
"Berselingkuh itu salah. Pelakunya adalah orang yang hina dan berdosa."
Hidup Amara Senja serasa hambar dan tidak bermakna. Pernikahan yang ia jalani, bukanlah sebuah hubungan yang membahagiakan. Semua berubah saat Amara diminta oleh Keenan - Bos pemilik perusahaan tempat suaminya bekerja - untuk menjadi guru seni anaknya, Julie.
Seiring pertemuan intens antara Keenan dan Amara, cinta mulai bergejolak dalam hati keduanya. Mampukah Amara dan Keenan menghilangkan rasa itu? Atau malah terjatuh dalam gairah terlarang ...?
Khusus 21+
6. Putri Sang Raja
Apa yang membuat manusia sadar akan eksistensinya? Sebuah alasan terbangun pada pagi hari dengan hati yang bahagia?
Dihargai.
Sudah lama Amara tidak merasakan itu. Hatinya bak pohon lapuk yang tidak berisi. Rapuh. Setiap hari dada Amara seakan dipenuhi oleh rasa cemas, getir, dan ketidak-bergunaan. Ia tidak berarti. Semua berubah semenjak pertemuan dengan Keenan. Ada percik dari kilatan semangat yang mulai menyala. Keraguan Amara seketika sirna.
Dia, Keenan, mengakui kemampuan melukis Amara. Sesuatu yang bahkan tidak ia dapatkan dari suaminya sendiri, Bastian. Amara tak lagi mampu menolak permintaan Keenan. Lelaki itu mempercayainya --- satu-satunya orang yang berkata kalau ia membutuhkan bakat Amara.
“Maaaaaraaaaaa?”
Amara sedang sibuk membongkar lemari saat Luciana lagi-lagi datang berkunjung tanpa diharapkan.
“Mara?! Ke mana, sih? Kebiasaan sekali, rumah tidak dikunci dan dipanggil-panggil tidak menyahut! Kalau ada maling bagaimana?” Luciana kembali mendumal.
Amara menuruni tangga dan menyambut Luciana. "Eh, Mama."
"Kamu dari mana saja, sih? Pintu rumah kenapa tidak terkunci?" cecar Luciana kesal.
"Aku lagi di kamar, merapikan lemari pakaian," jawab Amara. Ia meraih punggung tangan Luciana dan mengecupnya sopan.
“Lain kali kalau kamu di lantai atas, pintu depan jangan lupa dikunci!" sergah Luciana. "Kamu, ‘kan, agak budek, mana dengar kalau ada orang masuk. Bisa hilang semua barang-barang berharga hasil jerih payah Bastian kerja karena dibobol maling."
"Iya, Ma." Amara mengangguk pelan. Sudah biasa mendengar omelan dari ibu mertuanya yang cerewet. "Mama mau minum apa?" alihnya.
"Nanti saja." Luciana merebahkan bokong ke atas sofa. Ia lalu membetulkan rambut pendek bergelombangnya sambil melirik Amara. "Duduk sini, Mara," titahnya.
"Kenapa, Ma?" Amara mengambil tempat bersisian.
Luciana merogoh shoulder bag dan menyodorkan sesuatu yang berasal dari dalam tas. "Ini buat kamu," katanya.
"Apa ini, Ma?" Amara mengamati paperbag pemberian ibu mertuanya. Ada sebuah botol bening yang berisi cairan hitam pekat mirip sirup obat batuk.
"Itu jamu," jawab Luciana.
"Jamu?" tanya Amara lagi.
"Jamu buat kesuburan. Kamu minum tiga kali sehari setiap harinya, ya."
Amara sebenarnya tidak terlalu yakin dengan jamu pemberian Luciana. Apa lagi, belum ada label aman pada botolnya.
"Iya, nanti aku minum." Namun, Amara malas mendebat Luciana lebih jauh.
Luciana lantas tersenyum masam. Ia memandang Amara dengan sudut mata --- tatapan sinis.
"Sebagai wanita, kita harus berusaha, Mara. Apa lagi wanita tidak selamanya subur. Mama lihat kamu nggak ada usaha apa-apa biar segera hamil. Sekedar cari pengobatan alternatif aja, tidak."
Amara tertunduk. "Aku sudah berusaha semampuku, Ma."
"Kamu sadar, 'kan, kalau Bastian itu ganteng dan mapan. Kasihan dia kalau sampai tidak memiliki anak seumur hidupnya. Jadi, Mama cuma mau wanti-wanti ke kamu, kalau kamu harus siap jika nanti Bastian memilih menikah lagi," ujar Luciana.
Amara terbelalak. "Mama?!"
"Dari pada diceraikan, bukannya lebih baik kamu ikhlas dimadu. Tidak ada larangan bagi seorang lelaki punya istri lebih dari satu, kok!" tukas Luciana.
Amara mengepalkan kedua tangan untuk menahan amarah.
"Mana ada wanita yang mau dimadu, Ma?" sahut Amara.
Luciana mendecih. "Egois, kamu. Kamu yang tidak sanggup memberikan keturunan, tetapi kamu justru melarang Bastian menikah lagi. Makanya belajar agama lebih dalam, Mara."
"Sebelum menikah, aku sudah menjalani pemeriksaan dan dinyatakan tidak ada masalah. Memang Tuhan belum mempercayakan kami titipan anak. Tolong Mama jangan mengatakan hal yang membuatku terluka begini ..." sergah Amara.
Luciana balik senewen. "Maksud kamu Bastian yang bermasalah?" sungutnya.
"Aku tidak bilang begitu, aku, 'kan bilang kalau memang belum rezeki kami saja, Ma," jelas Amara.
Ia lantas menengok pada jam di dinding. Sudah waktunya Amara bersiap mengajar privat di rumah Keenan.
"Maaf, Ma. Tapi aku harus bersiap-siap dulu." Amara bangun dari duduk.
"Siap-siap? Mau ke mana kamu sore-sore begini? Sebentar lagi bukannya Bastian pulang?" selidik Luciana.
"Mulai hari ini aku mengajar privat, Ma."
Tawa Luciana pecah. "Kamu? Ngajar? Ngajar apa, Mara?" cibirnya.
"Kesenian. Khususnya melukis. Bos Mas Bastian sendiri yang minta langsung."
"Bos Bastian yang minta?" Luciana penuk ketidak-percayaan.
Wanita paruh baya itu pun membisu. Ia tidak habis pikir mengapa Bos Bastian meminta orang seperti Amara untuk mengajar. Dia, kan, cuma wanita kampung yang beruntung karena bisa mendapatkan putranya, Bastian.
***
Kediaman Keenan Alkala Ibrahim terletak pada kawasan elit di Surabaya Barat. Perumahan asri, tenang, dan borjuis dengan citra ekslusif. Deretan rumah-rumah yang dilewati sepanjang Amara berkendara, memiliki ukuran fantastis.
Mobil Amara akhirnya berhenti pada salah satu rumah bergaya Eropa. Setelah memarkirkan kendaraan secara sempurna, ia segera memencet bel di samping gerbang. Seorang berseragam security pun keluar menghampiri.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya security.
"Sore, Pak. Saya Amara Senja. Guru privat yang Bapak Keenan pekerjakan untuk mengajar Julie," terang Amara.
Security itu tersungging. "Oh, Bu Amara. Silakan." Ia membuka gerbang dan mempersilakan Amara masuk. "Langsung saja menuju pintu utama."
Setelah mengucap terima kasih pada penjaga, Amara pun menyusur masuk. Wanita itu berdecak kagum dalam hati.
Rumah Keenan mirip kediaman bangsawan yang pernah ia lihat di televisi. Pada sisi jalan, terdapat taman luas yang didominasi oleh pepohonan hijau. Pola tanaman hiasnya teratur membentuk lingkaran. Amara jadi membayangkan kehidupan seperti apa yang dijalani oleh para penghuni rumah. Kalangan kelas atas yang punya mal tersebar di seluruh penjuru kota.
Di depan pintu utama, seorang wanita berseragam serba hitam sudah berdiri menyambut Amara.
"Selamat sore. Miss Amara, ya?" Ia tersenyum ramah. "Perkenalkan, Miss, saya Santi, kepala staf rumah tangga kediaman Bapak Keenan."
"Selamat sore, Bu Santi." Amara membalas senyuman Santi.
