THE KING BAB 1 (GRATIS UNTUK BAB PERTAMA)

1
0
Deskripsi

18+ Mature Content.

SEPERTI HALNYA BURUNG ELANG, SEMAKIN TINGGI TERBANG MAKA AKAN IA DAPATI DIRINYA SEORANG DIRI. 

BOSS BESAR MAFIA MUDA IA TELAH MEMILIKI SEMUANYA, HARTA, TAHTA DAN WANITA. NAMUN JAUH DALAM HATI KECILNYA IA TERBELENGGU. SEOLAH TUHAN MENJEBLOSKAN IA BEGITU SAJA KE DALAM DUNIA, DIMANA TAK ADA SATU PUN TEMPAT UNTUKNYA.

UNTUK MENDAPATI POSISI RAJA, KAU HARUS MENGORBANKAN SEMUANYA. KUASA YANG DITUKAR DENGAN RASA SUNYI.

"KADANG INGIN KUTANYAKAN PADA TUHAN APAKAH MENJADI ESA ITU SEPI? SAMPAI...

Elang PoV 

Welcome back to Indonesia

Sudah berapa banyak kekacauan yang kuciptakan? Benarkah aku yang menciptakan seluruh kekacauan itu? Atau ada kuasa lain yang menghendakinya?
Berdiri di atas balkon, membuatku jauh lebih tinggi dibandingkan beberapa puluh atau mungkin sampai seratus orang di bawah sana. Mereka yang dengan senang hati mengunjungi Club-ku, menukarkan keresahan dan rasa sakit dengan sebotol whiskey, atau ciuman panas tanpa cinta selain dari hasrat yang harus disalurkan. Atau, menukar jiwamu kepada setan semacam aku seperti apa yang dilakukan seorang gadis yang kini menghampiriku sebagai perempuan bayaran ke dua malam ini yang mendatangiku.

"Do you want it?" Gerak tubuhnya menggodaku. Tatapan penuh hasrat. Short dress merah yang cukup menarik perhatian. Hah! Tapi apa yang istimewa dari manusia kehilangan jiwanya? Aku tersenyum lebar, membuat seringai yang seharusnya ia mengerti jika aku hanyalah iblis yang dapat menghancurkannya sampai berkeping-keping. "Oh yah tentu saja, Laura. Jika kau mau aku berikan ." Dia tersenyum lebih merayu. Tangan halusnya yang putih berkilau menuntunku masuk ke dalam lift. Menuju ritual di dalam kamar pribadiku di Edn. Edn adalah nama bar-ku yang berada tepat di lantai bawah dari penthouseku, sebuah nama yang tentu saja tidak disetujui oleh Syamsi mengingat Edn dan apa yang di dalamnya sangat bertentangan. Tapi kurasa di Ednlah tempat kita bermula akan jatuh pada kekacauan di muka bumi.

Aku menyudutkan tubuh Laura hingga jatuh ke tempat tidur, lalu menyerangnya dengan ciuman di lehernya. Ia mendesah beberapa kali, semakin membuatku liar. Satu persatu aku berhasil melucuti pakaiannya, dan tanpa sehelai kain ia menatapku dengan tatapan tidak sabar. Aku segera memasang pengaman, untuk memulai penetrasi. Laura terus meracau, menybeut-nyebut namaku diantara desah dan erangnya. “Honey, go deeper and faster, don't try to tricks on me.”
Setelah klimaks, Laura mencoba duduk dan mengecupku, namun kuhalangi bibirnya dengan lenganku.
"I warned you, that I don't like being kissed on my lips. Aku gak sembarangan cium bibir orang dan gak sembarang orang melakukannya."
Laura nampak kecewa, "kau mengatakan itu setelah bercinta denganku?! Dasar iblis! kau menyentuh dan meniduri yang kau suka tapi tidak ingin sebaliknya."

“You got the point!” Aku mendengus culas, mengambit kemeja dan merapikan pakaianku lalu menghabiskan sisa malam dengan merokok di balkon.

.
.
Keesokan paginya.

"Syamsi, terimakasih sudah datang untuk saudaramu yang keren ini, dan yah aku harus bilang langsung ke intinya karena aku tidak punya banyak waktu." Syamsi masih terkesan dengan koleksi batu dan minuman anggur dari berbagai belahan dunia yang berjejer di lemari kaca sehingga ia tak merespon apa-apa.

"Hello brother, bisa cepat sedikit." Aku menunggunya ikut duduk di sofa.

Syamsi terperangah lalu menghampiri dan duduk di sebrangku. "Sumpah kau benar-benar mengoleksi batu-batu itu yang bahkan orang bodoh pun tak melakukannya." Tukasnya dengan tampang gusar yang berusaha ia sembunyikan. Batu yang dimaksudnya adalah benar-benar batu sebesar telur yang bisa kau temukan begitu saja di jalanan atau pantai, hanya saja aku memungut batu yang bercorak unik dan berbeda. Karena jika aku memajang koleksi batu berlian milikku aku harus melapisi lemari penthouseku dengan baja dan emas sebagai alat pelindung lagi.

"Exactly my brother, itulah istimewanya aku." Ucapku. "Langsung saja. Terima kasih kau pasti bersedia membuatkan identitas baru." Lanjutku tanpa ingin berbasa-basi.

"WAIT—WHAT?!!"

"Tidak?" Tanyaku, namun lebih ke arah mendesaknya.

"NOPE ELANG. KAU MENGUNDANGKU KE PENTHOUSEMU SETELAH DUA TAHUN MENGHILANG LALU TIBA-TIBA ADA DI INDONESIA DAN MENYURUHKU??? TERLEBIH MELAKUKAN HAL-HAL ILEGAL, WHAT THE HELL?"

Kudengar dari informanku dia telah berubah, nyatanya tidak sama sekali, ia masih menjadi kakak angkatku yang kadang marah-marah, cemburu karena aku sibuk. Meski memang aku sedikit terpukau dengan penampilannya. Ia menumbuhkan rambutnya yang agak bergelombang sampai ke bahu. Dia juga membiarkan janggut tipisnya tumbuh serampangan sehingga membuatnya agak berwibawa dan tua. Tapi syukurlah ia masih mengenakan pakaian dengan wajar, kemeja putih dan celana panjang abu.

"Bloody hell," umpat ku mencicit setelah menelaahnnya. Kemudian aku menatapnya bingung dengan ucapannya tadi. "Kalau bukan lo brother, siapa lagi. Mahesa sudah tidak berminat terjun ke kegelapan. So... Who's next? I don't have a friend anymore." Aku hanya punya stok musuh yang cukup banyak. Syamsi mendesah nampaknya kehilangan akal untuk merespon permintaanku, atau dia benar-benar telah dijinakkan oleh Lexy.

"Elang, dengar. Gue gak setuju, apa yang lo perbuat, dan lo itu aneh lo bisa saja langsung pergi setelah dua tahun menghilang, tapi kenapa malah kembali dan meminta identitas baru—"

"Ayolah Syam! Masalah deatailnya akan gua perjelas nanti, gua cuma butuh persetujuan lo mau melakukannya." Apakah sifat apatisnya ini dikarenakan ia sudah bertobat? Oh pertobatan macam apa yang sudah ia lakukan. Dimana supporter terbaikku ini?

"Okay! Gue yang bukan siapa-siapa ini bisa apa?! Lo berteman dengan orang-orang elit dan kenapa harus gua?" See? Dia selalu agak melankolia. Jika menurutku ia tidak ahli aku tidak akan menghubunginya dan pulang kemari.

"Kalau ada yang gratis kenapa harus bayar kan?" ucapku memancingnya lebih kesal. "Dan lo nanya bisa apa? Lo Bisa bantu gue buat pergi dari sini dengan tanpa masalah." Jawabku terus terang dengan agak berbisik.

"Meninggalkan istri dan anakmu?"  Tukasnya sengit.

Dia tidak peduli pada ucapan "gratis" yang keluar dari seorang sepertiku? Sungguh dia sudah bertobat atau memang dia selalu tanpa pamrih?

Kuraih sebotol tequila di atas meja di hadapanku dan mengacungkannya menawari Syamsi sebelum kuteguk. Tentu saja dia menggeleng  singkat dengan tampangnya yang merengut.

"Istri ya? Ah yah. Kutinggalkan ia di rumah mewah dengan fasilitas serba ada. Dan ditemani... anak kakakku. Kakak yang mati sebelum sempat kukenal. memang tragis." Ucapku dengan senyuman.

"Elang!!!" Ucapnya. penuh penekanan. Wajah Syamsi memerah.

"Ohhh come on, Syamsi, Matahari, my Sun shine. Aku harus pergi ke suatu tempat. Tanpa diketahui. Gimana lagi caranya kalau bukan memalsukan identitas?"

Dia terdiam beberapa detik, "Emang lo mau kemana?"

"Bali? Of course not. London. Mungkin ke Lost Angeles, entahlah yang pasti suatu tempat sebelum akhirnya ke neraka." Dia hanya mendegus sarkas. "Omong-omong soal pertobatanmu, aku sedikit tidak sreg, kau terlihat tua dan—"

"Sejak kapan kau berani ikut campur pada kepercayaan orang." Ucapnya dengan nada dingin, seperti seorang ayah yang sedang memarahi anaknya karena sudah melakukan kesalahan fatal.

"Sejak aku mendengar kau nyaris meledakan Edn, brother." Dia sontak melotot. Catch up!

Aku dan Syamsi adalah dua orang yang amat berbeda. Tapi kami hidup dan tumbuh di lingkungan yang sama—panti asuhan—sebelum akhirnya takdir gila memisahkan kami dengan cara yang tidak pernah terpikirkan.

Akhir-akhir ini sepertinya ia tumbuh menjadi seorang pria dewasa yang cukup religius, setelah dia menemukan jati dirinya dan mengubah cita-citanya dari chef international menjadi seorang dai? Kukira itu hanya lawakan saja hingga aku sempat menertawakan keputusannya. Tapi kini aku yakin sepertinya dia tidak main-main, setelah kudengar ia sampai nyaris akan meledakan Edn.

"Aku hanya ingin kau mengubah nama barmu karna menuai banyak kecaman dari para pemeluk agama, bukan meledakannya bodoh!"

"Really?" Ucapku menaruh botol yang sedari tadi kupegang kembali ke tempatnya.

"Oh come on, Elang keparat! Aku meledakan barmu sama dengan aku mencari malapetaka." Lalu kenapa informanku melihat beberapa rakitan yang dicurigai bom di bagasi mobilnya. Dan kudengar dia bergabung dengan suatu ormas religius.

"Okay, aku salut kau masih memikirkan hal duniawi. Baiklah soal nama bar, akan kupikirkan nanti. Jadi bagainama dengan permintaanku yang mendesak?"

Asal kau tau, aku mulai gila dengan rutinitasku di Jepang, di negara bagian Asia belakangan ini, karena beberapa masalah pekerjaan yang harus kutangani.
Sedang pekerjaanku memiliki dua jenis, legal dan ilegal. Yang legal terdengar lebih mudah sehingga dua hari yang lalu aku memutuskan untuk mengangkat orang-orang kepercayaanku untuk mengurusinya. Sedang untuk pekerjaan ilegal aku benar-benar harus selektif. Walau kenyataannya menjalankan keduanya tak semudah yang kupikirkan.

Lalu akhirnya tercetuslah ide untuk mengandalkan orang-orang pilihan dan salah satunya adalah Syamsi. Aku tidak bisa menyuruh orang-orangku di sana, dan lagi pula aku lebih memercayai Syamsi ketimbang siapa pun untuk melakukan hal ini, memalsukan identitas agar sedikit lebih leluasa memasuki negara-negara lain. Selain daripada itu, aku sepertinya memiliki banyak alasan penting untuk pulang ke Indonesia.

"Akan aku usahakan, tapi aku tidak mau dipenjara kalau sampai gagal." Aku tertawa. Syamsi lupa jika aku punya banyak uang.

"Aku serius. Aku sekarang punya tanggung jawab besar pada Lexy."

"Ah!" Aku terperangah, inilah salah satu alasan lainnya. "Soal persiapan pernikahanmu, aku punya rekomendasi, this one from my highest level of my taste!!" Contoh undangan kukeluarkan dari saku di balik suitku.

.

.

.

.

"Terlihat mengenaskan, melihat seorang gadis harus menyukai acara-acara televisi yang kami kontrol." Sontak Lexy menoleh ke arahku sebelum akhirnya dia kembali menghempaskan diri disertai helaan napas panjang.

"Bisa kau tekan bel, ketuk pintu atau bahkan kau boleh berteriak di luar."

Yang benar? berteriak? Ide bagus untuk kunjungan berikutnya. Tapi mengingat mungkin aku akan berhadapan dengan Brontus yang menggongong-gonggong, akan kupikirkan lagi. Sebab anjing gilanya Lexy pernah bukan hanya mengiggit celanaku tapi juga isinya. Lagian aku pemilik tempat ini. Apa peduliku dengan izin.

Aku menghampirinya dan duduk di lengan sofa ikut menatap ke arah layar kaca yang sedang menanyangkan gosip terbaru, "Pengusaha kaya menikahi seorang penyanyi kondang," cicitku membaca title berita yang sama sekali tidak berbobot.
Pernikahanku takkan segehger itu, aku akan berbulan madu di bulan. No media. Hanya aku dan istriku. Bercinta hingga gila.

"Ada apa ke sini?" tanya Lexy dengan tatapan cuek dan masih tertuju pada layar tv.

"Nemenin lo buang-buang waktu hidup sambil nonton kotak idiot mempetrontonkan keidiotannya."

Dia mengdengkus lalu menatapku kesal. "Aku belum siap jika harus melihat wajahku  terpampang di tv," ucapnya menyinggung obrolan kami di telpon mengenai tawaran menjadi model papan atas.

Aku tertawa, "Super model!! Tidak akan muncul di stasiun tv-tv lokal, hanya yang bergengsi saja. Jika kau mau, kau untung dan bisnisku akan makin berkembang karena pastinya beberapa perusahaan fashion terkenal akan melirikku." Aku beranjak dari kursi.

"Aku tetap tidak mau, aku hanya ingin hidup sederhana." Tukasnya menolak dengan alasan serupa yang menurutku sedikit agak naif mengingat bagaimana biasanya hasrat manusia bekerja. Bukankah wanita suka barang-barang branded?

Aku berjalan mendekati kulkas yang banyak ditempeli sticker dan foto-foto mendiang keluarganya. Ada foto Syamsi dan aku juga. Dan ya, mungkin Lexy memang orang yang dari dulu selalu terlihat sederhana. "Gadis lugu yang ompong ini pasti menyesal kenapa ia harus menjadi manusia dewasa yang cerewet." Aku menatap foto Lexy kecil yang tengah tersemnyum dipelukan ibunya.

"Lu kesini cuma mau ngata-ngatain aja Lang? Itu terdengar bodoh bagi seorang Elang."

Aku tidak ingin diganggu meneliti foto tiga anak kecil yang terlihat bahagia, jadi kulemparkan sebuah undangan ke atas meja di hadapan Lexy tanpa menoleh ke arahnya.

Kudengar dia meraihnya. Aku menunggu reaksinya sambil berhitung dalam hati. Setelah mencapai angka tiga, bahkan menambahkannya sampai lima, tidak ada reaksi. Jeritan histeris misal?

Aku berbalik. Plak! Undangan yang kulempar menghantam wajahku.
"Tuan Elang, anda merencanakan pernikahan dengan calon pengantin sahabat anda sendiri?"

Aku menghehe, "I'm joking, gua cuma kasih saran model-model undangan yang keren buat Syamsi, tapi dengan nama gua agar terlihat lebih aesthetic."
Jangan kau tanyakan bagaimana reaksi Syamsi kemarin saat melihatnya. Awalnya aku ingin membuatkan undangan dalam bentuk ID card, tapi mengingat Lexy yang selalu sederhana, jadi ya kuputuskan saja undangan itu dalam wujud konvensional.

"Oh come on hargai usahaku, ini sempurna untuk kau dan Syamsi, kesalahannya hanya pada selera humorku." Aku meraih kertas undangan yang jatuh.

"Kotak humor di otak lo gak pernah waras," ujarnya lalu meraih gelas dan menuangkan air putih kedalamnya. "Selalu," tambahnya kemudian meneguk gelas hingga kosong.

"Tapi gua salut, Syamsi masih mau nikahin lo meskipun dia udah berbalik haluan, gua pikir dia akan memilih wanita... santri misal."

Lexy tertawa singkat, memutar kedua bola matanya dengan mimik kesal.
"You think he really has changed ?" ucapnya seperti mengejek. Tentu saja. Nyaris meledakan Eden. Itu yang kutahu dari informanku.

"Saudaraku hampir jadi teroris, tentu saja itu mengejutkanku."

"What?" ucapnya berlagak tidak mengerti.

"Ednku nyaris meledak ditangannya!" tandasku.

"Itu berarti ia berhasil mengelabui iblis dan mengundangnya dari persembunyian." Lagi-lagi Lexy terkekeh singkat. "Mana mungkin dia meledakan tiket nerakamu."

Salah satu tiket lebih tepatnya mungkin. Sebab ya iblis memiliki banyak tiket. Tapi Bar itu adalah tiket kesayanganku. Aku membangunnya dari nol sebelum aku ditemukan oleh keluargaku dan dijadikannya sebagai pewaris bisnis, bisnis gila yang akan menendangku makin jauh ke pelosok neraka.

Lagi pula kenapa ia harus setersinggung itu mengenai nama barku. Kadang ia begitu fanatik

Aku serahkan lagi contoh kertas undanganku pada Lexy. Ia meraihnya, "Thanks, kuakui designnya cocok denganku. Aku setuju jika Syamsi juga suka."

"Kemarin dia bilang, aku tinggal mendapat persetujuanmu."

"Baiklah."

"Aku pergi," ujarku melangkah ke pintu.

"Kemana?"

"Menyiapkan pernikahan kakak kesayanganku, tentu saja."

...
 
 

 

 

Aku bilang aku kehilangan semuanya.
Padahal aku tak memiliki apa-apa, sekalipun sebuah keterikatan emosional.
Mungkin hanya aku yg mengikatkan diri pada mereka.
Kurasa jika kehidupan berulang, sejak awal akan kuikat diriku pada kesendirian.
 
 


 

 
 


 

 
 


 

 Syamsi PoV
 


Gelas kosong. Aku selalu berpikir bahwa apa-apa yang kosong selalu merindukan sang isi. Dan aku selalu ingin menjadi isi bagi semua tempat yang kosong.

Tiga puluh menit yang lalu, sebotol wishky di hadapan ku masih terisi penuh namun sekarang tinggal sebotol wishky yang kosong. Namun, semua tergantung kau menjadi apa, maka kosong mau pun berisi kau akan tetap berharga dan tak akan menjadi sampah.

"Hayoooooo, kau melamun sambil bergumam lagi." Lexy duduk di pangkuanku, menghadap ke arah ku lalu menyilangkan tangannya di tengkuk ku.

"Hmm." Aku masih sedikit mabuk dan enggan menjawab ucapannya. Lalu ia melepas pelukannya dan turun dari pangkuan ku. Menuju kulkas yang berada di belakang kami.

"Nih, minum." dia menyodorkan sebotol air mineral. "Aku gak mau mencium orang yang mulutnya bau alkohol."

"Memangnya siapa yang mau mencium dan di cium saat ini ?" Tanyaku. Mengambil botol yang lexy berikan dan meminum isinya.

"Lagi pula, apa tidak masalah kau minum setelah memutuskan untuk bergabung dengan ormas itu ? Bagaimana jika mereka tau seburuk apa orang yang baru saja bergabung dengan mereka ?"

"Aku tidak begitu peduli dengan yang mereka percayai. Di dunia ini sudah tidak ada yang bisa ku percaya."
Lexy terkekeh. Suara tawanya begitu renyah dan lembut. Bibirnya begitu manis dan sexy namun juga tipis ah rasanya- sial apa yang ku pikirkan. "Kenapa malam-malam datang ke apartemenku ?"

"To see someone horny." Dia menyeringai usil sambil menatap bagian bawah diriku.

"Sini duduk lah di sampingku," ucapku sambil menepuk nepuk sofa di samping ku, mengisyaratkan agar ia duduk.

Lexy duduk dan menyender pada diriku. "Tidak mau satu ciuman?" Tawarnya.

"Tidak untuk malam ini."

"Kau mulai percaya dosa?"

"Sedikit."

"Tapi dari dulu kau memang tidak pernah menyentuh ku, bahkan sampai membuatku berpikir jika kau tidak benar-benar menyukai ku lalu kita akhirnya putus." Lexy menggerutu kesal.

"Ini bukan eropa yang bebas sayang," godaku.

"Saat itu kita ada di Inggris!"

"Umur kita baru 14 tahun."

"Kita pacaran hingga umur 16 tahun! Dan kamu gak pernah sedikit pun menyentuhku!"

Aku tertawa melihat wajah kesalnya. Lalu tak lama kemudian dia juga ikut tertawa.

"Hei, apa alasanmu bergabung dengan orang-orang alim itu?" Tanya Lexy di sela tawanya

"Menarik seorang iblis agar keluar."

"Elang ?"

"Siapa lagi ? Kamu ? Kamu sudah kuikat dan hampir akan kunikahi." Candaku.

"Dasar brengsek! Kau tahu, kadang aku cemburu pada Elang." Ucapnya tiba-tiba.

"Hah? Kenapa harus cemburu?"

"Rasanya kau lebih mencintai Elang dibandingkan aku."

"Ya, karena aku mencintai siapapun yang cacat dan kosong." 
"Jadi benar? Kau mencintai Elang? Terus kenapa bukan dia saja yang kau nikahi?"

"Kau gila! I'm straight. Lagi pula, aku mencintainya sebagai saudaraku. Tidak lebih."

"Ya. ya. ya. Terserah kau saja," Lexy berdiri dari duduk nya lalu melangkah ke arah dapur.

"Mau masak?" Tanyaku.

"Yup. Aku gak bisa membiarkan calon suamiku kurus di hari pernikahan."
 
 

 

.
..
 
 

 

 

Kadang aku berfikir aku cukup dengan diriku sendiri. Menepi dalam sepi. Tapi selalu saja, keberadaanku ini ingin diakui bahwa aku juga benar-benar ada. Sesekali, rasakanlah bagaimana bayangan hidup dalam sunyinya.
 
 

 

 

 

Elang Pov

Tadinya aku akan segera mengeksekusi rencanaku setelah mengurus pernikahan Syamsi, tapi setelah dipikir lagi, bagaimana planning utamaku akan cepat selesai bahkan Syamsi akan disibukkan oleh pernikahannya. Itu artinya aku harus menunggu dan menghabiskan waktuku beberapa lama lagi. Jujur saja agak menyebalkan. Apalagi kalau mengingat dimana ibuku dipenjara. Meski penjara yang disediakan untuknya khusus aku request, tetap saja itu menggangguku dengan cara yang aneh.
Aku tidak tahu apa aku harus kasihan padanya atau justru kesal. Entahlah. Memangnya apa itu perasaan? Hah?Perasaan? Bodoh saja aku membicarakan hal yang paling tak terdefinisi. Perasaan bagiku begitu abstrak. Dan aku bingung harus merasakan apa untuk Ibuku yang kulaporkan sendiri kepada polisi, atas kasus kematian kakakku, namun aku rasa aku pantas untuk memberinya hukuman, anggap saja dengan begitu ibu jadi tidak memiliki akses bebas untuk terlalu berulah.

Meluncur dari penthouse-ku hendak pergi ke rumah dimana Adara ku tinggalkan bersama Mahe. Adara adalah mantan kekasih kakakku yang meninggal ditangan ibuku, ia tewas karena kasus teror yang dirancang ibu sendiri, ia bunuh diri di hadapan ibu dengan menembakkan timah panas ke dalam kepalanya. Kakakku tidak cukup kuat untuk terus menjalani keburukan generasi ke generasi dari keluarga terukutuk ini. Aku belum sempat mengenal kakakku. Aku dititipkan di panti tanpa alasan yang pasti. Dan wasiat terakhir kakakku, ia menitipkan anak yang berada dalam kandungan Adara. Maka dari itulah aku menikahinya.

Adara memberi nama anaknya sama dengan mendiang kakakku, Mahendra. Gadis itu sepertinya cinta mati pada kakakku tak peduli seburuk apa kakakku memperlakukannya ia selalu berada di pihaknya. Adara pernah mematahkan hati Mahesa lalu lebih memilih menjadi kekasih Mahendra, namun kemudian berakhir dengan menikah denganku. Sedang sisi lain, saat zaman SMA dulu aku pernah menykai perempuan yang kini menjadi istri Mahesa. Sungguh hidup ini gila. Aku tak bisa menjelaskan apa hubunganku dengan Mahesa. Yang jelas dia adalah adik Mahendra juga, namun berbeda ibu dan ayah denganku, tapi ayahnya adalah ayah Mahendra, sedang Ibu Mahendra adalah ibuku juga. Rumit.

Gerbang garasi rumah otomatis terbuka ketika Black-dope-car-ku masuk. Salah satu penjaga segera menghampiri untuk membukakan pintu mobil. Tapi segera aku menurunkan kaca, "No no no, mang Diman biar aku saja berhubung mobilku baru selesai dipermulus." Tukasku. Aku tidak menyalahkan mang Diman, karena membukakan pintu mobil sudah menjadi kebiasaanya, tapi kali ini aku tidak ingin mobilku dipegang oleh tangan sembarang. "Oh punten jurgagan." Mang Diman membungkuk dan meminta maaf. Aku segera keluar dari mobil melepaskan kaca mata dan menyelipkannya di saku suitku ketika sang pelayan di depan pintu menyambut dan membukakannya. Aku tersenyum singkat melihat Adara sudah menunggu dibalik daun pintu dengan senyuman manisnya.

"How dare you, hah?!" Ucapnya diakhiri dengan tawa renyah ketika aku memeluk dan mencium pipinya. "Pernikahan kakak baptisku," ia merengut, "Syamsi kakak angkat ku," tukasku membenarkan. Aku menyerahkan paper bag pada pelayan dan menyuruhnya membawakan itu ke kamar Mahe. "Habisnya dia berpenampilan... yah!" Adara tertawa.

Adara mengajakku ke ruang pribadi, lalu memanggilkan pelayan untuk membawakan hidangan. Aku hendak duduk ketika Mahendra muncul berlari riang ke arahku. "Om Elaaaang!" Dia melingkari lutut ku. Jujur semakin tua aku semakin tidak mahir dan merasa canggung ketika berhadapan dengan anak kecil.

"Ow ow, you grow up so fast, boy" Aku berusaha melepaskan pelukannya. "Sudah melihat mainanya?" Aku berjongkok di depan Mahe, anak itu mengangguk senang. "Do you like it?" 
"Yaaa!!! Thank you uncle Elang. You always make me happy. I love you." Aku tersenyum senang melihatnya senang.

"Now, back to your room and play, dear." Ujar Adara. Anak itu segera mematuhi titah ibunya.

"I love you mom!" ucapnya sebelum pergi berlari menaiki anak tangga.

Adara menghempaskan diri di sampingku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. "How's your life?" ucapnya. Matanya memandang lurus ke dalam mataku.

"Good."

"Tak peduli seberapa kacaunya, kau selalu bilang 'good'" Aku tergelak miris akan kebenaran yang ia katakan.

"Aku mau kau yang menemaniku ke pernikahan Syamsi," ujarku.

"Me? Kenapa gak pacar kamu aja?" ucapnya tidak dengan nada kesal atau cemburu. Karena, biar aku jelaskan, hubunganku dengan Adara sebagai suami dan istri hanya berlaku di mata hukum negara dan publik saja. Selebihnya, aku dan dia lebih seperti partner. Aku menganggapnya seperti kakak, bukan hanya karena perbedaan umur kami yang terpaut lima atau mungkin tujuh tahun, tapi karena Adara memang selalu bersikap seperti kakakku.

"Jika aku pergi dengan wanita lain—"

"Apa yang akan dibicarakan orang-orang?" tukasnya. Kemudian ia menghela napas, menyangga kepala dengan tangan bertumpu pada sandaran kursi, lalu menatapku dengan seksama. "Elang, kamu berhak atas hidupmu, kamu berhak menentukannya. Aku tidak akan pernah menjadi beban buat kamu. You deserve better. Dan sesekali utamakan dirimu dibanding apa yang orang pikirkan."

"I know. But. If me deserve better?" tuturku. Adara mengangguk. "So you are." 
"Adara, aku pun tidak akan melarangmu jika kau mau menjalin hubungan. Kau atau mungkin tepatnya Mahendra butuh sosok suami dan ayah. Benar-benar suami dan ayah. Dan kau tahu aku tidak mampu memberikan peran itu. Karena kesibukanku, sifat-sifat burukku yang... tidak layak untuk menjadi seorang ayah yang baik. Apalagi menjadi suami untukmu."

"Di hati aku udah gak ada cinta buat laki-laki Lang, untuk Mahe, biar saja aku yakin Mahendra bisa tumbuh lebih kuat meski tanpa seorang ayah." Aku tertegun, mengingat bagaimana sengsaranya tumbuh dan hidup tanpa ayah. Dan bagaimana menjadi buruknya aku dan almarhum Mahendra.

"Dia akan kuat seperti ayahnya, seperti kamu," imbuhnya lalu membelai wajahku. Aku tersenyum miris. Aku harap, Mahe akan jauh lebih baik dariku, juga dari kakakku.

Aku menghela napas. Bangkit dari kursi dan merapikan suitku. "Aku sebenarnya buru-buru," ucapku.

"Hanya beberapa menit setelah dua tahun tidak mengunjungi rumah?" tuturnya.

"Besok akan kembali ke sini, lagi pula sepertinya aku terjebak di Indonesia untuk beberapa minggu atau mungkin bulan."

"Baguslah, jadi kau bisa sedikit bersantai." Adara ikut bangkit, lalu membantuku merapikan pakaian. "Ingat, jangan terlalu memaksakan diri. Dirimu pun butuh didengar," ucapnya sambil mengetuk dadaku. Aku tersenyum.

"Tentu saja. Aku pamit."

"Hati-hati."

Ah terima kasih Adara untuk pengertian yang tidak pernah aku dapat dari siapa pun.

...
 


 

Sial. Aku mulai mempercayai. Kepercayaan berarti menaruh harap. Dan tidak lain ialah membangun istana yg dapat dihancurkan kapan saja. Aku benar-benar takut.
 


.

.

.

Elang pov
Sore berikutnya

"Tuan, Ibu ingin bertemu sore ini juga."

Bersama erangan yang kutahan, segera kumatikan telpon. Mendengus kesal dan kutarik rambut Laura agar menjauh. "Fuck!" Dia mengumpat dan menatapku kesal karena tak sengaja aku melakukannya terlalu kencang. Kulampirkan senyuman terpaksa sedang Laura merespon dengan memutar bola matanya, lalu membersihkan sudut bibirnya yang agak belepot dengan tisu. "Bisa bawakan suitku?" ucapku pada Laura.

"Kau mau pergi?" Aku diam dan menganggap pertanyaannya retorikal bodoh. Mau tak mau akhirnya ia turun dari sofa dan mengambit suitku yang tergantung dalam lemari. Aku segera merapikan celanaku.

"You haven't even fucked me!" bentaknya sambil melempar suit kepadaku.

"I don't know..." ucapku. "It's me who's losing my appetite, or you... who's losing your appeal," kupamerkan senyuman iblisku. Bukan salahku jika di harus merasa tercampak. Sebab dia tiba-tiba datang padaku sore hari dan mengajakku untuk melakukannya. Disaat moodku sedang jauh dari kata bagus. Asal kau tahu aku tidak pernah mengajak mereka terlebih dulu, mereka selalu menawarkan diri. Meski sesekali aku membutuhkan mereka, menelpon mereka supaya datang dan itu pun hanya untuk menemani ku berbaring di atas ranjang sambil menceritakan isi kepalaku yang penuh. Aku memesan mereka sama dengan mereka bisa beristirahat dari pekerjaaan mereka semalaman.

Aku segera meluncur dari penthouse seolah menuju ke neraka dengan perasaan paling tak dapat aku jelaskan. Kekosongan yang selama ini aku rasa bahkan nampak lebih nyaring dan deskriptif dibanding apa yang melanda pe-rasaku saat ini.

Apa pedulinya aku pada manusia yang nyaris tidak pernah mempedulikan aku. Aku tidak peduli. Aku harus yakin bahwa aku tak mempedulikannya.

Membanting pintu dan menyalakan kontak mobilku lalu dengan kecepatan tinggi aku melesat membelah jalanan kota yang paling kubenci.

Tapi kenyataanya aku menerima semua warisan ini dan menjalankan apa yang pernah Mahendra kakaku jalankan. Apa itu artinya aku masih mempedulikan ibuku???

Cih!

.

.

.

Aku duduk bersandar sofa dengan kedua kakiku terlipat di atas meja. Dan aku tidak berniat menurunkannya bahkan ketika seorang wanita yang seharusnya paling kuhormati datang dan duduk di sebrangku.
Setelah sengaja berpura-pura tak menyadari kehadirannya, aku pun menurunkan kakiku. "Aah, apakabar nyonya? Pasti senang menghabiskan masa tuamu dengan penjara termewah yang belum pernah kulihat sebelumya, sungguh aku terkesan dan malu dalam satu waktu karena menjadi anakmu," ucapku.

"Ibu memanggilmu bukan untuk mendengar celoteh sarkasmu."

"Uh huh?"

"Elang," ucapnya penuh penekanan, ia menatapku tegas dengan nada jengah pada ucapannya.

"Okay, langsung saja pada intinya. Kau ingin aku apa?" Tidak pernah ada kepuasan dalam dirinya. Sekali kau tawarkan dirimu pada pwnguasa kegelapan apa yang akan terjadi? Ia akan memperbudakmu selamanya!

"Ayahmu, mencarimu. Kau harus segera lari." Tandasnya dengan nada serius.

"Lari? Hah? Yang benar saja. Harus kemana aku lari disaat kau, ayah, dan kawanan kalian adalah orang-orang yang bisa menangkapku kapan saja. Kalian hanya mempermainkan aku." Aku sengaja datang kemari untuk menghajarnya, karena sudah berani mengusik garis batasku.

"Aku serius. Jangan gegabah. Ayahmu adalah musuh besarku."

"Tapi dia ayahku."

"Tapi kau tidak mengenalnya!"

"Ya tentu saja! Karena aku kalian buang begitu saja! Seolah aku ini hanya hasil perkawinan anak tikus yang tak terbekati tuhan!"

"Elaaaang." Dia menggebrak meja hingga teh dalam cangkir dan vas bunga diatasnya terseok.

Aku bangkit dan merapikan jasku.
"Aku sudah tidak peduli, aku benar-benar tak peduli lagi pada apa pun. Mau dia membunuhku sekalipun. Apa bedanya mati maupun hidup untukku?" Aku menatapnya dengan napas yang masih terengah karena emosi. “Aku sedang bercinta dan kau menggangguku untuk datang kemari hanya untuk sebuah peringatan permainan. How funny you are." Aku melengos meninggalkan ibu yang berteriak dan mengumpat.

Sepanjang jalan mengemudikan mobil, aku mencari-cari apa yang salah dari semua ini, hingga berakhir pada siapa pelaku yang seharusnya disalahkan.

Tiba-tiba saja mobilku sudah berada di depan gereja. Meski sudah lama absen namun tidak ada keinginan sedikit pun dalam diriku untuk masuk dan memanjatkan rapalan mantra. Yang ada aku harus menahan diri agar tidak mengutuk. Tak lama berdiam di situ aku segera menancap gas. Diam-diam dalam telisik hati, jika seandainya seorang malaikat telah jatuh diperbolehkan meminta sesuatu, aku ingin lepas dari semuanya, entah bagaimana caranya menjadi sesuatu yang tidak pernah tercipta menjadi bagaian semua ini. Aku ingin lepas tapi bukan kematian yang kuinginkan sebagai jalan pelepasanku, karena aku tahu dimana tempat selanjutnya aku akan berkhir.
Dan seberapa pun aku benci berdoa, kurasa aku tetap menginginkan tuhan ada, sebab ia berguna bagiku sebagai tempat untukku meracau bagaimana buruknya karyanya tercipta, arau sekedar mengingat bahwa ada yang lebih kesepian dari pada diriku.

Hampir menjelang malam setalah aku sampai di penthouse, langsung menuju kamar lalu kutanggalkan suitku dan merebahkan diri di sofa, menukar ponsel di tanganku dengan sebuah pistol yang tergeletak di meja, dengan kemarahan yang tersisa aku menembaki dindingku sambil mengingat apa saja hal-hal menjengkelkan seharian ini. Walau baru dua hari yang lalu aku menelpon tukang untuk memperbaiki dinding kamarku, namun sepertinya lubang peluru kembali mengoyaknya lebih banyak.

Orang-orang yang mengenalku bilang bahwa hidupku dipenuhi dengan urusan mengurusi urusan orang lain, terlalu mempedulikan orang lain sampai lupa untuk mendengarkan diriku sendiri. Tak sadar aku tersenyum tipis. Apa yang mereka lihat itu salah. Justru karena aku terlalu egois, agar semua terkendali dan selalu terkendali, sampai tanpa sadar aku tengah mengacaukannya.

Kulesatkan tembakan terakhir untuk melubangi dindingku sambil mengingat ayah dan ibuku, percisnya seperti apa mereka.

Notifikasi ponselku berbunyi mendistraksi titik fokusku, kulirik layarnya yang menampilkan jadwal balapan dipercepat menjadi malam ini. "Shit!" Aku terlonjak dari kursi dan melempar pistolku yang kosong ke tempat sampah didekat meja kerjak.

Bahkan aku belum selesai merayu dan melobi Mahesa untuk menggantikan! Tapi sudah dipastikan dia itu tidak alan sudi mati di umur pernikahannya yang masih belia.

Dua tahun yang lalu balapan liar terakhir di Tokyo yang kuikuti dibawah taruhan para penjudi elit sekitar berhadiah 500M. Berakhir dengan kemenangan namun aku mengalami cedera ketika telah mencapai finish. Entah kenapa remku bisa blong. Bisa kau bayangkan apa yang telah menimpaku sebenarnya, tat kala semua orang mengiraku dua tahun dalam pelarian, sebenarnya sebagian besar aku habiskan berbulan-bulan koma di rumah sakit dan menjalani operasi tulang leher belakangku. Itulah resiko karena terjun langsung pada permainan daripada menjadi seorang dalang dibalik layarnya.

Dan kemarin aku mendapatkan tawaran dengan taruhan mobil mewah dengan harga tergolong fantastis untuk sebuah balapan liar elit di negara Indonesia. Aku tak ingin menyia-nyiakannya. Lumayan, hadiah sebelumnya pun sudah mewujud dalam klinik dan sekolah-sekolah di daerah pelosok, lebih dari hadiah itu balapan memang hobiku sejak duduk di bangku SMA. Sebab karena masih ada satu slot yang kosong tanpa pikir panjang, kemarin aku langsung mendaftar.

Tapi entah kenapa malam ini mendadak aku kurang percaya diri.

"Halo. Langit lo mau gak ikut balap hadiahnya mobil mewah-."

"Aku harus menjadi wali nikah Lexy sebelum aku mati." Belum sempat menjelaskan si Langit sudah menutup telponku lebih dulu. Dasar si robot! temanku yang satu itu benar-benar nyaris tidak pernah manusiawi.

Kuteguk hip flask wine yang kuambil dari saku suitku sambil menimbang-nimbang kembali apakah aku harus ikut atau kubatalkan saja?

Nope!
Seorang Elang tidak akan berhenti hanya karena sebuah ketakutan sepele!!

Dalam hitungan detik jaket kulitku sudah menempel, perlengkapan sepatu, dan juga helm. Menghela napas "Take the garage off, pleas!" Kuperintah assistant virtual dipenthouseku untuk membuka garasi yang belum pernah terbuka lagi semenjak kutinggalkan ke Tokyo.
Turbo si motor hitam jagoanku segera menyapaku setelah roll platinum perlahan tertarik otomatis ke atas.

"Hello, dear. Lets ride. Again."
Aku segera meluncur dengan harapan aku bisa menaklukan malam yang mengenaskan ini dengan kemenangan, kebahagiaan sesaat yang selalu membuatku candu.

.
.
.

Seperti yang sudah kuperkirakan, kelihaian orang-orang di sini berada di bawah orang Brazil maupun Jepang. Aku bisa menyalip satu per satu motor di depanku dengan begitu mudah, berbelok dan lalu menikung nomor demi nomor dari mereka. Dalam adrenaline yang terpacu hebat, yang kupikirkan hanya satu aku harus menang!! Harus!!

Jalanan meliuk, cukup licin setelah gerimis turun. Aku berusaha untuk mengendalikan motorku. Sialnya mataku jadi sedikit buram setelah udara dingin tiba-tiba ikut campur, danembuat kaca helmku berembun. Mataku minus, dan aku lupa tidak memakai lensa kontak.

Aku berusaha sekeras tenaga mengendalikan motor dan rasa ketakutanku. Sebelum pertandingan berlangsung aku menyempatkan diri menghubungi Mahesa untuk memeriksa motorku. Katanya kondisinya baik, tapi lebih baik tidak dipakai apalagi balapan, bagaimana pun motorku sudah kutinggal di gerasi nyaris dua tahun didiamkan, dan belum sempat mendapatkan perawatan lagi. Tapi yang kupikirkan aku akan menang!

Decit rem berbunyi panjang setelah aku melempar stangku ke bahu jalan, tepat setelah seekor kucing melintas begitu saja dan membuatku kaget setengah mati. Namun remku bablas. Terjadi lagi! Tubuhku jatuh berdebum dan terseret ke sebuah lapangan rumput tepat di pinggir lintasan.

Aku segera bangkit setelah motorku berhenti. Banyak orang segera mengerumuni, beberpa temanku di jalanan segera memanggil unit pertolongan. "I'm fine. I'm Oke." Segera kudorong motorku. "Akan kutelpon orang-orangku. Gua gak papa!" Teriaku meyakinkan mereka yang khawatir. "Shit!" Segera aku kembali naik ke atas motor, melaju meninggalkan area balap dengan kekalahan di tanganku. Mereka bubar dan kembali fokus pada balapannya setelah aku sedikit agak emosi.

Aku hendak pulang menuju penthouse, tapi mengingat akan banyak orang di Eden bahkan di lobi depan, kuurungkan niat pulang ke sana dan memutar arah untuk pulang ke rumah Syamsi. Dan sialnya lagi, motorku tiba-tiba mati. "Kenapa rasanya semesta senang menjahiliku dengan cukup kasar!!!" Kutendang motorku dan mengaduh, sepertinya kakiku juga ternyata agak terkilir. Aku menelpon Syamsi tapi aku mendapat notif dia tengah dalam sambungan lainnya.
"Benar-benar kakak yang tidak bisa diandalkan." Hujan semakin deras dan luka-luka di tubuhku mulai kehilangan rasa baal jadi terasa sangat sakit, apalagi dibagian leherku.

...
 


 

Kenapa aku menganggap kehidupan membosankan, sedang ia membuatku merasakan berbagai macam perasaan yang abstrak? Benang-benang absurditas memang takkan pernah terhalang puas. Dan aku bosan tanpa adanya batas.
 

 

.

.

.

Ingatan terakhirku aku jatuh melumbruk di depan pintu tepat ketika Syamsi membukakannya.

Kini sudah dua hari berlalu dari kejadian itu, dan aku masih berada di rumah Syamsi tanpa alasan yang jelas ia menahanku untuk kembali ke penthous. Namun apa yang dia ucapkan ada benarnya bahwa aku perlu istirahat dari apa pun aktivitas ilegal. Ya! seluruh tubuhku masih terasa remuk. Tapi aku masih ingat sebelum aku jatuh pingsan malam itu, Syamsi menertawakanku dengan begitu renyahnya, bahkan setelah melihatku yang lemah ini datang dengan basah kuyup sambil menuntun motorku yang penyok. Seolah dia mempercayai bahwa aku benar-benar iblis yang diabadikan, sehingga ia tak perlu khawatir akan kematian atau patah tulang bisaja saja menimpaku.

Bukan salah dia, aku memang orang yang biasanya menyepelakan hal-hal serius, dan dia tidak tau apa pun, baik tentang cedera parah yang pernah kualami pada tulang leher belakangku, jadi dia pikir ini hanya kecelakaan biasa yang sering aku alami di jalanan dan takkan berakibat fatal. Sebab soal cedera yang kualami, aku tak mengatakannya kepada siapa pun, tanpa terkecuali.

"Bangun lo! Atau mau gua teleponin dokter?!" Dampratnya sambil menebas pantatku dengan jaketnya. Lihatlah, kelakuan malaikat macam apa itu? Tentu saja ia tak ada bedanya dengan iblis sepertiku.

Aku mengeluh panjang, sambil berusaha duduk. Entah sajak kapan manusia gurun ini sudah berada di kamarku.
"Telepon tukang martabak wahai kakakku yang laknat, aku lapar!"

Syamsi tergelak. "Suruh siapa, disuruh turun makan malah langsung tidur. Bini lo dah teriak-teriak nyuruh makan. Ngehe banget lo. Lagian dah tau gua mo nikah malah ikut balapan, ngerepotin aja!" Sungguh perilaku bar-bar yang tidak terpuji.

"Bacot! Cepet! Gua lapar!"

"Oke, btw… gua mo cabut ada kepentingan nih. Kalau ada apa-apa telpon aja."

"Berisik! gua bukan bayi!" ujarku. Dan Syamsi kembali tertawa.

"Oh iya. Lo mo martabak telor apa cokelat?" Katanya lagi setelah berjalan melewati ambang pintu.

"Hmmm," jawabku.

"Gua ngajuin dua pilihan dalam pertanyaan itu idiot, hmmm hah hhmmm heh aja."

"Telor aja, jangan lupa pake saus pedas yang banyak!"

"Oke," ucapnya.

"Sudah sana pergi, jangan sampe celaka dan mati. Repot gua!" Teriakku.

"Gua gak seteledor elu ya bangsat!" Syamsi pun menghilang dari ambang pintu kamar. Lalu aku melanjutkan tidur, efek kecalakan kemarin rasanya seperti vertigo di kepalaku, seluruh badanku ngilu, dan sakit leherku pun kambuh, kadang juga aku muntah, mungkin aku geger otak ringan. Entahlah! Tapi aku menolak untuk diperiksa sebab dokter akan menjabarkan keadaanku pada mereka, alhasil semuanya akan merepotkan! Payah! bagaimana bisa aku separah ini!

Sebelum martabak pesananku datang, aku kembali melanjutkna tidur.
.
.

Sekitar pukul lima sore, aku terbangun setelah merasakan sebuah tangan yang begitu lembut menempel di keningku, ke leherku, mengecek suhu tubuhku. Ketika ku buka mataku dia tersenyum. Sial. Aku baru menyadari jika senyuman Adara memang sangatlah cantik. Pantas saja kaka beradik memperbutkannya.

"Nyonya, anda mengagetkan saya dengan senyuman memesona itu." Aku segera menegakkan diri dengan sangat hati-hati sedang Adara memutar bola matanya mendengar pujianku. Selimutku melorot dan perut six-pack ku yang agak mengendor terpampang.

"Gombalanmu tak mempan El!" Ujarnya. Matanya menatapku.

"El??????!!!" tanyaku dengan nada yang dibuat syok, sebenarnya aku memang syok. "Is it a nickname for your hubby?!"

Adara tertawa dan mencubit perutku. "Cepat pake bajumu! Atau..."

"Atau...?" selaku dengan tatapan nakal.

"Atau kau akan kuhukum dengan harus memakai ini!" Dia menunjukan Cervical Collar kalung penyangga leher patah.

"Oh come on!" Aku merajuk, merebut benda itu dari tangannya lalu menyembunyikannya ke balik selimut.

"Syamsi bilang, sepertinya lehermu kecengklak."

Aku tertawa. "Aku bukan bayi," rengekku dengan nada miris.

"Yes, you're big baby!" Itulah kenapa perlakuannya jika tidak mirip seorang kakak maka Adara akan berkelakar seperti ibuku atau memang dia ibu-ibu.

"Ada apa?" tanyaku.

"Sepertinya kau harus tinggal dulu di rumah, aku akan merawatmu. Kau terluka cukup parah Elang. Dan di sini tidak ada yang memperhatikanmu."

Sepertinya aku pun mulai bosan di sini atau menyendiri di penthousesku, apa salahnya jika aku sedikit bersosialisasi, atau berkontribusi dalam apa itu ya g disebut kehidupan normal.
"Mmm, baiklah, sore ini aku akan ikut pulang ke rumah."

Aku dan Adara turun ke ruang tengah, menemukan Syamsi dan Lexy sedang bersantai di hadapan televisi. Di hadapannya terdapat dua kotak martabak telor.

"Asik pacaran sampai lupa mengantar pesananku cih!" tuturku menyindir Syamsi yang kini sibuk merangkul calon istrinya.
Mereka menoleh berbarengan. Syamsi sontak tertawa.
"Malah tertawa," cicitku sinis.

"Lusuh banget kayak gembel," celetuk Lexy.

"Abis lo tidur lagi sampe ngorok. Dibangunin susah minta ampun." Syamsi meraih kotak martabak di hadapannya.

"Gausah, gua gak mau lagi. Lu berdua habisin aja." Lalu aku menoleh pada Adara yang sedari tadi meyangga lenganku di bahunya. "Sayang nanti di rumah masak yang enak ya, aku laper."

Adara tersenyum meski agak seret melihat senyum kikuknya. Aku menempelkan bibirku ke pipinya lalu berbisik pelan. "Aku sepertinya sudah kembali terbiasa berekting," Adara tertawa.
"Iya sayang aku akan memasak makanan kesukaanmu."

Syamsi berdecih. Sepertinya dia iri pada kemesraan aku dan Adara. “Cih! Akting yang buruk!” ucapnya.


Lalu Adara mewakili berpamitan.

"Jaga penthousesku baik baik, dan jangan ledakkan edn dibawahnya selagi aku tinggal dirumah."

 

.

.

Elang Pov

Aku sudah pulih, meski harus checkup secara diam-diam ke dokter tanpa sepengetahuan siapa pun. Alasannya aku tak mau merepotkan Syamsi maupun Adara yang pasti juga sibuk dengan masalah masing-masing, dan ini juga karena ulahku sendiri maka aku yang harus bertanggung jawab pada diriku.

Sore ini aku sedang bersantai sambil menikmati sebuah buku jurnal mengenai anatomi dan transplantasi punya Mahesa yang ku pinta dia membawanya sewaktu akan datang ke penthouse-ku. Aku bukan seorang kutu buku sepertinya, aku hanya penasaran pada setiap yang terjadi di sekitarku dan aku senang mempelajarinya meski hanya untuk mendapatkan sebuah kesimpulan dan pemahaman dari kacamataku. Manusia adalah makhluk yang unik bukan? Diciptakan sedemikian rupa dengan sangat detailnya. Jika sedikit saja komposisinya salah atau tak seimbang maka manusia akan kelainan. Sepertinya itulah sedikit kesimpulan dariku.

Mahesa berdiri dengan helaan napas panjang yang dibuat dramatis, cukup membuatku mengalihkan perhatianku dari buku, "overheat, oksidasi sehingga brake fluid disebabkan oleh sifat higroskopisnya menurun sehingga rem gagal bekerja, suhu di Indonesia sangatlah ekstrim, panas yang berlebih jadi seharusnya lu ganti setiap setahun sekali."

"Padahal gua anggurin ampir dua tahunan, sekali pake mana mungkin overheat."

"Bisa aja minyak remnya yang kadaluarsa, bisa saja disebakan karat pada perangkat sehingga merusak senyawa kimia pada minyaknya." Mahesa melempar tuas kecil dan mengelap keringatnya.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk dari Syamsi menginterupsi mulutku.

SYAMSI :
Time to fit your dress bitch!

Aku menghela napas lalu sambil mengetik jawaban.


ELANG :
Aku akan datang ke pernikahanmu dengan suit hitamku

SYAMSI :
Haaaa.....? Lexy memilih menikah dengan adat sunda.

ELANG :
Maaf, tapi hubungannya dengan gadis belanda?

SYAMSI :
Katanya karena dia tinggal di bandung cukup lama.

"Konyol," ujarku lalu memasukan ponselku ke dalam saku. Lalu bangkit dari sofa. Brisemaid? Oke! Elang akan memerankannya dengan baik.

"Btw, gua harus pergi. Lo beresin motor gua dan jangan sungkan di sini, anggap aja penthouseslu sendiri." Ujarku pada Mahesa.

"Jangan berulah lagi Lang!" Serunya. Cih. Aku langsung meluncur ke kediaman Adara.

.

"Bagaimana keadaanmu?" Ucapnya muncul dari kolam renang. Aku menatapnya heran, berenang di sore hari yang cukup mendung.

"Jauh lebih baik dari sebelumnya," jawabku memamerkan senyum lebarku.

"Syukurlah."

"UNCLE EEEEEL!!!"
Tiba-tiba dari jendela lantai dua Mahendra berteriak senang memanggilku. Ia tengah disuapi oleh baby sitternya.

"Sepertinya Mahendra terbiasa dengan keberadaanku." Aku malah merasa miris, anak seusianya benar-benar membutuhkan sosok ayah, tapi aku tak bisa memberikan hal itu. Bukan karena aku iblis yang terlu naif pada pernikahan di atas kertas ini. Hanya saja, aku pun dibesarkan tanpa seorang ayah, agak susah bagiku untuk menjalin hubungan laiknya ayah dan anak yang sehat.

"Ya dia sangat senang." Adara keluar dari kolam renang, sementara aku terpaku. Dengan santainya ia berjalan ke gazebo, lalu mengenakan handuk kimononya. Jujur, aku terkagum kenapa dia bisa memiliki tubuh sebagus itu meskipun telah melahirkan seorang anak.

Astaga! Tentu saja nafkah yang kuberikan tidak ia sia-siakan. Perawatan mahal memang menakjubkan, uang dapat mengawetkan umur ya.

"Kemungkinan malam ini Syamsi akan fitting baju. Apa kau ada acara?" tanyaku sambil berusaha mengalihkan perhatianku dari kelokannya. Karena bagaimanapun aku menghormatinya dan menghargai pernikahan ini, aku ini tetaplah lelaki normal yang bisa khilaf!! Tidak! Bahkan bisa sangat khilaf mengingat bagaimana bresngseknya aku.

"Tidak ada."

"Dinnermu?" Tanyaku, aku masih berusaha mengalihkan pandanganku. Aku tau dia sedang dekat dengan seorang pengusaha muda. Pernikahan kami adalah pernikahan terbuka. Jadi masing-masing dari kami takkan keberatan jika memiliki pacar atau hubungan apa pun itu diluar hubungan pernikahan.

Tiba-tiba dia berdiri di hadapanku dengan tampang heran seolah mengintrogasi dari mana aku tau. Tapi kemudian ia seolah tak peduli, toh aku seorang Elang yang bisa tau semuanya hanya dengan menjentikkan jari.

Aku balas menatapnya. Dan tanpa sadar tanganku bergerak membenarkan posisi kimononya, agar menutup dengan benar apa yang ada dibaliknya. "Sorry," ujarku reflek menyadari apa yang kulakuan.

"Aku sudah putus, lagi pula aku hanya mencoba. Dan ternyata aku memang mati rasa." Kemudian dia tetsenyum terlihat cukup palsu. Sedangkan bodohnya aku sedang menahan gelagatku yang salah tingkah dan mati gaya. Aku rasa dia keberatan dengan permintaan ku.

"Begitu. Oke." Ucapku dengan sedikit termangu.

Kami bertatapan dalam beberapa detik. Namun ada sekilas ekspresi dari wajahnya yang tak dapat aku artikan begitu saja. Tapi memeberiku firasat jika dia sedang dalam suasana mood yang tidak cukup bagus.

Sial. Apa aku menganggunya?

"Atau mungkin aku akan menyuruh pihak butik mengirimkan bajumu saja?" tawarku tiba-tiba. Adara menoleh, menatapku, dan aku tidak mengerti apa pun itu yang tengah ia pikirkan dalam kepalanya. "Kalau boleh, punyaku kirimkan saja ya," ucapnya. Ia meraup handuk dan mengeringkan rambutnya sambil berlalu begitu saja.

"Baiklah." Tanpa banyak tanya lagi, aku segera meluncur ke tempat fitting.

Ada yang aneh.

.
.

.

Syamsi Pov

Terdapat beberapa hal yang akan hilang saat kau menjadi dewasa. Namun, bagi sebagian orang mereka bahkan telah kehilangan sebelum masa dewasa itu terjadi.

Ada yang menganggap bahwa itu adalah sebuah kesialan hidup. Ada pula yang menganggap hukuman Tuhan. Tapi pada dasarnya manusia tercipta karena sebuah kesalahan bukan ? Atau kurang lebih begitulah skenario yang ingin Tuhan ciptakan.

"Hari ini jadikan kita fitting baju pengantin ?" Suara Lexy dari balik panggilan menyadarkan ku dari lamunan.

"Ah, iya ayo jadi." Jawab ku, sedekit salah tingkah karena kaget.

"Ngelamun ya ?" Sindir nya.

"Setelah menikah, kehidupan macam apa yang kamu ingin kan ?" Tanya ku sambil memakai sabuk pada celana jeans ku.

"Bahagia sama kamu."

"Apa kita perlu seorang anak ?"

"Tentu saja! Memang nya kamu gak mau bermalam dengan ku ?"

Aku tertawa menanggapi reaksi Lexy. "Aku hanya sedang berpikir. Mungkin kah cukup, jika kita hanya berdua saja sampai tua nanti ?"

"Hmmm. Mari kita diskusikan perihal itu nanti. Bagaimana kalau sekarang kamu cepat keluar dan temui aku sama Kak Langit yang sudah ada di depan rumah mu ? Sepertinya Kak Langit mulai jengkel."

Mata ku terbelalak kaget seketika setelah mendengar pernyataan Lexy. "Sialan! Kenapa kamu malah ajak dia!"

"Tuuuut---" sambungan telpon terputus. Aku menatap datar layar gawai ku. Menghela napas dan mempersiapkan mental untuk bertemu Langit.

.
.
.

Setelah beberapa saat berbalas pesan dengan Elang perihal baju yang akan ia kenakan, aku kembali mencoba pakaian ke tiga dalam acara resepsi. 
Mengenai detail pakaian dan konsep acara pernikahan sepenuh nya ku serahkan pada keputusan Lexy, bukannya aku ingin membebani dia sendiri tapi selera ku benar-benar kacau jika urusan pesta maupun desain baju adat. Meski begitu sebenarnya Elang juga banyak berkontribusi perihal konsep acara dan desain pakaian. Lebih tepat nya jika dilihat sekilas, maka yang lebih terlihat seperti sepasang pengantin yang sedang mendiskusikan acara pernikahan nya adalah Elang dan Lexy dibandingkan dengan ku yang sebenarnya sang calon pengantin pria.

"Tunggu-tunggu ! Kenapa adat nya tiba-tiba diganti ? Kita kan sudah sepakat akan memakai nuansa Eropa classic ?" Elang yang datang di detik-detik terakhir fitting baju langsung melayangkan protes nya pada Lexy.
"Aku hanya menambahkan adat sunda, bukan menghilangkan adat yang kau usulkan!" Balas Lexy.

Elang menghela napas. "Ya ya terserah kau saja lah, dari awal aku sendiri heran kenapa aku ikut memusingkan hal ini." Keluhnya kemudian.

Aku terbahak melihat wajah lelah Elang, namun seketika tawaku terhenti saat sepasang bola mata sinis menatap dingin ke arah ku.

"Ehe Mas Langit, tenang aja acaranya pasti sukses kok." Ucapku kikuk. Lalu Langit pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Yang! Kasih masukan dong! Jangan biarin Elang ngatur hidup kamu mulu dong!" Lexy memberengut sebal sambil menggandeng manja tangan ku.

Aku berbalik menghadap Lexy, lalu mengangkat wajah nya. "Maaf ya, aku tidak lihai dalam hal seperti ini. Kamu sendiri jangan terlalu terbebani ya. Acara kita pasti sukses dan akan menjadi hari yang tak akan pernah kita lupakan meski kita telah sama-sama meninggal." Bisikku tepat di hadapan wajah nya.

Bibir kami kian mendekat. Dan hati kami saling berkata siap untuk saling bertaut. Namun, seketika aku mengambil langkah mundur menjauhi nya. Lexy memalingkan wajahnya kecewa.

"Gua bingung, antara mau muji lo itu cowok sejati bro, atau mengumpat dasar cowok brengsek. Sesuai ekspresi di wajah cewe lu!" Sindir Elang. Lalu meninggalkan kami berdua.

"Kita pulang terpisah saja." Ucap Lexy dingin. Lexy membalik tubuh nya tanpa melihat ku.

Aku menahan tangan nya dan seketika itu kutarik tubuhnya kedalam pelukanku. "Belum saat nya. Saat waktu nya tiba, akan ku cumbu kamu setiap pagi, siang maupun malam. Hingga kamu merasa lelah untuk bercumbu dengan ku." Bisikku.

Lexy terkekeh pelan. "Dasar brengsek!" Rutuknya.

"Ternyata aku cowok brengsek ya?" Goda ku.

"Ya! kamu brengsek!"

"Berarti kamu merasa nyaman pada cowok brengsek ya?"

"Berisik!" Protesnya.

"Udahan yuk?"

"Udahan apa? Gak jadi nikah ?"

"Udahan dulu pelukannya. Malu tempat umum."

"Biarin! Aku gak malu sama sekali kok! Yang penting yang di peluk nya Syamsi! Hanya Syamsi yang udah berhasil motong urat malu ku!"

"Iya iya, tapi kalau kaya gini kita gak bakal bisa pulang."

"Kerasa gak?" Lexy tiba-tiba bertanya.
"Apa?" Aku balik bertanya karena bingung.

"Jantung ku berdetak."

"Hmm" aku bergumam dan mengangguk sebagai jawaban.

"Aku juga ngerasain jantung kamu Syam, tubuhmu hangat. Jantungmu berirama. Setiap detik, detak jantung mu terasa semakin cepat. Bahkan suaranya semakin terdengar seolah semakin mengeras."

"Itu karena saat ini kita sedang berpelukan."

"Tahu gak? Ada rasa nyaman dan juga gelisah saat aku merasakan detak jantung mu Syam."

"Kenapa?"

"Aku takut. Bagaimana jika detak ini berhenti di detik yang tidak tepat. Kehangatan ini akan hilang. Suara detak mu juga hilang dan hanya tersisa keheningan."

"Akan aku lawan. Meski itu takdir Tuhan. Akan aku lawan. Agar kamu tidak merasa kehilangan. Aku janji. Kamu tidak akan pernah merasa kehilangan."

Lexy diam tak bergeming.

"Hoy!!!! Pulang napa! Bucin mulu anjing!" Elang berhasil membuat kami tersadar, dan akhirnya kami pun pulang dengan mobil terpisah. Aku bersama Elang dan Lexy bersama Langit.

Ucapan Lexy sedikit mengganggu pikiran ku. Yang aku takut kan dari sebuah ikatan adalah ketikan ikatan itu terputus, masih adakah hal yang baik-baik saja diantara nya?

.

.

.

Sebelumnya, aku, Syamsi, dan Langit (kakak dari Lexy) berada di tempat yang sama, boutique tempat fitting baju. Aku dan Langit adalah teman sekelas dulu ketika SMA. Tapi dari dulu Langit tidak pernah berubah. Bahkan selama berjam-jam di sana, dia sama sekali tidak menyapaku. Ia juga tidak merasa heran kenapa aku yang ambil pusing dengan pernikahan adiknya ketimbang Syamsi sang mempelai pria yang malah kebingungan setengah mampus dan hanya duduk di sofa sambil menyetujui apa saja yang Lexy dan aku sarankan. Mungkin Langit juga diam-diam percaya pada seleraku seperti Syamsi atau mungkin dia memang terlalu bodo amat.
Sampai acara fitting baju selesai pun Langit sama sekali tak menghiraukan keberadaanku, membuatku cukup kesal. Akhirnya meski berada di tempat yang sama, aku mengirimnya chat dan mengajaknya untuk hangout sebentar, reuni kecil-kecilan bekas geng motor kami dulu. Meski membalas pesan singkat-singkat akhirnya si patung berjalan menyetujuinya.

Sekarang, aku, Syamsi, Langit, dan Leo berada di Penthous. Sebenarnya ada beberapa orang anggota lagi, tapi mereka berhalangan hadir dengan alasan masing-masing.

Aku duduk di kursi bar, Syamsi mengobrol bersama Leo sambil main bilyard. Sementara Langit duduk di sampingku sambil menyilangkan tangan dan sesekali matanya menatap Syamsi.
"Lo gak usah khawatir, dibandingkan sama gua, Syamsi itu lebih baik buat adek lo." Langit merespon komentarku dengan lirikan datar yang bagiku tetap terkesan sengit.

Kami berada di Edn, club di bawah penthousku, hanya saja saat kami berada di area khusus, ruang ekslusif untuk tamu istimewaku, sehingga bising pengunjung dan alunan diskjokey tidak terdengar, dan bisa merequest lagu apa saja yang ini kalian dengar. 

"Pokoknya gue menang, traktir satu botol minuman paling mahal," tutur Leo sambil membidik bola dengan stick, bola itu berhasil mendorong masuk beberapa bola lainnya, ia pun kegirangan.

"Masi aja, mau mabok tapi gak kebeli sendiri lu nyed!" Balas Syamsi sambil mengukur stick-nya mengarah pada salah satu lubang meja.

"Sekali-kali dong Syam elah," protes Leo dengan tampang kekanakannya.

"Gaji lo nge-DJ di Edn kurang gede apa? Protes tu sama boss lu!" Syamsi mengendikan kepala ke arahku.

"Mana berani saya," tutur Leo dengan cengiran sungkannya.

"Management perusahaan gua mengatur gaji itu sesuai. Ini mah kasusnya antara si Leo skillnya pas-pasan atau boros!" ujarku.

"Hehe," respon Leo.

"Gak boros gimana, tiap malem lu sewa cewek kelas kakap," Syamsi menambahkan.

"Nah-"
Tiba-tiba dering ponselku menginterupsi apa yang hendak kukatakan. Alisku seketika mengerut saat membaca nama dilayar ponselku. "My super son" itu artinya Mahendra (anak Adara dan Mahendra kakakku-ia juga dinamai Mahendra, seperti almarhum), tapi yang menamai kontaknya di ponselku sepertinya anak itu sendiri.

"Hallo jagoan..." ucapku.

"Uncle El..." rintihnya diantara isak tangisnya.

Seketika rasa panik menghampiriku, "what happened?"

"Mommy, i don't know. But she... cries," ucapnya dengan sedikit terbata. "Co-come here and calm her down," lalu ia menutup telponnya. Segera aku bangkit dari kursi, wajah panikku membuat yang lain ikut terlihat tegang.

"Ada apa?" tanya Syamsi.

"Anak gua nangis, sorry gua harus cabut," ujarku sambil memasang airphone.

Aku segera meluncur dengan mobilku. Firasat ku tadi sore benar, ada yang tidak beres dengan Adara. Segera aku menghubungi Jack, orang yang selalu kutugaskan mengawasi Adara dari kejauhan. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi seperti itulah aku melindungi orang-orang yang menurutku, entah bernilai entah itu hanya melewati batas dari border line ku.
"Jack," ucapku. Jack yang segera mengerti langsung membeberkan apa yang terjadi."Kau tau tugasmu selanjutnya, lakukan!" Sementara aku memacu mobilku lebih cepat lagi.

.
.
.

SYAMSI

Lagu Aurora berjudul runaway langsung bergema masuk kedalam kedua telinga ku begitu aku masuk kedalam mobil Lexy.

"Elang kemana ?" Tanya Lexy begitu aku membuka pintu di bagian kemudi dan menyuruhnya pindah ke bagian bangku penumpang dengan isyarat anggukkan kepala.

"Aku tidak tahu apa yg terjadi, tadi dia tiba-tiba saja pulang. Dengan wajah gelisah." Jawabku.

Lexy bergumam sebagai jawaban. Mungkin dia bingung harus berkomentar seperti apa.

"Kak langit sudah pulang ?" Tanyanya.

"Belum, dia masih di dalam. Katanya dia mau menginap menunggu Elang pulang. Itu sebabnya aku memilih untuk jalan-jalan semalaman denganmu saja dibandingkan harus terjebak dengan dia." Jawabku di akhiri dengan senyum kikuk.

Lexy tertawa menanggapi jawabanku. "Cobalah untuk mengakrabkan diri dengannya Syam." Ucap nya menahan tawa.

Aku kembali tersenyum canggung, "dia terlalu sempurna seperti namanya. Sulit rasanya untuk menerobos batas yang dia buat terhadap orang-orang di sekelilingnya. Terlebih, latar belakang yang kumiliki membuatku menjadi orang yang tidak dapat dipercaya orang lain begitu saja."

Tiba-tiba mata Lexy meredup. Sendu. Tawanya terhenti seketika. "Kau tahu, dulu aku pun bertanya-tanya apa gunanya kehadiranku jika semua orang tetap terluka. Bahkan lukanya jelas semakin parah meski aku ada didepan mereka. Semua orang selalu bertingkah peduli padaku. Berkata jika mereka tidak ingin kehilangan aku. Namun pada akhirnya saat mereka sendiri terluka, apakah mereka bisa menyelamatkan aku ? Bisakah mereka mempertahankan kehadiranku? Dari segi mana mereka mengungkapkan kepedulian mereka saat mereka sendiri tidak bisa menyalamatkan diri mereka sendiri lalu terluka parah ? "

"Lexy. Maaf..." lirihku. Sepertinya aku salah bicara. Pikirku.

"Kenapa kamu selalu mudah berkata maaf ?"

"Aku..."

"Kak Langit, dia pun sama saja. Seolah di dunia ini tidak ada kata dan tindakan lain yg benar selain meminta maaf." Entah emosi seperti apa yang kini sedang dirasakan perempuan di hadapanku.

"Lexy. Aku... aku tidak yakin kita bisa benar-benar menikah."

Lexy tersenyum miris. "Hah. Kupikir kabar pernikahan kita memang hanyalah salah satu strategimu untuk menarik Elang keluar dari persembunyiannya. Dan aku selalu berusaha meyakikan diriku bahwa itu hanya lah perasaanku saja.!"

"Aku tidak pernah berharap banyak pada kehidupanku. Bahkan untuk merasakan perasaan cinta dan kasih sayang. Aku tidak pernah bepikir bahwa aku berhak merasakannya. Setiap malam aku tenggelam dalam mimpi tentang kenyataan bahwa, bukankah suatu kemalangan saat perempuan seberharga di rimu harus di cintai lelaki sepertiku ?"

Air mata mulai menumpuk di ujung mata Lexy. Sorot matanya yang tajam perlahan melemah. Ia tak mampu menahan air matanya. Ah sial. Aku melukai nya.

"Aku benci kamu."

"Kuantar kamu sampai rumah."

"Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku benci kamu." Lexy terus mengucapkannya di sepanjang perjalanan. Hingga kami sampai di depan rumah nya.

"Kita sudah sampai." Ucap ku. Setelah mematikan mesib mobil.

"Syam. Aku ini manusia. Begitu juga kamu. Terimakasih untuk hari ini."

Kami turun dari mobil bersamaan. Lalu kuberikan kunci mobil nya pada Lexy. Dan memutuskan untuk pulang tanpa sepatah kata pun.

Rumah Lexy, tak begitu jauh dari perumahan elit, rumah yang Elang berikan pada Adara sebagai tempat untuk Adara dan anaknya tinggal. Dari gelagat Elang saat di penthousenya, sepertinya ada masalah dengan keluarga palsunya itu.

"Semoga saja. Meski berjalan aku masih sempat menuju rumahnya."

Rumah mewah yang membuatku merutuk karena jarak pagar dan pintu masuknya yang lumayan sedikit panjang, saat kau datang dalam keadaan panik seperti ini. Aku berlari menuju pintu masuk dan bergegas masuk ke dalam rumah. 
Tangisan Mahendra anak Adara dan teriakan bercampur tangisan Adara menggema di dalam rumah mewah dan luas ini.

"Lang! Elang!" Aku berteriak memanggilnya dan berharap menemukan posisi mereka, sedang ada di ruangan yang mana.

"LELAKI BRENGSEK ITU TAK PERNAH MATI EL! Dia selalu hidup dalam diriku... kenapa? Kenapa? Kenapa EL!" jeritan Adara dengan nada naik turun mulai terdengar jelas. Dan ternyata mereka ada di ruang tengah rumah ini. Sedang Mahendra memangis dalam pangkuan Elang dan memeluknya dengat sangat erat.

'Wow. Masalah apa yang sebenarnya terjadi?' Pikir ku. Aku masih bingung harus mendekat atau keluar begitu saja dari rumah ini saat ini juga.

"Mungkinkah sebaiknya aku tidak ikut campur? Ah. Sejak awal aku sudah salah langkah karena memutuskan untuk datang ke tempat ini." Lirihku pada diri sendiri.

"Syam. Bawa Mahendra jalan-jalan." Elang menatapku serius. Nada bicaranya tegas dan dingin.

Adara yang terduduk di gelas yang pecah, seketika mengarahkan wajahnya padaku dari posisi menunduk. Ia menatapku. Wajahnya kacau.

"Syamsi. Bawa Mahendra pergi jalan-jalan." Lagi. Elang berbicara padaku, dengan nada yang semakin dingin.

Aku mendekat perlahan. Dan membawa Mahendra dari pelukan Elang. Meski sempat memberontak akhirnya Mahendra mau menurut setelah diberi pengertian oleh Elang. 
"Nanti Om Elang dan Mama akan menjemputmu bersama oke? Baik-baik sama Om Syamsi ya." Ucap Elang lembut, sambil mengusap kepala Mahendra. 
Meski enggan, Mahendra mengangguk dan menurut untukku bawa pergi.

Meski sedikit bingung akhirnya aku keluar dari rumah.

"Hmm lantas, bagaimana aku harus membawamu anak kecil ?" Tanyaku, yang hanya dibalas dengan tatapan polos.

Menghela napas. "Mungkin lebih baik kita diam dulu saja disini sampai orangtuamu selesai? Atau kita pesan taxi saja ? Atau kemana aku harus membawa anak-anak jalan di tengah malam begini?"

Kembali menghela napas. "Hoy anak kecil. Tidurlah, bukankah harus nya anak kecil tidur saat tengah malam."

"Mamah... dipukul... lalu... dia menangis.." Mahendra menggengam erat bajuku.

"Kau butuh istirahat anak kecil. Jadi tidurlah meski aku tidak menjamin mimpi mu akan indah." Aku mengeratkan pelukanku saat memangkunya. "Tidurlah. Untuk hari ini kamu sudah cukup berjuang." Bisikku, mengelus bagian belakang kepalanya.

Mahendra tertidur. Dan sepertinya rumah sudah tenang. Aku perlahan kembali masuk kedalam. Dan Adara juga tengah tidur di atas paha Elang yang duduk di sampingnya.

"Ahirnya mereka tenang." Ucap ku pelan.

"Kenapa kamu bisa sampai disini?" Tanya Elang.

"Tadi aku mengantar Lexy, lalu berjalan kemari." Jawab ku.

Ah. Lexy.

"Aku pulang, pinjam motormu." Ucapku sebelum Elang mengitrogasi lebih panjang. Lagi pula wajahnya juga terlihat lelah.

Setelah membatingkan Mahendra di kamar. Aku memutuskan untuk pulang dengan meminjam motor Elang.

"Istirahatlah. Kau perlu istirahat." Ucapku sebelum pergi meninggalkan Elang.

.

.

.

Elang pov

Aku mengangkat tubuh Adara yang terlelap dipangkuanku, melangkah pelan dan hati-hati menaiki anak tangga untuk membawanya menuju kamar, tapi sayang ia terbangun dan terkejut.

"Sorry," ucapnya hendak turun dari kedua tanganku yang menyangganya. Aku tersenyum menahannya. "Miss, you haven't arrived yet." Ucapku, lalu melanjutkan langkah yang sempat terinturpsi itu. 
“I'm fat,” ucapnya sambil menatapku dengan kedua mata sembapnya, kedua mata yang lagi-lagi gagal aku jaga agar tidak mengeluarkan air mata. Sejak awal aku memang tak pernah berhasil menyempurnakan hidupnya dengan memberikannya sebuah pernikahan ini, pernikahan palsu yang dibayang-bayangi oleh sisi gelap kami. "Jangan meremehkan seorang Elang, aku bahkan bisa menerbangkanmu." Aku sampai di anak tangga terakhir, berjalan di koridor tangga yang terhubung langsung ke kamar utama milik Adara. Berpura-pura kesal atas ekspresi wajahnya yang mencibirku, aku pun melempar tubuhnya dan membuatnya terbang beberapa centi dari penganku sebelum akhirnya kembali tersangga disertai teriakan kagetnya dan pukulan ringan ke dadaku. Aku lantas tertawa, tawa paling lantang dan lepas setelah beberapa hari ini. Aku berjalan tanpa menghiraukan gerutuannya.
"Kau bisa melemparku tapi tak sanggup membuka pintu dan menopangku dengan satu tangan saja," dia lagi-lagi hendak turun dan aku mencengkeramnya kuat-kuat. "Kau bisa membukannya tanpa harus turun." Adara kemduian menekan knopnya dan pintu pun terbuka.

Aku membaringkannya di tempat tidur. Lalu duduk di sampingnya. Entah kenapa meski Jack sudah berhasil menangani lelaki sialan yang telah membuat Adara menangis malam ini, aku masih belum bisa merasa lega. "Ra," ujarku membalas tatapan yang sedari tadi terus mengarah padaku.
"Aku minta maaf—"
"Sssssst!!! Aku yang merepotkan. Kenapa kamu yang minta maaf," ucapnya sambil menggenggam tanganku, kedua tangannya yang ramping dan seputih mutiara terkunci di tanganku.
"Aku yang brengsek, seharusnya aku menemani suamiku untuk fitting baju, tapi apa yang kulakukan? Pergi kencan dengan lelaki lain," ujarnya sontak aku tertawa sebab tahu itu candaan yang biasa diantara kami yang menjalankan pernikahan palsu.
"Aku gak pernah larang-larang," ujarku dibalas Adara yang tersenyum. "Karena aku juga sama brengseknya, enggak bahkan lebih brengsek. Sangat brengsek." Adara tertawa. Ia paham maksud ucapanku. Tentu saja, aku ini hanya lelaki bejad yang sering bergonta-ganti perempuan, dibandingkan perempuan-perempuan yang tidur denganku, aku yang lebih pantas disebut lacur di sini meski kebanyakan hanya tidur biasa tanpa melakukan aktivitas sexual. Tapi tetap saja tidak ada pembenaran atas kelakuanku. Ya semenjijikan itulah diriku, kuakui.

"Lang," aku yang terperosok ke lamunan terhenyak.
"Ya?"
"Mmm, dari banyak perempuan, kenapa tak satupun dari mereka yang kamu kasih keturunan?" Pertama, aku selalu memakai pengaman, kedua, aku melakukannya tidak sesering yang mereka pikirkan. Sebab bagaimana pun buruknya aku hanya ingin kenikmatan yang nyata, bercinta dengan orang yang paling kucintai. Sebelum aku sempat menjawab Adara segera menyela, "maaf, kalau itu terlalu privasi."
"Enggak papa, mungkin karena aku hanya tidak mau meninggalkan kelemahan."
"Maksudnya?" Aku tidak ingin berkahir seperti Kakakku, yang kematiannya meninggalkan tragedi, yakni kehidupan Mahe anaknya.
"Aku ingin mati sendiri, mungkin."
Adara menghenyakkan genggamannya. "Ngomong apa sih kamu!" Dia bahkan terlihat tak terima dengan jawabanku yang sedikit kupoles.
Aku terdiam sebab tak bisa menyanggah atau mengoreksi pernyataanku, dan aku pun tak ingin membahasnya lebih jauh.
Setelah beberapa detik berlalu, "kamu tidur Ra, udah malem." Kucoba akihkan topik. Yang awalnya aku hendak meraih selimut untuk menyelimutinya, tabganku terhenti karena Adara memindahkan posisi kepalanya dari bantal ke lahunanku.
"Lang,"
"Hmmm?"
"Tolong jangan berkata begitu lagi,"
"Iya," aku lupa, kematian adalah hal yang masih sensitif bagi Adara.
"Kamu gak sendiri," ucapnya lirih.
Entah kenapa kali ini begitu sulit untuk mengatakan iya. Manusia akan berkahir sendiri, dan dilupakan.
"Tolong jangan tinggalin aku juga," ujarnya lagi dengan suara serak dan gemetar.
"Tidak akan," timpalku, membelai rambutnya yang terurai lembut dan berkilauan. Maaf, jika kelak kenyataannya tak sesuai Ra—batinku menimpali.
"Malam ini pun," tukasnya membuatku sedikit terhenyak. Sebenarnya aku masih memiliki kesibukan lain. Tapi melihat Adara malam ini begitu rapuh dan sedih, rasanya aku pun tidak tega untuk meninggalkannya sendirian.
"Iya aku akan di sini, kamu tidur ya." Adara mengangguk dan kembali menempatkan dirinya di atas bantal.

Aku hendak bangkit untuk tidur di sofa tepat di sebrang tempat tidur, namun tarikan Adara membuatku oleng dan ambruk ke tempat tidur nyaris menimpannya jika aku tak sergap menyangga diriku. Kedua mata kami bertemu, aku terbelalak sedang Adara menatapku begitu dalam.
"Will you do it for me?"
Degup jantungku tiba-tiba meliar. Aku terpaku tak dapat menjawabnya, sampai lagi dan lagi Adara menganggetkanku dengan menarik jasku, kedua tanganku yang menyangga tertarik merendah memperdekat jarak kami.
"First, I don't want to take an advantage of your sadness," ucapku dengan suara sedikit goyah yang memalukan dan dijawab oleh tarikan kedua di ujung jasku.
"The second thing, I only brought one safety tonight,"
"And then?" jawabnya sambil kembali menarik sampai tidak ada lagi jarak yang tersisa antara aku dan dirinya.
"I could go crazy for it."
"I... think, I like... the crazy thing," ucapnya berbisik di telingaku untuk menyulutku lebih jauh. Sialan! Pria mana yang sanggup dengan hal semacam ini.

"I wanna do it, even if it doesn't involve feelings. I think I need it tonight." Ia pandai merajuk dengan perkataan yang ia tahu itu akan melemahkan pertahananku. Tangannya yang lembut mulai menjalar. Napasku tercekat. Tunggu, lagi pula dia kan istriku? Dan dia memiliki tubuh yang luar biasa. Wajahnya memesona, pribadi yang menarik—tunggu!!!! Apa yang barusan kupikirkan?!!! Sialan!! Tapi, kalau itu membuatnya bahagia—
"Lupakan! Wajahmu pucat. Kau pasti capek. Tidurlah," ucapnya sedingin bingkahan es, es yang dilayangkan tepat menimpuk kepalaku yang baru saja akan mengeksekusi keinginanya. Terasa agak perih di ulu hati sih, aku merasa ditelantarkan begitu saja setelah kupikir aku juga mau jika dia butuh sentuhan. Kuhabiskan malam ini dengan merenung sebelum akhirnya kekacauan lain datang.

Tanpa kusadari kinerjalakr membuat air mataku menggenang lalu jatuh bebas entah untuk menjemput kesedihan macam apa. Yang jelas aku menangis tanpa adanya seba

Selamatkan aku. Selamatkan aku yang hendak terjatuh dari tebing kekosongan, meski terlalu curam tempatku, setidaknya teriakanmu di atas sana akan sedikit menenangkan kematianku. Nyatanya gema pun bergeming. Sekali lagi, kau... juru selamatku tak kunjung menampakan diri.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya SUGAR MINT 1&2
1
0
ROMANCE-THRILLER 17+ Ambil sisi positifnyaStevany Leonard cewek terceroboh seantero sekolah dengan sifat periang, ia dipertemukan dengan lelaki yang justru memilik kepribadian bertolak belakang denganya. Dia adalah Fero Rightwart, cowok cuek penderita Malaxophobia sekaligus mantan bar-bar jalanan yang kemudian malah jatuh cinta kepada Stevany. Mereka harus berjuang bersama untuk melewati sesuatu yang berusaha memisahakanya dengan sangat keji.Tak peduli apapun itu merubah baik fisik atau psikismu karena alasanku mencintaimu hanya satu, dirimu sendiri.Bersumpah andaikan hati ini tergetarkan oleh yang lain, aku ingin tuhan mengambil nyawaku ketika itu juga.  MASA PENGEDITAN TYPO--YANG KADANG MALES😊
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan