak mendengar segala hal-hal mengagumkan tentang pria Mesir itu dari orang-orang di sekitarnya, dari ibunya, dari Lael, bahkan dari kakaknya sendiri Athaya, yang beberapa tahun terakhir ini kenal dan berteman dekat dengan Ammar.
Sheina selalu berpura-pura tidak tertarik dan mencoba terlihat biasa saja saat orang-orang disekitarnya membahas Ammar. Padahal jauh dari apa yang dia tampakkan, jantungnya selalu berdebar-debar. Tak pernah ada seorang pun yang tahu tentang gemuruh di hatinya, pun tak pernah ada yang tahu ketika hatinya luluh lantah tak berbentuk ketika beberapa bulan lalu ia tahu Ammar sudah menikah.
Rencana Sheina untuk melanjutkan S2 mungkin hanya pelampiasan, karena baginya hanya ilmu dan pendidikan yang tidak akan pernah mengecewakan, menyakiti, dan mengkhianati seperti laki-laki. Setidaknya kalimat tersebut yang menjadi obat dalam pikirannya saat ini.
✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩
Authoor's Note
Hello, Dear.
Terima kasih sudah membaca bagian satu novel Shazil Medina.
Salam kenal, aku Ima Madani (@ima.madani) Shazil Medina adalah cerita pertama yang aku publish di KaryaKarsa, sekaligus cerita pertama yang aku tulis menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Bentuk alternate universe dari novel ini bisa kamu baca juga di @morfemima.
With love,
Ima. ♡
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
