Dua Anak & Kelinci (Bab 1)

7
0
Deskripsi

Dua anak laki-laki tak sengaja menemukan seekor kelinci di belakang gubuk. Salah satu dari mereka kasihan dan membawa pulang kelinci cukup besar itu untuk dipelihara.

Akan tetapi, ada banyak kejadian aneh dan kecurigaan setelah kelinci itu tinggal.

unsplash.com

“Kasihan sekali.”

Entah sudah berapa kali aku mendengar ini, setiap dia bertemu binatang. Sekarang dia mengusap seekor kelinci putih yang sedang makan. Tidak ada yang perlu dikasihani menurutku. Dan dibandingkan memandang kelinci, lebih baik bantu aku membawa kayu bakar atau melakukan hal bermanfaat lain.

“Kasihan, ya?”

Aku mendengus kesal. “Rawat saja kalau kau mau.”

“Kupikir kau akan menyuruhku untuk membuangnya seperti dulu, Amos.”

“Cepatlah, pekerjaan kita masih banyak.”

“Baik!”

Dia akhirnya berdiri sambil menggendong kelinci. Coba saja sejak awal aku memperbolehkannya, pasti kami pulang lebih cepat. Tidak ada drama kasihan sepanjang jalan.

Kali ini kami menyusuri hutan di sisi barat untuk mencari buah-buahan dan hewan untuk dijadikan santapan siang. Untuk keperluan sayur tidak perlu dikhawatirkan karena tumbuh subur di halaman belakang.

Dalam perjalanan panjang ini, bukan Aiden namanya jika tidak mengoceh. Entah tentang kupu-kupu yang berdiam di bunga, tupai menaiki pohon, bahkan burung elang yang terbang rendah. Sementara aku sebenarnya lelah mendengar semuanya dan banyak menghela napas, tapi terkadang kujawab singkat saja.

Usia kami hanya terpaut satu tahun, dan tentu sifat pun berbeda. Aiden adalah anak paling tak punya beban dan sering bertindak gegabah. Berbanding terbalik denganku yang melakukan sesuatu dengan banyak pertimbangan. Namun, perbedaan itu malah membuat kami bersahabat hanya dalam beberapa bulan. Sampai tinggal bersama di satu gubuk tua tengah hutan.

unsplash.com

Dan kini kami telah tiba di gubuk, meletakkan segala bawaan di dapur lembab tanpa sinar. Setelah itu, Aiden menuju halaman belakang untuk melepas kelincinya.

“Aku akan membuatkannya rumah, Amos!”

“Apa kau yakin?”

“Sangat yakin!”

“Baiklah, tapi berhati-hati. Setelah itu bantu aku memasak.”

“Itu bukan hal sulit!”

Aiden pergi dengan senyum bersinar. Gigi tongos yang kubenci itu sampai terlihat. Rambut ikal kecokelatannya berkilau saat terpapar matahari. Perawakannya yang kecil sangat cocok dengan sifat kekanakannya.

Aku mulai mempersiapkan bahan masakan dengan tenang. Keahlian dasar ini baru aku kuasai ketika di bawa ke gubuk, Aiden yang menemukanku ketakutan di tengah hutan. Tentu saja aku yang cepat mempelajari hal baru ini berbeda dengannya.

Sudah cukup lama aku berkutat dengan dapur, Aiden baru saja masuk dengan wajah idiotnya. Dia tampak puas entah dengan bentuk seperti apa kandang kelinci di belakang. Aku tidak peduli. Yang terpenting adalah dia tidak banyak bicara seperti di hutan.

“Burungnya belum?” tanya Aiden begitu berdiri di sampingku.

“Kau bisa lihat sendiri.”

“Baik, akan aku kerjakan!”

Lagi-lagi menggunakan nada tinggi. Suara ceria itu makin membuatku yakin bahwa dia bukan anak sepertiku, walau dia tak pernah mau menceritakan asal-usulnya. Aiden tampak biasa hidup di hutan yang katanya terlarang ini.

Sekian jam berlalu, tidak ada aktivitas berarti setelah makan siang. Di gubuk tua tengah hutan berteman dengan suara tonggeret musim panas, kami sedang berbaring memandang atap bolong-bolong.

“Kelincinya masih aman di belakang gubuk, Amos.”

“Iya.”

“Rumahnya bagus, kan? Aku buat sendiri hasil mengumpulkan kayu di belakang, lho!”

Berisik. Sangat berisik. Tak bisakah aku menikmati siang yang damai?

“Iya, Aiden.”

“Ah, kau itu menyebalkan! Tidak seperti anak berusia tiga belas tahun.” Aiden terduduk sambil merengut.

“Aku lebih tua darimu, jadi kita ini berbeda. Dan … aku masih lapar.”

Aku mendengus kesal. Tentu aku jauh lebih dewasa dibandingkan dia dan tidak suka bermain. Selain memang di rumah selalu dikurung, aku tak suka Aiden.

Aiden mencelang bukan main setelah mendengarku. “Lalu, apa kau berniat menyantap kelinci itu?”

“Aku tidak sejahat itu.” Aku akhirnya duduk di sebelah Aiden. “Aku akan pergi berburu lagi, mencari makanan yang banyak.”

“Apa aku tidak diajak?”

“Kau diajak asalkan berburu sendiri, lalu kita kumpulkan hasil buruan untuk makan.”

“Baiklah.”

Aiden berdiri, menyusulku ke arah gantungan baju. Sebenarnya kami mengumpulkan cukup makanan sampai malam, tapi perutku sepertinya terus meminta. Tak ada kepuasan yang mengendap di tubuhku.

Tapi, babi yang akan kami dapatkan bisa diolah sampai makan malam. Tidak ada yang akan terbuang.

Begitu mantel lusuh melindungi tubuh, kami berangkat menuju hutan di belakang rumah. Kaki polos kami terus menapaki jalan berbatu bahkan tanah becek. Tampilan hutan makin temaram, banyak pohon rimbun menutupi matahari sore.

Sudah jauh melangkah aku dan Aiden belum mendapat apa pun. Padahal hutan dipenuhi berbagai spesies binatang, tapi mengapa sunyi kali ini? Suara tonggeret pun tak terdengar seolah diredam alam.

Berbekal tombak bambu dan tandu kecil seadanya yang ditinggalkan dekat pohon besar, aku dan Aiden mulai berpencar.

Saat Aiden sudah menjauh, aku menjadi sangat santai sambil mengangkat tombak. Tidak perlu khawatir saat dia menjauh, justru aku lega karena tak ada beban. Kini aku sangat waspada dan tidak takut apa pun saat memperhatikan keadaan sekitar.

Aku mendengar suara berisik di balik semak-semak. Saat dibuka perlahan tampaklah satu ekor babi hutan besar sedang mencari makan. Wah, ini waktunya beraksi. Aku menatap tajam babi, kukerahkan seluruh kekuatan tubuh untuk berpusat di mata ini. Ujung rambutku sampai terangkat, angin berhembus pelan sambil mengitari tubuh.

Seperti disihir, babi itu berbalik lalu berjalan dengan tenang. Tidak ada perlawanan, tidak ada serangan, inilah caraku berburu hewan besar dengan mudah. Kekuatan yang tidak kuketahui dari mana, kekuatan yang ditakuti semua orang.

Babi yang menyerahkan diri itu segera aku tombak tepat di belakang kepala. Darah mengucur ke tanah, tubuh tersungkur lemas, tapi aku puas melihatnya. Kekuatanku terasa lebih kuat.

Aku belajar mengendalikan sendiri sebelum dibuang ke hutan terlarang. Aku tidak diterima oleh lingkungan, aku ditakuti padahal tidak ada yang perlu ditakutkan selama diarahkan. Aku dan anak-anak lain seperti kumpulan penyakit yang akan menjangkiti mereka.

Omongan turun temurun dari nenek moyang telah menghancurkan pikiran mereka.

Aiden tidak tahu kekuatan ini, aku menyembunyikannya dengan rapat meski tidak apa-apa jika dia menjauhiku. Toh, aku sudah mendapatkan cara bertahan hidup.\\

Baru saja disebut namanya, dari belakangku terdengar suara cempreng Aiden dan betapa berisik langkah kakinya. Si manusia ceroboh datang entah akan membawa apa.

“Amos, aku mendapat dua ayam hutan!” Aiden dengan bangga mengangkat tinggi buruannya dengan tersenyum.

“Hanya menangkap ayam? Bukankah daerah ini banyak babinya?”

“Ini saja yang aku dapatkan, mau apalagi?”

Aku menghela napas, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. “Ayo kita kembali ke rumah dan bantu aku membawa babi ini.”

Kami pun melewati jalanan dan suasana yang sama, seolah tidak ada kehidupan lain di sekitar. Dalam waktu satu setengah jam aku dan Aiden sudah kembali pulang. Seharusnya hanya memakan waktu kurang dari satu jam, tapi karena bawaan yang berat dan hari beranjak gelap, langkah kami lebih hati-hati.

Untung saja Aiden tidak banyak berbicara, paling hanya mengaduh-aduh karena kakinya terkena benda tajam.

Setibanya di gubuk aku langsung membagi tugas. Aiden menyiapkan peralatan masak serta api unggun sedangkan aku membersihkan daging. Tapi, sebelum melakukan semua hal itu, Aiden mengambil beberapa wortel lalu dipotong-potong.

Aku tahu dia akan melakukan apa.

“Kau mau memberinya makan?”

“Ya, kenapa?”

“Biar aku saja, jadi kau persiapkan saja semuanya.”

Aiden tampak merengut. “Tak bisakah aku saja?”

“Aku saja.”

Karena nadaku sangat tegas, Aiden tak bisa membantah. Dia segera mengambil beberapa peralatan lalu pergi ke halaman depan. Aura suram itu masih bertahan dalam wajahnya. Masa bodoh, yang penting aku akan melakukan sesuatu.

Baru beberapa menit merasa tentram, aku mendengar suara gaduh diakibatkan ulah Aiden. Setelah yakin kelinci makan dengan lahap, aku berjalan cepat menghampirinya. Apa lagi yang diperbuatnya?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dua Anak & Kelinci (Part 2-3)
8
0
Tamat.Dua anak laki-laki tak sengaja menemukan seekor kelinci di belakang gubuk. Salah satu dari mereka kasihan dan membawa pulang kelinci cukup besar itu untuk dipelihara.Akan tetapi, ada banyak kejadian aneh dan kecurigaan setelah kelinci itu tinggal.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan