Phase Three: Winter Solstice

17
14
Deskripsi

Mature Content 🔞 

CW: explicit sexual activity, cheating

… 

“Lepaskan aku, aku benar-benar tidak tahu!” ujar Lily setengah putus asa. Hidung Javier hampir menyentuh hidungnya dan mustahil lelaki itu tidak mendengar betapa keras degup jantungnya. 

“Cobalah untuk mengingat.”

Lily nyaris gila. Ia menggeleng lagi, makin membenamkan tubuh ke ranjang di bawahnya jika itu memungkinkan, karena tatapan Javier membara dengan kilat-kilat yang tidak Lily kenali. Napasnya dan napas Javier menderu seolah-olah sama-sama kesulitan untuk berespirasi dengan benar. 

“Apa yang sebenarnya kau inginkan?” 

“Kau,” 

… 

©2024, Moonatics 

post-image-66c40b71594f1.jpg

Berapa banyak alkohol yang tadi malam aku konsumsi? Adalah hal yang pertama-tama tebersit dalam benak Lily saat terjaga. Kepalanya pusing bukan main, rasanya seperti ada gada tak kasatmata yang berkali-kali dipukulkan ke tempurungnya. Tenggorokannya menjelma kerak-kerak neraka; panas, kering, gersang. Perut Lily juga seakan teraduk tak manusiawi. Ia mual, ingin sekali muntah tetapi tahu kakinya tidak akan mampu menopang beban berat tubuh jika begini keadaannya. Lupakan untuk berdiri, membuka mata saja Lily masih kesulitan setengah mati.

“Ah.” Lily merasa luar biasa dehidrasi. Rasanya, dia sedang berada di gurun. Berlebihan, biar saja. Ia menggeser tubuh sedikit agar sinar matahari berhenti mengecupi kelopak matanya dengan sengatan hangat dan cahaya terang benderang.

“Lima menit.” Lily mendesah lemah. “Aku akan bangun setelah lima menit.”

Dan wanita itu memutuskan untuk diam di ranjang seolah-olah sedang meratapi nasib. Yah, tidak terlalu menghibur, jujur saja. Lily malah benar-benar meratapi nasib dan teringat bagaimana dirinya masuk ke jerat pesona Javier Walton dan pernikahan penjaranya. Benar-benar sial.

Mari tidak memikirkan itu sekarang, batin Lily kesal. Ia menyentuh kelopak mata bersiap untuk bangun. Kilauan cahaya keemasan langsung membutakan pandangannya. Rasa sakit bergegas mendistorsi kemampuan melihat Lily. Parah sekali efek pascamabuk kali ini.

Kenapa dirinya bisa semabuk ini, ngomong-ngomong?

Lily mengais-ngais sisa kesadaran dirinya untuk menemukan fragmen-fragmen ingatan akan apa yang terjadi semalam, tetapi tak ada yang bisa dia temukan selain pening yang lagi-lagi mendera tanpa perasaan. 

Sudahlah, dipikir nanti saja. Napas Lily terhela panjang. Tangannya meraba-raba nakas, berusaha meraih segelas air yang ada di sana. Tidak perlu dijelaskan bagaimana ia gagal dengan menyedihkan.

“Oh, ayolah—” Tangan Lily terkulai lemah. Dorongan untuk tidur kembali begitu kuat. Namun, tenggorokannya kering kerontang, meminta hujan atau apa pun itu yang menyegarkan. Pun tiba-tiba, suara setenang laut dalam merasuk ke dalam indra pendengarannya.

“Haus?”

Seketika netra Lily terbuka lebar dan dia menyesal telah begitu, kepalanya seakan-akan habis ditendang dengan bola. Ia mengerjap-ngerjap, mendapati bahwa tepat di samping ranjang, Javier Walton berdiri dengan penampilan super rapi dan menawan. Sinar matahari yang berhasil masuk lewat jendela menyentuh kemeja biru langit yang dikenakan lelaki itu, menyebabkan bias terang membuat penampakannya yang sempurna menyerupai persis bagai malaikat. Udara sejuk di sekitar Lily menjadi harum kayu cedar, tetapi setelah ditelisik lagi, selimut yang membalut tubuh Lily juga bau kayu cedar. Bahkan, lengan, pundak, dan lehernya juga beraroma seperti itu. 
Bagaimana bisa?

Kontan, Lily bangun terduduk, mengawasi tubuhnya sendiri yang masih terbalut tank top satin warna hitam dan rok panjang. Tidak ada yang aneh. Pakaiannya cukup beradab, tidak ada tanda-tanda habis dikoyak atau … Tunggu. Apa yang sedang dia pikirkan?

“Kau baik-baik saja?” Javier mengulurkan segelas air yang langsung disambar oleh Lily. 

Minuman itu tandas dalam sekali teguk, tetapi tidak kunjung meredakan panas di tenggorokannya. Sementara itu, Lily kembali mengedarkan pandangan beberapa kali. Tempat ini asing, hanya saja Lily yakin dia pernah berada di sini sebelumnya.

“Aku di mana …?” Lily memindai Javier yang mengernyit dalam. 

“Eastwood Residence,” kata lelaki itu. “Vila Keluarga Walton.”

Ya ampun, benar! Lily hampir menertawai diri sendiri karena berpikir yang tidak-tidak. Memangnya kenapa? Tak mungkin kan dirinya dan Javier mendadak berada di satu tempat yang tidak terduga—dalam sebuah kamar hotel, misalnya. Itu bikin ngeri sekaligus hal yang sangat mustahil terjadi bahkan dalam keadaan mabuk sekali pun. 

Kini, dengan tatapan sinis yang biasa, Lily berani melayangkan kedua netranya untuk menghadapi Javier.

“Sudah mengingat semuanya?”

“Tentu.” Suara Lily sedikit serak, pusing dan denyut sakit lain kini hilang-timbul. 

Satu alis Javier terangkat naik. Ekspresinya was-was, Lily bertanya-tanya ada apa dengan lelaki itu. 

“Kau yakin benar-benar mengingat apa yang terjadi tadi malam?” Javier mengulang pertanyaannya.

Mendadak Lily diselimuti ketidakyakinan. Dia memanggil kepingan-kepingan memori semalam dan menyusunnya dengan kekhawatiran yang meradang.

Kemarin, setelah pulang dari Eastwood Hope, Lily duduk di tepian danau selama kurang lebih setengah jam untuk mendistraksi diri dari kesepian dengan mengelompokkan jadwal pemotretan dalam serta luar negeri sebelum Diana menghampirinya dan bilang kalau pesta barbeku telah siap. 

Keluarga besar Walton bersenang-senang. Lily juga berpura-pura sedang bersenang-senang, sampai kemudian dia bosan lalu memilih jalan-jalan sendirian di paviliun sisi kanan Vila Keluarga Walton yang mahabesar. 

Lily menemukan Javier di rumah kaca. Lelaki itu seperti sedang berbicara dengan seseorang. Berhati-hati agar tidak membuat suara sekecil apa pun, Lily berusaha mencuri dengar.

“Dia berkata ingin bercerai denganku. Lilium.”

Terdengar kesiap kaget dari seseorang.

“Beneran?”

Oh, yang menyahut itu adalah suara si Justin Walton. Dada Lily berdebar, degup jantungnya meningkat secara gradual.

“Ya.” Suara Javier membalas dengan pelan. Lily hanya bisa melihat punggung lelaki itu dari posisinya saat ini, jadi tidak bisa memastikan bagaimana ekspresi sang presdir Kingdom Group.

“Tapi, nggak aneh, sih.” Justin menimpali lagi. “Wajar juga soalnya Nona Constance—”

Justin tidak melanjutkan kalimatnya, entah apakah Javier memberinya tatapan mematikan atau bentuk intimidasi yang lain. Padahal, Lily ingin sekali mendengar tentang hubungannya dan Javier dari perspektif Justin.

“Menurutmu apa yang harus kulakukan jika berada di posisiku? Hubunganku dan Lilium didasari oleh bisnis semata, ada hal-hal yang tidak bisa kuberikan untuknya.”

“Eh, iya juga sih. Terus? Kakak mau gimana? Mau nggak mau harus pilih, kan? Kalau aku, aku milih … nggak tahu juga. Susah."

Hening. Lily sampai bisa mendengar jantungnya sendiri yang bertalu-talu keras, menunggu apa jawaban Javier.

“Ibu menginginkan seorang pewaris.”

Lily menahan napas serta-merta. Terdengar suara kesiap kaget milik Justin, pemuda itu tampaknya betul-betul terkejut hingga jatuh. Bunyi kelontangan dan gedebuk kacau ramai. 

Javier melanjutkan setelah hening sejemang, “Jika dua itu pilihannya, maka aku lebih baik menceraikannya—”

Cukup sudah. Lily pergi setelah itu, kembali ke acara barbeku dan menenggak dua botol wine koleksi Alexander Walton. 

Jadi, begini rasanya patah hati. Ya, Lily patah hati meski dialah yang pertama kali melantingkan opsi cerai. Namun, mendengar bahwa Javier lebih memilih untuk menceraikannya daripada menuruti keinginan sang ibu dengan memberikan seorang cucu, dia merasa buruk. Sebegitu tidak pantaskah dirinya di mata Javier hingga lelaki itu tidak sudi memilih Lily dan pernikahan mereka?

Tengah malam, Lily mabuk berat. Ia membawa satu botol lagi menuju bangunan utama dan bermain piano sebentar. Lalu, ia naik ke kamar dan tertidur.

Sudah, sebegitu saja. Sederhana dan menyakitkan.

“Ya, ya. Terima kasih sudah membantuku mengingat apa yang terjadi kemarin.” Lily menarik napas dalam. “Apa kau mau langsung membahasnya denganku?”

Kerutan di kening Javier makin dalam. “Apa yang akan kita bahas?”

Lily membasahi bibirnya yang bengkak dan pecah-pecah. Kenapa bibirnya bisa perih seperti ini? “Perceraian.”

“Apa kau masih mabuk?” Alis Javier menukik tajam. Air wajahnya mementaskan kekesalan dan kemarahan. Tidakkah Lily ingat apa yang terjadi semalam? Tentang bagaimana mereka berciuman dan hampir melakukan—

“Sudahlah.” Selimut yang membalut tubuhnya Lily sibak sembarangan. “Begini saja, jika dokumennya sudah lengkap, beri tahu aku. Itu akan lebih mudah dan efisien.”

“Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan, Lilium.” Javier menahan tangan Lily, suhu tubuh wanita itu lebih hangat daripada yang dia perkirakan. “Kau demam.”

“Aku ada jadwal sore nanti, dan lusa malam berangkat ke Hokkaido untuk pemotretan. Tolong, abaikan saja aku. Demam tidak akan membuatku mati hari ini biarpun aku ingin sekali.”

“Jaga ucapanmu.”

Sebuah tangan yang besar menarik kembali dirinya dengan cepat. Detik selanjutnya, tubuh Lily telah dihempaskan hingga terbaring telentang di ranjang. Tangannya dicengkeram ke sisi kanan dan kiri, ditahan oleh kekuatan yang amat besar. Wajah Javier tepat berada di atasnya, begitu dekat mungkin hanya berjarak kurang dari sepuluh senti. 

Mata hitam arang lelaki itu terhunus, penuh dengan kegelapan. Lily tidak berkedip, beradu pandang selama semenit penuh hingga dia menurunkan arah tatapannya ke bibir plum Javier.

Lily merasakan desiran aneh, bibirnya tergelitik, seperti ada yang berkelindan di semenjana belah birainya, seperti ada yang tengah meninggalkan kecupan di sana.

“Sudah kukatakan.” Suara Javier berupa bisikan pelan. Sorot matanya memandang bergantian pada iris cokelat kehijauan milik Lily. “Behave. Kita masih berada di rumah ayah dan ibu. Kau mengerti, Lilium?”

Lily membuka bibir hendak membalas, tetapi karena gerakan kecil itu, atensi Javier ikut berpindah di sana. Seketika, tubuh Lily menegang kala Javier melepaskan satu tangan untuk menyentuh bibirnya, mengusap dalam gerakan pelan dengan ibu jari.

“Bibirmu …  terluka.” Kali ini netra hitam Javier terarah ke sepasang mata Lily. “Kenapa bisa terluka?”

Lily menggeleng pelan. Dadanya berdebar keras, jantungnya berdetak gila-gilaan. Jarak wajahnya dengan Javier kian menipis dan ia tiba-tiba takut untuk sekadar menarik napas. Lily juga takut tenggelam dalam pesona pekat kegelapan di manik lelaki itu. Namun, ia tidak berkedip. “Aku tidak tahu.”

“Kau tidak tahu mengapa bibirmu terluka?”

Bulu-bulu di tengkuk Lily berdiri ketika tangan Javier meremas lembut pergelangan tangannya.

“Lepaskan aku, aku benar-benar tidak tahu!” ujar Lily setengah putus asa. Hidung Javier hampir menyentuh hidungnya dan mustahil lelaki itu tidak mendengar betapa keras degup jantungnya. 

“Cobalah untuk mengingat.”

Lily nyaris gila. Ia menggeleng lagi, makin membenamkan tubuh ke ranjang di bawahnya jika itu memungkinkan, karena tatapan Javier membara dengan kilat-kilat yang tidak Lily kenali. Napasnya dan napas Javier menderu seolah-olah sama-sama kesulitan untuk berespirasi dengan benar. 

“Apa yang sebenarnya kau inginkan?” 

“Kau,” Javier tampaknya selesai bermain-main. Lelaki itu menarik diri, melepas Lily lantas berdiri. “Kau harus bertemu dengan dokter keluarga. Setelahnya, kau bebas melakukan apa pun, aku tidak akan membatasinya jika itu adalah keinginanmu.”

Dan Javier pergi.

Lily menatap langit-langit kamar dalam diam. Ia tidak menemukan apa yang salah di pemandangan tersebut, namun wajahnya memanas. Kesal. Sekumpulan air segera terbentuk di sudut matanya lalu jatuh begitu saja. Cairan hangat tersebut melintas turun, menetesi cuping telinganya perlahan-lahan. Sebuah suara dalam kepalanya meneriakkan kata makian; Javier sialan!

post-image-66c407e4405d7.png

Niseko, Prefektur Hokkaido

“Kau tahu apa yang menyenangkan dari pekerjaanku sekarang?”
Mata Lily yang memejam terbuka perlahan. Ia menoleh ke samping kanan, di mana Vincent Hardi tengah memegang sebuah kamera besar dan mengarahkannya ke atas. Langit biru cerah di atas mereka, meski sekarang sedang musim dingin.

“Bisa keliling dunia sambil bekerja?” jawab Lily asal. “Atau gaji serta popularitas yang besar?”

Vincent meniupkan udara dari mulut, yang kemudian membentuk uap putih tebal. Hidungnya memerah, syal ganda terbebat di lehernya, jaket musim dingin lengkap membalut tubuhnya pula, tetapi tangan yang tengah memegang kamera itu tidak terlindungi apa-apa. “Itu menyenangkan, tapi ada yang lebih lagi. Yaitu aku bisa memotret awan di berbagai negara yang kukunjungi.”

“Oh.” Lily sendiri hampir membeku. Ia mengamati Vincent yang asyik dengan kegiatannya. “Kau akan gunakan foto-foto itu untuk apa?”

Vincent mengarahkan kameranya kepada Lily. Suara shutter terdengar berkali-kali.

“Apa-apaan itu tadi,” tanya Lily heran.

Kekehan Vincent berderai kecil. Ia menunjuk sesuatu di belakang Lily sambil tersenyum lebar. “Lihat di sana. Itu adalah awan cirrus.”

Lily menoleh ke belakang. Di bagian barat itu, langit biru dihiasi awan yang memiliki kilau seperti beludru, berukuran kecil dan halus. Bentuknya nyaris mirip segenggam benang, memiliki bias garis sedikit kekuningan, mungkin karena sinar fajar yang menyentuh permukaannya. Indah sekali. Jujur saja Lily agak malu, dia kira Vincent sedang memotretnya. 

“Awan apa? Citrus?”

Cirrus. Kau tahu? Sebagian besar awan yang biasa kita jumpai terbuat dari tetesan air yang sangat kecil, tetapi awan cirrus ini terbuat dari kristal es,” jelas Vincent fasih. Ia mendekat ke sisi Lily, bersandar pada terali besi yang dilapisi es. “Aku senang bisa memotretnya. Foto-foto awanku nanti kusetorkan ke CAS dan jika beruntung, mereka akan dipajang di situs resmi CAS. Oh, aku merasa keren karena itu.”

“CAS?” tanya Lily bingung. 

“Cloud Appreciation Society.”

Ya ampun. Refleks Lily memukul pelan bahu Vincent. “Dasar maniak awan!” ucapnya.

Vincent tertawa pelan. “Nah, giliranmu.”

“Apanya yang giliranku?”

Sekali lagi, Vincent memotret awan yang bisa ia temukan. “Mau cerita tentang sesuatu? Apa pun itu. Kepalamu tampak penuh, mungkin kau perlu mengosongkannya sedikit demi sedikit.”

“Wow.” Lily membersit hidung. Wajahnya serasa kebas karena dingin. “Apakah kelihatan?”

Vincent mengangkat bahu. Mata cokelatnya menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang mengawasi mereka. “Hanya bagi orang yang benar-benar memperhatikan.”

Belaian angin sampai di pipi Lily. Ia menatap Vincent selama semenit penuh, berpikir. 

“Haruskah kita bertukar lagi? Rahasia untuk rahasia?”

Vincent menyangga dagu, menilik sepasang netra Lily yang sekarang tampak lebih gelap dan redup. “Sebentar, biarkan aku memilah-milah rahasia mana yang cukup pantas untuk bisnis ini,” katanya.

Lily tertawa. Namun sebelum Vincent menemukan rahasia untuk ia bagi dengan Lily, teriakan Manajer Yue menginterupsi transaksi tersebut. Pemotretan akan segera dimulai sehingga mereka harus melakukan touch up terakhir.

“Kalian berdua selalu punya topik obrolan, ya? Nah, bisa kalian lanjutkan nanti sewaktu shoot. Ayo, bergegas!”

post-image-66c407377e470.jpg
post-image-66c4074684cf7.jpg

Pemotretan pertama di area ski menghabiskan waktu empat jam dengan beberapa sesi, dan jujur, Lily merasa seribu kali lebih akrab dengan Vincent Hardi selama waktu-waktu itu. Orang-orang yang mengklaim bahwa lelaki tersebut mahir bersosialisasi dan memiliki kepribadian menyenangkan sama sekali benar.

Oh, Lily dear, bukan hanya kepribadiannya saja yang menyenangkan, suatu waktu Manajer Yue berkata seperti itu, kau tidak lihat wajahnya?

Duh, kalau yang satu itu sih jelas saja.

“Ya, bagus. Bagus. Tawa kalian, aku suka itu. Good. Bagus. Bagus.” Suara fotografer mereka terdengar amat senang. 

Lily tertawa lagi. Dia tidak pernah tertawa sebanyak ini dalam satu waktu, rasanya. Dirinya dan Vincent berinteraksi dengan natural, bahkan Lily membayangkan bahwa mereka berdua kini tidak sedang melakukan pemotretan, tetapi sedang bermain-main dan berkencan sungguhan.

“Sini, sini.” Vincent meraih pinggang Lily, mengajak Lily untuk saling menggenggam satu tangan, seperti pose pasangan yang tengah berdansa. 

Pipi Lily pegal saking lamanya dia tersenyum dan tertawa. Ia membiarkan Vincent memeluknya. Hangat.

“Hei,” bisik Vincent di dekat telinga Lily. “Aku sudah memikirkan sebuah rahasia. Ini menggemparkan, kau akan terkejut.”

“Berhenti melucu, aku tidak kuat jika harus tertawa lagi,” ujar Lily.

Bukan tanpa alasan Lily berkata begitu, sebab saat Vincent bilang dia sudah memikirkan sebuah rahasia, mata lelaki itu berkilat jahil. 

Vincent menekan humor di ekspresi wajahnya, berusaha serius. Dia berdeham, “Tidak, tidak. Ini serius. Sungguhan.”

Mulut Lily setengah terbuka, hendak menanggapi skeptis. Kendati berkata bahwa dirinya bersungguh-sungguh, masih ada jejak-jejak jenaka yang berkelindan di iras menawan Vincent. 

Namun, kepala penata kamera terlanjur memangkas kata-kata Lily yang belum sempat terucapkan. 

“Vin!”

Lily maupun Vincent menoleh. 

“Bisa kau angkat Lily? Angkat dan memutarlah.”

“Angkat, putar?” Vincent mengangkat tangan, memberikaan tanda ok

Detik berikutnya, Lily merasakan sepasang tangan telah berada di pinggangnya. Dan dia melayang.

“Wow!” Lily terkekeh-kekeh. Rambutnya berkibar manakala Vincent membuat gerakan memutar berulang-ulang. Itu adalah waktu yang singkat, bahkan mungkin cuma sepuluh detik saja. Kaki Lily kembali memijak salju, jantungnya berdetak keras terpacu adrenalin. 

“Sekali lagi!”

“Lagi?” Kali ini, Vincent langsung memposisikan lengannya di bawah pinggul Lily, mengangkat tubuh Lily sekali lagi sampai wanita itu tergelak. 

Setelah turun, dengan napas terengah-engah karena adrenalin dan gugup, Vincent berkata, “Aku pernah menyukai istri seseorang.”

“Hah?” Lily terlambat menangkap maksud dari ucapan Vincent.

Tawa di wajahnya memudar sedikit demi sedikit. Saat menyadari roman Vincent yang kaku, Lily barulah membekap mulut. 

“Kau sungguh-sungguh?”

Bibir Vincent menipis. Ia mengangguk. Ketegangan telah memenuhinya, membebat dadanya bagai sulur-sulur yang kencang. “Ya.”

“Ya ampun!” Lily syok bukan main. “Kapan itu? Siapa orang yang kau sukai? Kau sudah menyatakan—apakah dia selebriti? Orang biasa? Wow, aku tidak bisa membayangkannya … apa kau betul-betul tidak tahu dia sudah punya suami?”

Entah bagaimana, raut tegang Vincent berangsur-angsur relaks. Dia menarik lengan Lily, menuntun wanita itu untuk berpose lagi. 

“Sebenarnya aku tidak tahu kalau orang yang kusukai sudah mempunyai suami. Aku ini seperti secret admirer-nya, jadi tidak. Aku belum pernah menyatakan perasaanku kepadanya.”

Lily menyentuh pipi Vincent dengan lembut, mengatur gaya. “Seorang Vincent Hardi menjadi secret admirer? Aku penasaran semengesankan apa wanita itu.”

Vincent merotasikan bola mata. Ia memeluk pinggang Lily lebih erat daripada yang seharusnya. “Kau akan setuju kalau dia adalah wanita tercantik, terutama lewat kacamataku.”

“Yang benar.” Lily mendengkus. “Cinta itu memang membutakan.”

Kekehan Vincent mengudara. “Your turn.”

Terus terang, Lily benci bagaimana pembicaraan ini mengarah ke sesuatu yang berusaha dia lupakan. Rasanya, saat memikirkan hubungannya dan Javier, hatinya selalu perih. Tetapi, membagi rahasia dengan Vincent cukup membuatnya lega, seperti saat bercerita dengan Marrie-Anne atau Jimmy. Mungkin itu karena mereka dulu pernah bersekolah di tempat yang sama? Oke, alasan itu mengada-ada, biarkan saja. 

“Kau tahu ….” Kepala Lily miring ke satu sisi. “Aku baru tahu kalau suamiku ternyata juga memiliki niat untuk menceraikanku.”

Vincent mengernyit. Dia diam selama setengah menit. “Terakhir kali, bukankah dia menolak menceraikanmu?”

“Ya.” Lily mengangguk-angguk. “Ada semacam katalis yang mendorong perubahan keputusannya. Tetapi aneh, aku sakit hati dan sedih ketika mengetahui hal itu.”

Lily heran sendiri mengapa dia bisa seterbuka ini kepada Vincent, tetapi hal itu tidak mau dia pikirkan dalam-dalam. Bagaimana jika kepalanya meledak?

“Kau mencintai suamimu?”

Sulit mengakui apakah Lily cinta atau tidak dengan Javier. Dia menyukai penampilan Javier, lelaki itu praktis membuatnya terpesona pada pandangan pertama, terutama kepada mata sehitam malamnya. Namun, ia tidak yakin apakah benar-benar menaruh rasa cinta terhadap lelaki itu.

Javier terlampau … gersang. Lily sudah berusaha menjangkau lelaki itu. Hanya saja, makin dirinya bergerak mendekati Javier, Lily makin yakin bahwa selain untuk kepentingan bisnis, Javier tidak memiliki intensi apa-apa terhadap pernikahan mereka.

Dengar, apakah masuk akal sudah nyaris dua tahun berlalu tetapi Lily masih perawan? Apa penjelasan yang masuk akal selain kebencian? Sebab jika bukan karena jaminan yang tercantum dalam proposal perjodohan dan menyatakan bahwa Javier straight, Lily akan mengira bahwa Javier penyuka sesama jenis.

Lily pun tidak pernah menerima perlakuan kasar atau dilukai secara fisik kendati Javier sangat tegas di beberapa aspek. Dia juga baru sekali saja diancam—sewaktu bilang ingin bercerai. Alasan bahwa Lily suka sekali membangkang dan berseberangan pendapat adalah dirinya ingin Javier melihatnya. Ia muak diacuhkan. 

“Aku ingin dia takut untuk melepasku. Aku ingin dia memilihku dibanding opsi lain. Aku ….” Lily menarik napas panjang, menatap langit-langit yang dipenuhi awan putih. Apa nama awan itu? “Aku ingin dia menyadari bahwa dia memilikiku.”

Vincent tidak menanggapi apa-apa. 

Sisa waktu pemotretan memiliki suasana yang lebih kering dibanding sebelumnya. Suhu udara terasa lebih dingin. Alih-alih pose penuh tawa dan gembira, Lily serta Vincent menunjukkan gaya yang lebih dewasa dan atraktif. Sampai akhirnya, pemotretan hari pertama selesai.

Lily masuk ke dalam resor untuk menghangatkan jari-jarinya yang membeku. Ia duduk di dekat perapian, tak mengacuhkan Manajer Yue yang memintanya bergegas ganti baju agar bisa segera makan dan istirahat.

“Aku harus mengurus ini.” Manajer Yue berbicara di belakang punggung Lily. “Daftar makan malammu untuk memenuhi nutrisi harian dari Dokter Hilman—”

Keretak kayu di pendiangan menulikan pendengaran Lily, menjauhkan kata-kata Manajer Yue. Dia membayangkan, api di hadapannya memproyeksikan wajah Javier. Jika dua itu pilihannya, maka aku lebih baik menceraikannya. Lily berharap gaung itu tidak menimbulkan sesak di dadanya. Ia tidak ingin kata-kata itu membuat hatinya seolah dicabik-cabik, tetapi seperti frasa yang pernah Lily dengar, the heart wants what it wants. 

“Lily?”

Vincent duduk di samping Lily sambil mengulurkan secangkir cokelat panas. Tiga buah marshmallow putih berbentuk beruang kutub mengapung di atas cokelat itu. Rasa hangat merayap cepat dari telapak tangan Lily. Ia memandang Vincent. 

“Terima kasih,” katanya. “Kukira kau tidak ingin bicara lagi denganku.”

“Kenapa aku tidak ingin berbicara denganmu?” Vincent menatap dalam sepasang iris Lily.

Lily mengangkat bahu.

Vincent mencondongkan tubuh. “Aku sedang memikirkan sesuatu. Apakah kau mau mencoba ideku ini untuk mewujudkan keinginanmu?”

Jari-jari Lily mencengkeram cangkir yang ia genggam. Suara Vincent rendah, berupa bisikan pelan agar tidak ada yang mencuri-dengar. Kesungguhan di wajah Vincent menyiratkan seolah-olah mereka tengah merencanakan sesuatu yang berbahaya. 

“Lily, ayo kita berkencan.”

“Kau gila, ya?”

Lily benar-benar lupa mereka harus berbicara dengan volume suara sekecil mungkin. Vincent mengusap wajah, tertawa-tawa untuk menyembunyikan rahasia serta pembicaraan mereka. Itu memberikan waktu bagi Lily untuk pulih dari keterkejutan, untungnya. 

“Dengar.” Vincent kembali menghadap Lily setelah melemparkan alasan asal kepada staf yang penasaran dengan percakapan mereka tentang mengajak Lily taruhan dengan hukuman mandi air es dan berakhir dikatai gila. “Aku juga seorang lelaki dan satu hal yang pasti dari kaumku adalah … kami cenderung sangat teritorial. Pria adalah makhluk teritorial. Jika dia menganggapmu sebagai miliknya, maka dia akan terusik saat aku mendekatimu, saat aku mengencanimu, terlepas dia ingin benar-benar menceraikanmu atau tidak. Kita lihat bagaimana reaksinya terhadap ini. Berisiko, jelas. Tetapi aku ingin mencobanya. Aku ingin membantumu, jika kau mau.”

Gila. Benar-benar gila. Lily melotot ke arah Vincent seolah-olah sedang melihat orang edan tulen. 

“Aku tidak pernah ditatap seperti itu, loh.” Vincent terkekeh kecil. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Lily dan tersenyum amat lebar. “Hei, aku tahu kau tidak akan setuju dengan ide ekstrem seperti itu tapi jika aku tidak mengatakannya, bisa dipastikan aku akan membawanya sampai ke dalam mimpiku, jadi jangan terlalu dipikirkan. Aku hanya ingin kau tahu, kalau kau ingin bercerita, kau selalu memilikiku untuk berbagi rahasia. Oke?”

Lily mengembuskan napas panjang. Ketegangan dalam dirinya seolah luruh. Ia memukul-mukul pelan lengan Vincent demi melepaskan kekesalan karena merasa dikerjai. Tapi setelahnya, mereka berdua tertawa.

“Kau cantik. Cantik sekali, apalagi saat senyum atau tertawa.” Vincent menyelipkan helaian rambut hitam Lily ke belakang telinga wanita itu. Jari telunjuknya kemudian berhenti di lesung pipi Lily. “Ini bikin lucu, sering-sering muncul, ya.”

Lily membalasnya dengan senyum.

Malam itu, mereka berdua menghabiskan malam yang indah di resor Niseko dengan kru pemotretan. Seharusnya, Lily tidur awal karena besok pagi dijadwalkan berangkat ke Osaka, namun ia malah duduk di depan perapian sambil bercerita tentang masa-masa SMA dengan Vincent sampai dini hari. 

Ia seperti lupa waktu. Pembicaraannya dan Vincent mengalir amat mulus dan Lily bahkan tidak ingat kapan ia telah jatuh tertidur. 

Keesokan paginya, tahu-tahu Lily menemukan dirinya berada di kamar resornya sendiri dengan perasaan yang jauh lebih baik. Kepalanya lebih jernih, tetapi ia memiliki selintas pemikiran tak waras. Bagaimana jika dia menerima tawaran Vincent untuk menjerat Javier?

Seberanikah itu dirinya?

post-image-66c4042fac4f2.png

“Jadi.” Justin membolak-balik halaman agenda jadwal harian Javier yang ada di iPad lelaki itu. “Jam dua ada offsite meeting di The W, terus jam tujuh malam dinner sama investor dari Jepang. Jepang? Wih.”

“Ikutlah.” Javier melirik Justin sekilas. Pemuda itu jelas-jelas tak menunjukkan ketertarikan akan adanya pertemuan-pertemuan seperti ini, tetapi Javier selalu menawarkan kepada Justin seandainya saja sang adik angkat ingin masuk ke Kingdom Group.

“Aku? Haha, jawabanku sama seperti kemarin. Dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi. Alias nggak dulu, Bro.”

Javier menaikkan satu alis. “Makan malam nanti adalah agenda bertemu dengan Hanazawa Rie, tidak mau ikut?”

“Rie Hanazawa?! Anaknya yang punya kasino paling gede se-Asia?! Yang cuantik kayak bidadari jatuh ke Bumi?!” Justin langsung menegakkan tubuh, namun semenit kemudian dia mengibaskan tangan dan kembali bersandar santai di sofa. “Nah, aku setia sama Diana. Dipikir-pikir lagi Diana sejuta kali lebih cantik.”

Kepala Javier bergeleng pelan melihat tingkah Justin. Dia masih sibuk mencoret-coret laporan manajer operasional dan meninjau perkembangan pabrik barunya di Tangerang.

Tiba-tiba, Justin menyeletuk, “Ngomong-ngomong tentang Jepang, Kakak udah lihat laporan update-nya Nona Constance, belum?”

Gerakan pena Javier terhenti sebentar. Keningnya berkerut sedikit dan serta-merta, bayangan ciumannya dengan Lilium menyerbu setiap sudut kepalanya. Bibir lembut wanita itu terasa luar biasa nyata, bersinggungan lembut di atas bibirnya. Telunjuk Javier menyentuh titik di mana semestinya lidah Lily bermain-main, dan dadanya berdebar keras tanpa aba-aba.

“Kak?”

Gada imajiner menyentak Javier. “Hm?”

“Itu … Nona Constance kayaknya akrab banget ya sama pasangan modelnya? Siapa sih namanya, Vin? Vindent?” Justin mengeluarkan ponsel demi melihat kembali sebuah kiriman terbaru dari Rian Orion. “Vincent Hardi!”

Selesai berseru heboh sendiri, Justin menunggu-nunggu respons sang kakak. Namun, dia hanya dikecewakan sebab Javier tidak bereaksi apa-apa.

Javier memang pandai berakting. Lelaki itu tampak memakukan atensi pada dokumen di hadapannya tanpa menggubris ucapan Justin, praktis menganggap bahwa perkara kedekatan sang istri dengan seorang lelaki model rekan kerjanya bukanlah sesuatu yang pantas untuk dipusingkan atau mengancam. 

Memangnya, kenapa juga Javier harus merasa terancam?

“Jika kau sudah selesai mengoceh, kau boleh pergi.” Javier menutup dokumen terakhir yang telah dia tandatangani kemudian berdiri. Ia raih mantel bepergian di gantungan kayu dan memandang Justin. “Tinggallah di Walton’s Manor nanti malam. Aku akan pulang ke Desa Kayuasih dan kembali hari Selasa.”

Sepasang mata rusa Justin langsung memicing. “Weits, ngapel, nih? Malam Sabtu, yeah, waktunya ….”

“Bicara lagi dan aku akan menarik kembali dua Lamborghini yang bulan kemarin kuberikan padamu,” pangkas Javier tegas.

“Jangan, dong, Brother!” protes Justin, memasang muka melas tetapi akhirnya nyengir tak berdosa. “Soalnya udah kujual buat beli bitcoin, hehe.”

Anak ini benar-benar. Javier menggeleng pelan, dia membiarkan Justin leyeh-leyeh di ruang kantornya sementara dirinya bersiap keluar untuk meeting dengan investor.

Ralat, Javier harus melakukan satu hal terlebih dahulu sebelum bertemu investor hari ini yaitu mencari kado. Besok adalah ulang tahun Auroria, dan Javier akan menyiapkan hadiah yang amat indah untuk putri satu-satunya.

post-image-66c4037d1401d.png

“Bisakah …?” Lily terlihat kebingungan saat turun dari pesawat, tetapi Vincent lebih bingung lagi sehingga alih-alih mengikuti langkah manajernya yang cerewet, dia berdiri di hadapan Lily.

Wanita itu memakai topi baseball yang menenggelamkan nyaris seluruh wajah kecilnya—namun masih kelihatan cantik, sebuah syal dilingkarkan asal-asalan di leher, cardigan, dan rok jeans sebetis. Warnanya kombinasi hitam dan putih. Itu cocok, sungguh. Tetapi menurut Vincent, Lily cantik bukan main saat memakai pakaian yang lebih berwarna, sebab menonjolkan putih kulitnya nan bersinar-sinar.

Cantik. 

“Lily?” Vincent mendekat selangkah, menyembunyikan tawa geli saat Lily bahkan tidak repot-repot menggubrisnya. Wanita itu fokus pada layar ponsel sambil memberengut. Cantik.

Baiklah. Vincent menyandarkan bahu di dinding samping mereka, bersedekap dan tersenyum-senyum memandangi Lily. Wanita itu ekspresif, cantik. Bingung, cantik. Kesal, cantik. Tersenyum, cantik. Marah—yang bukan marah betulan—cantik.

Sudah berapa kali Vincent menyebut Lily cantik dalam semenit ini? Cantik, cantik, cantik, cantik. Oh, ayolah. Vincent bisa menghabiskan waktu seharian untuk menguraikan betapa cantiknya Lily sampai mulutnya berbusa dan kebas. Namun sebelum itu, mereka harus menyingkir dulu dari tempat ini.

“Hei, Gorgeous, kau berencana untuk tinggal di bandara atau …?”

Barulah saat itu, Lily mendongak untuk melihat lawan bicaranya. Mata Lily memicing curiga. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, Lily mendapati hanya dirinya dan Vincent saja yang berada di sana. Mereka berdua berada di tembok sudut, sedikit tersembunyi dari pandangan orang-orang. “Kenapa kau masih di sini?” 

Vincent mengangkat bahu. “Mengapa kau masih di sini? Manajermu sudah pergi.”

“Oh.” Lily memasukkan ponsel ke dalam tas. “Aku memang berencana pulang sendiri, tapi jemputanku ternyata tidak bisa datang. Jadi, tampaknya aku harus cari taksi sekarang.”

Vincent mengangguk-angguk. Tawanya tertahan, berwujud senyum lebar manakala Lily menyeret koper serta barang bawaannya. Menyembunyikan betapa lucunya hal itu, Vincent mengimbangi langkah Lily hingga mereka berjalan bersisian.

“Kau sendiri?” Lily menoleh, menyadari Vincent yang mengikutinya. “Kenapa tertinggal sendiri juga? Mana manajermu?”

“Sudah pulang duluan,” jawab Vincent. Matanya penuh dengan kilat jenaka. “Aku laki-laki, tak masalah jika pulang sendirian, tapi kau.”

“Aku kenapa?” Lily berhenti di area luar bandara. Untung sepi, hampir tidak ada orang berlalu-lalang. Matanya awas memindai beberapa taksi yang sedang parkir.

Vincent menikmati wajah Lily dari samping. Cantik. “Kau perempuan, Gorgeous. Mana mungkin aku membiarkanmu pulang sendirian.”

“Oh, itu sebabnya kau menempel padaku?” tanya Lily. Telunjuknya terarah untuk Vincent sambil memasang ekspresi marah bohongan. “Membuntutiku?”

Tawa Vincent mengudara. Dia benar-benar tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Lily atau mengecupi lesung pipi wanita itu yang muncul sedikit. Tangannya gatal. 

Sialan. Andaikan saja Lily bukan istri orang!

“Ya, dan tidak.” Vincent mendekat. “Yang kau bawa itu koperku, Gorgeous.”

Raut wajah Lily diliputi kebingungan. Dia menunduk dan terdiam setengah menit penuh, bolak-balik menatap pada koper yang dia bawa dengan koper yang ada di sisi Vincent. Keduanya tertukar.

“Kenapa koperku ada di tanganmu?” Mata bulat Lily mengerjap-ngerjap lucu. 

Sudahlah. Vincent mencubit pipinya sendiri sebagai ganti sebab betapa menggemaskannya iras Lily kali ini. Dia terkekeh-kekeh. “Karena koperku ada di tanganmu. Nah. Ayo, aku antar pulang sebelum kau tersesat malam-malam. Manajerku meninggalkan mobil di sini.”

Iseng saja sebenarnya, Vincent refleks mengulurkan tangan tetapi Lily menyambutnya tanpa diduga. Mereka berjalan—masing-masing menyeret koper yang masih tertukar—menuju sebuah mobil yang terparkir di luar. Hangat, tangan Lily keterlaluan hangat dan Vincent nyaris tidak bisa menyembunyikan bagaimana dadanya penuh dengan kembang api yang meledak-ledak. 

“Aku tidak enak kau harus mengantarku. Begini saja.” Lily menoleh. “Antar aku ke Jalan Epicentrum Tengah, setelah itu aku akan naik taksi.”

“Epicentrum Tengah?” Vincent membukakan pintu mobil dengan tangan kanan, tangan kirinya masih tertaut dengan jemari Lily. Dia enggan melepasnya. “Itu kedengarannya searah dengan tujuanku. Kita lihat nanti, aku akan mengantarmu sampai rumah.”

“Tapi—”

“Tidak ada tapi, Lily. Masuklah dan biarkan aku bertindak seperti gentleman.” Senyum Vincent terbit begitu terang. Ia—lagi-lagi—menahan gejolak pesta euforia yang belum berhenti di dalam dadanya manakala Lily menampakkan ekspresi lucu—hidung mengerut dan mata menyipit.

“Oke.” Lily masuk ke dalam mobil. “Oke kau menang.”

Vincent menyimpan koper-koper mereka di bagasi kemudian membuka pintu kemudi. Lily menunggu macam anak anjing yang patuh. Astaga, astaga. Ini hal sepele tetapi Vincent berharap dia bisa seperti ini seterusnya, untuk waktu yang lama, mengemudikan mobil dengan Lily berada di sampingnya. Ke mana pun wanita ini ingin pergi, Vincent akan senang hati menuruti. 

“Katakan.” Vincent melirik Lily sebentar. Ia tersenyum. Lily cantik sekali ketika duduk di sampingnya. “Di mana tujuanmu? Apakah rumahmu ada di Jalan Epicentrum Tengah?”

Lily menggeleng. “Tidak juga.”

“Apakah jauh dari Jalan Epicentrum Tengah?”

“Ya, cukup jauh.” Lily mengangguk. Vincent melihat wanita itu melakukan peregangan dan mengucek mata. 

Cantik. Menggemaskan. 

“Mengantuk? Tidurlah.” Vincent meraih selimut yang berada di kursi belakang dengan satu tangan, mengulurkan kepada Lily. “Kalau sudah sampai, aku akan membangunkanmu.”

“Tidak apa-apa? Apakah kau tidak mengantuk?”

“Aku siaga, tenang saja.” Gigi Vincent nyaris kering sebab lagi-lagi mengumbar senyum ketika menyaksikan Lily mengenakan selimutnya tanpa ragu-ragu. “Kau bisa percaya kepadaku.”

Lily tertawa kecil, setelahnya menyamankan diri sambil bertanya tentang masa-masa awal karir Vincent.

“Aku menemani Axell casting iklan susu protein khusus remaja saat kelas dua SMA.” Ingatan Vincent mengembara ke kenangan beberapa tahun silam. Selain Lily, dulu ada beberapa anak di SMP maupun SMA Pelita Bangsa yang juga menjadi model, meskipun karir mereka tidak sementereng Lily yang merupakan model cilik bahkan sebelum masuk SMP itu. “Aku tidak ikut casting, tetapi salah satu orang menawariku sebuah pekerjaan. Aku hanya ingin coba-coba saja, dan ternyata itu tidak buruk.”

Tidak. Untuk yang satu itu Vincent tidak terlalu jujur. Dirinya bukan hanya ingin coba-coba saja. Keinginan untuk menjadi model sudah ada sejak lama, dirinya baru mendapat keberanian melangkah di saat itu. Alasannya? Karena Lily. Dia berpikiran bahwa, dengan menggeluti bidang yang sama, harapan untuk bertemu Lily secara natural akan lebih besar. Tepat sekali. Vincent menoleh ke samping, kelopak mata Lily setengah tertutup. 

“Kau model yang hebat, tahu, Vin. Semua orang akan setuju denganku.”

Pernyataan itu Vincent tanggapi berupa senyum kecil.

“Aku masih jauh dari kata hebat,” akunya rendah hati. “Tetapi demi setara dengan seseorang yang aku sukai sejak lama, aku haruslah menjadi sehebat yang kubisa. Aku masih terus berusaha.”

“Seseorang yang—hoam—kau sukai?” Suara Lily kedengaran jauh. Kesadarannya hanya ditahan oleh seutas benang tipis yang nyaris putus. “Wanita itu? Wanita … yang sudah … punya suami …?”

“Ya, dia.” Fokus Vincent pada jalanan di depan. “Aku masih menyukainya setengah mati meskipun tahu dirinya sudah terikat dengan orang lain. Kedengaran gila dan mengerikan, tetapi aku yakin memiliki kesempatan. Hubungan mereka tidak berjalan dengan baik. Itu satu-satunya alasan bagiku yang berani mendekatinya, karena jika dia bahagia dengan suaminya, aku tidak berhak merusak itu semua.”

Vincent menoleh, mata Lily terpejam sepenuhnya. Embusan napas teratur menandakan bahwa wanita itu telah berada di sisi mimpi yang lain. 

Vincent meloloskan kekehan kecil, lucunya. Kecepatan mengemudinya diturunkan di bawah rata-rata, macam orang yang baru mendapat lisensi dan berhati-hati agar tidak menabrak pembatas jalan atau terlalu makan bagian jalan. Itu dilakukan agar dirinya menghabiskan waktu yang lebih lama untuk berduaan dengan Lily.

Bahkan, setelah sampai di Jalan Epicentrum Tengah, Vincent dengan sengaja memutari kota lagi sebanyak satu kali demi mengulur setiap sekon yang tersisa, untuk memandangi wajah damai Lily, mengagumi tiap helai bulu mata lentik wanita itu, kecil hidungnya, atau pipi merahnya, atau bibir lembapnya, putih kulitnya, suara dengkurannya. Sehingga ketika mereka sampai di Jalan Epicentrum—lagi—waktu telah menunjukkan lewat tengah malam.

post-image-66c40099e6be2.png

Ini sepertinya adalah malam yang pas untuk menghabiskan waktu dengan dua orang favoritnya, menurut Javier. Segalanya diselubungi kegembiraan dan tampak luar biasa lancar daripada yang pernah Javier perkirakan. Pertama-tama, meeting dengan dua investor kemarin membuahkan kesepakatan yang memuaskan, terutama dengan pihak Hanazawa Corporation. Lalu, Javier juga berhasil mendapatkan hadiah menakjubkan untuk Auroria, yaitu satu set alat lukis yang diimpor dari Paris.

Dan sekarang, dia sedang berkencan dengan Ingrid di halaman belakang yang diterangi sinar bulan. Menghabiskan malam romantis dengan candle light dinner yang kelewat larut.

“Haruskah kita masuk sekarang?” Lengan Ingrid terkalung di leher Javier. Dalam pangkuan lelaki itu, dia tersenyum setelah menarik diri dari ciuman Javier. 

Javier mengecup punggung tangan Ingrid. “Apakah dingin?”

“Sedikit. Ini sudah hampir tengah malam dan mungkin—” Senyum Ingrid menyembunyikan suatu niat yang tabu. Ia menyusuri garis rahang Javier dengan jari telunjuk, tatapannya menggoda. “—kita bisa melakukan sesuatu untuk lebih menghangatkan tubuh.”

Javier terkekeh pendek. “Aku menyukai ide itu.”

Namun, sebelum Ingrid maupun Javier berpindah, sebuah panggilan telepon menginterupsi. Dari Rian. 

Dahi Javier berkerut dalam. Ia menyuruh Ingrid untuk masuk ke dalam rumah terlebih dahulu dan bilang akan menyusul, kemudian mengangkat panggilan tersebut. 

“Ada apa?” Javier berpikir, sebaiknya Rian memiliki alasan yang bagus untuk meneleponnya tengah malam begini.

Rian menyahut dari seberang sambungan telepon, ‘Tuan Muda, Nona Constance telah kembali dari Jepang.

Kabut lembap menyelimuti pohon-pohon di kejauhan, dan cahaya temaram bulan hilang di balik halimun pekat. Udara memang sedang dingin-dinginnya, membelai lembut tengkuk serta lengan Javier. Rupanya, waktu menyenangkan yang Javier miliki harus bercela karena kabar tersebut. 

“Beri tahu saja seperti biasa, aku tidak akan kembali ke Walton’s Manor hari ini. Dan suruh Justin pulang.” Tumben, pikir Javier. Kenapa Justin tidak mengadu terlebih dahulu mengenai kepulangan Lily?

‘Maaf, Tuan Muda. Nona Constance tidak pulang ke Walton’s Manor, melainkan ke apartemen milik Tuan Hardi. Saya sudah melampirkan foto saat Nona memasuki apartemen itu.’

“Siapa?” Javier menyentuh ruang di antara dua alisnya. Dia berharap sedang salah dengar. “Apartemennya siapa?”

‘Tuan Vincent Hardi, rekan model Nona Constance yang juga melakukan pemotretan di Hokkaido dan Osaka.’

Sebentar. Javier perlu mencerna apa yang baru saja dilaporkan oleh Rian.

“Apakah Lilium izin kepadamu bahwa dia tidak kembali ke Walton’s Manor hari ini?” tanya Javier memastikan. Tanpa sadar, dirinya tak lagi berdiri dengan tenang melainkan mondar-mandir secara perlahan karena berpikir mengenai banyak hal sekaligus. 

‘Tidak, Tuan Muda. Nona Constance tidak mengabari saya atau Tuan Muda Justin. Beliau langsung menuju ke apartemen Tuan Hardi setelah landing di Bandara Soetta.’

Apa yang ada di kepala Lily, sebenarnya? 

“Di mana kau sekarang?”

‘Saya ada di lobi bangunan apartemen milik Tuan Hardi. Haruskah saya naik dan membawa Nona Constance pulang?’

Langkah mondar-mandir Javier terhenti. Ia menjauhkan ponsel dari telinga untuk melihat foto yang dilampirkan Rian. 

Lily berdiri dekat sekali dengan lelaki itu, berada di lift kaca, sedang tersenyum. Tersenyum cantik.

post-image-66c3fff5bd17e.jpg

Javier membutuhkan setidaknya semenit untuk mengalihkan atensi dari foto tersebut. Ada gelombang tak nyaman yang berdesir-desir di dadanya. Ada kemarahan pula, kendati Javier tidak yakin mengapa sebuah foto bisa membuatnya terusik sedemikian rupa.

‘Tuan Muda? Apakah saya diizinkan naik ke atas untuk—’

Tersadar karena panggilan Rian, Javier mengusap wajah dengan satu tangan. “Jangan melakukan apa-apa,” potongnya. “Biarkan saja. Beri tahu aku saat Nona Constance pulang. Kau bisa kembali ke Walton’s Manor.”

‘Tuan?’ Rian terdengar tidak yakin dengan instruksi tersebut.

“Kau mendengarku, Rian,” kata Javier. “Itu bukan urusan kita untuk ikut campur kehidupan pribadi Nona Constance. Pulanglah ke Walton’s Manor dan laporkan kegiatan Nona Constance seperti biasa.”

Panggilan dimatikan. 

Javier diam di luar selama lima menit sebelum akhirnya dia masuk ke dalam rumah. Ingrid tengah menunggu di kamar mereka. Javier memperhatikan bagaimana kekasihnya itu telah siap dengan penampilan yang menggiurkan; sepotong baju tidur transparan yang mana memperlihatkan tubuh polosnya hingga pada bagian-bagian yang terlarang.

“You’re too ready.”

Ingrid menyentuh lehernya sendiri dan mengerling. “Aku selalu siap untukmu, Tuan Walton. I’m being a good girl, am I not?”

Javier merasakan hasratnya naik seketika. Ia tersenyum, merentangkan kedua lengan. “You are.”

Pintu kamar dikunci, Javier menyambut pelukan Ingrid yang hangatnya bagai udara musim semi. Jari-jemarinya menyentuh pinggang wanita itu, memulai dengan ciuman demi ciuman sensual. Lengan Ingrid terkalung di lehernya, memperdalam kaitan bibir mereka dan menyambut gairah yang makin lama makin kuat. 

Javier membelai pipi Ingrid, mendorong tubuh kekasihnya hingga tersudut di tiang ranjang. Jari-jemarinya berkelana membelai bagian-bagian sensitif wanita itu, meloloskan desahan yang menegakkan dirinya.

“Mmm—Javier ….” Ingrid menyukai bagaimana Javier memperlakukan tubuhnya. Ia selalu merindukan sentuhan ini setiap waktu bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Dari pertama kali mereka melakukannya hingga saat ini, Ingrid tak pernah tidak puas jika itu bersama Javier. 

Lelaki ini mahir sekali mempermainkan tubuhnya. 

“Aku merindukanmu,” bisik Javier di dekat telinga Ingrid. Ia meremas kuat payudara kekasihnya, memagut bibir Ingrid dan menyesap lidah wanita itu sampai rasanya sulit untuk bernapas. Napas mereka mulai terengah-engah. Penerangan kamar kelewat remang dan mendadak penglihatan Javier seperti dipermainkan. Matanya setengah terbuka, namun alih-alih Ingrid, wanita yang tengah dicumbunya ini berubah jadi Lilium Constance. 

Mata Javier mengerjap-ngerjap. Ciumannya terhenti, tangannya tak lagi menggerayangi.

“Javier?” desah Ingrid. Bibirnya menyisir dagu Javier, mengecup ringan. “Ada apa?”

Apa itu tadi? Ilusi? 

Tangan Javier kembali meraih pinggang Ingrid. Udara di dalam sini, di sekitar tubuhnya bukan harum mawar, mengapa bayangan Lilium Constance tiba-tiba datang? “Tidak apa-apa. Auroria sudah benar-benar tidur?”  

Ingrid mengangguk. Ia melepas kancing kemeja Javier satu per satu. “Ya. Aku tadi sudah memastikannya.”

Bibir mereka saling bertaut lagi. Javier memberi isyarat kepada Ingrid agar naik ke tempat tidur. Ia melepas ikat pinggang, pakaian, lalu menghampiri sang kekasih untuk melanjutkan cumbuan. 

“Ah, Javier—”

Kecupan Javier turun di dada Ingrid. Ia menyisir tiap senti kulit wanita itu dengan ciumannya, meninggalkan jejak kemerahan. Gaun tidur Ingrid sudah terkoyak di beberapa tempat seperti bagian payudara di mana Javier leluasa melabuhkan kecupannya, atau pada bagian bawah perut yang tak akan Javier biarkan lama tak dijamah. Serta-merta, Javier membalikkan badan Ingrid. 

“Oh, ya Tuhan Javier!”

Javier memasuki Ingrid. Ia memejam menikmati sensasi bagaimana dirinya begitu hangat kala bergerak dengan perlahan. Derit ranjang menjadi suara yang menyatu dengan lenguhan Ingrid. Tangannya mengelus punggung Ingrid yang membelakanginya.

“Is it good?” Javier mengerang. 

“Ya.” Lily menoleh. “Lebih cepat, Javier, kumohon!”

Tempo jantung Javier serasa terlewat satu ketukan. Gerakan pinggul Javier berantakan. Wajah yang menoleh kepadanya adalah wajah Lilium, tetapi itu pastilah hanya tipuan. Ini tidak benar. 

“Ah—Javier, ini enak—”

Suara Ingrid. 

“Faster—oh my God, I beg you, Javier, please fill me, faster!”

Suara Lily. 

Javier menutup mata, ia menggeleng sebab desahan yang memenuhi kamar masih terdengar seperti gema suara Lily. Dia tahu yang sedang dia setubuhi bukanlah Lily, aroma mawar wanita itu tidak ada. Namun, membayangkan bahwa yang tengah dia cumbu dan masuki adalah Lily, wanita yang beberapa waktu lalu membuat dirinya hilang kewarasan hanya dengan sebuah ciuman …. 

Fuck, Lilium ….” Javier menggertakkan gigi. Ingatan tentang lembut bibir Lily yang ia sesap, pinggang ramping yang dia bawa dalam dekapannya, halus kulit yang bersinar ketika disentuhnya …. 

“Javier, faster—”

Gairah masif memenuhi Javier. Gerakannya makin tak terkontrol. Tangannya mencengkeram sprei dan saat gelombang itu tak bisa lagi dia tahan, Javier segera mencabut dirinya keluar dari Ingrid.

Gila. 

Napas Javier seolah-olah berserakan di lantai. 

Dia pasti gila karena memproyeksikan Lily dalam kegiatan bercintanya dengan Ingrid.

post-image-66c3fe903c79b.png

Gorgeous, kau sudah mau pulang?”

Jantung Lily rasanya jatuh di antara dua kakinya. 

“Terkutuklah kau!” makinya, tetapi Vincent hanya nyengir lebar. Memang lelaki itu minta dipukul sesuatu, Lily benar-benar kesal sebab selalu dikagetkan begini. “Bisakah sehari saja tidak bikin orang jantungan?!”

“Maaf.” Vincent terkekeh-kekeh. “Kukira kau akan menginap lebih lama. Di mana temanmu, ngomong-ngomong?”

Lily menutup pintu apartemen milik Marrie-Anne kemudian berjalan bersisian dengan Vincent. “Marrie pergi pagi-pagi sekali karena ditelepon papinya. Dia pengurus galeri seni, jadi terkadang bisa jadi keterlaluan sibuk. Anyways, terima kasih untuk tumpangan tadi malam, aku tidak mengira kau juga tinggal di satu kompleks apartemen yang sama dengan Marrie-Anne. Serius.”

“Aku baru membelinya seminggu yang lalu, bahkan tidak sadar bahwa lokasinya berada di Jalan Epicentrum Tengah.” Vincent mengangkat bahu. “Sejujurnya aku malah menyangka kau mau menginap di tempatku karena tiba-tiba masuk begitu saja. Hei, jangan merasa tidak enak, aku akan senang sekali jika kau mau tinggal.”

Lily merotasikan bola mata. “Aku tidak sesinting itu.”

Untuk yang satu itu, Vincent setuju. Dia tertawa. “Jadi, kau akan pulang ke rumah atau ….”

Lily membalas dengan anggukan. “Aku mau mengambil beberapa barang lalu pergi ke kantor agensi. Kenapa? Mau memberiku tumpangan lagi?”

“Oh.” Mata Vincent berbinar-binar karena senang. “I’d love to! Brilliant.”

Mulut Lily ternganga. “For real?”

Vincent berdecak pelan. Ia menarik tangan Lily dengan lembut agar cepat-cepat memasuki lift. “Pernah aku menipumu? Tinggal beri tahu saja di mana alamat rumahmu. Akan aku antar dengan aman sampai depan pintu. Oh, dan kau boleh tidur lagi seperti tadi malam jika kelelahan, jangan sungkan-sungkan.”

Senyum Lily terkembang karena geli dengan sikap Vincent. Geli dalam artian baik. “Walton’s Manor, The Idjen Boulevard nomor 7A, dan terima kasih, aku tidak akan tidur kali ini,” jawabnya. “Aku mungkin akan menawarimu mampir untuk sarapan andaikata waktunya tidak semepet ini. Bolehkah aku menggantinya dengan makan siang besok?”

“Kenapa tidak hari ini saja? Aku mau minta sup iga sapi—ouch!”

Lily mencubit lengan Vincent. “Aku sibuk, jangan aneh-aneh. Nah, mana mobilmu?”

Mereka sampai di parkiran bawah. Vincent mengeluarkan kunci mobil. “Bukan itu,” katanya kepada Lily. Ia kembali menggenggam tangan Lily, menuntun wanita itu menghampiri sebuah SUV Genesis tampan warna perak metalik.

Vincent membuka pintu penumpang seperti gentleman, namun sebelum Lily berhasil masuk, mendadak dia menahan bahu Lily dan membuat gerakan tak terduga; satu tangannya menyentuh pipi Lily, wajahnya mendekat seolah-olah hendak mencium Lily. 

Lelaki itu bisa mendengar bagaimana Lily terkejut dengan mata membulat dan napasnya yang tertahan.

“Maaf,” bisik Vincent. Ia bersyukur Lily tidak menamparnya. “Mata-matamu yang mengikuti tadi malam sekarang ada di balik pilar 9C—jangan bergerak, jangan dilihat. Diamlah sepuluh detik.”

Lily mencengkeram bagian pintu mobil. Vincent memiringkan wajah dengan gerakan yang halus sehingga siapa pun yang melihat mereka, terutama lewat sudut tertentu, akan mengira bahwa mereka sedang berciuman. Belum juga pulih dari keterkejutan, Vincent menjauh. Ia mengusap bibirnya yang sama sekali tidak basah

“Selesai. Masuklah.”

Nyaris tremor, Lily buru-buru duduk di kursi penumpang. Matanya mengawasi pilar 9C diam-diam selagi Vincent jalan memutar untuk menuju ke kursi kemudi. Apakah Rian datang lagi? Jika iya, mengapa tidak terus terang menjemputnya seperti biasa? 

“Maaf karena bertindak impulsif.” Vincent menutup pintu mobil, bergerak luwes untuk memakaikan seatbelt Lily dan seatbelt-nya sendiri. “Apakah orang itu selalu mengikutimu ke mana pun kau pergi?”

Lily mengangguk. Tadi malam, kejadiannya juga begini—Vincent memergoki Rian yang sedang membuntuti mereka, namun dirinya terlalu mengantuk dan linglung untuk menjelaskan. “Ya, terkadang. Dia semacam … personal bodyguard?

Apakah itu karena dirinya sedang bersama Vincent?

Mobil Vincent perlahan keluar dari area parkir, menyambut sinar matahari keemasan yang hangat. Lily menyentuh wajahnya yang memerah. Kepalanya penuh.

“Dengar.” Vincent mulai bicara lagi. “Aku tahu kau tidak setuju dengan ideku kemarin—soal berkencan bohongan. Tetapi kau tidak akan tahu kepastiannya jika tidak mencoba. Jadi—”

“Tidak apa-apa,” pangkas Lily. Kendati dirinya masih bergidik dan berdebar-debar ketika berkata begitu, tetapi ia menatap kepada Vincent dengan tekad yang terbentuk. “Mungkin dengan begini, aku jadi tahu ke mana harus melangkah.”

Sudahkah Rian mengadukan apa yang dilihatnya tentang Lily dan Vincent kepada Javier Walton? Lily mual. 

“Bisakah kita membahas hal lain?” tanya Lily.

“Tentu.” Vincent menoleh sebentar. Ia memiliki senyum yang amat teduh, Lily baru menyadari sekarang. Dua matanya sangat indah ketika melengkung sedikit. Lelaki itu menunjuk sebuah awan di kejauhan. “Lihat ke atas sana, sebelah timur. Kau lihat awan yang bentuknya mirip bunga kol? Itu adalah awan cumulus ….”

Lily menyukai bagaimana atmosfer berubah drastis setelah Vincent mengubah topik perbincangan mereka. Lelaki itu adalah conversation starter yang handal. Bahkan, waktu perjalanan setengah jam lebih tidak terasa begitu lama. Tahu-tahu, Lily menghadapi gerbang tinggi yang familier.

Perutnya serasa diaduk seketika. 

“Tunggu di sini.” Lily melepas seatbelt-nya. “Aku tidak akan lama, janji.”

Bukan tanpa alasan Lily tiba-tiba didera perasaan cemas berlebih. Pasalnya, dia mengenali sebuah Maybach hitam yang terparkir di halaman depan. Langkah Lily terhenti sebentar untuk mengamati mobil tersebut. Ia menggigit bibir.

“Nona Constance.”

Lily terlonjak dari tempatnya berdiri. Rian datang dari pintu utama untuk menghampirinya. Cepat sekali, tahu-tahu sudah sampai sini saja. 

“Selamat pagi. Tuan Muda kebetulan sedang berada di ruang makan. Mari.” Rian minggir agar Lily bisa lewat. 

Namun, Lily tidak bergerak sesenti pun. Ia menimbang-nimbang. “Ini hari Senin,” ucapnya. “Kenapa Tuanmu berada di Walton’s Manor di hari Senin? Seingatku agenda makan pagi kami ada di hari Selasa dan Kamis. Dia bahkan nyaris tidak menampakkan batang hidungnya pada hari-hari tersebut.”

Iras Rian sekaku biasanya. Tidak ada perubahan berarti dari wajah lelaki itu yang tetap setenang malam hingga Lily mengira dia tengah mengajak bicara sebuah robot berprogram.

“Akan lancang bagi saya jika ingin tahu maksud Tuan Muda.” Rian menunduk. “Beliau menunggu Anda, Nona.”

Lily memandang Rian tanpa kedip, ia nyaris menginterogasi lelaki itu mengenai tindakannya yang mengikuti diam-diam namun tidak jadi. Lily mengayun langkah memasuki Walton’s Manor, menarik napas panjang berusaha menetralkan degup jantung yang meningkat secara signifikan. Tangannya berkeringat, menerka-nerka apa yang akan dirinya hadapi. 

Pintu ruang makan terbuka. Seperti pemandangan ganjil, Javier Walton berada di ujung yang lazimnya kosong. Lily memaksa kakinya terus berjalan hingga sampai di ujung seberang tempat duduk Javier.

“Sebuah keajaiban.” Lily membiarkan kepalanya mengambil alih. Kata itu muncul begitu saja di otak Lily dan ia tidak menyesal telah menyemburkannya.

Javier memejam sejenak. Bahu bidang lelaki itu naik, seolah-olah tengah berupaya menghirup udara sebanyak yang dia bisa. Sedetik kemudian, obsidian hitam arangnya bertemu dengan manik Lily.

“Perjalananmu menyenangkan?” tanya Javier.

Kernyitan di kening Lily tercetak dalam. “Kau tahu kalau basa-basi tidak ada di kamus kita, apakah aku salah? ”

Satu alis Javier terangkat sedikit. Ia memiringkan kepala, menelisik wajah dingin Lily. Basa-basi tidak pernah ada di kamus mereka, benar sekali. “Baiklah, di mana kau tinggal semalam?”

Dada Lily berdebar menyakitkan. Jantung yang terkurung di rusuknya seakan-akan memberontak ingin meloncat keluar. Terang saja Rian sudah mengadu. 

“Bukankah mata-matamu sudah melapor? Tidak mendengar cerita lengkapnya?”

“Aku tahu kau tidak pulang ke Walton’s Manor karena aku berada di rumah semalam.” Sorot Javier meredup dan tampak berbahaya. Itu tidak sepenuhnya bohong. Dia memang pulang ke Walton’s Manor sekitar pukul dua dini hari, meninggalkan Ingrid setelah wanita itu tertidur kelelahan. “Pesawatmu landing di Soetta pukul tujuh malam, tetapi tidak kembali. Di mana kau tinggal?”

Untung Lily sedang duduk. Untung dirinya pandai menyembunyikan emosi-emosi yang menumpuk itu. Untung dia sudah terbiasa menghadapi Javier meski perilaku lelaki itu yang seperti ini membuatnya nyaris menggali lubang untuk menenggelamkan diri. 

“Tuan Muda Walton,” Lily tersenyum sarkastis. “Pernahkah aku bertanya kepadamu di mana kau tinggal semalam saat kau tidak pulang ke Walton’s Manor?”

Tatapan mata Javier menajam. Otot rahangnya berkedut dan Lily tahu itu bukan pertanda bagus. Tapi masa bodoh

“Menyenangkan, bukan?” Lily meraih gelas air mineral, meneguk isinya sedikit kendati setengah mati mau muntah. “Ber-rahasia, so Javier Walton’s coded.”

Iris hitam Javier memperhatikan Lily dalam-dalam. Di luar kemauannya, atensi tertumbuk pada dua bilah merah ceri yang terkatup rapat. “It’s not a secret, Miss Constance.”

Udara serasa disedot paksa dari paru-paru Lily. Ujung jarinya mendingin. Bibir bawahnya digigit sendiri dan itu menyakitkan.

“It’s just not your business,” lanjut Javier kejam.

Gemetar, Lily memaksa daksanya bangkit. Ia mendekat kepada Javier, menyusuri meja makan dengan ujung telunjuknya kemudian berhenti di sisi lelaki itu.

“Bagus, jika seperti itu.” Lily mencondongkan tubuh. “Let’s keep this thing clear. Don’t intervene in my life anymore cause it’s clearly, too, not your damn fucking business, Mr. Walton.”

Suara high heels Lily jadi gema yang menjauh. Ia buru-buru naik ke kamarnya untuk menyambar iPad dan mantel, mengganti tas, memasukkan jam dan ponsel secara asal, lantas turun. Lily memelankan langkah sesampainya di depan ruang makan, Javier masih tetap berada di tempat yang sama dan mata mereka saling bertemu. Saat itulah Lily tahu, ide Vincent mungkin tidak benar-benar buruk.

Lily pergi dari Walton’s Manor, mendapati bahwa Vincent mondar-mandir di samping mobilnya.

“Kau oke?” Vincent langsung melemparkan pertanyaan tersebut. Air mukanya penuh kekhawatiran. “Kau janji tidak akan lama-lama, kupikir kau pingsan atau apa.”

“Aku baik-baik saja. Ayo pergi.” Lily hampir kehabisan napas karena berjalan terlalu cepat. Dia hendak masuk ke dalam mobil Vincent, tetapi sudut matanya menangkap sesuatu di kejauhan—di jendela besar ruang makan yang gelap.

Javier berada di sana, sedang memandanginya.

post-image-66c3fc4551936.png

Aroma mawar yang ditinggalkan oleh parfum Lily masih berkelindan di indra penghidu Javier. Wanita itu mungkin telah pergi, berada di sisi dunia yang lain namun bayangannya masih lekat di kepala Javier dan itu mengesalkan. Ia terusik dengan fakta bahwa Lily berseliweran memenuhi hari-harinya juga; di billboard besar pinggir jalan yang sering dia lewati ketika menuju kantor Kingdom Group, di tayangan iklan minuman bervitamin yang dia lihat, pada majalah style dan fashion yang dibaca sekretarisnya, di layar kunci ponsel ibu kandungnya, di presentasi salah satu manajernya, di rumahnya.

Presensi Lilium Constance tidak pernah sememusingkan ini bagi Javier. Ia heran dan bertanya-tanya apa alasannya.

“Tadi malem ada masalah, Brader?”

Javier serasa ditarik dari sebuah lamunan yang menyesatkan. Ia kumpulkan kepingan-kepingan kesadaran miliknya sebelum menjawab pertanyaan Justin. 

“Tidak.”

“Kok tumben tengah malem balik ke Walton’s Manor?” Aku jadi gagal uji nyali, lanjut Justin dalam hati. 

Javier menutup dokumen di hadapannya. “Ada pekerjaan mendadak. Kau menganggur?

“Pengangguran is my kinda dream job, ya know? Tapi uang harus ngalir terus.” Justin menampakkan cengiran lebar. “Mau minta tolong pasti.”

“Tidak.” Javier menyandarkan punggung di kepala kursi. “Aku hendak mempekerjakanmu. Bayarannya bisa kamu pilih, penthouse atau private jet.”

Mata Justin melebar tak percaya “Ngadi-ngadi, nih, tapi aku suka! Serius?!”

Javier tidak pernah bicara sembarangan atau mengibuli orang. Dalam catatan pribadi Justin, lelaki itu memiliki track record yang bersih. 

“Mau private jet nya dong!”

Tangan kiri Javier terangkat, dengan isyarat jari, dirinya menyuruh agar Justin mendekat. “Kau tahu perkebunan sawit yang dikelola Dione?”

“Yang ada di Kalsel? Yang luasnya seribu dua ratus hektar itu?”

Javier mengangguk. “Orangku yang bertugas di sana melaporkan bahwa ada kegiatan kotor yang dilakukan oleh Dione. Aku ingin kau menyelidikinya sekaligus mengawasi gerak-gerik Dione.”

“Aku?” Justin menunjuk dirinya sendiri. “Pergi ke Kalimantan? Buat jadi mata-mata?”

“Ya.” Javier memberikan ekspresi yang membuat Justin goyah. Sang kakak rupanya tidak main-main. “Beberapa waktu lalu, ada orang yang memata-matai Walton’s Manor dan itu bukan Ayah atau pun Ibu. Satu-satunya orang yang memungkinkan untuk melakukan itu adalah Dione. Kalau kau berhasil menemukan sesuatu, aku akan memberikan bonus.”

Jujur saja, Justin agak ngeri membayangkan perang antar saudara yang tengah memperebutkan kekuasaan ini. Tetapi, menolak pekerjaan yang diminta oleh Javier sama saja dengan bunuh diri.

“Kapan aku berangkat?”

Javier memeriksa jam di pergelangan tangan kanannya. “Besok pagi, tiket pesawat sudah diatur Pak Dirga. Bawa ini juga.”

Tangan Justin terulur untuk menerima kartu hitam mengkilap milik Javier. Ia menadahkan dua tangan seolah-olah itu adalah hal yang paling berharga yang pernah dipegangnya. 

“Boleh aku habisin nggak limitnya?”

“Kau benar-benar mengira bahwa kartu itu ada limitnya?”

Rahang Justin nyaris jatuh ke lantai saking senangnya. Ia membungkuk dalam-dalam seperti orang saleh yang berterima kasih kepada donatur. 

“Ngomong-ngomong, tahu nggak, Bro?” Cengiran di wajah Justin digantikan oleh mimik wajah serius. “Aku tadi pagi iseng nyelidikin Vincent Hardi. Itu dia seangkatan sekolahnya sama Nona Constance. Temen lama?”

Lagi-lagi, Lily. 

Javier meraih satu dokumen demi mendistraksi informasi dari Justin. Ia tidak ingin terlihat terlalu peduli. “Memangnya kenapa jika mereka teman lama?”

Justin menjentikkan jarinya. “Ya makanya nggak aneh kalau mereka berdua kelihatan akrab, udah kenal dari bertahun-tahun lalu, kan”

“Poin yang mau kau sampaikan apa, sebenarnya?” Javier mengernyit. Ia memberi Justin tatapan sedingin embun beku.

“Nggak ada, sih. Cuma TMI aja.” Dengan ceria, Justin mengantongi kartu hitam pemberian Javier dan berjingkat keluar dari ruangan sang presdir Kingdom Group sebelum kena semprot lebih jauh lagi.

Dasar berandalan, batin Javier.

Ponselnya berdering, Javier melirik layarnya yang menampilkan nama Ingrid Hayes. Jemari Javier nyaris menekan tombol terima ketika mendadak bayangan kegiatan seksnya dengan sang kekasih diinvasi oleh ilusi Lily. 

Napas Javier memberat. Rambut hitam panjang Lily berkibar, aroma mawar merebak di udara. Senyum manis yang tak pernah ia dapatkan tergambar jelas dalam kepala.

Rahang Javier mengeras, matanya terpejam. 

Untuk pertama kalinya, hingga dering terakhir berbunyi, dia tidak mengangkat panggilan dari Ingrid.[]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Phase Four: Vernal Equinox
6
1
… “Bisakah kita bicara sebentar—” Sekumpulan murka tumpah ruah di sepanjang punggung Javier yang tegak bagaikan jubah berapi-api. Tatapan nyalangnya berpaling dari Vincent menuju Lily. “Istriku?”Kaki Lily melemah, tak mampu bergerak barang sedikit pun saat tubuh gagah Javier memblokir pandangannya terhadap Vincent. Matanya tak berkedip, terpaku pada iras keras aristrokat Javier yang kental akan emosi-emosi berjejalan. Jari-jemari dingin meluncur ke lengan Lily, menyentuh lembut tapi sensasinya bikin merinding setengah mati. … ©2024, Moonatics
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan