
Baru seminggu tinggal di Violet Garden, Amanda dan Aira merasa tinggal di neraka kedua. Memang tidak setiap hari ribut, tapi ada saja keributan yang diciptakan para tetangga.
Bahkan tiba-tiba saja rekaman CCTV unit sebelahnya tersebar luas di media sosial, sehingga memicu pertengkaran lagi antar pemilik unit.
Siapa pelaku? Mengapa rekaman dari beberapa rumah bisa tersebar? Amanda berusaha mencari tahu dengan bantuan teman masa kecilnya, Erland.
Tidak ada yang tahu atau entah tidak mau tahu, semua keributan...
Bab 1: Hujan Pertikaian
Amanda sudah tahu akan terjebak di antara orang-orang kacau yang senang membuat perkara, mereka bukan orang baru dikenal juga olehnya. Karena suatu hal, dimutasi dari tempat kerja, ia menempati rumah di Violet Garden.
“Kenapa lagi tuh?” Aira melongok ke jendela.
“Biasalah.”
“Ah, padahal pengen istirahat undaaaa1 …”
“Mau gimana? Kita tinggal di sini dibayarin perusahaan.” Amanda bersedekap sambil terus memandang ke luar.
“Nyawa2 bisa nolak, lho? Paling dekat sama Bos padahal.”
Amanda menghela napas, tak mau menatap Aira. Teman semenjak kuliahnya itu kembali melempar pertanyaan alih-alih menjawab. Mungkin ia sebenarnya muak, tapi tidak bisa menjawab lagi entah mengapa.
“Daripada betiduran terus, cuci piring sana. Kan giliranmu.”
Aira justru meregangkan badan, menatap balik dengan wajah lesu. “Nanti, pang3. Ulun beneran ngantuk banget karena begadang semalam.”
“Kamu itu ngapain, sih? Kerjaan kita kan nggak pernah di bawa pulang.”
Pertanyaan yang entah sejak kapan selalu dilayangkan Amanda kepada Aira setelah pindah ke Violet Garden, malah tidak dijawab. Aira kabur begitu saja sambil terus meregangkan tubuh lalu menyisir rambut sebahunya.
Amanda meninggalkan ruang tamu dengan wajah kesal. Sampai di dapur, ia segera mencuci semua peralatan makan yang kotor seperti pesuruh padahal tidak disuruh. Ia melakukan itu karena tidak suka dengan kata “Nanti” yang keluar dari mulut Aira.
Menurut Amanda, justru nanti itulah yang membuat orang lupa bahkan menyepelekan pekerjaan serta tanggung jawab sekecil apa pun. Makanya ia bergerak duluan sebelum cucian menumpuk lagi.
Lagi-lagi kaya gini.
Sudah diberi tempat tinggal dengan harga murah, punya kamar sendiri, kenapa susah sekali untuk tau diri? Peraturan juga sudah tertulis sekaligus menempel di dinding dapur. Harus diapakan lagi makhluk bernama Aira itu?
Tiba-tiba Amanda terkejut sampai salah satu piring jatuh, pecah berkeping-keping. Bukan karena hujan makin lebat disertai petir, melainkan suara memukul-mukul sesuatu terdengar keras. Aira pun berlari dari kamar, memanggil namanya panik.
“Kenapa? Ada apa? Unda dengar sesuatu.”
“Di luar bikin kaget, sampe jatoh tuh piring.” Amanda berjongkok, hendak memungut pecahan piring.
“Nyawa hati-hati jugalah.”
Alih-alih membantu Amanda, Aira justru melengos pergi ke depan. Seperti biasa, memuaskan rasa penasaran. Amanda pun bangkit, terjangkit perasaan yang sama sampai ikut berlari. Apa yang dilakukan tetangga sampai menimbulkan suara keras?
“Rasain tuh!”
Tampak seorang Ibu-ibu dari unit dua membawa balok kayu, pagar rumah unit empat di depannya pun sudah penyok. Ia mengenakan jas hujan merah muda dengan perangai kasar yang basah kuyup, badan mungilnya memblokir akses pintu.
Di tengah situasi memanas, tidak ada satu pun tetangga kecuali Amanda dan Aira yang keluar. Tetangga lain jelas tahu, hanya saja tidak peduli sekitar. Pintu-pintu tertutup seolah ada balok es besar menghadang dan tidak bisa digeser. Rumah adalah penampakan hati pemiliknya, ya, itulah mereka.
“Emang gini?”
“Ya, begini. Udah kenal dari lama tabiat mereka.”
“Ngerinya pang ai. Unda nggak nyangka nyawa tetanggaan sama orang begini.” Aira menghela napas. “Kenapa nggak minta pindah aja lagi? Bos pasti dengerin nyawa.”
“Gila-gila, ya. Bos pasti marah jugalah, baru aja dia bayarin sewa. Aku juga mana tau bisa tetanggaan lagi sama mereka.”
“Ah, iya sih …” Aira mengangguk lalu menghela napas lagi. “Walau unda ini suka baku hantam, bubuhan4 itu udah di tahap ganggu banget.”
“Ah, males juga aku. Tapi, ganggu kedamaian aja. Mau dilerai?” ujar Amanda.
“Mau kena hantam kayu?”
Aira dan Amanda memandang sejekap, kemudian mata mereka kembali beralih ke sebelah. Lewat celah pagar tertutup atap fiber, mereka menyaksikan drama tetangga menyebalkan yang belum usai.
Tidak peduli piyama hitam kembar mereka basah, apalagi rambut Amanda yang sudah diluruskan dengan catokan kena rintik hujan. Rambutnya memang sudah lurus sepinggang, sangat cantik sampai kadang Aira iri, tapi agak mengembang.
“Bayar utang kau itu!”
Aurora sekali lagi memukul pagar besi, memaksa salah satu penghuni rumah keluar. Tidak hanya sekali, berkali-kali sampai tak terhitung. Kakinya menendang bergantian dengan kekuatan penuh.
Amanda dan Aira makin tegang karena suara besarnya bersatu dengan petir. Di neraka bertetangga ini, mata mereka intens merekam detik demi detik yang menguras jantung. Baru seminggu tinggal rasanya seperti setahun di neraka.
“Aduh, aku mau lapor RT, tapi nomornya lupa aku simpan,” ujar Amanda.
“Tetangga lain mungkin kasih tau, pang.”
Tak lama kemudian, muncul payung dari arah sebaliknya. Sosok seumuran Aurora tampak mengenakan jaket bomber hitam, dengan sandal jepit yang hampir putus, berlarian kecil tanpa takut terjatuh. Pria itu adalah Ketua RT setempat yang baru dibicarakan.
“Ada apa lagi, Bu Aurora? Jangan merusak properti rumah orang lain.”
“Kalau bukan ulahnya sendiri, saya tidak akan begini, Pak Haru!”
Cara bicara halus itu tidak membuat Bu Aurora berhenti, seolah Ketua RT bukan siapa-siapa yang harus disegani. Mungkin karena sudah dikuasai emosi berlebihan.
“Tolonglah, ini mengganggu kedamaian komplek.”
“Pak, udah cukup lama saya sabar! Bu Juju tak pernah mencoba bayar.”
Aurora berhenti, kemudian terengah-engah sambil menatap Pak Haru.
“Ayolah, kita panggil Bu Juju dengan cara baik-baik.”
Mereka akhirnya berbicara empat mata di bawah payung. Amanda dan Aira bisa bernapas lega sambil berbalik.
“Tuh, pasti ada yang lapor.”
“Aku kira nggak.”
“Masih mending rumah di kampung-kampung, ya?”
“Beh, di kampung lebih ngeri lagi perasaan.” Amanda menarik lengan Aira. “Masuk ajalah, bantuin aku mungutin pecahan piring.”
“Bentar, ya. Unda ada gawian5 di laptop, bentaran aja.”
Bentar merupakan salah satu kata terlarang dalam kamus Amanda, tapi tidak ada kata memaksa juga di sana sehingga membiarkan Aira masuk ke kamar lagi. Lebih cepat mengerjakan sendiri daripada mengandalkan orang lain, barulah moto nomor satu di kamusnya.
Amanda berkutat dengan pecahan piring di dapur dalam senyap. Sejak kepergian sang ibu dua tahun lalu, ia berubah menjadi anak mandiri yang bisa mengerjakan semua. Ditambah lagi sang ayah menyusul jarak beberapa bulan karena sakit. Semua kekuatan serta keberanian yang berasal dari hati mengalir deras ke seluruh pembuluh darahnya.
Keadaan memukul Amanda untuk segera bangun dari mimpi sebagai Putri Kerajaan, memaksanya menjadi petarung kuat di jalanan sendirian. Tidak ada yang tahu betapa berat beban dan luka di pundaknya. Ia hanya terus berjalan kembali sampai di rumah ini.
“Manda, apa bener Mama nyawa meninggal gantung diri? Udah lama pengen nanya, tapi takut aja nyawa marah.”
Pertanyaan Aira membuyarkan lamunan Amanda. Di atas meja makan berisi pecahan piring, kulitnya seolah teriris padahal tidak ada yang menggoreskan benda tajam.
“Gapapa, udah berlalu juga. Dan emang bener gantung diri di rumah lama, nggak jauh dari sini dan rumahnya udah dibeli sama Erland.”
“Anehnya, pang. Dia nggak takut? Kata nyawa yang lain pada kabur.”
“Pondasinya Tuhan, nggak bisa diganggu gugat.”
“Atau karena suka sama nyawa kali, ya? Secara inya6 tuh temen masa kecil nyawa.”
Amanda menggeleng sementara Aira senyum-senyum menggoda.
“Udahlah, nggak perlu dibahas.” Amanda membungkus pecahan piring berkali-kali, kemudian dimasukkan ke dalam kardus kecil.
“Walau nggak balik ke rumah, ingatan itu masih ada pasti karena masih di lingkungan yang sama. Kada7 apa emang?”
Amanda mematung, tidak mampu menoleh ke arah Aira. Ada sesuatu yang ditahan dari mata dan bibirnya. Lingkungan sekitar memang punya kenangan kelam atas sang ibu, tapi lebih banyak menyimpan kenangan indah di masa lalu.
Hanya karena satu titik hitam, tidak akan mengubah tinta warna-warni di atas kertas putih. Itu menurut Amanda. Meski terkadang ada perasaan berat melanda hatinya.
“Dulu mungkin aku sering kabur, sekarang udah saatnya menghadapi masa lalu.”
“Coba aja bisa ke tempat lain.”
“Yang udah terjadi, ya, mau diapain?” Amanda membalikkan badan sambil tersenyum. “Aku beneran gapapa.”
“Dalam hati siapa yang tau? Tetangga nyawa itu juga kan …,”
“Udahlah, nggak mau bahas.” Amanda menepuk pundak Aira.
Glosarium:
- Unda = aku (seperti sebutan ‘gue’)
- Nyawa = kamu (seperti sebutan ‘lu’)
- Pang = imbuhan di akhir kalimat
- Bubuhan = kaum keluarga, kalangan (Banjar), kumpulan (Balikpapan)
- Gawian = kerjaan
- Inya = dia
- Kada = nggak
Bab 2: Ajakan dan Perkelahian
Mengira di hari Minggu bisa bersantai dengan damai karena Sabtu kemarin heboh, Amanda salah sangka. Lagi-lagi bertepatan dengan hujan lebat di pagi hari, Aurora kembali menyerang rumah Bu Juju.
Akan tetapi, tidak ada suara barang yang dilempar atau dihantam melainkan suara omelan sangat panjang. Aira spontan melihat ke jendela samping, sedangkan Amanda berkutat dengan ponsel sangat intens.
“Heh, coba sini,” ucap Aira.
“Apaan?”
Amanda bangkit setelah meletakkan ponsel di sofa. Saat di depan jendela, mereka melihat Aurora memperlihatkan ponselnya pada Bu Juju dengan amarah meledak-ledak.
Perempuan 30 tahunan yang hanya mengenakan kaos putih polos segera berkacak pinggang. “Lho, saya nggak ada nyebarin.”
“Kau dan keluarga kau itu didiamkan makin jadi, ngaku aja!”
“Sumpah demi Tuhan, nggak! Nengok CCTV aja jarang.”
“Halah, bacot kau itu mana mau mengaku!” Aurora menunjuk wajah Bu Juju. “Selain ini bayar utang kau!”
“Itu … itu kan hal lain. Kamu pentingin mana, sih?”
“Dua-duanya penting!”
Amanda dan Aira saling melirik, menduga-duga apa yang terjadi selain penagihan hutang. CCTV? Menyebarkan? Aira langsung bersedekap lalu melihat keluar lagi. Amanda tiba-tiba berlari ke kamar, mencari sesuatu di tas selempang yang ia pakai saat pertama datang ke Violet Garden.
“Aduh, di mana, ya?”
Terus mencari ke setiap sudut tas, bahkan semua isinya dihamburkan ke lantai. Sebelum terlambat seperti kemarin, ia bertekad untuk menemukan itu. Setelah pencarian panjang, Amanda akhirnya mendapatkannya.
“Untung masih ada kertasnya.”
Dengan cekatan Amanda kembali ke ruang tamu, kemudian mengetik sebuah nomor yang tertulis kertas lalu menelepon seseorang. Bisa diduga yang ia hubungi adalah Pak Haru. Kalau kemarin ia malas mencari, sekarang tak mau lagi malas-malasan karena keadaan mencegah neraka kedua pecah lagi.
“Ngapain nyawa?” Aira merebut ponsel Amanda.
“Lho, mau telpon Pak Haru, dong. Kalau dibiarin ntar kaya kemarin, bikin pusing.”
“Nggak usah, biarin aja buhan inya8 ribut sampe tonjok-tonjokkan.”
“Jangan nah, balikin hape aku.” Amanda menyodorkan tangannya.
Aira menggeleng lalu berbalik menatap jendela lagi. Melihat ponselnya dipegang ke belakang, Amanda cepat-cepat mengambil ketika Aira lengah. Aira terkejut, kemudian mengejar Amanda yang sibuk menekan ulang nomor itu.
Namun, Aira tak bisa menjangkau lagi. Amanda sudah menghubungi Pak Haru. Meski terdengar singkat, intinya sudah tersampaikan. Ketua RT itu akan tiba beberapa menit lagi untuk memisahkan Aurora dan Bu Juju.
“Nggak asik nyawa, ah!” Aira cemberut.
“Kamu nggak pusing apa?.”
“Unda ini kepo sangat apa inti masalah mereka.”
“Ada gila-gilanya juga. Nanti tunggu Pak Haru aja, pasti lebih jelas inti masalah mereka.” Amanda berdecak kesal.
Aira justru menyengir sampai matanya berbentuk bulan sabit. Amanda setuju dengan kata teman lainnya di kantor. Tampang Aira boleh Chinese dan manis, tapi sifat benar-benar minus.
Tak lama muncul Pak Haru dengan payung kesayangan, memberi salam dari balik pagar rumah Bu Juju. Aira bergegas keluar sambil memakai payung supaya bisa menyaksikan langsung.
“Saya dapat laporan dari warga kalau kalian ribut, ada apa lagi?” tanya Pak Haru pelan.
“Gini, Pak Haru. Masa Aurora ini tiba-tiba nuduh saya sebarin rekaman CCTV di Twitter?”
“Sudah jelas ini berasal dari rumah kau, lihat, kan?” Aurora kembali menyodorkan ponsel. “Akun tetanggasampahvg itu pasti kau, Jubaedah! Mana pake ketawa statusnya!”
Pak Haru menyipitkan mata, sementara Amanda dan Aira membuka ponsel masing-masing untuk mencari akun yang menyebarkan rekaman CCTV. Mata mereka membelalak saat melihat secara nyata di laman media sosial.
Dalam durasi rekaman satu menit itu memperlihatkan suami Aurora mengencingi pohon di halaman rumah Bu Juju saat malam hari, kemudian meludah ke bunga. Postingan itu dengan cepat menyebar bahkan sampai masuk akun fanbase besar hanya dalam hitungan beberapa jam.
Selain mendapat keprihatinan, cemooh dan candaan vulgar datang dari ketikan netizen. Setiap retweet isinya juga tidak pantas. Memang benar di zaman canggih seperti ini, jari-jari lebih menakutkan dari mulut manusia.
“Wah, berani juga.” Aira tersenyum, kemudian memanggil Amanda dengan lambaian tangan. “Coba nyawa ke sini.”
Amanda menggeleng melihat senyuman Aira. Ia tetap berada di depan pintu, kali ini tidak ingin ikut-ikutan Aira lagi. Ia merasa tak perlu dekat lagi dengan mereka dengan segala pertengkaran.
“Sebenci-bencinya keluarga saya sama Ibu ini, nggak sampe nyebarin video begitu.”
“Orang macam kau mana bisa dipercaya! Zaman sekarang itu tak ada yang nggak dijadikan konten, asal share pula.” Tunjuk Aurora yakin. “Saya minta hapus sekarang juga sebelum saya laporkan!”
“Sudah, sudah. Periksa saja hape Bu Juju,” pungkas Pak Haru.
“Nah, coba cek aja hape saya. Sumpah bukan saya meski itu dari kamera saya!”
Bu Juju menyodorkan ponsel yang langsung direbut oleh Aurora padahal layarnya baru dibuka. Tanpa meminta ditunjukkan aplikasinya, Aurora mencari dengan brutal dan menemukan aplikasi itu.
Layar bergerak naik dan turun terperangkap dalam pupil hitam Aurora, jemari sibuk mencari bukti atas omongannya. Di mata Amanda, Aira dan Pak Haru tegang menunggu yang terjadi selanjutnya sampai lima menit berlalu.
“Gimana? Ada nggak?”
Aurora bungkam, mengembalikan ponsel Bu Juju sambil menunduk.
“Nggak ada, kan?” tanya Bu Juju sekali lagi.
“Bisa saja kau hilangkan jejak dari hape itu. Karena kalau bukan kau, siapa lagi?”
“Buktinya aja nggak ada!”
“Kalau gitu, sekarang bayar utang kau sajalah! Cepat!”
“Tapi, kamu kan ngerusak pagar saya!”
“Eh, itu tak sebanding sama utang kau! Cepat bayar!”
Sambil berdecak kesal, Bu Juju masuk ke rumah. Tak perlu menunggu lama, ia keluar membawa beberapa lembar uang seratusan untuk diberikan pada Aurora. Setahu Amanda, Bu Juju memang sering mengutang kepada siapa pun tanpa pandang bulu.
“Terus bagaimana akun itu, Pak? Siapa pula yang bertanggung jawab?”
“Setahu saya bisa dilaporkan akunnya, gimana? Tapi, saya nggak terlalu paham …,”
“Amanda bisa bantu, Pak!”
Seruan Aira dari pagar membuat mereka menoleh. Dengan segera ia melambai ke dalam rumah, memanggil Amanda yang masih memantau. Meski ada raut kesal di wajahnya, Aira tetap bersemangat.
Aira tahu bahwa Amanda tidak mau ikut campur, tapi ia tidak ingin bergabung sendirian. Terlebih Amanda bukan orang asing bagi Aurora dan Bu Juju dibandingkan dirinya.
“Kamu benar tahu?”
Pak Haru bertanya ketika melihat Amanda dan Aira mendekat.
“Ya … sebenarnya Aira juga tau, Pak. Nggak cuma saya.”
“Tapi, yang lebih paham inya, Pak.”
Amanda melotot ke arah Aira, ingin sekali menyumpahi sampai tenggorokannya kering. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur, Amanda tidak bisa kabur.
“Ya, pokoknya bantulah siapa saja,” tukas Aurora, “Apalagi kau kan tetangga lama kami, bantulah sedikit.”
“Iya, kan? Kita laporkan akunnya sekarang.” Pak Haru menggulirkan layar ponselnya.
“Katanya mau lapor, Bu?” tanya Aira sok polos.
“Heh, meski itu bukan saya, tapi bisa aja saya kena tau,” sahut Bu Juju.
“Ya, saya juga repot kalau ngurus, sih.” Aurora menghela napas.
“Ya, udah, sekarang laporin akun aja,” tegas Amanda.
Aurora tentu mengangguk apalagi Bu Juju. Perbedaan terlihat jelas saat Amanda melirik Aira yang menatap layar ponsel terus-menerus, kemudian menghela napas. Seakan keputusan Aurora mengecewakan.
“Saya yakin penghuni Violet Garden sudah tahu juga, jadi apa boleh minta bantuan? Mungkin disebar ke grup RT link-nya?” Amanda menatap Pak Haru.
“Oh, bisa. Mudahan yang punya Twitter mau bantu. Ini menyangkut nama perumahan juga.”
Aurora terdiam lagi saat semua sibuk pada ponsel masing-masing, tapi Amanda memegang tangannya seolah meyakinkan.
“Kakak juga bantu. Akunnya bakal cepat ilang kalau banyak yang report.”
“Ah, iya … kau kasih tau caranya ini bagaimana.”
Amanda mulai mengarahkan langkah-langkahnya di ponsel Aurora, Aira membantu Pak Haru dan Bu Juju. Tidak semua orang paham bagaimana cara melaporkan akun, hanya biasa memakai dan melihat-lihat sepertinya.
Setelah selesai membantu Aurora yang menurut saja, Amanda angkat bicara lagi.
“Kita bakal nunggu akun itu sampe ilang di sini?”
“Ya, iyalah kalau saya,” jawab Aurora dengan nyolot.
Ya Tuhan, kenapa nggak bisa ngomong biasa, sih?
“Iya, sebaiknya kita tunggu di sini.”
Sudah lewat 15 menit, akun tersebut masih ada. Ditunggu lagi sampai hampir satu jam, akhirnya akun Twitter tersebut sudah menghilang. Bu Juju bernapas lega sama seperti lainnya.
Mungkin Aurora juga, tapi lebih memilih meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun. Padahal sebelumnya suasana lebih mencair karena sambil menunggu.
“Ingat, ya, utang kau masih banyak. Ini belum seberapa. Saya tunggu dua Minggu lagi!”
Seruan Aurora ditanggapi sinis oleh Bu Juju.
“Orang nanti saya juga pasti bayar!”
“Halah, bacot kau saja itu!”
Pak Haru langsung menengahi pertengkaran dengan menyuruh Aurora keluar dari halaman Bu Juju. Kalau tidak sabar, mungkin mereka berdua sudah diseret dan dikurung dalam toko kuenya.
Bu Juju tak peduli dan mengobrol bersama Aira. Amanda malah menatap Aurora yang masih berdiri di depan pagar sambil menatap layar ponsel, sementara Pak Haru datang mendekat.
“Bu, Bu, coba bayar aja dan jangan cari ribut,” ucap Pak Haru, memutus percakapan Bu Juju dan Aira.
“Astaga, Pak Saya ini sudah chat kalau dilunasin bulan depan, dianya aja nggak sabaran.”
“Tapi, banar9 bukan Bu Juju yang nyebarin?” tanya Aira tiba-tiba.
“Ya, ampun. Kalau saya ngapain repot-repot minta bantuan?” Bu Juju bersedekap, menatap Aira tajam.
“Kalau gitu, apa mungkin diretas?” tanya Amanda lagi, kali ini sambil mendekati Bu Juju. Menyuguhkan tatapan penuh pertanyaan.
“Memang bisa? Perasaan CCTV aman-aman aja, apalagi teknologinya canggih. Mana baru-baru aja dibaikin sama Adit, yang sempat tinggal di unit tiga.”
“Oh, dulu di sini ada yang teknisi.” Amanda mengangguk-angguk.
“Jelas bisalah. Mau canggih kek, kada kek, pasti ada kelemahannya.”
Bu Juju mengangguk. “Masalah retas meretas kejauhan, terus akunnya juga udah ilang. Makasih banyak, Manda.”
“Sama-sama, Bu.”
Kemudian, Bu Juju minta izin untuk masuk ke rumah untuk beberes. Sementara mereka bertiga meninggalkan rumah Bu Juju sambil bercengkrama ringan.
Seharusnya momen sederhana bertetangga seperti ini merupakan hal normal, tapi karena keributan yang terus terjadi antar tetangga membuatnya langka. Hanya bisa dikatakan sesekali berjalan tenang di antara rumah.
“Pak, kemarin dapat laporan dari siapa?” tanya Aira dengan antusiasme tinggi.
“Saya nggak dapat laporan dari siapa-siapa, cuma kebetulan lewat dan lihat aja.”
“Wah, saya pikir ada yang lapor. Orang sampe dihantam pagarnya begitu,” ucap Amanda.
“Unda pikir sama, pang.”
“Ya, begitulah. Di sini orang-orangnya tertutup banget, arisan aja nggak bikin tetangga pada rukun. Ada aja ributnya sampe saya pusing. Apa mereka dulunya begini juga?”
Amanda menggaruk kepalanya. “Ya, begitu emang, Pak. Saya kaget pas pindah ke sini ternyata mereka lagi.”
“Saya paham perasaan kamu.” Pak Haru menghela napas. “Semoga betah-betah kaya penghuni sebelumnya di sini. Cowok sih, cuma jarang keluar juga.”
“Ya, mau gimana, Pak?” sahut Aira, “Tapi, beneran sebelum ini tuh cowok nempatin?”
“Iya, jarang bergaul. Cuma pernah bantu benerin sama pasang CCTV orang sini, sih.”
“Oh, kaya yang dibilang Bu Juju,” ucap Amanda.
Begitu menepuk pundak Aira dan Amanda bergantian, Pak Haru meninggalkan mereka di depan halaman rumah. Dalam sekejap, Aurora muncul entah dari mana. Ia berlari kecil sampai hijab instan yang dipakai tersapu angin.
“Bisa bicara berdua saja?”
Karena sudah tahu mata Aurora tertuju pada Amanda, Aira mengangguk lalu masuk ke rumah. Sepertinya, ada yang mau dibicarakan.
“Kenapa, Kak?”
“Anu … mau bilang makasih. Kalau tak ada kau atau Pak Teer, kami masih begulat pasti.”
Amanda malah menggaruk kepalanya lagi. Pak Teer?
“Pak Haru namanya, pang.”
“Ah, iya itu.”
Aurora tiba-tiba salah tingkah, memalingkan pandangannya ke mana saja yang penting tidak menatap Amanda. Mungkin karena malu tidak pernah berterima kasih.
“Iya, dengan senang hati, Kak.” Amanda tersenyum sesaat.
“Kau ada waktu luang malam ini?”
“Eh, kadada10. Kenapa?”
“Makan malam di rumah akulah, ajak kawan kau si Ayiria.”
“Namanya Aira.” Amanda menggeleng.
“Ya, itulah. Jam tujuh aku tunggu.”
“Em, iya … nanti Aira juga diajak kalau mau.”
Glosarium:
- Buhan inya = mereka
- Banar = benar
- Kadada = nggak ada
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
