
Kamu terus menyangka bahwa ombak itu selalu berisik di tengah lautan. Suara di kepala pun berbisik, bagaimana kalau kamu meminum airnya saja? Karena meski berseru sampai tercekik, kehilanganmu tidak akan pernah didengar dunia.
#BanyakCeritadiRumah
Saat kamu mendengar suara lautan, ada seraut wajah di pasir. Begitu diambil wajah itu lenyap dari tanganmu. Wajah yang dirindukan sepanjang waktu, yang membuatmu selalu berada di rumah.
Kamu pun menutup mata, melihat lebih jauh ke alam sana. Ada secuil cahaya surga menunggumu bersamanya. Di dalam ruangan putih dan sofa biru, berhadapan dengan jendela besar, kalian tertawa bebas sambil menatap.
Bayangan itu seakan menyuruhmu mendayung perahu, mendekati pulau yang kamu sebut rumah. Di mana pun, selama bersamanya, maka cerita rumah yang selalu dibanggakan itu akan ikut terbawa arus.
Namun, begitu membuka mata, semua menghilang. Kamu berdiri lalu berlari ke pinggir laut, melolong ke arah ombak, tapi mereka melolong lebih keras. Sampai semua kegilaan keluar dari batas.
Kamu terduduk lemas, membiarkan celana putihmu basah, ujung rambut cepak dan blus birumu berterbangan akibat angin. Kulitmu yang selama ini mengeras membeku seperti air es.
Dalam diam itu kamu berpikir, bagaimana kalau kamu meminum air laut saja? Menenggelamkan kesedihanmu alih-alih membiarkannya bebas. Bukankah nanti akan menyakiti sekitarmu? Bahkan ketika diluapkan, hatimu akan terasa dingin.
Jika dilihat dengan mata telanjang, lautan ini tidak terbatas seperti wajah murammu. Hanya dia rumah yang kamu tuju, cerita yang tidak akan akan habis sebelum tidur.
Kamu merangkak dengan tatapan kosong. Buih laut menggambarkan dua cangkir berisi teh, disampingnya terdapat biskuit cokelat kesukaanmu. Ada tangan kasar yang menggenggam tanganmu dengan berani.
Menangis, akhirnya rasa kehilangan tumpah seperti hujan. Setiap tangan menggenggam air beserta pasir, ada canda memilukan saat kalian berdebat di kamar. Kamu pun semakin membeku saat angin kencang meniup tubuh. Akan tetapi, tujuanmu masih pada lautan.
Makin lama air mengubur eksistensimu dari darat, tapi kamu terus merangkak sampai mata mulai perih. Akhirnya, kamu tenggelam dengan membawa kehidupan kacaumu.
Telinga tidak bisa mendengar, mulut tidak bisa bicara. Jantung masih berdetak, kulit masih bisa merasa. Paru-paru meminta udara, dan pikiranmu mulai ketakutan.
Jiwamu ikut meronta, semua gema di kepalamu menangis. Tanganmu terangkat, ingin meraih sesuatu di atas sana. Bohong, ada kebohongan di dalam darahmu, tapi semua sudah terlambat.
Langit seakan terbuka lebar, menunggumu mengepakkan sayap. Di atas sana silau dan makin membuatmu takut. Padahal ini yang kamu mau. Kenapa kembali ragu saat cahaya itu benar-benar datang?
Kamu menutup mata, mempersilakan tekanan air menyeretmu lebih jauh. Meyakini ini adalah pilihan yang tepat. Kamu tidak ingin kembali ke tanah dan berlari dalam keadaan basah sendirian.
Ada suaranya berbisik, sangat pelan sampai kamu mengantuk. Tiba-tiba kegelapan menjelma menjadi ruang tamu hangat yang kamu kenal, setiap sudutnya sama persis.
Kamu mengedarkan pandangan, mencari-cari orang lain yang mungkin ada. Hanya senandung pria entah dari mana terdengar dan kamu berlari kencang ke segala arah.
Pintu demi pintu terbuka, menampilkan kamar yang tak asing. Ini rumahku? Kamu bertanya-tanya dan tak sadar membuka satu pintu menuju halaman depan. Dipenuhi pohon dan bunga warna-warni.
Senandung itu terdengar makin dekat. Kamu merasa harus segera menemukannya sebelum terjadi hal yang tidak terduga lainnya. Ketika melewati pohon apel, ada satu sosok yang membuatmu berhenti.
Dia duduk santai di gazebo kayu bernuansa putih, tubuhnya bersinar seperti peri dari negeri dongeng.
“Siapa?” Kamu mendekat perlahan.
“Ya?” Dia pun menoleh.
Seketika hujan turun begitu deras, seperti meruntuhkan rasa sakit dari pundakmu. Butuh waktu untuk benar-benar mengenali meski tubuh mulai menggigil. Pria dengan setelan putih, rambut hitamnya panjang terurai, wajahnya tampak lebih muda.
“A … Ayah?”
“Ya, anakku.” Dia tersenyum lalu tergopoh-gopoh mendekat, membawa payung hitam. “Astaga, jangan hujan-hujanan, nanti sakit.”
Tidak peduli lagi dengan hujan, menggigil, pandangan orang terhadap anak laki-laki dan ayahnya, atau apa pun itu. Kamu memeluk Ayah sambil menangis. Pilu dari hati menguar saat dia menepuk punggungmu.
Tidak lagi basah, justru rasanya kering, tapi tanaman hijau kembali tumbuh. Rasanya segar sekaligus hangat, seisi tubuhmu tidak lagi sedingin es dan sebiru lautan.
“Ayo, duduk dulu.”
Ayah mengajakmu berjalan di bawah payung yang sama. Saat duduk berhadapan, kamu masih tak menyangka dan terus memindainya dari atas ke bawah.
“Rasanya belum selama ini, kan?” tanyanya.
“Lama bagiku. Kapan pun itu akan selalu lama menunggu Ayah.”
“Ayah nggak bisa kembali.”
“Iya, aku tau.” Matamu mulai sembab. “Apa ini?”
“Seperti biasa, yang kita lakukan di rumah pas malam. Setelah meletakkan semua beban pekerjaan, kita duduk bersama minum teh.”
Kamu seketika menengadah, air mata terus mengalir. Ayah tidak bicara, tapi selalu mengusap tanganmu. Rasanya dejavu, seperti mengulang kegiatan yang sama. Lama-lama kamu bisa gila lagi, semua suasana ini seperti saat di rumah.
“Kamu selalu begini.”
“Gimana nggak nangis, sih? Di ambang mati dan hidup, aku bisa ada di sini sama Ayah.” Kamu menunduk sambil mengusap mata.
“Masih banyak yang kamu kejar, kan? S2 gimana? Posisi divisi manajer? Menikah?” Ayah menatapmu lembut. “Sayapmu masih bisa terbang bebas.”
“Tapi, Ayah pergi duluan sebelum mengajari aku terbang!”
“Bagaimana kalau Ayah meninggalkan satu bulu di sayapmu?”
Ayah menyodorkan bulu sayap putih di atas piring, dan membuatmu menatapnya.
“Apa ini adil?” tanyamu.
“Sebagai rasa maaf dan gantinya Ayah akan melihatmu dari sini.” Ayah menggenggam kedua tanganmu. “Yang hidup harus terus berputar, yang pergi hanya bisa mengamati. Mau merangkak, berlari, berjalan sampai terjatuh, jalani semuanya.”
“Ayah …”
Ayah menepuk pundak lalu memasukkan bulu ke dalam saku blusmu. Setelah itu tersenyum seperti biasa sambil mengangkat cangkir putih. Kamu pun terbawa suasana, menikmati hidangan seakan di rumah. Bercanda, mengobrol, dan tertawa di bawah atap gazebo yang tertimpa air hujan.
“Dia, ya, biasa aja sama suami barunya. Mana tau kalau Ayah meninggal.” Ekspresimu mulai kesal.
“Tapi, kamu nggak boleh bilang gitu. Masih ibu kandungmu, kan?”
“Ibu kandung serasa tiri, aku jadi ngerasa nggak punya siapa-siapa di dunia.”
“Tetap berbakti, ya?”
“Iya, kalau Ayah yang minta.” Kamu menghela napas.
Ayah berdiri begitu teh dalam cangkir habis. Menatap rintik hujan yang memenuhi kubangan. Kamu ikut berdiri lalu bersebelahan dengannya. Saat itu, dia berbalik ke arahmu.
“Peluk Ayah.”
Tentu kamu tidak menolak melihat rentangan tangan itu.
“Ayah jamin punggungmu selalu hangat.”
“Terima kasih.” Kamu memejamkan mata sambil tersenyum.
Namun, suara kedamaian berubah bising. Saat perlahan membuka mata, kamu mendapati diri terbaring bersama alat pernapasan. Sadar telah berpisah dari ayah, kamu menangis dalam hening.
Ternyata di tengah laut, di bawah angin, di atas buih, ombak itu selalu tenang ketika kamu benar-benar memahaminya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
