LAYUR CHAPTER I (FREE FOR THIS CHAP)

10
1
Deskripsi

Ada diantara kisahmu dengannya ibarat aku sedang melayur di dekat tungku perpian. Semakin aku dekat denganmu, semakin aku terbakar.

Ini adalah kisah anak SMA. Cinta pertama yang telat disadari keberadaannya. Bumi, dan Jingga memang bersahabat sejak kecil. Mereka memahami satu sama lain, frekuensi yang sejalan karena lamanya persahabatan mereka terjalin. Hingga Bumi sadari jika tidak ada perempuan lain yang bisa mengubah posisi Jingga di hidupnya, begitu pun Jingga yang selalu menempatkan Bumi dalam...

 

BUMI
 


 

Terkadang perasaan yang lahir
Hanya untuk berakhir mati, tanpa pernah diketahui
 

Hmmm, kuawali ceritaku dengan sebuah gumaman. Bersama sehembus aroma surga di bawah terang bulan malam ini. Aku bersyukur dan aku suka bulan. Karena Bulan, adalah nama asli ibuku, sebelum akhirnya Oma memutuskan menggantinya dengan awalan huruf "W", jadi Wulan. Karena diyakini bisa menyembuhkan penyakit bersin-bersinnya saat cuaca dingin. 
Efektif? Tidak. Malah penyakit itu nurun ke gua, anaknya.

Diatas motor, perjalanan malam, sunyi, aku juga menyukainya. Tapi dalam waktu bersamaan kesunyian juga membuatku takut. Entahlah, aku lebih nyaman berada di antara orang-orang. Ya aku menerima diriku yang menakuti kesunyian, karena kesunyian adalah buah dari kehilangan. Kehilangan orang-orang yang kau cintai. Oma, Opa, dan kematian Cumel, anak anjingnya Reno. Semua itu mengandung kedukaan, mengundang kesunyian.

Rem. Lampu merah tersenyum diatas sana. Bangga karena dapat menghentikan setiap kendaraan. Kecuali dia yang memilih jalan kiri. Tidak dapat dihentikan. Pemerintah mengatur jalanan sesuai dengan filosofis. Kiri memang bengal. Kanan menurut patuh pada sang lampu, sebab kanan adalah kebenaran, kepatuhan.
Ah sudahlah, otak ku memang tak bisa diam, ngaco kalau terus tenggelam dengan obrolannya.

Kulirik ke dekat tiang lampu, awalnya kukira pemilik paha putih mulus itu sang pedusi, alias perempuan. Tapi, setelah dia menoleh sambil menggibaskan rambutnya dengan manja, lantas saja dalam hati aku mengumpatkan "busyet!"

Parah! Dia mendekat. Dengan sepatu high-heels ia berjalan begitu lincah melewati beberapa motor yang berhenti, sekarang dia berdiri di samping motorku sambil menyapa manja dengan tingkah centilnya. Kukira motor keren hanya untuk menggait cewek cantik. Ternyata waria juga bisa.

"Abaaaang~ pilih yang mana perawan atau jendes, perawan emang bohay jandes lebih aduh melehooy." Suara sumbang melantunkan lagu dangdut dengan tari-tari jingkrak membuat ku makin mewaspadai gerak-gerik si pengamen ini. Demi apa pun suara gemercik tutup kaleng yang dimainkannya lebih merdu. Aku diam tak merespon, menatap lurus ke depan. Sampai akhirnya dia berujar dengan suara manja, "Abang~ minta sikit-sikitlah gope." Si waria berpakian sexy kini berani mencolek-colekan telunjuknya ke lenganku. Sementara jantungku berpacu. Bukan hasrat, please meski jomblo aku normal dan aku hanya takut.

Aneh, padahal aku pernah mengalami kejadian serupa, tapi siapa juga yang terbiasa walau pengalaman digoda waria sudah sering. Bagaimana pun lelaki menjelma menjadi sesosok perempuan, dengan make up menor yang gagal total. Itu hal yang menakutkan, khususnya bagiku. 

"Buka sikit boleh," kata si waria dengan logat yang biasa kutirukan ketika menggoda Ali, temanku. Nyaris saja ia membuka kaca helmku. Untungnya tingkat kewaspadaanku sedang sangat aktif sehingga dengan tangkas kutepis tangannya dengan kasar. Tidak ada undang-undang kekerasan kepada perempuan yang kurang tepat bila disebut perempuan… kan?

Dia terkejut dan berteriak. "Eh monyet! Kok galak! Anjir goblok! TERKEDJHOOD GUA!" Suara cowok aslinya keluar dan sama-sama membuatku terkejut. Pengendara lain menertawakannya. Aku pasti ditampol oleh heels-nya, tapi untungnya lampu merah segera berubah menjadi warna hijau. Jadi segera aku melesat dan membuat waria sexy itu mengutuk ku. IH SIA GOBLOG TEU MERE DUIT!  teriaknya menggunakan bahasa daerah, bahasa Bandung, alias sunda.
(Ih lu goblok gak ngasih duit)

Demi bencong di lampu merah yang barusan menggodaku, sungguh malam ini sangat dingin. Aku tak akan mau bermotor jika saja Ibuku, tak memintaku membelikan beberapa bahan kue yang sudah habis untuk pesanan besok. "Ingat bekel kamu juga dari sana!" Ucapan bak mantra voldemort itu langsung membuatku tak berkutik selain mengiyakan perminataanya.

Oh iya, keasiyikan. Kenalin, gua Bumi Semesta Geladi, lelaki berambut blondie turunan dari almarhum kakek. Dan sekarang sedang merasa terenyuh miris saat pelayan indomart mengucapkan selamat malam. Kapan terakhir kali dapat ucapan selamat malam? Kurasa seribu abad yang lalu, saat aku masih menjadi sosok pelaut di kehidupan sebelumnya. Itulah kenapa aku sempat berpikiran ingin bercita-cita jadi Popeye. 

Nama panggilanku, Bumi. Mereka yang sudah dekat memanggilku Bumi. Tapi yang asing kadang lebih enak memanggilku Aldi. Terserahlah, asal jangan panggil aku Bangkit, karena itu nama bapak gua! Dan lasti akan kutampol. Aku baru keluar dari minimarket dengan belanjaan ala emak-emak, setelah butuh waktu setengah jam untuk mencari pesanan yang ada dalam list belanjaan ibuku.

Melangkah lebar dan duduk di jok motor, kurogoh saku celanaku ketika mendengar sebuah notifikasi pesan masuk. Nasib jones, satu pesan langsung read.

 

LINE BERBUNYI 💥 PERKUMPULAN BOCAH EP EP

 

G4Z4L1:
Booyah! 
 

M4H3S4:
Numpang booyah aja bangga :v
 

R3N0:
Ngegame mulu anjir, besok biologi woy bab kawin
 

G4Z4L1:
Weh! Biologi apa agama? Kok kawin? 
 

M4H354:
Perkawinan silang anjir

 

Ternyata spam dari suara rakyat. Mereka tampil dengan nama-nama terbaru mereka. Mencoba mengelabuiku? Aku tidak akan tertipu, jelas aku tahu mereka siapa.

Seru juga tuh nama-nama alay-nya. Ikutan ah. 
 

G3ALD1:
Waw kawin, pengen dong sama pacar😍
 

R3N0:
Haha! Bum nama gak sekalian G30SPKI.
 

Kemudian memang langsung diganti oleh Reno.
 

G30SPKI:
Taiii!
 

G4Z4L1:
Pacar? yang mana Bum? Yang berkumis atau yang brewokan?
 

R3N0:
Bukannya belum jadian?🙂
 

M4H354:
KURANG BERKESAN JADINYA GAK JADI-JADI
 

G4Z4L1:
CAPSLOCK MONYET WKWKW
 

G30SPKI:
MANUSIA BODOH BAHAGIA DENGAN KEBODOHANNYA. -HAMDAN ATT
 DAN AKAN KUBUAT DIA TERKESAN DENGAN KEBODOHANKU

R3N0:
WKWKW hamdan att penyanyi dangdut nyet!
 

G30SPKI:
Haha tua tau aja! 
 

M4H354 :

🗿🗿🗿
 

Kembali ku jejalkan ponselku ke dalam saku jaket. Bergegas menyalakan motor dan melaju mendekati bibir jalan. Aku tak perlu menyebranginya, cukup dengan membelokan stang ke kiri lalu mengikuti arus. Yeah, senang juga dengan kenyataan sekecil ini.

Saat dengan tenangnya aku melaju, tiba-tiba arak-arakan motor berdatangan dari belakang mendahuluiku. Awalnya aku kaget dan tercenung sebentar, namun mendadak rasa penasaran menelisik, dan akhirnya aku memutuskan untuk ikut konvoi tersebut. Seru-seruan aja, tak ada salahnya kan? Mungkin ini kumpulan mahasiswa demo sembako. Aku harus ikutan, sebagai dedikasi kepada protes Ibuku mengenai harga minyak goreng dan telur.

Tepat di lampu merah alun-alun kota aku berhenti bersama arak-arakan konvoi tersebut. "Mas? Ini ada konvoi apa ya?" tanyaku menoleh pada motor sebelah yang dikendarai lelaki berwajah sangar, saking begitu membaranya semangat juang mereka. Kalau benar ini konvoi demonstran sembako.

Namun yang ditanyai hanya memberengut dengan tampang bingung. Belum sempat si Mas menjawab terdengarlah suara sirine yang membuat semua arak-arakan beringsut bubar tak tentu arah.

"Goblok! Geng motor!” Teriak ku. Ada keterkejutan dan penyasalan di dalam teriakan itu. Aku berbelok, terserah kemana jalurnya yang penting malam ini aku selamat dari razia geng motor. Sialan! Kambing hitam nan bego!

Kupacu motorku dengan begitu kencang, menelusuri jalan yang kebetulan tak terlalu ramai. Sampai di suatu pertigaan, aku cukup merasa lega karena tak ada satu pun polisi yang berhasil mengejarku.

Tapi siapa sangka jika sang pemburu sudah ada di depan mata seperti penyehir yang memiliki kekuatan teleportasi. Rem-ku berdecit ketika mobil sang polisi mendadak melakukan turn hingga telentang di depan mataku. Dia itu mau menangkapku, atau ngajak mati bareng? 

"Shit!" Jantungku berpacu kencang, bukan hanya karena baru saja aku akan mengalami kecelakaan. Tapi masalahnya yang nyaris kutabrak, ya itu dia bapak polisi, belum lagi ingat telor dalam kantung yang tergantung di stang motor beradu keras dengan pintu mobil. Pecah! Fix dimarahin bunda.

Komisaris gendut yang keluar dari dalam mobil bersirine itu memiliki kumis tebal, mengingatkanku pada sang kepala sekolah. Tapi kalau boleh jujur, aku akan merasa lebih baik kalau memang polisi itu ternyata kepala sekolahku yang berprofesi ganda. Setidaknya beliau akan tahu jika aku anak didiknya yang tak terlibat hal-hal negtif kecuali keseringan masuk BK karena kesiangan. Tapi nyatanya polisi itu hanya mirip saja, bukan kepala sekolahku.

"Ketangkap kamu ya?" ujarnya sang komisaris keluar ketika menyeret ku turun dari motor.

"Pak! Ampun pak! Saya gak salah. Saya gak ikutan."

"Halah! alasan basi. Sudah jangan banyak bicara. Kamu ikut ke kantor, biarkan motormu dimbil teman saya."

"Tapi pak, sumpah saya bukan bagian mereka. Ini buktinya saya bawa barang belanjaan." Kuperlihatkan isi kantung plastik yang menggantung di stang.
Polisi itu memeriksa, karena tidak buta dia pasti bisa melihat beberapa butir telur yang pecah, tepung, dan hal lainya yang berhubungan dengan kue bolu.

"SIM, STNK?" kata si polisi sambil mengulurkan tangan.

Untung kedua benda penting itu tak pernah aku lupakan, selalu kubawa dalam dompet. "Ini Pak!" kataku sambil mengulurkannya, penuh dengan pengharapan agar barang-barang itu berhasil membebaskanku dari masalah lebih lanjut.

"Anak siapa kamu?" tanya si komisaris sambil mengamati kartu SIM Bumi. Kurasa basa-basinya kurang lucu, jadi aku tidak berminat untuk membalasnya dengan gurauan.

"Ayah Bangkit, RT perumahan Joanda," jawabku dengan cepat, supaya cepat juga semua ini berlalu. Tapi peduli apa dia soal jabatan ayahku yang merupakan seorang RT? Bodo amat!  Aku hanya asal jawab.

Terbayang wajah Bunda yang memberengut sedang menunggu anak kesayangannya ini. Hmmm, gak kepikir mulutnya mulai komat-kamit ngomel.

"Coba telpon!"

Aku kurang baik gimana, aku menuruti titahnya tanpa berkomentar. Lalu telpon pun terhubung. Polisi tersebut meminta handphoneku setelah Ayah mengangkatnya.

"Halo Pak! Ini dari pihak kepolisian, apa benar ini dengan bapak Bangkit?"

.... 

"Begini Pak, anak bapak ikut terjaring razia geng motor di kawasan alun-alun."

.... 
 

"Iya, Saya minta Bapak datang kemari untuk memberi klarifikasi. Kami berada di pertigaan dekat alun-alun."

.... 
 

 ***

 

 

Akhirnya aku bisa bebas, walau lega tetap saja ketika sampai di rumah aku harus mendapat ceramah dari Bunda. Sampai aku tidur dan bangun ke esokan harinya mereka masih saja mengomel. Katanya aku harus dewasa. Dan mereka lagi-lagi memuji saudaraku yang sudah ikut serta membantu ayah membaskan aku dari polsek. Padahal kan yang membantuku temannya, perannya tidak terlalu berpengaruh kalau si temannya tidak ada. Tapi ya si dia diam saja, membiarkan kedua orabg tuaku membangga-banggakannya. Menyebalkan memang.

"Masa motor Bumi disita dulu, terus Bumi ke sekolah gimana?" Mungkin itu keluhan ke sepuluh yang kuucapkan. Pagi ini kami sedang duduk di meja makan. Ayah sedang baca koran, dan ibu sedang memasak adonan setelah beres menyiapakan sarapan sekolahku.

"Tuh! Pake motor Ayah si cungkring!" Sahut Ayah sembari menyeruput teh nya. Dia tidak suka kopi. Kafein katanya tidak baik. Selain sebagai ayah bagi kami keluaraganya, RT yang adil bagi warga, dia juga seorang dokter yang baik kepada pasiennya. 

"Tcak! Terus Ayah gimana ke kantor?" kataku, dengan nada putus asa.

"Pake VW Combi kamu lah! Si sayang jingga!"

Aku mengerutkan dahi ketika suatu kata spesial terselip di kalimat ayahku. “Ih! Ayah! Apaansih! Jingga! Jingga!"

"Hihihi, bukan Jingga anak Bu Naomi ini, kok sewot?" Ayah terseyum menggoda. "Liat deh Bun, anak kamu cemburu," katanya kepada Bunda.

"Anak situ juga! gak jauh beda sama situ!" Kata si Bunda yang sedang mengaduk adonan dengan mixer.

"Lho? Anak kamu dia mah! Suka kukulutus!"

Kalau sudah begini, aku selalu merasa terjomblo, dan ingin teriak siapa aku? Dimana aku? Kamu siapa? kenapa orang tuaku selalu begini disaat aku benar-benar kesal. "Ayah please ...," aku meminta keringanan hukuman yang ia jatuhkan.

"Sorry young me, nothing choice!" Ayahku melengos tak ingin lagi mendengar rayuan anak semata wayangnya.

Aku mendesah pasrah pada keputusan Ayah.
 

 

***

Hari itu dan berlanjut esoknya, aku pergi ke sekolah dengan diantar saudaraku yang baru pindah dari Inggris. Langit, anak dari pamanku. Dibanding denganku, Langit memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Jika aku cerewet dan rusuh, maka Langit manekin, jika aku pemalas maka Langit sang juara kelas, jika aku kuat secara fisik, maka dengan tidak enak hati kubilang Langit mencoba tegar meski rapuh.

Dan sekarang disaat jam pulang aku kembali mencari-cari keberadaan saudaraku itu.
"LAAAAAAANG!" Teriak ku. Nyaris saja aku akan melangkahkan kaki menghampiri Langit tapi suatu teriakan cempreng dari belakang menghentikanku.

"BUMIIIII! IKUT PULANG!" Aku berbalik dan mendapati seorang gadis berkuncir kuda nyengir padaku. My little guk-guk, always charming walau lusuh.

Merutuki nasib sialku, seandainya saja aku bawa motor pasti aku bisa jalan-jalan terlebih dahulu sama Jingga. "Yaah, Jing gua juga nebeng," kataku dengan tidak enak hati.

Dia cemberut, "sama siapa?" tanyanya, biasa selalu terlihat seperti seorang bocah. Lucu. 

"Tuh!" aku menghendikan dagu ke arah Langit yang sedang mengeluarkan motornya dari barisan motor lain.

"Langit!" Serunya, sementara aku was-was saat menyadari wajah Jingga jadi sedikit sumeringah ketika melihat si Langit.

"Hmm," sahutku. Entah kenapa aku kehilangan kata. Ada perasaan ganjil, mengingat mereka berdua yang sering berkomunikasi. Tapi entah kenapa mereka selalu nampak canggung saat sedang berdekatan. Keduanya juga tak ada yang berani memulai saling sapa.

"Ayo Bum!" kata Langit dengan suara datar ketika motornya berhenti di dekatku. Langit melirik sekilas ke arah Jingga, dan Jingga balas tersenyum. Kukira akan ada adegan mengharukan--dan membuatku mati berdiri-- dari sebuah pertemuan mereka. Tapi reaksi Langit hanya menatapnya sekilas. Kontan membuat Jingga cemberut. Itulah, Langit si manekin seperti yang kubilang.

"Duluan ya Jing, lu pulang sama Mahes noh! dia Jones!" Aku naik ke atas boncengan meskipun tak tega meninggalkan Jingga tapi mau bagaimana lagi, aku punya urusan yang teramat penting, sangat-sangat penting meski selama ini gadis itulah yang terpenting di hidupku setelah Ayah dan Bunda.

Dari spion kulihat Jingga berlalu menghampiri Mahesa, dengan wajah ditekuk.
 


 

***
 

Malam hari di teras rumah Jingga, aku duduk sambil memeluk guitar. Ya, kami bertetangga, bahkan bersahabat sejak lama. Dan mustahil! Jika persahabatan antara perempuan dan laki-laki terjalin dengan tanpa rasa dibaliknya.

Oke jujur, aku berulangkali menyatakan perasaanku pada Jingga entah lewat guyonan entah itu secara serius. Namun tak pernah Jingga anggap serius karena menurutnya bagaimanpun aku tak pernah bisa serius. Sampai rasanya aku sudah tidak memiliki apa itu harga diri, saking seringnya kubilang bahwa aku menyukainya, tanpa ia gubris.

"Bum, titip salam yah buat Langit," ujar Jingga sambil menatap bintang-bintang. Sedari tadi Jingga memang banyak bertanya tentang Langit, dan dengan sedikit enggan aku menjawab semua pertanyaannya.

Mendengar itu, aku sedikit terkejut dan ada rasa sedikit perih. "Mmmh," gumamku. Ucapan Jingga memunculkan banyak sekali prediksi di kepalaku. Sudah kubilang, aku memang tidak ada artinya.

Udah titip salam terus titip rindu deh, shit!!
Terus dia bakal suka si Langit nih, fuck!!
Langit juga bakal suka, secara Jingga itu UUHH!
Apa yang harus gua lakuin kalo udah gitu?

Hanya aku yang tahu nanti.

"Emmh, Jing! Udah malem, tidur gih! Gua juga ngantuk," Aku bangkit dengan perasaan gamang.

Jingga ikut berdiri mengecek arloji yang memang sudah menunjukan pukul sepuluh lebih lima belas. 
"Oke deh!"

"Peluk dulu jangan?" Kataku tersenyum menggodanya. "Ih! Apa sih! Wlee!" Jingga melengos masuk. Itu kategori jawaban yang manis. Daripada mendapatkan tampolan seperti baisanya.

 

***
 

Pagi hari. Dengan sudah rapi berseragam. Aku duduk di ruang tamu, baru saja selesai mengikat tali-tali sepatu. Kemudian bergegas ke dapur dimana Bunda sedang membersihkan meja makan bekas sarapan.

"Bun! Minta daun salam!" kataku sambil nyelonong ke dekat lamari pendingin.
Bunda yang tengah membasuh piring di wastafel merengut bingung, "buat?" tanyanya. "Buat ngasih makan Bono!" Sahutku sekenanya tanpa menoleh.

"Kok? Emang Bono domba apa dikasih dedaunan!" Bono emang anjing! Tapi kadang nyeruduk juga kek domba.

"Pokoknya minta," aku mengambil seikat daun salam dan memasukannya ke dalam tas sekolah yang ia sampirkan di sebelah bahunya. "Bumi buru-buru, Langit udah nunggu!"

Sampai di sekolah, turun dari boncengan aku tidak segera pergi dari hadapan Langit, kubuka tasku, dan membuatnya terlihat kebingungan.
"Nih titipan Dari Jingga,"  kuserahkan seikat daun bumbu sayur itu kepada Langit. Menambahnya semakin bingung, belum sempat ia bertanya mengenai maksudku, aku segera melengos duluan ke tikungan koridor.
 

Sial. Belum mengerjakan PR pula.
 

 

Langit


Kepada malam yang gelap membisu.
Izinkan aku bersumpah.
Bahwa kelamku, memiliki cerita yang berbeda.
 


 

Malam itu dingin menggelitik tubuhku. Melalui angin-angin yang berhembus lembut. Terasa rapuh namum menusuk. 
"Hoy Lang! ada agenda lain gak nih! Balapan kek, apa kek, gak ada kerjaan banget! Cuma nongkrong di depan indomart kayak gini mah, buang-buang waktu iya, dapat uang kagak, mening gua diem di kosan bisa tidur iya!" Syamsi mendengus kasar. Sudah tiga kali dia melayangkan protesnya pada Elang, tapi Elang hanya menanggapinya dengan cengengesan tak berati.

Aku diam mengamati tingkah mereka.
Elang menghela napas, "apalah daya ku Syam, sumber balapan lagi sepi, katanya bakal ada razia dadakan dari kepolisian. Itu sih kata informan gue mah."

"Ah dadakan dari hongkokng? Belum juga razi-" Syamsi kembali merutuk, tapi kali ini protesannya terpotong oleh suara sirene polisi, disusul dengan lewatnya beberapa mobil polisi dan motor.

 

"Wah! wah! kayaknya mereka mau razia geng motor kampung nih hahahaha," Elang terbahak memegangi perutnya, wajahnya berubah menjadi sangat bersemangat. "Ngit, Sam, ikut ngejar yok! Dari belakang!"--dia lagi-lagi terkekeh--"tenang paman gua komisaris polisi jadi kita gak bakal ikut ditangkap!" sambung Elang.

Syamsi dan Elang mereka adalah dua orang sahabat yang tinggal di panti asuhan yang sama. Namun setelah mereka menginjak bangku SMA mereka memutuskan untuk keluar dari panti asuhan yang mereka tempati dengan alasan tidak ingin merepotkan ibu panti lagi.

Bagi Elang itu bukan masalah besar karena ternyata dia terlahir dari keluarga konglo merat. Keluarganya sengaja menyembunyikan keberadaan Elang di panti asuhan sampai konflik dalam keluarga itu selesai. Dan saat ini dia juga masih di sembunyikan meski tidak di panti asuhan lagi. Dia di urus oleh pamannya yang sudah Elang anggap sebagai bapak angkat yang bekerja menjadi polisi, dan tinggal di rumah mewah peninggalan orang tuanya.

Sedangkan Syamsi adalah teman dekat Elang bisa dikatakan Syamsi tahu segala hal yang bersangkutan dengan Elang tak terlewat sampai bagian terkecilnya. Karena dialah yang menemani Elang dari masa-masa terpuruknya sampai menjadi tegar seperti sekarang. Berbeda dengan Elang, Syamsi sama sekali tidak mengetahui asal-usul dari mana dan dimana keluarganya berada. Tapi Elang sudah menganggapnya seperti saudara, bahkan mungkin lebih dari itu jika saja ada kata yang lebih tinggi untuk mendeskripsikan hubungan mereka. Selama ini Elang lah yang membiayai kehidupan Syamsi, meski Syamsi tidak mau menerimanya dengan gratis, bisa di bilang bahkan Syamsi rela memberikan nyawanya demi melindungi Elang.

Dan terakhir adalah aku. Langit. Aku sudah cukup dekat dengan mereka, meski aku baru datang di kehidupan mereka sekitar satu bulan yang lalu. Aku pindah kesekolah yang kebetulan sama dengan Elang, dan kebetulan lainnya adalah kami sekelas. Dan Elang lah orang pertama yang menawari untuk duduk sebangku denganku saat aku memperkenalkan diri dulu. Aku satu sekolah dengan Elang, sedang Syamsi berbeda sekolah dengan kami. Dia lebih memilih untuk sekolah di tempat sekolah yang biasa. Karena memang bisa dikatakan sekolahku dan Elang berada adalah sekolah yang cukup elit dengan biaya SPP yang cukup tinggi. Sedangkan Syamsi cukup tahu diri dan tidak ingin terlalu membebani Elang.
 

"Elang! Bener tuh anak GILA NYA GAK KETULUNGAN!" Syamsi berteriakan marah. Aku tersadar dari lamunan tatkala teriakan itu masuk dengan sempurna ke dalam telingaku. Dan mendapati Elang yang sudah memacu motornya mengejar rombongan polisi.
 

"Cih. Merepotkan." Lirih ku.
 

"Anak itu! Bisa gak sih sehari aja dia gak bikin gua jantungan!" Syamsi mengenakan helm nya, meski tetap mengumpat dia tetap ikut mengejar Elang, dan aku tentu mengikutinya dari belakang.

Entah apa yang aku pikirkan tapi Elang cukup bisa membuatku tertarik untuk tetap menjdai temannya. Mungkin karena pribadi Elang yang memang mudah akrab dengan siapa saja.

Suasana sangan riuh, sekumpulan geng motor yang awalnya berkumpul membuat barisan yang rapih menjadi kacau dalam sekejap, memacu kendaraan mereka tak tentu arah. Suasana seketika menjadi ramai dan bising dua hal yang sebenarnya sangat tidak kusukai.

Kami memelankan motor dan tetap berada di belakang rombongan polisi yang mulai menyebar mengejar para anggota geng motor. 
Salah satu dari anggota polisi menghampiri kami. Dan menghentikan motor kami yang sedang melaju pelan.
"Kalian anggota mereka?"
"Bukan pak saya keponakan dari anggota polisi, dan saya sedang mencari paman saya yang sedang bertugas." Elang membuka helm yang ia kenakan, lalu menjawab dengan polos yang di sertai cengiran bodohnya. Sukses juga mengundang jitakan dari Syamsi yang berhenti di samping kiri Elang.
"Jangan tipu saya." Polisi itu berubah menjadi sangar.
"Bapak gak percaya? Mau saya telponin paman saya?" ucap Elang masih dengan tampang polosnya. Polisi itu mengangguk tegas.

Elang mengeluar HP dari dalam saku jaketnya dan menelpon pada Paman nya.
"ADA APA BODOH! PAMAN LAGI TUGAS!" dan suara bentakan langsung menyahut tatkala telepon tersambung, sengaja Elang aktifkan loadspeaker nya.

Tak perlu berlama-lama polisi itu akhirnya percaya dengan perkataan Elang, sepertinya polisi itu jelas mengenali suara atasannya. Kami di izinkan lewat dengan syarat harus berhati-hati karena banyak geng motor yang sedang berkeliaran lari dari kejaran polisi. Elang mengganguk patuh, dan kami pun melanjutkan perjalanan, lebih tepatnya mengikuti kemana Elang akan pergi selanjutnya.

Kami berhenti di sebuah pertigaan. Karena jalan yang terblokade oleh mobil dari salah satu anggota polisi yang berada beberapa meter di depan kami. Ada seorang pengendara motor juga di sana yang sedang di introgasi oleh polisi. Dari perawakan sang pengendara motor sepertinya aku kenal siapa dia, dan aku tahu dengan baik motor milik siapa itu.

"Tepat. Cih. Dasar bodoh." Aku berdesis lirih setelah melihat plat nomer dari motor di hadapanku yang membuktikan dengan pasti bahwa itu adalah motor dari Bumi. Aku Melaju mendekati Bumi yang sedang di introgasi. Elang dan Syamsi mengikuti dari belakang, Elang sempat bertanya kenapa aku mendekat tapi aku tidak sempat menjawabnya dan dia hanya diam mengikuti motorku dari belakang di susul oleh Syamsi. 

Setelah aku memarkirkan motor ku di samping jalan aku turung dan menghampiri Bumi. Diikuti oleh Elang sedangkan Syamsi memilih untuk menunggu di atas motornya sambil menjaga motor kami berdua.

"Langit?" Bumi langsung menyadari kehadiran ku begitu aku mendekat.

"Kamu temannya? Kamu anggota dari geng motor ju-" belum sempat polisi tersebut menyelesaikan kalimatnya ia langsung tersadar bahwa keponokannya berada tepat di sampingku.
"NGAPAIN KAMU DISINI BODOH!" polisi itu langsung membentak Elang. Jelas terlihat jika polisi itu marah karena khawatir. Sepertinya dia paman Elang. Pikirku. Sedangkan Bumi melongo tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya.
"Hahaha Elang kangen Paman jadi Elang ikuti paman. sebenernya kebetulan juga sih bisa ketemu paman," ucap Elang polos sambil menggaruk bagian belakang kepalanya. Gestur yang biasa dia lakukan saat sedang gugup.

"Hah! sudahlah, cepat pulang jangan berlama-lama ganggu Paman. Paman sedang tugas Elang." Ucap pamannya tegas.

"Tapi Paman, yang paman Introgasi itu dia temen Elang namanya Bumi dan dia gak masuk geng motor apa pun."

Polisi itu terlihat sedikit berpikir, dan saat itu paman Bangkit datang. Kutebak sepertinya tadi polisi itu meminta Bumi menelpon orang tuanya.

 

Setelah bernegosiasi dengan paman Bangkit, dan diikuti dengan kesaksianku bersama Elang akhirnya Bumi bisa bebas dari hukuman. Bumi pulang bersama paman Bangkit. Begitu pula aku dan Elang kami memutuskan untuk pulang juga karena hari semakin malam di tambah besok juga kami harus masuk sekolah.

Dua hari berlalu setelah kejadian, dan Bumi yang disita motornya terpaksa harus ikut pulang pergi bersamaku. Jam pulang sudah berbunyi dari lima belas menit yang lalu. Aku sempat menunggu Bumi di depan kelas ku tapi dia tak kunjung datang jadi kuputuskan untuk menunggunya sambil mengeluarkan motor.

"Laaaaaaaaanggggggg" Bumi berteriak dari arah belakang, aku sempat meliriknya hendak menanggapi tapi dia sedang mengobrol dengan Jingga. Jadi, kuputuskan untuk mengeluarkan motor terlebih dahulu. Selesai mengeluarkan Motor aku menghampiri Bumi yang tengah mengobrol.

"ayo Bum." Ajak ku datar. Memandang sekilas Jingga, dia tersenyum. Aku membalas dengan senyum tipis, tapi Jingga membalas dengan tatapan kesal. Apa salah ku? pikir ku. oh, aku lupa dalam waktu sebulan ini belum mengabari tentang kepindahan ku ke Indonesia.

"marah ya? Ya maaf."

Bumi naik ke atas motor. 
"Duluan ya Jing, lu pulang sama Mahes noh! dia Jones!" goda Bumi.
Aku melaju meninggalkan Jingga, kulirik sekilas Jingga pada kaca spion motor ku. dia memberengut marah dan menghampiri teman Bumi yang masih terlihat kesulitan mengeluarkan motornya.

Setelah mengantar Bumi sampai rumah, aku bergegas kembali ke apartemen. Tante sempat mengajakku makan bersama tapi rasanya perut ku sedang menolak untuk diisi. Dan untungnya Tante sedang tidak benar benar memaksa.

Belum terlalu jauh dari halaman rumah Bumi. Nada pesan pada gawai ku terdengar. Aku menepi terlebih dahulu untuk mebacanya.

"Jingga?" gumamku.

Jingga :
Langit kamu kenapa sih?

Ada apa dengan nya? Semarah itu dia? Pikirku. Mungkin tidak ada salah nya jika aku meminta maaf.

Langit :
Maaf.

Jingga : 
Maaf? Hah yang bener aja Lang. aku gak ngerti aku harus kek gimna. Jadinya aku mikir salah aku apa. Kalau aku salah ya aku minta maaf. Mungkin aku bikin kamu risih atau apa, yang jelas bisa nggak kamu ngomong. Atau sekedar senyum gitu. Sehina apa emang aku buat kamu? Sampe kamu sepertinya jijik banget sama aku, buat sekedar nyapa. Sebulan aku nunggu kamu Lang resah sendiri kek orang bego. Dan kamu? Enjoy with your life. HAHAHA

Aku menghela napas. Dia marah besar? Lucu. Aku bahkan kehabisan kata entah harus menjawab apa. Mungkin lebih bai aku biarkan saja agar dia lebih tenang dulu. Aku kembali memasukan gawai milikku kedalam saku jaket lalu melaju menuju apartemen.
 

***


Malam hari di apartemen, entah sejak kapan hal ini menjadi kebiasan ku. aku duduk di balkon apartemen mendengarkan musik melalui headphone putih milikku. Lirik dari lagu Lord Huron- The Night We Met menelisik masuk kedalam telingaku. Entah kenapa aku begitu menyukainya. 
Menghela napas, "hari ini Jingga kenapa ya? Sedang apa sekarang? Kenapa dia tidak menghubungi lagi?" lirih ku.

Malam ini udara Bandung seperti biasanya dingin, suasananya memang cukup ramai, mungkin karena aku sedang berada di ketinggian, jadi aku bisa merasa tenang. Setidaknya rasa tenang itu bertahan sampai lirik lagu yang kudengar berganti menjadi sebuah teriak histeris dari orang yang sebulan ini kukenal baik.

"Ngiiiiit! Gue menangin janda!" aku diam mendengarkan kalimat selanjutnya. "Nah dah gitu, rumahnya jauuuuuuuuuh banget. Anjing! gua berduaan sama janda HAHAHA! Tau-tau bengsin gua abis."

"Terus?"

"Nah, kalau nelpon si Syamsi bakal ribet. Sooooo, tolongin gua wahai temanku yang paling semple."

"Share loc!"

"OK bro!" ucapnya riang.

Sambungan telpon kututup, setelah Elang mengirimku lokasi tempat dia berada. Setelah memastikan lokasi Elang, aku segera masuk kedalam kamar dan kusambar jaketku beserta kunci motor.

***

Hari ketiga menjemput Bumi. Sebenarnya aku tidak terlalu keberatan jika harus pulang pergi bersamanya, hanya saja gara-gara harus menjemput nya aku harus berangkat sekolah lebih pagi.

Pagi ini saat di jalan Bumi tidak terlalu banyak bicara, entah apa yang sedang di pikirkannya, mungkin dia mulai sebal karena motornya yang masih disita sampai sekarang. Atau entahlah aku tidak terlalu peduli.

“Nih titipan dari Jingga.” Ucap Bumi begitu turun dari motor. Dia menyodorkan seikat daun, yang tidak kuketahui apa maksudnya. Tapi belum sempat aku bertanya dia sudah berlari meninggalkan ku dan menghilang di tikungan menuju koridor.

“Hm, mungkin Elang tahu ini apa.” Pikir ku yang entah kenapa langsung teringat anak itu

Hari berjalan dengan normal. Hari ini semua guru masuk. Tadi pagi aku sempat bertanya tentang daun ini, dan katanya ini daun yang biasa di gunakan untuk memasak, Daun Salam namanya. Bibir ku berkedut memikirkan apa yang dimaksud Jingga karena menitipkan Daun ini pada Bumi.

Aku berpikir sejenak, benar-benar tak habis pikir dengan maksud Jingga padahal baru kemarin ia memarahi ku dan bahkan belum menghubungi lagi setelahnya. Akhirnya saat istirahat tiba aku memutuskan untuk mencari Jingga ke kelasnya. Tapi dia tidak ada. Lalu kuputuskan untuk mencari nya di kantin. Dan benar saja dia memang ada disana.

“Hai.” Sapa ku begitu sampai di hadapan nya.

Ia nampak terkejut, lau ekspresinya kembali normal setelah menyadari bahwa aku yang menyapanya. “Iya? Mau apa ya, tuan sombong?” Tanyanya dengan wajah masam.

“ini apa ya maksudnya?” aku mengulurkan seikat daun di tanganku. Jingga terlihat bingung selain itu mukanya juga mulai memerah.
“Bumi bilang kamu nitip ini buat aku.”
Muka Jingga semakin memerah, “Bumi! Lo malu maluin Gua!” teriaknya.

Jingga bangkit dari duduk nya sambil menutupi wajah merah nya lalu berlari pergi meninggalkanku. Aku tersenyum tipis. Bumi memang usil. Sepertinya predikat usil tak pernah luntur darinya bahkan sejak ia kecil.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya LAYUR COVER
2
0
Special cover
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan