Drama Tetangga (Bab 03-05)

3
0
Deskripsi

Baru seminggu tinggal di Violet Garden, Amanda dan Aira merasa tinggal di neraka kedua. Memang tidak setiap hari ribut, tapi ada saja keributan yang diciptakan para tetangga.

Bahkan tiba-tiba saja rekaman CCTV unit sebelahnya tersebar luas di media sosial, sehingga memicu pertengkaran lagi antar pemilik unit.

Siapa pelaku? Mengapa rekaman dari beberapa rumah bisa tersebar? Amanda berusaha mencari tahu dengan bantuan teman masa kecilnya, Erland.

Tidak ada yang tahu atau entah tidak mau tahu, semua keributan...

Bab 3:  Sensasi Panas

Kalau bukan karena Aira yang menyeretnya dalam pusaran masalah, malam ini ia bisa bersantai sambil mendengarkan lagu. Namun, janji tetaplah janji, Amanda harus memenuhi undangan makan malam dengan mengajak Aira.

“Ra, nyesel banget pang.”

“Ya, itu salah nyawa sendiri.”

“Spontan aja bilang iya, aku sendiri sampe kaget.” Amanda tampak frustrasi.

“Mau gimana lagi, pang?”

“Tapi …,”

Aira tidak menjawab Amanda lagi karena sibuk menatap rumah Aurora. Di depan teras yang ditutupi pohon, aroma makanan bercampur jadi satu dan memanggil mereka masuk.

            Tak perlu diragukan lagi itu adalah masakan Aurora, karena memiliki usaha catering setelah tinggal di tempat sebelumnya. Bahkan keluarga Amanda pernah memesan padanya.

            “Aduh …,”

            “Takutnya, pang ai. Ada unda juga, lho.”

            Amanda terus gelisah, tapi Aira malah menghela napas. Seakan kesal dengan overthinking-nya Amanda atau mungkin berpikir untuk apa takut dengan tetangga macam itu.

            “Oh, sudah datang. Masuk, masuk.”

            Aira mengernyit sementara Amanda menahan napas sesaat, begitu selesai memindai Aurora dari atas ke bawah. Itu karena ia berdiri di ambang pintu tanpa ekspresi, tidak selaras dengan pakaian serba merah dan perhiasan mencolok.

            Namun, mereka masuk mengikuti Aurora. Suasana di dalam begitu sunyi, banyak perabotan tertata rapi dan dalam keadaan bersih. Keadaan itu didukung karena Aurora sendiri belum memiliki anak.

            Mereka tiba di meja makan yang jadi satu dengan ruang tamu, sedangkan dapur berada di belakang dengan sekat dinding. Perumahan tipe 36 memang tidak besar, jadi jangan harap ada ruang makan sendiri.

            Di meja itu terlihat suami Aurora yang sedang bermain ponsel, tidak acuh dengan keberadaan mereka seakan menoleh sesaat saja berat.

            “Harusnya nggak usah repot,” ujar Amanda sambil duduk.

            “Tak apalah, ini kan imbalan karena sudah bantu aku.”

            “Bantu apa?” Pria plontos itu akhirnya mendongak, menoleh ke kanan lalu kiri. “Lho, ini Amanda yang …”

            “Ya, Bang.” Amanda tersenyum kecut.

            “Itu siapa? Bantuin juga?” Tunjuk suami Aurora.

            “Ulun11 temannya Amanda, Aira.”

“Saya Rumi.”

            Saat mereka berjabat tangan, Amanda menyikut lengan Aira segera, tapi pada dasarnya Aira tidak peka jadi tidak tahu apa maksudnya. Tatapan kesal pun menghiasi wajahnya setelah itu.

            “Bantu apa tadi?”

            “Oh, tadi bantu angkat belanjaan saja.” Aurora tersenyum menatap sang suami.

            Amanda dan Aira saling menatap lalu terjalin komunikasi yang mudah dipahami. Suami Aurora tidak tahu bahwa rekaman dirinya tersebar di media sosial. Akan tetapi, mereka memilih bungkam sama seperti Aurora untuk saat ini.

            “Oh, tadi teman kau pesan apa? Coba kutengok hapemu sini.”

            “Buat apa lihat hapeku? Kukirim aja SS-nya nanti.”

            “Udahlah, bentar aja aku itu, Bang Rumi.”

            Meski sang suami berdecak kesal, tetap memberikan ponsel pada Aurora. Kemudian, tidak butuh waktu lama ia mengembalikannya lagi. Mereka akhirnya menikmati makan malam dengan santai. Aroma berbagai macam makanan, manisnya sirup diberi es, menaikkan selera makan siapa saja yang duduk di sana.

“Apa kabar?”

Pertanyaan dari mulut Rumi mengejutkan semua orang. Amanda sampai menghentikan tangannya.

“Saya?”

“Ya, kamu, Manda.” Rumi sibuk menyuap nasi, tanpa menatap Amanda.

“Puji Tuhan, baik-baik, Bang Rumi.”

“Yakin?”

Amanda meneguk ludah, mendadak tegang seolah sedang ditanyai oleh penyidik, aura Rumi yang seorang tentara sangat kental. Entah maksudnya apa bertanya seperti itu.

“Jadi sebatang kara itu sulit, apa-apa harus kuat dan mandiri.”

“Ya, mau gimana lagi? Sama saja seperti saya, kan?” tanya Aurora tiba-tiba.

“Apaan, sih? Wong aku nanya Amanda, bukan kamu.”

“Udah gapapa, saya baik-baik aja. Yang hidup harus tetap berjalan, kan? Menangis terus nggak bakal mengembalikan mereka,” ucap Amanda.

“Tapi, ada sakit hatinya yang tertinggal, pang.”

Ucapan Aira ternyata lebih mengejutkan dibandingkan Rumi. Sepanjang kata itu tajam seperti silet. Akan tetapi, Aira berekspresi biasa dan makan dengan santai.

“Sakit hati ap …,”

“Ayo, makan lagi. Masih banyak di dapur.”

Aurora bergegas memotong ucapan Rumi, dengan gelagat salah tingkah sambil mengaduk nasi. Suaminya hanya bisa menghela napas dan kembali makan.

Kali ini ruangan kembali tenang, hanya suara alat makan yang mengisi ketegangan mereka. Saat Amanda hendak mengambil air putih, tiba-tiba tangannya bersentuhan dengan Heru. Tanpa dilihat siapa pun, Rumi tersenyum menatap tanpa melepas tangan Amanda.

Aira yang melihat itu spontan berdeham nyaring seakan ada makanan yang menyangkut di tenggorokan. Aurora sebenarnya tahu, tapi tidak berbuat apa-apa selain menatap mereka.

“Oh, bentar aku ambilin,” tukas Amanda, lalu merebut teko.

“Bang, ngapain?” tanya sinis Aurora.

“Apanya apa? Mau ambil minum.”

Walau Aurora tidak menanggapi lagi, wajahnya sudah tampak kesal. Amanda meneguk ludah saat menyerahkan air minum pada Aira, sementara Rumi cuek saja.

            “Kau kerja apa? Kok sampe dipindah-pindah?” tanya Aurora, memecah keheningan.

            “Saya kerja di supermarket dan sering buka beberapa cabang di kota-kota besar. Jadi, sering oper gitu, Kak.”

            “Oh, begitu. Kemarin di mana? Sebelum balik lagi ke Sei Paring.”

            “Di Balikpapan. Dan sebelumnya pernah tinggal di sana juga, jadi bahasaku campur-campur.”

            “Biasa orang mikir atau ngomong aneh-aneh mun12 cewek suka pergi-pergi. Ya, kan? Menurut Acil begimana?”

Aira tersenyum menatap Amanda yang memelotot. Aurora menjadi kaku, melirik keduanya canggung. Sementara Rumi menghela napas setelah menghabiskan air minum.

“Saya rasa orang lain nggak punya hak buat mengatai siapa pun.”

Malah Rumi yang menjawab, bukan Aurora yang berwajah masam. Padahal mulutnya sudah terbuka tadi.

“Wah, pamikiran13 bagus. Ulun suka. Tapi, kan ada orang-orang yang begitu. Masa kada tau, Mang?”

Amanda spontan menginjak kaki Aira, tapi yang diinjak hanya merintih pelan.

“Kamu ini!”

“Gapapa, mau manggil apa aja terserah kalau saya.” Rumi tersenyum menatap Amanda.

Aurora tertawa canggung dan yang lain mengikuti. Meski Amanda tidak menyukai Aurora, paling tidak, ada etika sedikit. Sedangkan Aira langsung memanggilnya dengan sebutan acil alias tante.

Kemudian, Rumi tiba-tiba berdiri mengangkat piring. Lagi-lagi semua terkejut menatap pria tinggi dan berhidung mancung itu.

            “Aku udah selesai, mau pergi ke tempat teman dulu ada urusan”

            “Oh, iya. Kau pergi saja tak apa.” Aurora tersenyum.

            Setelah Rumi meninggalkan ruang makan dan meletakkan piring di dapur, mereka hanya duduk tanpa berbicara. Namun, ketika Rumi sudah keluar dari rumah, Aurora langsung menghela napas sambil bersandar pada kursi.

            “Aiyira, tolong panggil saya Kakak saja, tak usah Acil.”

Aurora tersenyum dengan aura tidak mengenakkan, terasa oleh Amanda yang duduk di seberangnya. Aira justru ikut-ikut menghela napas dan melempar tatapan tajam. Seolah mereka siap memulai perang.

“Nama ulun Aira, Cil.”

“Kau ini kenapa? Kutengok kaya memojokkan saya.”

“Lho, Acil merasa, kah? Ulun kada pojokin.”

“Aira, udah. Maaf, ya, Kak.” Amanda menutup mulut Aira.

“Teman kau dan kau itu perlu belajar caranya sopan.”

“Lho, kenapa saya?”

“Ya, soalnya pengangan tangan sama Bang Rumi kutengok.”

Pian itu yang harusnya ngaca.” Aira berdiri lalu menatap tajam Aurora. “Makasih buat makanannya aja.”

“Aduh, udahlah. Maaf, Kak.”

Aira pergi begitu saja dan Amanda segera mengikuti dari belakang. Ia pikir makan malam ini bisa berjalan lancar, ternyata tidak ada yang bisa diharapkan dari Aira.

“Ra, kenapa, sih?”

Nyawa yang kenapa?”

“Kok jadi aku?”

Nyawa baagak bungul14, kah? Kenapa jadi nyawa minta maaf segala? Jahatan Aurora pang.

“Iya memang, mulutnya yang jahat,” jawab Amanda lesu.

“Maka itu unda pancing-pancing, semua karena mulut jelek bubuhan tetangga nyawa itu.”

Saban hari maagaki urang haja gawian.15” Amanda menepuk pundak Aira. “Aku tau pang, kamu memang bukan belain aku, tapi emang suka cari ribut.”

“Bisanya nah bepikir gitu!”

Amanda berdecak kesal meninggalkan Aira. Ia tahu yang dilakukan Aira bukan semata-mata karena dirinya, hanya suka memanas-manasi. Apalagi Aira tahu tentang segalanya yang membuat sang ibu bunuh diri.

Saat berjalan menuju rumah, Amanda melihat sosok yang dikenalnya. Siapa lagi kalau bukan tetangga unit satu, si Lucia sebatang kara yang hendak membuka pintu. Amanda berusaha tidak melihat, tapi Lucia menemukannya dengan cepat.

“Eh, kaya kenal?”

“Eh?” Amanda pura-pura terkejut.

“Lupa. kah? Aku ini Lucia, dulu tetanggaan juga dekat Langgar Nurul Hikmah, belakang sini.” Lucia mendekati Amanda.

“Oh, iya inget. Maaf nggak tau, soalnya nggak pernah lihat.”

Amanda menyambut tangan Lucia sambil tersenyum ragu. Tidak heran kalau tak tahu karena Amanda sibuk pindahan dan bekerja saja, jarang keluar untuk melihat siapa saja tetangganya. Bahkan Lucia sendiri juga jarang keluar rumah, buktinya yang ia tahu hanya Bu Juju dan Aurora tinggal di Violet Garden.

“Ternyata Kak Amanda yang tinggal gantian di situ.” Lucia tersenyum. “Udah lama di sini, Kak?”

“Oh, iya, kah? Aku sih baru sebulanan.”

“Terus, udah tahu tetanggaan sama Bu Juju dan Kak Aurora?” tanya Lucia dengan antusiasme tinggi.

“Tau.” Amanda menghela napas. “Kaget juga bisa tetanggaan lagi, padahal ogah, sih.”

“Sama aja, pang. Aku juga ogah kali. Kok bisa banget tetanggaan lagi.”

Kemudian, mereka mengobrol seperti manusia lain yang sudah lama tidak bertemu. Aira hanya berdiri di belakang menunggu, tidak seperti biasa asal ikut nimbrung entah sambil memikirkan apa.

“Tetangga nyawa lagi?”

Aira bertanya saat Lucia sudah pergi, kemudian mendekati Amanda.

“Awas ngomong macem-macem.”

“Apaan, ih? Unda tanya apa dijawab apa.”

Mungkin Amanda masih kesal sehingga berjalan duluan, sementara Aira berlari mengejar.

“Kok nyawa marah? Harusnya dukung ulun. Karena mulut-mulut mereka, Mama nyawa terbawa pikiran sampe bunuh diri, kan? Nyawa bilang sendiri pas lihat buku catatan itu.”

“Diem, Ra! Aku nggak mau ingat-ingat lagi sudah!”

Amanda tidak berbalik, hanya berhenti sesaat untuk mengeluarkan amarah. Aira memijat pelipis, memandang Amanda gelisah. Bagaimana bisa seorang anak yang ditinggal dengan cara tidak wajar menjadi sesabar ini? Seharusnya marah saja, luapkan semua.

Amanda memilih masuk rumah alih-alih ribut dengan Aira di luar, di saat jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Hanya udara dingin di bulan November akhir yang menemani Aira untuk menenangkan diri.

Glosarium:

  1. Ulun = saya (kepada yang lebih tua)
  2. Mun = kalau
  3. Pamikiran = pemikiran
  4. Nyawa baagak bungul = kamu berlagak bodoh
  5. Saban hari maagaki urang haja gawian = setiap hari memanas-manasi orang aja kerjaan

Bab 4: Hari Menyebalkan Lain

            Tiba di hari Senin, hari yang paling dibenci banyak orang. Sangat melelahkan, padat, dan penuh tekanan. Itu yang dirasakan Amanda yang sedang sibuk menatap layar komputer di ruangannya, mengecek dan memasukkan barang-barang ke program.

            Supplier yang paling tidak ia sukai malah datang di hari Senin. Bukan hanya karena banyaknya barang, tapi barcode dari barang-barang itu kadang berubah. Amanda harus mencari manual dengan nama yang tertera dan meminta sample di rak pajangan pada staf area.

            “Bikin sakit kepala,” gerutu Amanda.

            “Bujur banar!16

            Seruan itu datang dari Aira, yang langsung duduk di sebelah Amanda. Kemeja merahnya kontras dengan punya Amanda yang berwarna biru.

            “Berisik.”

            “Makan siang di mana?”

            “Nggak tau.”

            “Jangan gitulah …,” rengek Aira.

            Amanda masih fokus pada layar, tidak mengindahkan rengekan itu. Mungkin Aira sudah tidak ada kerjaan dan kepala toko tidak ada di ruangan jadi merasa bebas, tapi sangat mengganggunya yang masih bekerja.

            “Astajim!”

            “Berisiknya, nah!”

            “Ini … coba lihat!”

            Mau tak mau Amanda menoleh ke arah Aira yang menyodorkan ponsel. Ia melihat sebuah rekaman berisi seorang perempuan menaburkan sesuatu di halaman rumah orang. Begitu dilihat dengan saksama, Amanda memelotot tak percaya.

            “Ini bukannya Kak Aurora?”

            “Nah, nyawa banar17. Keknya malam-malam. Naburin apa di halaman Bu Juju?”

            “Mana tau. Dan ini rekaman CCTV dari rumah Bu Juju sendiri. Jadi, masih ada dua kemungkinan antara diretas atau dia memang sengaja sebarin dengan menghilangkan jejak dari hapenya.”

            Aira mengeluarkan potongan rekaman itu, melihat nama akun dan caption apa yang tertulis.

            “Caption-nya, ‘ngapain tuh’ nama akun tetanggabegajulan pake hastags tetanggasampahpart2. Masuk fanbase lagi sampe yang retweet akun jurnalis, nah. Parah.” 

            Amanda segera mengambil ponselnya di tas, kemudian segera membuka Twitter. Menelusuri jejak rekaman itu sudah sampai ke mana saja selain yang disebutkan Aira dengan tagar serupa.

            Begitu didapat, Amanda menghela napas sambil menggeleng. Media sosial semengerikan itu, semua hal bisa cepat viral dengan bantuan jempol orang-orang. Komentar negatif seperti sebelumnya pun tidak bisa dihindarkan.

            “Kalau Acil udah tau, pasti bekelahi lagi sama Bu Juju. Kada bisa ngelak karena jelas inya nyebarin,” ujar Aira.

            “Tapi, gimana kalau nggak ada bukti lagi? Kalau-kalau Bu Juju kaya kemarin?”

            “Ya, mana unda tau. Lihat ntar pas pulang.”

            Padahal Amanda ingin merasa tentram sehari saja setelah dua hari menerjang keributan, tapi sepertinya tak bisa lagi. Apa yang harus dilakukannya? Kabur sampai malam ke tempat lain atau harus pulang menghadapinya?

            Di tengah perbincangan panas, kepala toko mereka kembali masuk ke ruangan. Aira akhirnya memisahkan diri dari Amanda. Seharusnya perkelahian tetangga bukan urusan mereka, tapi tidak bisa menghindar karena rumah mereka berada di antara keduanya.

            “Kerjaan aja bikin pusing, ini lagi.”

            Setibanya jam makan siang, mereka di sebuah warung makan chinese yang sepi. Pesanan nasi goreng dan kwetiauw goreng mengebul seperti cerobong kereta, tetapi ponsel lebih menyita perhatian mereka.

            Akun yang menyebarkan rekaman CCTV diduga Bu Juju, masih eksis dengan ribuan likes dan retweet. Di salah satu komentar, tak sengaja Amanda melihat satu akun milik Aurora.

            “Emot senyum?” tanya Aira, “Kada report kah, nih?”

            “Buat bukti dulu, mana mungkin langsung report. Di grup RT juga belum ada apa-apa.”

            “Bagus juga, sih.”

Amanda menatap Aira yang duduk di seberangnya. “Bagus apaan?”

“Yak, bagus. Biar orang-orang sekitarnya tau buhan inya jelek, yang kelihatan kan bagusnya terus di medsos.”

“Yah, mereka memang membangun image di medsos bagus banget, sih.”

“Profil malaikat, kelakukan macam setan.” Aira tertawa pelan.

Amanda tersenyum sesaat karena ada benarnya. Ia tahu bahwa Aurora mempunyai akun Facebook, Instagram, dan Twitter yang selalu aktif mempromosikan usaha catering dengan image agamis. Bu Juju juga punya ketiganya, tetapi Instagram dan Facebook lebih aktif membagikan tausiyah.

Profil mereka diisi dengan kata-kata indah, tapi tak seindah sifat asli mereka yang suka bergibah dan menyebarkan fitnah.

Banyak orang yang membangun kepribadian bagus di media sosial, sementara sifat asli di lingkungan sebenarnya berbanding terbalik. Sudah banyak buktinya seperti artis yang ia lihat di televisi.

Kadang satu pertanyaan terlintas di pikiran Amanda, kenapa orang-orang harus melakukan hal itu? Apa hanya untuk mendapat atensi masyarakat dan menaikkan pendapatan?

Amanda sendiri tidak pernah membangun sosok apa pun di media sosial. Itu karena ia juga jarang membuat status dan mengunggah foto. Menurutnya tidak terlalu penting selain kehidupan nyata.

Waktu pun berlalu, terik matahari perlahan memudar. Sudah tepat pukul empat sore, waktunya Amanda dan Aira untuk pulang. Sepanjang jalan menaiki motor matic, kadang terbesit niat Amanda untuk nongkrong di kafe atau tempat lain.

Namun, Amanda memikirkan pengeluaran nantinya lebih besar apalagi membawa Aira. Niatnya kali ini benar-benar harus hemat sampai gajian bulan Desember.

Sesampainya di jalanan komplek, sesuai dugaan mereka, dari jauh tampak keramaian di halaman rumah Bu Juju. Setelah memarkir motor di halaman, Aira berlari sambil menarik tangan Amanda untuk ikut berbaur.

“Kak Manda!”

Teriakan kecil itu datang dari Lucia yang berdiri di barisan paling belakang.

“Gimana?” tanya Aira dengan penuh semangat.

“Em, anu … mereka sih kelai lagi.” Lucia tampak terkejut.

“Adu bacot lagi?”

“Ya, begitu, Kak.”

“Seru, tuh!”

Aira bertepuk tangan, tapi tangannya dipukul oleh Amanda. “Diem, nah!”

Mereka melihat Aurora, Bu Juju, Bu Atun, dan Pak Haru di teras rumah saling berbincang. Pak Haru jauh kalah suara dibandingkan mereka yang terus mengotot. Ada beberapa penghuni komplek lain akhirnya berusaha menghentikan mereka.

“Kau memang, kan? Ngaku sajalah sebelum saya bawa kau ke Polisi!” Aurora menunjuk wajah Bu Juju.

“Enak aja main tuduh, periksa aja hape saya! Dan harusnya saya yang laporin kau ke Polisi!”

“Pasti buktinya sudah lenyap, kau hilangkan semua!”

“Dibilang saya nggak gitu! Harusnya kamu yang malu karena udah nabur tanah isi kotoran kucing!” Bu Juju gantian menunjuk Aurora.

Saat semua penghuni komplek yang menonton mulai berbisik, suami dari mereka memecah kerumunan dengan cepat. Sepertinya, mereka baru pulang dari bekerja juga. Setiap pagi sepertinya mereka tidak ada di rumah, sehingga tak tahu keributan yang terjadi sebelumnya. Terlihat dari wajah cemas dari para suami itu.

“Apa ini? Kok rame-rame?” tanya Rumi, lalu menarik tangan Aurora.

“Sabar dulu, saya jelaskan.” Kedua tangan Pak Haru menahan tubuh Rumi. “Rekaman CCTV dari rumah Bu Juju kembali bocor dan diunggah ke medsos Twitter. Terus, Aurora tertangkap sedang mengotori rumah Bu Juju.”

“Lagi?” tanya suami Bu Juju dan Aurora berbarengan Rumi.

“Kalian selama ini nggak tahu? Sebelumnya pernah dibagikan ke grup RT, lho. Gimana, sih?”

“Oh, sebentar, Pak.” Rumi menatap Aurora. “Jadi, malam itu alasan kamu hapus chat di grup RT? Pura-pura bilaang mau lihat chat temenku lagi.”

“Ya … iya. Kenapa?” tanya Aurora terbata-bata.

“Bentar, saya tadi juga sempat ngecek kok chat grup kosong. Padahal kemarin-kemarin rame, cuma belum sempet dibuka.”

Bu Juju mulai salah tingkah melihat tatapan tajam suaminya. Sekarang semuanya tahu kalau istri mereka telah menghapus bukti agar tidak diketahui suami. Mereka memang akhir-akhir ini jarang terlihat bahkan kumpul dengan warga karena sibuk di luar rumah, sehingga tidak tahu apa-apa.

Daripada memperpanjang perkara rumah tangga, Pak Haru menyodorkan ponsel yang sudah menampilkan rekaman tersebut, mereka menganga saking terkejutnya.

“Geledah aja rumah Bu Juju, periksa laptop dan hapenya!” seru Bu Atun berapi-api.

“Usulnya saya tampung, tapi tunggu seben …,”

Akibat satu konfrontasi, semua warga mengiakan usulan Bu Atun dan mulai berbondong-bondong mendekat. Pak Haru sigap memblokir akses mereka untuk masuk dan berusaha menenangkan massa.

“Cukup saya, Rumi, dan Zulfikar yang menggeledah, kalian bisa tunggu di sini.”

Suara kekecewaan memenuhi halaman rumah, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya tiga orang itu saja yang masuk ke rumah Bu Juju, sedangkan Aurora dan Bu Juju masih ditahan.

Suami Bu Juju, Zulfikar, lekas mengambil ponsel dan komputer, kemudian memeriksa semua sampai monitor CCTV. Mengecek seadanya yang ia tahu karena bukan pakar IT, hanya seorang tentara bagian lapangan.

Setelah menunggu lama, mereka akhirnya keluar dengan benda-benda elektronik tersebut.

“Kami nggak menemukan apa pun bahkan merujuk akun itu punya istri saya. Pak Haru dan Mas Rumi saksinya.”

Pernyataan Zulfikar membuat semua orang bungkam. Amanda malah berpikir keras. Apa benar Bu Juju pelakunya, apa mungkin orang lain? Akan tetapi, bisa saja suaminya sendiri.

“Kita report aja lagi akunnya. Sama kaya sebelumnya.”

Suara Amanda mengalihkan perhatian orang-orang dan menatapnya.

“Ya, betul. Sama seperti sebelumnya. Tapi, alangkah bagusnya kalau di screenshot sebagai bukti untuk di …,”

Ucapan Pak Haru terputus karena Zulfikar tiba-tiba menepuk pundaknya, seakan disuruh berhenti bicara. Siapa yang bisa melawan cengkeraman kuat itu?

“Em, ya … sekarang tolong dilaporkan aja. Yang belum tahu saya bagikan link di grup.”

Di saat itu, tak sengaja Amanda melirik ke ponsel Aira yang membuka sesuatu entah apa. Akan tetapi, sayang sekali ia sadar dan langsung mematikan layar.

“Kenapa?”

Kada.”

“Perasaan kali ini parah banget, Kak.”

Lucia yang tiba-tiba berdiri di samping Amanda, sehingga Aira bisa lepas dari jeratan pertanyaan.

“Iya, sekarang kita laporkan aja akun itu. Meresahkan.” 

Amanda kembali sibuk menggeser layar dengan penuh pertanyaan. Begitu selesai, ia malah melihat Lucia menatap ke arah depan, tepatnya kepada salah satu orang. Senyuman manis Lucia langsung ditanggapi oleh orang itu, Rumi.

Oh, bener berarti.

Glosarium:

  1. Bujur banar = benar banget
  2. Nyawa banar = kamu benar

Bab 5: Menyakitkan.

“Udah aku bilang, bukan aku!”

“Ya, siapa lagi? Kamu kan pernah bikin akun dua buat ngata-ngatain artis sama dia di Instagram! Mana pake hapusin chat grup diem-diem!”

“Mas, aku nggak pernah gitu lagi.”

“Halah, kamu ini pasti sudah bersihin barang bukti di hape sama komputer! Mas nggak percaya sama kamu! Tapi, Mas masih selamatkan kamu di hadapan semua orang! Bikin malu aja! Nggak kasihan sama anak kita?”

“Mas, saya jujur soal rekaman, tapi maaf buat hapusin pesan biar kamu nggak tau!”

Pertengkaran itu berasal dari rumah Bu Juju dan terdengar sampai ke ruang tamu Amanda. Aira malah senyum-senyum sambil bersandar dekat jendela, sedangkan Amanda berwajah masam menatap televisi.

“Jadi, suami Bu Juju juga curiga? Wah, kok bisa?” tanya Aira.

“Soalnya siapa lagi? Nggak mungkin kan lakinya? Buat apa coba.”

Saat Aira hendak menjawab, pertengkaran lain terdengar dari sebelah kanannya. Ia mengubah posisi dengan cepat untuk menguping lagi.

“Kamu ngapain nebar gituan? Ngapain?” nada Rumi terdengar tegas.

“Aku mau dia cepat bayar hutangnya, Bang. Belum lagi dia nyebar rekaman di teras kita.”

“Hah? Ada aku? Astaga malunya!” seru Rumi, “tapi, di kantor masih aman. Nggak ada yang bahas. Nggak ada yang main Twitter kayanya.”

“Ya, Abang sendiri ngapain kencing terus ngeludah sembarangan? Ngapain? Itu yang disebar si Juju!”

“Ah, namanya juga kebelet!” Rumi menaikkan nada bicara. “Kesel juga kalua tau disebarin, nanti aku ngomong sama Zul aja.”

Di tengah pertengkaran Aurora dan Rumi, suara cekikikan datang dari Aira. Bukan menegur untuk tidak berisik, ia justru menikmati dengan sadar. Amanda sudah lelah untuk menegur temannya yang agak kurang waras.

“Kaya orang beleng18, nah.”

“Sabodo!” Aira mengolok Amanda.

“Aduh, berantemnya bisa dikecilin nggak, sih? Nggak mood nonton jadinya.” Amanda melempar remot ke sampingnya. “Kamu biasanya ngomel juga kalau mereka berantem sampe ganggu.”

“Kalau gini kada bakal bikin unda kesel, beda sama kemarin-kemarin.” Aira sibuk memperhatikan jendela. “Eh, nyawa sama Ua Rumi ada hubungan apa?”

“Sembarangan, nah! Mana ada hubungan. Dia emang kegenitan dari dulu.”

Amanda melempar bantalan kursi, tapi Aira sigap menepisnya.

“Keknya inya juga ada hubungan sama Lucia.”

“Tadi lihat tatapan itu?”

“Iyalah, mana mungkin kada.”

“Gila, bener-bener gila.” Amanda menggeleng pelan. “Mentang-mentang pengabdi negara, tebar pesona cari cewek. Bisa dilaporkan ke atasan itu.”

Aira kini gantian melempar bantalan kursi dan tepat mengenai wajah Amanda.

“Eh, nyawa ngapain kasih solusi buat report akun itu lagi? Padahal biarin aja atau ntar buhan inya gerak sendiri. Lumayan buat balas dendam secara kada langsung.”

“Jadi, kamu tadi nggak report tadi pang?”

“Sebelumnya juga kada, pura-pura aja.”

Amanda melempar balik bantalan kursi, tapi malah mengenai jendela. “Dahlah, aku mau ke kamar aja. Kamu matiin lampu sama cek pintu aja kalau mau ke kamar.”

Saat Amanda berdiri, Aira mengikuti dari belakang dan belum melakukan apa yang disuruhnya. Ia langsung berbalik sambil bersedekap.

“Aira …,”

Unda kebelet pipis!”

Aira kabur ke kamar mandi tanpa beban, ya, karena beban itu dipangku lagi oleh Amanda. Tanpa bisa menegur lagi, ia mengerjakan apa yang dikatakannya sendiri. Daripada menunggu Aira bisa-bisa lupa.

Kegiatan rutin saat malam menyentuh pukul sembilan dilakukan Amanda. Menutup tirai jendela, mengecek segala kunci di pintu depan dan belakang. Akan tetapi, hendak mematikan lampu, ia mendengar suara pintu dibuka.

Bukan suara pintu dari rumahnya, melainkan rumah sebelah. Amanda membuka tirai jendela sedikit untuk melihat siapa yang keluar. Rupanya Bu Juju bersama bu Atun, membicarakan sesuatu dengan pelan.

Kemudian, Bu Atun pergi sementara Bu Juju masih duduk. Ada perasaan ragu ketika ia memegang gagang pintu, antara mendatangi Bu Juju atau masa bodoh saja.

Setelah berpikir cukup lama, Amanda akhirnya memutuskan untuk menghampiri Bu Juju. Sekali ini saja.

“Bu Juju? Ngapain dudukan di teras?”

Amanda tidak bisa diam saja, malah keluar lagi menghampiri pagar yang membatasi halaman mereka.

“Bu, udah malem, lho.”

“Gapapa, biarin aja saya sakit.”

“Tadi saya deng …,”

“Kamu percaya saya, kan? Saya nggak nyebarin rekaman CCTV itu. Ya, kan?”

Terbesit rasa kasihan saat Amanda melihat wajah Bu Juju. Mata sembab, rambut sebahunya acak-acakan, di tangannya ada tisu yang diremas-remas. Akan tetapi, Amanda masih menaruh rasa curiga.

“Saya sama suami sebenarnya udah ada di ujung tanduk, kami mau cerai.”

“Apa karena masalah ini?”

“Nggak, udah dari lama.” Bu Juju meringkuk. “Ini rasanya kena fitnah, ya? Jadi omongan orang-orang.”

“Ya, begitu. Mungkin Tuhan mau mengingatkan Ibu.”

Ucapan Amanda membuat Bu Juju mengangkat kepala. Mereka saling menatap di bawah lampu kuning temaram. Suasana hening seperti tidak ada kehidupan.

“Mengingatkan apa?”

“Kurang tau, mungkin aja.” Amanda meneguk ludah. “Saya nggak bisa kasih solusi, jadi semoga ketemu jalan terbaiknya, Bu.”

Setelah berkata begitu, Amanda kembali masuk tanpa mengatakan perpisahan. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin dikatakan, tapi semua ditelan lagi olehnya.

“Manda …,”

“Ya, Bu?” Amanda menoleh.

“Ah, gapapa. Semoga mimpi indah.”

Amanda tersenyum dan mengangguk, tapi di dalam hatinya terucap hal lain. Mimpi indah? Gimana bisa kalau kamu dan lainnya di sini?

Sampai di dalam rumah, Amanda memijat kepalanya sampai masuk ke kamar. Ia berjalan menuju meja belajar yang terdapat kardus belum dibuka. Dalam tumpukan debu dan buku-buku lain, ia menarik salah satunya keluar.

Sebuah buku yang menghubungkan Amanda dengan seseorang nan jauh di sana. Sosok berharga yang sudah tiada.

Buku bersampul hitam itu mengkilap dan bertabur hiasan bintang, tidak ada nama pemiliknya. Amanda membuka halaman pertama sambil duduk di tepi ranjang. Sederet tulisan sambung nan indah memenuhi seluruh halaman.

“Ma …,”

Amanda mengusap tulisan itu perlahan kemudian membalik halaman berikutnya.

“Mama kadang-kadang lucu juga.”

Halaman pertama, kedua, bahkan sampai beberapa lembar berikutnya masih biasa saja. Sang ibu hanya mencatat kegiatan sehari-hari yang lucu. Pasar malam saat membeli gulali, tersandung batu sampai baju berlumur lumpur, lari terbirit-birit dikejar anjing saat membeli sayur.

Namun, ketika membalik seterusnya, tidak ada lagi hal-hal lucu tertulis. Atmosfernya berubah 180 derajat.

“Kenapa nggak cerita sama aku, sih? Atau sama Papa? Kenapa semua ditahan sendiri?”

Mata Amanda mulai basah menatap tulisan acak-acakan di hadapannya, satu halaman penuh berisi kekesalan terhadap satu orang. Di halaman selanjutnya sampai beberapa lembar ke belakang, ada tiga nama yang disebut sang ibu.

Disebut-sebut sering memfitnah, menggunjing, bahkan suka menyindir sang ibu ketika anggota keluarga lain tidak di rumah. Nama-nama yang memuakkan.

“Mama …,”

Amanda membuka lembaran-lembaran kosong sampai tiba di halaman terakhir, pesan bunuh diri yang singkat.

“Maaf, keluargaku.”

Tidak ada lagi yang menahan air mata Amanda. Luruh membasahi buku yang memeluk kerinduannya, menyiksa rasa sakitnya. Ia merasa seperti terhubung dengan sang ibu saat mendekap buku itu.

Pasar malam penuh gulali harus berakhir, baju berlumpur telah bersih, anjing pun sekarang sudah mati. Tidak ada yang bisa kembali pada hari itu lagi, walau Amanda masih berdiri dan berkeliaran tanpa arah.

Kenangan yang Amanda pendam selama ini berputar seperti kaset rusak. Ia mengingat di mana sang ibu ditemukan membusuk olehnya. Tidak ada yang mencari di hari-hari sebelumnya, tetangga acuh tak acuh. Padahal sang ayah telah meminta tolong untuk melihat keadaan sang ibu di rumah karena tidak bisa dihubungi.

“Coba … coba aja aku nggak ikut Papa ke acara itu,” ucap Amanda dengan nada bergetar.

Sejak hari itu, Amanda membenci semua hal dan menangis dengan sia-sia setiap hari. Ia terkadang memanggil nama sang ibu berulang kali saat tidur, tetapi tidak ada jawaban.

Bulan demi bulan terus berlalu dan sekelilingnya terus berubah. Terkadang Amanda ingin menghilang juga, tapi masih ada sang ayah yang ia khawatirkan. Ya, ia terpaksa bernapas dengan hati tertutup dan melangkah maju.

Namun, Amanda tidak bisa melihat harapan, mimpi, atau masa depan. Ia tidak bisa melarikan diri.

“Maafin Manda juga, Ma.”

Setelah puas menangis, Amanda keluar dari kamar untuk mengambil air minum. Begitu melintas, ternyata pintu kamar Aira terbuka sedikit. Awalnya tak ada ketertarikan, tapi lama-lama Amanda penasaran.

Dari jauh tampak Aira di atas ranjang sedang berkutat dengan laptop, sambil tersenyum sesaat. Posisinya sering berubah, dari duduk kadang sandaran, kemudian tidur-tiduran.

“Kayanya ada yang mulai punya pacar.”

“Eh, kok ngintip?” Aira menoleh ke arah Amanda.

Namun, respons yang didapat Amanda setelahnya justru tidak sesuai harapan. Aira segera menutup pintu kamar dengan ekspresi kesal. Padahal biasanya Aira suka bercerita tentang pacar atau pria PDKT-nya.

“Kenapa, sih?”

Amanda menatap pintu dengan heran, tetapi segera kembali ke kamar dan bermain ponsel. Ia sedang mengirim pesan kepada seseorang.

Glosarium:

  1. Beleng = dungu, bodoh (bahasa Makassar yang sering dipakai warga Balikpapan)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Misteri
Selanjutnya Drama Tetangga (Bab 06-08)
3
0
Baru seminggu tinggal di Violet Garden, Amanda dan Aira merasa tinggal di neraka kedua. Memang tidak setiap hari ribut, tapi ada saja keributan yang diciptakan para tetangga.Bahkan tiba-tiba saja rekaman CCTV unit sebelahnya tersebar luas di media sosial, sehingga memicu pertengkaran lagi antar pemilik unit.Siapa pelaku? Mengapa rekaman dari beberapa rumah bisa tersebar? Amanda berusaha mencari tahu dengan bantuan teman masa kecilnya, Erland.Tidak ada yang tahu atau entah tidak mau tahu, semua keributan seperti tak ada ujungnya walau diberikan solusi. Sampai memicu kejadian tak terduga, membuat Perumahan Violet Garden tak menyangka.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan