A Short Boy (Anak Pendek) - Cemooh

1
0
Deskripsi

“Semua bukan salahku. Kenapa Kiki dan Kabi sangat membenciku?”

Di satu mata pelajaran tanpa guru, remaja pria kelas 11 MIPA-01 sedang asyik bermain basket di gedung olahraga. Bola oranye itu terlempar ke sana dan kemari, mencetak skor tidak imbang untuk dua tim.

Salah satu di antaranya mengeluh, bahkan kesal ketika bertatapan dengan rekan satu tim yang bisa dibilang membebani. Ia memasang badan, berkacak pinggang.

“Udah aku bilang, si pendek ini nggak guna, Kiki!”

“Bukan aku yang masukin, yee … yang ngajak tuh Billy. Tau sendiri, kan?”

Mereka saling bertatapan di pinggir lapangan. Sebenarnya sudah tahu kalau Billy berteman dengan anak di hadapan mereka.

“Kenapa sih ngatain aku? Tadi hampir masukin kok sekali!”

“Eh, denger, Rama.” Kabi menunjuk dada Rama. “Ngaca sih harusnya. Kamu itu pendek. Apa-apa setim sama kamu pasti kek gini.”

“Iya, emang. Kok beda banget sama orang tuamu, sih? Mereka tinggi-tinggi tuh.”

“Eh, bener juga kata Kiki. Jangan-jangan anak pungut kamu?” Kabi tersenyum miring, kemudian bersedekap.

“E … enak aja kalau ngomong!”

“Lha, mana tau, kan? Masa orang tua tinggi, anaknya bogel gini?”

“Pendeknya nggak masuk akal.” Kiki menyeringai. “Cobalah olahraga atau minum apa gitu, biar nggak disangka anak pungut.”

“Tau apa kamu, hah?”

“Tau semuanya.” Kabi tertawa lebar.

“Kalian itu nggak tau apa-apa!”

“Hah, apa? Aduh, kupingku di atas jadinya nggak kedengeran.”

Mereka tertawa di hadapan Rama yang menunduk, tidak bisa membela diri lagi. Padahal rahang telah mengeras, tangan mengepal, tetapi tidak berani melayangkan pukulan. Pengecut memang hanya bisa memendamnya.

Memangnya mereka tahu apa? Mereka itu siapa? Bisa mengatai seseorang seenaknya. Mengejek orang sampai mencatut orang tua, bukankah tidak pantas? Menurutnya, kalau yang disebut dirinya, ya, dirinya saja. Kalau berbeda dengan orang tua kenapa? Bisa jadi bercampur dengan gen orang tua terdahulu, kan?

Di saat ejekan itu berlangsung, datang seseorang yang mendorong Kabi dan Kiki. Sosok penolong dan pelindung bagi Rama.

“Bisa nggak sih nggak ngolokin?”

“Eh, emang nyatanya, kan? Rama itu pendek. Coba lihat, lebih pendek dari kamu, Bil.”

Kabi membandingkan tinggi mereka menggunakan tangan, tetapi langsung ditepis orang itu.

“Billy, Billy, mending kamu main sama kita. Nggak cocok sama dia yang bogel.”

“Emang cocok sama siapa? Kalian? Anak manja ngajak temenan orang kaya aku?” Billy tertawa mengejek. “Anak manja mainnya cocok sama manja. Ya, kan?”

“Manja kamu bilang?” Kiki mengepalkan tangan.

“Kenapa? Memang manja, sampe orang tua kalian datang cuma karena kalian dimarahin guru.” Billy berdiri di depan Rama. “Terus, sekarang main keroyokan?”

Kabi dan Kiki mengerutkan dahi, memicingkan mata. Mereka kesal dengan ucapan itu dan langsung mendorong Billy. Kemudian, pergi bergabung dengan yang lain di tengah lapangan. Billy menghela napas dan mendekati Rama yang mematung.

“Duduk, yuk.”

Rama tak menjawab, tapi menuruti ajakan Billy untuk duduk di bangku penonton. Mereka cukup lama diam menatap lapangan, anak-anak berebut bola, dan para anak-anak perempuan bersorak. Apalagi Kabi yang menjadi bintang di sana.

“Apaan? Nggak ada action kok yang disorakin dia?” Billy mendecih kesal.

“Beruntungnya kamu lebih tinggi dari aku. Nggak bakal diolokin.”

“Aku tahu perasaanmu. Aku juga pernah diolokin, cuma pura-pura nggak denger aja.”

“Gimana mau nggak denger? Hampir tiap hari, eh.”

Rama menghela napas, menunduk lemas. Billy segera menepuk pundak teman sebangkunya itu.

“Bil, aku ini udah usaha. Olahraga, minum ini itulah. Tapi, kenapa nggak nambah dikit aja? Aku sakit hati, kaya nggak dianggap berusaha. Belum lagi dikatain anak pungut.”

“Orang-orang itu memang nggak tau usahamu sekeras apa, cuma tau kulitnya doang. Kalau dikasih paham juga mana mau dengar, jadi mending fokus sama diri sendiri.” Billy menepuk-nepuk pundak Rama. “Sakit hati sih boleh, tapi jangan sampe menghambat kamu.”

“Iya, iya.” Rama menengadah. “Gimana caranya biar tinggi, ya?”

“Lanjutin aja yang kamu lakuin. Mungkin nanti bisa nambah, belum sekarang.”

“Kalau memang nggak bisa?”

“Ah, kamu ini. Masalah itu dipikirin nanti, fokus sama yang sekarang aja.”

Rama mengangguk, Billy tersenyum. Senang baginya bisa menghibur Rama yang begitu sensitif menyangkut tinggi badan. Mungkin bagi beberapa orang itu tidak masalah, tapi baginya menjadi masalah serius.

Bagaimana tidak, keluarga Rama cukup tinggi-tinggi termasuk orang tuanya. Ia menjadi insecure lalu membentuk sifat yang sensitif.

“Kenapa mau temenan sama aku? Kamu lho ganteng tinggi, emang cocok main sama Kiki Kabi. Ngapain sama aku yang kek gini?”

“Sejak kapan sih temenan mandang fisik?” Billy mengernyitkan dahi menatap Rama. “Ya, aku mau temenan sama kamu nggak ada alasan.”

“Ya … habisnya agak aneh.”

“Ah, kamu ini. Aku temenan sama siapa aja ayok, yang penting nggak kaya Kabi sama Kiki.” Billy berdiri lalu menepuk pundak Rama.  “Lima menit lagi bel, mending ke kantin sebelum penuh.”

“Oh, oke. Aku yang traktir.”

Rama mengacungkan jempol dan ditanggapi anggukan dari Billy. Mereka yang turun dari bangku penonton menjadi perhatian Kabi dan Kiki. Sepertinya, ada sesuatu yang menarik.

Waktu pun berlalu, istirahat makan siang pun tiba. Billy tiba-tiba disuruh ke ruangan guru untuk membicarakan sesuatu, sehingga Rama sendirian. Bahkan memilih tidak pergi ke kantin, hanya makan cemilan yang dibeli pada istirahat pertama.

“Eh, enaknya ini si pendek makan.”

Kabi duduk di kursi depan, sementara Kiki duduk di sebelah Rama.

“Mau ngapain kalian?”

“Jangan galak gitu, Boncel. Cuma mau ngumpul sama kamu aja, sendirian, kan?”

Rama segera berdiri, tetapi dihalangi oleh Kiki. Entah apa yang akan diperbuat oleh mereka.

“Nih.” Kabi memberikan sekotak susu.

“Apaan?” Rama menatap ragu susu itu.

“Buatmulah, biar cepet tinggi.” Kiki memukul punggung Rama. “Terima aja kenapa, sih? Udah baik lho Kabi.”

Mau tak mau Rama mengambil susu itu, meski perasaannya mulai tidak enak. Matanya mencari-cari sesuatu di kotak, tapi dihentikan Kabi.

“Cari apaan? Minum udah. Mau dibantuin?”

Kabi mengambil susu itu, menusuk sedotan, kemudian disodorkan pada Rama kembali.

“Nah, minum.”

Rama tidak mengambilnya, kemudian menatap Kabi. “Nggak, aku udah minum.”

“Manada, tadi lho kamu minum air putih aja kulihat.” Kiki mulai nyolot.

Kabi yang kesabarannya setipis tisu langsung memasukkan sedotan ke mulut Rama. Tentu yang menerima sedotan terkejut, tapi tidak berkata apa-apa.

“Sedotlah, **jing! Bikin kesel. Masih bagus dikasih.”

Karena bentakan Kabi disertai gebrakan meja, Rama spontan menyedot susu tersebut. Baru masuk sedikit, mulutnya mulai merasakan keanehan. Susu yang diminum tidak enak, masam. Rama berlari ke kamar mandi dan membuat mereka tertawa.

Sampai di kamar mandi, Rama memuntahkan semua susu. Membasuh mulutnya dengan air, bahkan setelah itu airnya diminum.

“Basi, sial!”

“Eh, katanya susu basi bagus buat tulang.”

Suara itu membuat Rama menoleh. Tampak Kabi dan Kiki berdiri di ambang pintu dengan wajah senang.

“Iya, katanya, sih. Kok dimuntahin?” ejek Kiki.

“Padahal aku udah baik ngasih.”

Kemarahan Rama sudah berada di puncak. Ia merasa harus menjambak rambut mengembang Kabi, meninju mata sipit Kiki. Akan tetapi, entah mengapa rasa yang harus disalurkan berhenti pada kepalan tangannya.

“Apa? Mau pukulkah? Pukul sudah.”

Kabi tertawa, maju selangkah demi selangkah. Kiki mengikuti dari belakang. Rama masih diam di tempat, matanya memelotot. Tidak melakukan apa pun.

“Udah maju nggak berani, mana?” tanya Kiki kesal.

“Hm … emang mana berani. Udah, ah, ntar ada guru lewat.”

Kabi menepuk kepala Rama. Sebenarnya tidak sudi rambut hitamnya dipegang-pegang, tapi lagi-lagi tidak ada aksi yang dilakukan. Mereka pun pergi sementara dirinya mematung.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Thriller
Selanjutnya A Short Boy (Anak Pendek) - Berkelanjutan
1
0
Semakin Kabi dan Kiki mengganggu, hubungan pertemanan Billy dan Rama berada di ujung tanduk. Rama menganggap Billy hanya kasihan pada Rama, bukan benar-benar ingin berteman.Billy tahu itu lalu mengajak Rama untuk jalan-jalan dengan maksud mencairkan suasana, tapi yang ada malah sebaliknya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan