
Baru seminggu tinggal di Violet Garden, Amanda dan Aira merasa tinggal di neraka kedua. Memang tidak setiap hari ribut, tapi ada saja keributan yang diciptakan para tetangga.
Bahkan tiba-tiba saja rekaman CCTV unit sebelahnya tersebar luas di media sosial, sehingga memicu pertengkaran lagi antar pemilik unit.
Siapa pelaku? Mengapa rekaman dari beberapa rumah bisa tersebar? Amanda berusaha mencari tahu dengan bantuan teman masa kecilnya, Erland.
Tidak ada yang tahu atau entah tidak mau tahu, semua keributan...
Bab 6: Memori Sebuah Rumah
Keesokan hari setelah pulang kerja, Amanda duduk-duduk di parkiran sambil menunggu Aira. Ia tidak sendiri, sedang ditemani seseorang dalam panggilan telepon yang sering membantunya.
“Eh, semalam kamu chat, ya? Aku udah tidur itu, maap.”
Amanda tertawa kecil. “Ya, gapapa, pang. Aku paham aja kalau kamu juga capek. Sekarang lagi kerja, kah?”
“Kerja aja, cuma santai di rumah. Freelance gitu, lho.”
“Dih, sok kali ngomongnya, nah.”
Mereka kemudian sama-sama tertawa. Setelah sekian hari terlewat tanpa kabar dari diri masing-masing. Mungkin masing-masing mereka punya kepentingan lain.
“Kamu ada perlu, kah? Bisa aku bantu lagi?”
“Nggak juga, sih. Cuma rencananya sore ini aku mau ke rumah. Bisa, nggak, Land?”
“Ya … yakin, Da? Kamu udah siap emang?”
“Erland, Erland … ya, siap nggak siap.”
Seketika suasana hening, mereka sama-sama bungkam untuk waktu yang lama. Tidak peduli dengan teriknya matahari di luar, Amanda hanya sibuk memainkan jemarinya dan Erland tak punya kata-kata lain untuk diucapkan.
Amanda memang tidak pernah melarikan diri, terus merasakan sakit itu sendiri. Ia hanya menghindari satu nama, yaitu rumah lama yang disewa oleh Erland sekarang. Rumah di mana sang ibu gantung diri.
“Da, kalau nggak bisa jangan dipaksa.”
Akhirnya Erland angkat bicara setelah mencari-cari kata yang tepat.
“Nggak, aku nggak maksain diri. Kayanya mulai kangen aja sama rumah. Makasih udah mau beli rumah itu, yang lain manada19 yang mau.”
“Panjang bet ngomongnya.”
“Land, aku serius ini.” Amanda memajukan bibirnya kesal.
“Aku juga serius kali.” Erland menghela napas. “Iya, iya, dengan senang hati. Soalnya aku juga harus pindah ke tempat yang agak besar.”
“Sama-sama menguntungkan dong, ya?”
“Lha, emang,” jawab Erland dengan nada mengejek.
Di saat lagi seru-serunya menelepon, Aira menepuk pundak Amanda kencang sampai membuatnya terkejut.
“Eh, kenapa, Da? Sakit kupingku kamu teriak.”
“Oh, Erland, nih?” tanya Aira keras-keras.
“Udah dulu, ya. Sekarang aku ke sana, bye!”
Amanda mematikan panggilan telepon padahal Aira sudah menatap dengan antusiasme tinggi. Ia kini menatap Aira sambil bersedekap, melempar tatapan tajam mematikan.
“Kamu tuh udah lama, ngagetin pula.”
“Ya, habisnya penasaran siapa yang bikin senyum-senyum.” Aira ikut-ikutan bersedekap. “Sekalinya ayang Erland.”
“Ngomong sembarangan, nah.”
Amanda mencubit lengan Aira, kemudian menghampiri motor yang parkir di hadapannya. Walau yang dicubit menggerutu tak jelas, ia tidak peduli. Saat ini ia sibuk menyiapkan hati untuk datang ke rumah masa lalunya.
“Ra, kita nggak langsung pulang.”
“Handak20 ke mana?”
“Udahlah ikut aja.”
Aira diam setelah diberitahu seperti itu, tidak seperti biasanya. Akan tetapi, sudah di tengah perjalanan yang ia kenal barulah mengajak bicara Amanda.
“Tapi, ini kan mau arah pulang?”
“Kenapa tanya terus, sih? Sedangkan pertanyaan aku nggak dijawab. Semalam ngapain? Dapet PDKT-an baru?”
“Apaan, sih? Lain,” jawab Aira dengan nada tinggi.
“Siapa jadi?”
“Kada siapa-siapa, ah.”
Karena kesal mendengar nada melengking Aira, diam adalah pilihan terbaik bagi Amanda. Di sepanjang jalan, Aira juga tidak bertanya macam-macam lagi. Mereka bungkam seperti sedang musuhan.
Sampai di tempat tujuan, Amanda diam sejenak. Tak ada yang lebih merindukan sebuah rumah kecil dan sederhana yang berada di ujung gang selain dirinya. Rumah abu-abu penuh kenangan.
“Rumah siapa?” tanya Aira.
“Rumahku,” jawab pelan Amanda.
“Oh, udah sampe?”
Sosok pria jangkung berlari dari dalam rumah, membuka pagar dengan santai. Kulit putih segarnya cocok dengan potongan gaya rambut middle-parted hair, belum lagi kaos putih polosnya menambah kesan bersinar. Bisa dibilang mirip aktor Korea. Aira saja sampai menutup mulut menganganya begitu melihat.
“Maaf datang tiba-tiba, Land.” Amanda tersenyum kecut.
“Ngapain maap? Ini rumah kamu sendiri, nggak perlu.”
“Eh, astaga. Halo, Land!” sapa Aira dadakan.
Padahal bukan pertama kali Aira melihat Erland, tapi tetap saja kikuk karena ketampanannya menyerang seperti serangan jantung.
“Hai, Aira.” Erland tersenyum.
“Tadi unda sempat ngira mun si Unwu datang.” Aira cengengesan.
“Unwu siapa?”
“Chan Eun Woo kali, dasar beleng emang.” Amanda menatap sinis Aira.
“Kan nama panggilannya itu!”
“Yak, bukan Unwu!” seru Amanda di telinga Aira.
“Udah, kalau kelai aku kunciin, neh. Mana ntar si Unwu kesedek gara-gara kalian.”
Ucapan Erland yang khas Balikpapan banget membuat mereka berhenti mempermasalahkan Cha Eun Woo. Ya, Erland sebenarnya tidak berniat melerai mereka, cuma kasihan kalau yang bersangkutan batuk-batuk.
“Iya, nah.” Aira melangkah masuk duluan. “Jadi, ini rumah Manda dulu? Masih bagus.”
“Hooh …,” Erland menjawab.
Amanda malah terdiam, memperhatikan langkah demi langkah saat menginjak teras. Hai, udah lama sejak kita terakhir ketemu.
Dipandangnya sejenak kursi kayu di teras, kiri dan kanan. Di dalam matanya masih tertangkap memori dahulu. Bagaimana sang ibu mengomeli atau memberi nasihat, terdengar manis dan penuh cinta. Tidak peduli senakal apa dulu dirinya, sang mama selalu ada bersama papa.
Tapi, aku sekarang berdiri sendiri di dunia. Aku kangen. Kangen gimana rasanya bisa duduk bareng Mama sama Papa.
Erland dan Aira cukup mengamati, mengikuti Amanda dari belakang seperti pengawal. Sampai masuk di ruang tamu, semua furniture kayu dan dinding putih masih sama.
“Wow, masih terawat. Di mana Mama nyawa gantung diri?”
Pertanyaan Aira seketika menghentikan detak jantung semua orang, bahkan mereka sampai menatap ke arahnya.
“Kenapa?”
“Sopan kah tanya begitu?”
Alih-alih Amanda, justru Erland yang naik darah. Tatapannya sangat tajam seakan bisa membelah lidah Aira.
“Ya, ulun kepo.” Aira menunduk.
“Bisa tau tempat nggak?”
“Land, udahlah. Aira mau tau tempatnya, kan? Di sini.”
Amanda berdiri tepat di ambang pintu antara ruang tamu menuju ruang makan, kemudian menatap Aira yang mengangkat kepala.
“Puas, kah?”
Aira tidak bisa menjawab pertanyaan Amanda.
“Di sini, tempat mamaku bunuh diri. Aku masih ingat jelas pas baru buka pintu.”
Amanda menjelaskan dengan mata berkaca-kaca dan tanpa diduga Erland mengusap punggungnya. Perlakuan itu di mata Aira tampak bukan seperti teman masa kecil.
“Buhan ikam21 pacaran?”
“Heh, kamu minta maaf dong, kok malah tanya yang nggak-nggak,” ketus Erland.
“Udah.” Amanda menghalangi tubuh Erland. “Aku mau lihat ke dalam. Aira kalau nggak mau ikut di sini aja.”
Amanda enggan melihat reaksi Aira, jadi lebih memilih masuk ke dapur sekaligus ruang makan yang cukup luas. Semuanya bersih dan rapi, tidak ada barang yang berpindah tempat. Semua tetap sama.
“Eh, kenapa kamu temenan sama orang kaya dia, sih? Kaya nggak ada yang lain aja,” pungkas Erland.
“Nggak tau juga dulu dekatnya sama dia gimana.”
“Coba jauhin aja.”
“Land, jauhin gimana? Orang serumah, satu kerjaan.”
“Aih, ngeselin emang.”
Amanda menghela napas. “Nanti paling ada waktunya, itu aja.”
Dalam suasana yang tidak bisa dijelaskan, Amanda mengelilingi ruangan itu tanpa mengalihkan pandangan. Erland hanya duduk di tengah-tengah memperhatikannya.
“Makasih udah mau tinggal dan ngerawat rumah ini.”
“Nggak perlu. Ini balas budiku karena mamamu udah baik sama anak yatim piatu kaya aku.” Erland tersenyum. “Sampai di titik terakhir, aku bakal ada di sini buatmu.”
“Malah kaya buaya darat.” Amanda terkekeh.
Namun, Erland tidak ikut tertawa hanya diam menatap Amanda. Entah apa yang dirasakannya ketika melihat sahabatnya bisa tertawa di tempat sang ibu mengakhiri hidup. Erland cuma tahu kapan dan harus melakukan apa untuk Amanda.
“Belum ada ke makam, kan, Da?”
“Belum, nanti aja kalau aku siap. Kalau semua urusanku selesai.”
Glosarium:
- Manada = nggak ada (bahasa Balikpapan)
- Handak = hendak/mau
- Buhan ikam = kalian
Bab 7: Bertemu Seseorang
“Kerjaan nyawa apa? Kok unda lihat monitor sama komputernya nyala mulu, isinya angka-angka?” tanya Aira sambil menunjuk ke arah kamar terbuka.
“Oh, itu. Aku kerja jadi security analyst perusahaan luar.”
Aira membulatkan bibir. “Ngapain aja tuh?”
“Mencegah terjadinya perusakan, pencurian data, dan informasi sensitif perusahaan dari peretasan.”
“Canggih …”
Aira mengangguk kencang di saat Amanda kembali masuk ke rumah, setelah merampungkan panggilan telepon dadakan.
“Siapa yang telpon?” tanya Erland.
“Cik Ami, tetangga di Violet Garden. Biasa tanyain adeknya gimana, tapi aku kan lagi di luar.”
“Dih, kenapa inya kada cek sendiri, sih. Repotin orang.”
“Ra, bantu tetangga meski nggak wajib, ya, itung-itung dapet pahala. Kamu aja yang rada-rada.” Amanda duduk di sofa.
“Habisnya, ya, di sana sering ribut. Kadada akur dikit.”
“Di mana? Violet Garden?” tanya Erland, menyusul duduk di sebelah Amanda.
Amanda mengangguk lalu menengadahkan kepala, entah apa yang sedang dipikirkannya di jeda obrolan mereka. Bisa jadi sesuatu yang berat atau hanya melamun saja. Tidak ada yang tahu. Sampai Erland membuatnya sadar ketika menyikut lengannya.
“Kenapa?”
“Gapapa, cuma mikir-mikir kenapa bisa tetanggaan lagi sama mereka?”
“Siapa?” tanya Erland sekali lagi dengan rasa penasaran.
“Ya, tetangga siya, pang22. Ada di sana semua. Beh, nyunyuk23 rasanya,” jawab Aira dengan cepat.
“For real?”24 Erland menatap Amanda yang menatap jendela.
“Ya, emang.”
Aira menggantikan Amanda yang energinya sudah anjlok ke titik nol. Lelah dari tempat kerja dengan segala deadline, belum lagi berinteraksi dengan macam-macam orang. Apalagi orang cerewet dan menyebalkan.
Kadang ia berpikir, kenapa Aira masih bisa banyak energi seolah tidak melakukan apa-apa? Berbeda sekali dengan dirinya. Rasanya ingin sendirian di tempat yang tenang, tetapi lingkungan rumah tidak mendukung.
“Oh, gitu, kah? Nggak tenang, dong.”
“Beh …” Aira menggeleng.
“Tapi, ya, kamu senang sama keributan gitu..” sahut Amanda.
“Bentar, beneran si Bu Juju yang nyebar rekaman? Yang kamu ceritain tadi.”
“Mungkin aja, tapi suaminya nutupin.”
Erland kini diam sejenak, memikirkan masalah tetangga di Violet Garden. Apa iya ada yang sebenci itu sampai tega menyebarkan rekaman dengan akun palsu? Memang di dunia tidak ada yang tidak mungkin, tapi masa sebegitunya? Walau disangkal terus-terusan oleh bersangkutan.
“Eh, coba kasih lihat rumah buhan inya pas di sini. Unda penasaran.”
“Lho, mereka dari sini juga, kah? Kok aku nggak dikasih tau?” Erland bangkit dan berkacak pinggang.
“Ya, buat apa aku kasih tau kamu, nggak kenal juga.” Amanda ikut berdiri.
“Kok bisa itu, lho! Sudah jadi tetangga sini, eh, di sana juga malahan. Apa mereka di sini juga gitu, Da? Terus apa mereka yang ditulis mamamu juga?”
Dalam sekali anggukan yang dilakukan Amanda, Erland langsung mengerti dan melongo tak percaya. Amanda seolah berdiri di lingkaran setan tanpa pernah terputus, menunggunya sekian lama setelah pulang dari Balikpapan.
Padahal menjauh setahun dari Sei Paring menurut Erland baik untuk Amanda dan mungkin bisa membuatnya lupa, tapi kenyataan selalu tak berjalan semulus aspal baru.
“Coba kasih lihat.” Aira menarik tangan Amanda.
“Sabar coba,” sungut Amanda.
“Eh, aku ikutan!”
Mereka bertiga keluar dari rumah, melihat sekeliling area rumah dari seberang. Rumah Amanda sendiri berada di ujung, sementara ada empat lainnya berjejer persis sebelum rumahnya.
“Jarak satu rumah, itu rumah Bu Juju. Mungkin udah dijual.” tunjuk Amanda. “Sebelahnya lagi rumah mamanya Lucia, sebelah lagi Kak Aurora. Satu lagi yang biasa ikutan ribut pas masih di sini, rumah tusuk sate itu Savory. Nggak tau di mana sekarang, mungkin masih di situ.”
Amanda menunjuk dari kiri ke kanan. Hanya rumah Bu Juju dan Savory yang berjarak satu rumah, sementara lainnya berdempetan.
“Bah, kok hampir mirip kaya di VG? Rumah buhan ikam deretan!” seru Aira.
“Kok bisa kebetulan gini? Nambah beban pikiran aja.” Erland bersedekap.
“Nggak tau juga.” Amanda menghela napas.
Tidak hanya Amanda yang merasakan beban, ternyata dua orang di belakangnya juga merasakan.
“Perasaanmu gimana? Sama mereka lagi, njir.”
“Muak, sih.”
“Kata nyawa kadapapa25?”
“Kamu percaya sama orang yang bilang gitu, kah?”
Erland menatap sinis Aira, menyatakan perang dengan teman abal-abal Amanda. Sedangkan yang dibela tidak melakukan apa-apa, seperti dulu. Tidak ada yang berubah dari Amanda.
“Kalian ini kenapa, sih?”
Amanda hendak menyebrang jalan, tiba-tiba ada mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan berhenti di rumah tusuk sate. Ia menduga-duga yang turun dari sana Savory dan suami, tetapi dugaan itu meleset.
“Land, selama tinggal di sini pernah lihat tetangga atau ngobrol nggak?”
“Ketemu doang, nggak ngobrol. Sepintas dan aku nggak gitu ingat muka mereka.”
“Itu … di sana Savory, yang turun dari mobil.” Amanda menunjuk ke sana. “Masih tinggal di sini.”
Savory baru turun, tapi langsung menyeret suaminya dari rumah tersebut. Mereka bertengkar kecil sebelum suaminya kabur membawa mobil lain, kemudian perempuan cantik keluar dan memohon ampun.
Namun, Savory masuk ke rumah sampai dikejar perempuan tersebut. Rupanya barang-barang si perempuan dibuang keluar, diusir dari rumah. Entah siapa dan mengapa si perempuan bisa di sana.
“Bentar, inya tuh Savory? Yang tinggal di ujung?”
“Iya, kenapa lagi?”
“Manda, dia tinggal di Violet Garden juga.”
Erland dan Amanda dengan cepat menatap Aira sambil mengerutkan alis.
“Jangan bote-bote26 kamu,” ucap kesal Erland.
“Sumpah! Unda lihat sendiri pas jalan kaki keluar komplek, inya tuh keluar dari unit lima.”
Mendengar kesaksian yang sudah bersumpah, Amanda memijat pelipisnya. Aira tidak mungkin bohong kalau sudah bilang begitu. Erland sendiri juga tak menyangka. Sekarang, keempat tetangga itu lengkap bersebelahan lagi dengannya.
“Dahlah, kita pulang aja, Ra. Makasih, Land.”
“Da, kok aku nggak yakin.”
“Udah terlanjur, mau gimana?”
Dengan wajah jutek, Amanda menghampiri motor lalu disusul oleh mereka. Erland tampak tidak memperbolehkan Amanda kembali ke sana, terlihat dari genggaman tangannya.
“Bilang ke pimpinanmu buat pindah coba, bisa aja kembali ke sini. Masalah aku gampang aja.”
“Nggak bisa. Ya, masa aku ngusir pembeli rumahku? Mana pembayaran sewa sampe setahun udah dibayar.”
Sudah, tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Mau tak mau Amanda tinggal bersama mereka selama setahun, dengan huru-hara dan rasa gelisah.
Amanda segera pergi sambil membonceng Aira, melewati drama rumah tangga Savory yang penuh tangisan. Ia tidak peduli, apalagi untuk menegur tak sudi. Apa mungkin amarahnya muncul lagi setelah terpendam sekian tahun?
Tak butuh waktu lama, mereka sudah tiba di depan rumah di Violet Garden. Karena lokasi antara rumah dengan komplek tidak jauh, tidak butuh waktu lama berkendara. Amanda masuk mendahului Aira dengan tampang yang sulit diartikan.
“Kerjaan Savory apaan?”
“Dulu kerja, sekarang nggak tau. Males banget udah. Semuanya kok di sini.”
“Kalau unda dah pasti balas dendam gimana pun. Masa nyawa kada mahu27? Atau minta bantuan unda boleh. Inget, karena buhan inya, mama nyawa gantung diri karena nggak sanggup terima semua gibahan itu.” Aira bertepuk tangan dengan semangat. “Keluarga nyawa dikatain macem-macem, disebarin fitnah kada berdasar, kan?”
“Semua itu terjadi juga karena aku dan Papa nggak peka. Kami soalnya terbiasa cuek dengan gituan. Nggak taunya kena di Mama yang mikirin segalanya dan nggak ngomong ke kita.”
“Unda kada peduli alasannya apa, mau, kan?”
Aira yang tersenyum lalu duduk di sebelah Amanda langsung kena serangan maut, berupa bantalan kursi seperti biasa. Karena dadakan, Aira tidak bisa mengelak.
“Unda serius!”
“Diem, nah. Jangan kasih ide gila-gila!”
“Apa harus unda bergerak sendiri? Lumayan bisa lihat buhan inya makin ancur.”
“Ada gila-gilanya emang!”
Amanda berdiri meninggalkan Aira yang tersenyum seperti orang gila. Entah apa yang merasukinya sehingga berpikir untuk membantu Amanda balas dendam. Akan tetapi, beberapa detik kemudian senyumnya pudar.
“Siapa tau unda kada disingkirin kalau bantu balas dendam.”
Glosarium:
- Siya, pang = sini, lah!
- Nyunyuk = stres
- For real? = beneran?
- Kadapapa = nggak apa-apa
- Bote-bote = bohong-bohong (bahasa Balikpapan)
- Nyawa kada mahu = kamu nggak mau
Bab 8: Tanpa Peran
Pada Rabu sore, hari di mana faktur-faktur barang tidak menumpuk dan membuat senang Amanda. Akan tetapi, kesenangan itu terganggu oleh tetangga lagi saat pulang. Kali ini yang berselisih bukan Aurora dan Bu Juju, melainkan Aurora dengan Lucia.
Sebenarnya, ia sungguh tidak mau tahu, tetapi Aira membuatnya sakit kepala. Baru turun dari motor dan masih memakai helm, temannya langsung berlari ke depan rumah Lucia. Perempuan bule yang tinggal sendirian.
Sekarang sudah 10 menit Aira berdiri di sana, menonton pertengkaran sambil merekam sementara Amanda hanya duduk di atas motor sambil bermain ponsel. Lagi-lagi yang ia dengar adalah rekaman CCTV yang disebar dari mulut Lucia.
“Kamu nuduh saya sebarin? Dan harus kamu yang marah? Harusnya saya yang marah!” Aurora menunjuk wajah Lucia. “Malam-malam kenapa suami saya masuk ke rumah kamu?”
“Ya … cuma mau ambil bibit bunga yang dia titip.” Lucia menunduk, memalingkan pandangannya.
“Suami saya nggak suka nanem gitu, alasan aja! Dasar pelakor!”
Rasanya Amanda ingin menjadi buta dari hal memuakkan hari ini dan pergi tanpa mendengar apa pun. Semua warga komplek juga pasti memiliki pemikiran yang sama, tapi rekaman CCTV itu terbayang di kepalanya.
Dengan cepat Amanda membuka akun, mencari hal yang menjadi topik dan tren. Benar saja judul “Perselingkuhan Violet Garden” masuk tren paling bawah. Ia pun membukanya.
Dalam rekaman tersebut terlihat Rumi memasuki rumah Lucia pukul sepuluh malam, kemudian keluar lagi setengah jam kemudian. Setelah itu, barulah Rumi masuk ke rumah.
“Coba lihat, yang ketangkep kamera siapa. Haha.”
Caption berisi ejekan dibaca oleh Amanda.
“Rekamannya hari Selasa.”
Hari ini Amanda sengaja mengeluarkan akun Twitter supaya lebih fokus bekerja, jadi tidak tahu hal-hal apa yang sedang menjadi topik dan tren. Hanya dalam 12 jam postingan tersebut sudah ramai, disebar ke mana-mana seperti sebelumnya. Mengerikan.
Orang-orang mulai berkerumun bersama Pak Haru, tapi Rumi tidak menampakkan diri. Mungkin belum pulang dari dinas sebagai tentara. Kalau sudah pulang dan tahu masalah ini, pasti malu. Apalagi yang menyebarkan Aurora sendiri walau tidak mengaku.
“Wah, dapat bahan baru.” Aira memasuki halaman dengan wajah ceria.
“Mau diapain videonya?”
“Ya, handak disebar. Lumayan numpang tenar. Buhan inya pasti haus kelanjutannya.”
Amanda menghela napas. “Hapus.”
“Ha? Buat apa? Ini kan momen bagus, harus dimanfaatin! Nyawa kada pikir, kah? Lumayan buat balas dendam juga, kan?”
“Aku males mikirin itu, mending pura-pura nggak tau aja.”
Ucapan Amanda membuat Aira membelalak, pandangannya teralih seketika dari ponsel. Ia berkata begitu karena merasa satu peran pun tidak cocok untuk dirinya, tidak tahu akan melakukan apa.
Haruskah ia senang? Haruskah balas dendam? Haruskah melampiaskan semua? Amanda merasa terlilit benang pikirannya sendiri. Tidak ada ujung merahnya.
“Unda aja yang ambil peran, tenang.”
“Nggak usah, makasih.” Amanda berdiri.
Niat Amanda masuk ke rumah urung karena melihat Savory berdiri di pinggir jalan, sedang mencari tahu apa yang terjadi. Mobil hitamnya terparkir di seberang rumah Aurora.
“Nah, itu Savory. Mau disamperin kada?”
“Ah, kaya aku kurang kerjaan aja.”
“Kada di sapa, kah?”
“Semangatnya, nah. Nggak usah, nggak.”
Tentu saja larangan adalah perintah, Aira spontan berlari menuju Savory. Amanda kesal sejadi-jadinya sampai mengepalkan tangan, apalagi saat matanya bertemu dengan milik Savory.
Mereka sama-sama kaku, diam di tempat tanpa mencoba menyapa. Kalau Amanda jelas masih menyimpan sakit hati, tetapi entah dengan Savory. Apa melihat Amada terbesit rasa bersalah?
“Manda!” Aira melambaikan tangan, memanggil Amanda untuk mendekat.
“Astaga, bisa gila aku.” gerutu Amanda, tapi tetap melangkah maju.
Perasaan campur aduk terus menghantui sepanjang langkah Amanda, sampai kewalahan dan gelisah menahannya. Tidak seperti bertemu dengan Bu Juju, Lucia, dan Aurora yang masih bisa ditahan.
Ini dia. Biang keroknya.
Savory menyibak rambut hitam panjangnya ke belakang, kulitnya yang bersih tampak mulus terkena paparan matahari sore. Sebenarnya cantik dan tak bosan dipandang, tapi sifatnya yang buruk itu membuat Amanda malas melihatnya.
Amanda menghentikan langkah lalu berbalik lagi. Di saat itu, ia menjadi orang paling plin-plan sedunia dengan segala kegelisahannya.
Tanpa melihat ke arah orang-orang yang sibuk merekam seperti Aira sebelumnya, Amanda masuk ke rumah dan merebahkan diri pada sofa. Menyerahkan seluruh harinya untuk diserap bantalan kursi, sampai aura negatif itu hilang.
Kepala berat, kelopak yang ringan, rasa kantuk pun datang. Amanda dengan cepat tertidur di sofa dengan rambut acak-acakan. Begitu lelap sampai tak mendengar keributan di luar.
Gelap. Amanda seperti melihat langit malam. Menunggu bintang yang kesepian. Lama kelamaan kegelapan berubah menjadi ruangan putih. Bola mata Amanda seolah berputar-putar mengikuti warna hitam yang terhisap di satu lubang.
Mimpi apa ini?
Semua memudar dengan menyakitkan, Amanda sampai meringkuk di tengah-tengah. Akan tetapi, seseorang memegang pundaknya dari belakang. Ketika berbalik matanya membelalak.
Rasa sakit hati yang berubah-ubah, kesedihan yang silih berganti datang, berputar di hati Amanda untuk mengembalikan semua kenangan.
“Ma … Mama.”
Ini dia bintang kesepian yang ditunggu Amanda, sang mama. Kedatangan yang tak diduga-duga dalam mimpi. Sang mama datang dengan pakaian serba putih, rambutnya hitam sepinggang, dan tampak lebih muda.
“Ma …,” Amanda berdiri, menggenggam kedua tangan sang mama. “Aku kangen.”
“Kamu kenapa?” Sang Mama mengusap rambut Amanda.
Amanda malah tersenyum, tapi sang mama tahu di balik senyum itu ada bayangan hitam. Saat itu juga sang mama memeluknya erat.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Aku cuma kangen Mama sama Papa. maaf belum bisa jengukin.”
“Gapapa, yang terpenting itu kuat-kuatin diri di dunia ini sendiri.” Sang Mama makin menguatkan pelukan. “Cerita sama Mama sini.”
Begitu sang mama melepaskan pelukan, ada sofa putih di belakang Amanda. Kapasitas yang muat untuk tiga orang membuatnya mengingat seseorang lagi.
“Mama nggak sama Papa?”
Namun, sang mama tidak menjawab. Hanya melayangkan senyum saat duduk. Amanda menghirup napas dalam-dalam dan berpikir mungkin belum waktunya.
“Coba cerita dulu.”
“Gini … gimana cara ngadepin orang yang pernah nyakitin kita? Apalagi mereka tinggal di dekatku, Ma.”
“Lepaskan, lupakan, dan anggap mereka nggak ada.”
“Tapi, kenapa Mama nggak lakuin itu juga?”
Sang mama tersenyum. “Mama bilang begitu supaya kamu nggak berakhir seperti Mama.”
Amanda menunduk. “Kalau aku melakukan sesuatu buat mereka?”
“Kamu nggak ada bedanya sama mereka.”
“Menurut orang, itu bakal menghilangkan rasa sakit.”
“Menghilangkan rasa sakit dengan menyakiti?” Sang mama terdengar menghela napas. “Mama juga begitu.”
“Ma, jangan menyalahkan diri. Semua itu terjadi karena kami juga kurang peka sama Mama. Maaf, maaf, dan maaf.”
Saat bersimpuh menjadi tekad Amanda, sang mama tidak bersuara sama sekali. Amanda pun mendongak dan tidak mendapati sosok tersebut di mana-mana. Padahal butuh pengampunan, butuh waktu lebih lama bersama.
“Mama, jangan pergi.”
Amanda melungsur, menutup kedua matanya yang mulai sembab. Air mata yang tak seberapa luruh itu malah berkumpul di lantai, membentuk kubangan air yang tak membasahi tubuhnya.
Setelah menangis puas, sebuah wajah sembab terpantul di permukaan air. Wajah itu bertanya, apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu pikirkan?
“Aku … aku nggak tau.”
Nggak apa-apa. Sekarang tarik napasmu dalam-dalam dan bermain bodoh. Teriakan isi hatimu di sini.
Suara itu, yang berasal dari dirinya sendiri, membuatnya berhenti menangis. Satu sisi yang disembunyikan selama ini, jauh di dasar hati. Meski sudah lama Amanda membuang rantai dalam hati, tapi entah ada sesuatu yang membuatnya terikat lagi.
“Doakan aku, Ma.”
Menangis lagi. Menangis seperti anak kecil. Amanda memeluk dirinya sendiri saat puncak emosinya meluap dengan berteriak. Ini adalah tangisan pelepasan karena sebentar lagi ada pesta dansa tanpa peran menunggunya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