"Mari, Miss. Non Julie sudah menunggu di perpustakaan." Santi mempersilakan Amara.
Begitu melangkah, Amara pun menahan napasnya. Ia takjub akan kemewahan bangunan rumah. Seluruh dinding berwarna putih. Sementara, pantulan cahaya kuning dari lampu kristal menggantung memberikan kesan hangat dan berkerlip pada mata Amara. Kesan megah makin diperkuat oleh pilar-pilar tinggi yang seolah menyangga langit-langit.
Pantas Bastian hampir berang kala Amara menghidangkan masakan sederhana untuk Keenan. Meski begitu, lelaki kaya itu menyantap habis makanan buatan Amara. Sekarang setelah menginjakkan kaki di istana Keenan, Amara baru sadar betapa berbedanya kasta mereka.
Setelah menyusuri koridor panjang yang mirip selasar hotel bintang lima, langkah Santi pun terhenti.
"Silakan, Miss." Ia membuka pintu jati untuk Amara.
Amara melenggang mendahului Santi. "Terima kasih, Bu Santi."
Ruang penuh buku itu terkesan astetik dan klasik. Koleksi buku tertata rapi pada rak-rak kayu yang menempel di dinding. Dindingnya sendiri didominasi oleh ornamen kayu kecokelatan. Terdapat tangga yang melingkar dengan pegangan keemasan untuk mempermudah penghuni meraih buku yang terletak paling atas. Terakhir, lampu hias berjuntai tepat di tengah eternit untuk memberikan pencahayaan maksimal.
Amara menangkap gadis kecil sudah duduk manis melipatkan tangan di atas meja ukir. Dia pasti Julie.
"Non," sapa Santi pada gadis berkepang dua itu. "Miss Amara sudah datang."
"Halo, Julie. Aku Amara," timpal Amara. Ia tersungging seraya membungkuk agar bisa lebih jelas memandang paras mungil Julie.
Kedua sudut bibir Julie tertarik ke atas hingga membentuk lengkungan lebar. Pipi bocah itu bulat dan bersemu merah muda. Julie mirip boneka.
"Hai, Miss Amara." Julie melambaikan tangan.
Santi pun bersiap pergi meninggalkan Amara dan Julie yang akan memulai pelajaran.
"Kalau begitu saya tinggal, ya, Miss. Silakan dimulai pelajarannya."
Amara mengangguk.
"Baik, Bu Santi."
Netra Amara kembali terpesona oleh sosok Julie. Gadis kecil itu mirip seorang putri kerajaan. Di depan Julie sudah berjajar berbagai macam peralatan lukis. Mulai dari cat air, cat minyak, kuas-kuas, kanvas, buku gambar, pensil, dan peralatan lainnya.
"Julie, kamu suka menggambar?" tanya Amara.
Julie menggelengkan kepala. "Aku nggak begitu pandai."
"Tapi suka, 'kan?" tanya Amara lagi.
"Suka. Aku suka corat-coret di buku gambar. Pernah di tembok tapi kata Daddy nggak boleh."
Amara mengulum senyum. "Kalau gitu ... yuk, kita coba gambar bersama." Ia mengambil salah satu buku dan kanvas kecil. "Kamu mau memulai di buku gambar atau langsung di kanvas?"
Bola mata Julie melirik ke kiri atas. "Uhmm," gumamnya. "Julie mau coba pakai kanvas, Miss. Boleh?"
"Boleh, dong!" Amara bergegas meletakkan kanvas ke atas easel.
Ia kemudian menutup tubuh Julie menggunakan celemek agar pakaiannya tidak kotor terkena noda cat. Saat berdekatan, Amara mampu mengendus aroma strawberry yang menguar dari rambur Julie. Sangat manis dan imut.
"Miss, kok, nggak pakai celemek juga?" selidik Julie.
Amara menggeleng. Ia merasa tidak membutuhkan celemek. Gadis manis dan sopan seperti Julie tidak mungkin berantakan saat melukis. Jadi Amara yakin, tak akan terkena percikkan cat.
"Miss sudah menuangkan Julie cat air. Pakailah." Amara menyodorkan palet kepada Julie.
"Apa yang harus kugambar?" Amara menatap Amara dengan bola matanya yang membulat.
"Terserah. Apa pun yang ada di imajinasi Julie. Miss mau lihat cara menggambar Julie seperti apa."
Julie pun mengangguk.
Setelah terdiam beberapa saat. Julie pun mulai berani menggoreskan kuas ke atas kanvas putih. Ia lalu mencampur semua warna yang ada di dalam palet. Akibat ulah Julie itu, Amara sontak mengernyit.
"Kok dicampur semua, Julie?" tanya Amara.
Julie melirik seraya menyeringai.
Ia serta merta mengaduk-aduk kedua telapak tangan ke atas palet. Raut Julie yang semula tenang berubah jahil ke arah Amara.
"Nih!" seru Julie. Ia menempelkan telapak kecilnya yang kotor pada blouse putih yang Amara kenakan.
Amara sama sekali tidak menduga Julie akan melakukan itu. "Astaga?"
"Rasakan seranganku! Penyihir!" teriak Julie kegirangan.
Mata Amara membelalak. Ke mana gadis manis dan sopan yang bersamanya tadi?
"Ju-Julie?" Amara kelimpungan. Ia bangkit dari kursi dan menatap pakaiannya yang penuh dengan noda cat air.
Julie menjulurkan lidah.
"Katanya boleh gambar apa saja? Jadi Julie gambar di baju Miss aja!"
Tidak sampai di situ, Julie tiba-tiba melempar kuas dan cat air miliknya secara sembarangan. Ia juga membanting kanvas ke atas lantai.
"Kata siapa Julie suka gambar? Julie nggak suka!" pekik Julie.
Semula --- Amara pikir bekerja sebagai guru Julie adalah oase di tengah padang gurun kehidupan membosankannya. Ternyata --- ia keliru.
Ini, sih, keluar dari kandang macan, masuk ke dalam mulut buaya!
***
7. Tentang Keenan
"Julie cuma mau gambar sama Mommy!" teriak Julie.
Amara terperangah.
Ia masih tak percaya bocah manis tadi berubah sikap 180 derajat.
"Julie, tapi Miss di sini atas permintaan Daddy-mu. Nanti Julie, 'kan, bisa menggambar sama Mommy-nya Julie lagi." ujar Amara. Ia pun berjongkok agar sejajar dengan tinggi badan Julie.
"Bohong!" bantah Julie. "Miss mau gantikan Mommy, kan? Supaya Julie nggak cari-cari Mommy lagi, kan?!"
"Kok Julie bisa bilang Miss bohong?"
"Daddy pasti bayar Miss Amara untuk menggantikan posisi Mommy! Itu pasti!" Julie mulai berkaca-kaca dan sesegukkan. "Semua karena Mommy nggak akan pulang lagi. Mommy takut sama Daddy! Padahal Julie kangen Mommy!"
"Lho? Julie ..."
Amara mematung salah tingkah. Baru kali ini ia menghadapi seorang anak kecil yang tiba-tiba menangis. Apa lagi, Julie mengungkap fakta mengejutkan mengenai hubungan kedua orang tuanya.
Ketika Julie sedang menangis --- Santi pun datang seraya membawa nampan berisi minuman dan makanan ringan. Kepala staf rumah tangga itu seketika terkejut bukan main. Kanvas dan alat lukis Julie berserakan di lantai. Karpet penuh dengan cipratan cat. Selain itu, blouse Amara juga penuh noda --- ada cap telapak tangan kecil pula. Pasti Julie!
"Astaga. Non Julie?" seru Santi. "Non Julie, kenapa lagi?"
"Bi Santi, Julie, kan, udah bilang enggak mau melukis kalau bukan sama Mommy. Sekarang tahu rasa soalnya nggak mau denger Julie, sih!" sahut Julie berkacak pinggang.
Santi menggelengkan kepala karena tidak habis pikir. Ia lalu beralih pada Amara karena sungkan dengan kenakalan Julie. "Miss Amara, saya minta maaf untuk perbuatan Non Julie. Dia memang suka usil anaknya."
"Tidak apa-apa, Bu Santi. Saya saja yang kurang sigap sebagai guru. Tapi, apa betul yang Julie katakan ... kalau dia sebenarnya tidak mau kursus kesenian?" Amara berbalik tanya.
"Ehm, soal itu ..." Santi berdeham. "Sebenarnya Non Julie memang tidak mau kursus. Tetapi Bapak Keenan ingin memfasilitasi bakat dan minat putrinya. Kebetulan, Non Julie ini suka melukis."
"Oh begitu ..." Amara mengangguk.
Santi memandang Julie tegas. "Non Julie, ayo sekarang say sorry sama Miss Amara."
Julie kembali menjulurkan lidah.
"No way!" sahut bocah cilik itu.
Santi makin panik. Sebaliknya Amara justru mengulum senyum karena geli melihat tingkah laku Julie.
"Sudahlah. Tidak apa-apa, Bu Santi," ujar Amara. Ia lalu menatap Julie dengan teduh. "Miss Amara yang seharusnya minta maaf. Miss tidak tahu kalau Julie sebenarnya tidak mau kursus. Maaf, ya."
Julie membuang muka seraya menggembungkan pipi.
Amara kembali melanjutkan. "Miss akan membersikan tangan dan pakaian Miss dulu di kamar mandi. Miss harap saat Miss kembali, Julie sudah merapikan alat-alat lukis Julie. Bisa?"
"NGGAK MAU!" jawab Julie menantang.
Amara mengulum senyum. "Hmm, nggak mau, ya? Ya tidak apa-apa, sih. Berarti Julie tidak mau dapat hadiah dari Miss Amara."
Julie berkernyit dan menoleh pelan-pelan. "Hadiah?"
"Iya."
"Hadiah apa?" selidik Julie penasaran.
Amara menarik kedua sudut bibir. "Rahasialah."
"Tapi Julie mau hadiah!" rengeknya pada Santi.
"Ya makanya jangan nakal. Turuti apa kata Miss." Santi pun membisik.
Julie menyentakkan kaki ke lantai. "Ih!" decihnya. "Yasudah, nanti Julie rapikan."
Amara tersenyum penuh kemenangan. Ia melihat Julie yang berjongkok dan memunggut sisa-sisa kekacauan yang ia sebabkan.
"Saya permisi ke toilet, Bu Santi," kata Amara.
"Perlu saya antar, Miss?" tawar Santi.
"Tidak perlu. Bu Santi temani Julie di sini saja." Amara melambaikan tangan. "Tapi, toiletnya di sebelah mana, ya?"
"Keluar dari sini, lurus saja melewati koridor. Toiletnya ada di pintu sebelah kiri, Miss," jelas Santi.
Amara mengangguk. "Baik, Bu."
***
Tampaknya Amara lupa, ia sedang berada di rumah super megah yang memiliki luas hampir satu hektar. Seluk beluk kediaman Keenan itu juga mirip labirin.
Amara terus melangkah sesuai petunjuk Santi. Namun, ia benar-benar tak menemukan pintu kamar kecil terdekat. Wanita itu mulai berniat kembali dari pada semakin tersesat. Meski ia harus menahan malu saat bertemu Santi nanti.
"Lurus dan toilet berada di sebelah kiri?" Amara bicara sendiri.
Ia lalu menemukan pintu berbahan jati dengan handle cokelat tua. Dengan hati-hati, Amara pun memutar kenop dan membukanya. Kepala wanita itu mengintip ke dalam --- tampak penghubung ruangan atau foyer. Amara pun melangkah semakin masuk berharap menemukan bath-room. Namun mata wanita itu justru melotot karena pemandangan yang ia temukan.
"P-Pak Keenan!"
Sosok Keenan yang hanya berbalut handuk menutup bagian bawah tubuh. Kulit putih lelaki itu juga berkilap karena lembab setelah mandi.
"Bu Amara?" Keenan menatap Amara bingung.
Amara bergegas membalik badan. "Maaf, Pak! Saya kira ini kamar mandi! Saya permisi!" ucapnya kikuk.
Keenan menangkap blouse Amara yang bernoda. Ia menebak itu pasti ulah Julie.
"Julie berbuat sesuatu? Apa dia bikin ulah?" selidik Keenan mendekat.
Amara menggigit bibir. "Tidak, kok, Pak."
"Lalu kenapa dengan pakaianmu? Ada jejak tangan Julie di situ." Keenan santai menghampiri. Seolah tak terganggu mempertontonkan separuh tubuh telanjangnya pada Amara.
"Ini bukan apa-apa, Pak Keenan. Saya permisi."
Amara buru-buru keluar dari kamar. Jantungnya serasa mau melompat keluar.
Dia bukan tidak pernah melihat lelaki bertelanjang dada. Dan lagi, kalau soal tubuh, tubuh Bastian lebih atletis ketimbang Keenan. Suaminya itu rutin berolahraga di gym. Perut Bastian dijajari otot-otot berbentuk kotak. Bisep sang suami kekar dan kokoh sempurna bak model susu protein. Namun, entah mengapa melihat Keenan barusan, gairah Amara bergejolak.
Kulit Keenan seputih pualam. Lekuk tubuh lelaki itu pas dan maskulin. Selain itu tumbuh rambut halus di sepanjang garis abdomen sang CEO.
"ADUH!" Amara mengacak-acak rambut demi mengenyapkan bayangan Keenan.
"Bu Amara!" Keenan berseru di depan pintu kamarnya.
Amara pun menoleh ke belakang. "I-iya?" tanyanya. Sial! Lelaki itu belum mengenakan pakaian.
"Kalau cari kamar mandi, ada di sebelah sana." Keenan menunjuk pintu yang berjarak tidak jauh dari posisi Amara. Ternyata toilet bersebelahan dengan kamar Keenan yang barusan ia masuki.
"Terima kasih." Amara buru-buru membuka pintu dan mengurung diri di dalam kamar mandi.
***
"Wah, Julie yang rapikan sendiri?"
Julie mengangguk. "Aku rapikan tanpa bantuan Bi Santi!" jelasnya. "Sekarang mana hadiahnya, Miss?"
"Nanti, dong. Kita belajar dulu. Ya?" sahut Amara.
Julie berkecimus. Tetapi ia menuruti Amara dan mengambil tempat di depan kanvas. Gadis kecil itu siap memegang kuas beserta palet.
"Miss ingin lihat kamu menggambar, kali ini serius, ya. Supaya Miss bisa tahu sejauh mana kemampuan Julie. Boleh, kan?" ujar Amara.
"Boleh."
Julie mulai fokus pada lukisan. Ia menggoreskan warna demi warna hingga membentuk siluet seseorang --- yang tampaknya wanita.
"Ini ... gambar siapa, Julie?" pancing Amara. Ia cukup terkesan. Julie memang memiliki bakat menggambar.
"Mommy," terang Julie.
"Oh ... Mommy ..." gumam Amara. Ia mulai penasaran. Amara tidak melihat sosok si Mommy Julie. "Mommy-nya Julie cantik, ya?"
Mata Julie berbinar. "Cantik sekali. Paling cantik sedunia. Mommy-nya Julie artis. Sering masuk TV. Julie kadang-kadang lihat. Tapi sekarang tidak boleh sama Daddy." Bocah itu mendadak masam.
"Kenapa kok nggak boleh?"
Julie mengendikkan kedua bahu. "Ngga tahu. Mommy dan Daddy, kan, sudah nggak tinggal sama-sama. Mommy pergi gara-gara Daddy suka marah."
Maksudnya bercerai? "Oh ... begitu ..." sahut Amara tercenung.
"Julie kangen sama Mommy. Julie nggak mau melukis sama orang lain selain Mommy."
"Mommy-nya Julie pintar melukis juga?" selidik Amara.
Julie mengangguk cepat. "Pintar!" jawabnya. "Tapi kata Daddy Miss Amara lebih pintar, makanya Daddy mau Julie gambar sama Miss aja. Nggak usah ingat-ingat Mommy lagi."
"Astaga ..." Amara membisik pelan. Ia lalu mengelus lembut punggung Julie. "Julie, apa Julie pikir bahwa Miss di sini untuk menggantikan posisi Mommy-mu?"
"He'em."
"Jadi, itu sebabnya kamu bersikap nakal seperti tadi sama Miss?" tanya Amara lagi.
"He'eem ..." Julie membenarkan.
Amara menghela napas. "Miss ini cuma guru privat, Julie. Sampai kapan pun tidak akan bisa menggantikan posisi Mommy Julie dalam kegiatan melukis kalian. Jangan salah paham lagi, ya, Julie?"
"Apa maksud Miss, nanti Mommy bakalan ke sini untuk menemui Julie?" Julie mendadak antusias.
"Ya dong. Namanya juga ibu, pasti ingin menemui anaknyalah."
"Jadi Mommy bakal melukis sama-sama Julie lagi?" cecar Julie.
"Iya, Julie." Amara mengangguk-anggukkan kepala.
Julie mengangkat kedua tangan sambil tertawa gembira. "Asik!!!" Ia lalu kembali melanjutkan lukisannya dengan penuh semangat.
Amara memandang Julie lekat. Perpisahan kedua orang tua selalu mengorbankan anak. Julie sungguh malang. Dia masih sangat kecil untuk paham dengan apa yang terjadi. Dan lagi, Keenan tampaknya terlalu keras pada Julie dan ibunya. Apa lelaki itu tak punya hati sampai tega memisahkan Julie dengan mommy-nya?
Speak to the Devil. Keenan tiba-tiba membuka pintu perpustakaan dan masuk. Tentu saja --- dia sudah mengenakan pakaian lengkap. Kedatangan lelaki itu menguarkan aroma mint yang memenuhi seisi ruang. Amara pun lagi-lagi salah tingkah. Terbayang peristiwa tadi.
"Daddy sudah pulang kantor?" Julie mendongak menyambut sang ayah.
Keenan membungkuk dan mengecup puncak kepala Julie. "Sudah, Darling." Ia melirik ke arah kanvas. "Bagus sekali. Julie yang gambar?"
"Iya. Tanya aja Miss Amara."
Amara tersungging. "Betul. Ini memang Julie yang lukis. Julie cukup berbakat."
"Ini gambar muka Julie, ya?" terka Keenan.
"Bukan, Daddy. Ini Mommy."
Rahang Keenan seketika mengeras. Raut lelaki itu menegang.
Julie kembali melanjutkan, "Kata Miss Amara, nanti Mommy bakal ke sini biar bisa gambar bareng sama Julie lagi."
Keenan mengernyit sembari mendengkus. Ia melirik Amara dengan tatapan dingin. Hal itu membuat Amara merasa terintimidasi.
"Bisa tinggalkan kami berdua, Miss?" ucap Keenan.
"Ba-baik, Pak." Amara bangkit dari duduk dan bersiap pergi.
Keenan segera mencegah. "Bawa sekalian tasmu, Miss. Saya pikir hari ini pelajaran Julie sudah cukup. Tunggu saya di ruang kerja. Minta Bu Santi mengantar Anda ke sana."
"O ... begitu, ya ...?" Amara makin gelisah dan cemas. Dia yakin sudah membuat kesalahan.
Iris pekat Keenan menyorot Amara. "Saya mau bicara."
Ya. Amara 100 persen yakin dia memang telah membuat kesalahan. Dengan lunglai dan lutut yang sedikit gemetar, Amara pun meninggalkan Julie dan Keenan.
Beruntung, ia berpapasan dengan Santi di koridor. Amara tak harus kesasar untuk kedua kali.
"Bu Santi, kata Pak Keenan mau bicara sama saya di ruang kerja," terang Amara.
Santi tersenyum ramah. "Kalau begitu, mari, Miss. Saya antar ke ruangan kerja."
***
Sambil menunggu kedatangan Keenan, Amara sibuk menggulir layar ponsel. Ia membuka situs pencarian online dan mengetik nama Keenan di dalamnya.
Lelaki itu ternyata sangat menjaga privasi dan kehidupan pribadi. Semua artikel yang muncul adalah berita tentang kesuksesan Keenan sebagai pebisnis dan CEO muda. Sama sekali tidak ada informasi tentang mantan istri Keenan atau kapan pernikahan mereka dulu berlangsung.
Namun rasa penasaran membuat Amara enggan menyerah. Ia terus me cari hingga hasil penelusuran paling terbawah sekali pun. Dan Amara berhasil!
Nadira Kemala --- merupakan nama mantan istri Keenan Alkala Ibrahim. Wajah wanita itu familiar bagi Amara. Setelah Amara mencari tahu lebih teliti, ternyata Nadira adalah salah satu artis ibukota. Hanya saja, ia kurang terkenal dan cuma muncul sebagai pemeran figuran.
Kekuasaan dan uang yang keluarga Ibrahim miliki pasti dengan mudah melenyapkan semua informasi negatif seputar perceraian Keenan dan Nadira. Apa lagi, salah satu bisnis yang dikuasai oleh Ibrahim Group adalah media cetak dan stasiun penyiaran televisi. Gampang saja untuk sekedar memblokir artikel-artikel berita atau gosip yang mereka mau.
Amara terkenang sorot sendu Julie ketika membicarakan Nadira.
Julie pasti rindu sang ibu.
"Tega sekali si Keenan." Amara pun menggumam sendiri.
***
Keenan sedang duduk pada arm-chair sembari mengurung Amara dalam pandangan.
"Bagaimana Julie?" selidik Keenan mengawali pembicaraan.
"Menurut saya hasil karya Julie sudah bagus. Pada dasarnya dia sudah ada bakat menggambar," jawab Amara.
"Begitu, ya." Keenan menggumam.
Amara berdeham. "Pak, kalau saya boleh tahu. Tujuan Bapak mengikutkan Julie privat seni apa, ya? Apakah berkaitan dengan pelajaran sekolah Julie? Kalau memang benar demikian, bolehkah saya melihat buku kesenian Julie di sekolah untuk mengetahui kurikulumnya?"
"Tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembelajaran di sekolah. Saya hanya ingin Julie melampiaskan kesedihan dan kekesalan melalui seni. Dulu, menggambar adalah hobi Julie. Jadi, saya pikir itu adalah penyaluran emosi yang bagus. Saya pikir Anda pasti paham." Keenan menaikkan sebelah alis.
"M-maksud, Bapak?"
"Lukisan-lukisan Miss Amara punya makna tersirat. Saya bisa menangkap emosi yang meluap di sana. Saya begitu takjub dan hanyut hanya dengan melihatnya saja. Entah mengapa saya merasa getir sendiri. Karena itulah saya yakin Anda pasti orang yang tepat untuk mengajari anak saya. Akhir-akhir Julie suka marah-marah dan mengamuk. Saya ingin dia melampiaskan kesal dengan kegiatan positif, seperti melukis," terang Keenan.
Amara menelan saliva. Keenan menyindir atau sedang memuji?
Keenan kembali melanjutkan, "Saya kira ia akan berulah dan tidak mau mengikuti kelas. Tapi, ternyata Anda bisa menguasai suasana ..." Sorot mata Keenan berubah tajam. "Dengan cara yang saya tidak suka."
"Ma-maksud Bapak?" tanya Amara.
Keenan meringis. "Miss Amara lancang karena menjanjikan Julie akan bertemu dengan Mommy-nya jika ia mengikuti kelas seni dengan baik."
"Saya tidak menjanjikan itu. Sepertinya Julie salah paham menafsirkan perkataan saya. Lagi pula wajar kalau seorang anak rindu dengan ibunya, kan?" sahut Amara.
"Julie tidak akan pernah bertemu lagi dengan Mommy-nya." Raut Keenan menegang. Ia terlihat kesal kepada Amara.
"Jadi itukah sebabnya Pak Keenan bilang kalau saya bisa menggantikan Mommy Julie dalam melukis bersama? Pak Keenan tahu betul itu tidak mungkin. Saya cuma orang asing bagi Julie. Tidak akan pernah bisa menyaingi ikatan batin antara ibu dan anak."
Keenan mendecih. "Ikatan batin?" bisiknya. "Saya membayarmu mahal agar kamu bisa bekerja dengan baik. Kamu seharusnya bisa mengambil hati Julie sampai dia lupa soal Mommy-nya! Paham?"
Amara membalas tatapan Keenan dengan berapi.
"Jadi ini alasan sebenarnya Bapak Keenan meminta saya menjadi guru privat Julie?" sergah Amara. "Sampai kapan pun, saya tidak akan bisa menggantikan posisi Mommy Julie. Asal Bapak tau hal itu."
***
8. Hati Yang Kosong
Mata Amara dan Keenan saling beradu.
"Kamu bilang apa, Miss Amara?" Intonasi Keenan meninggi.
"Saya tidak mungkin menggantikan posisi ibu kandung Julie. Maaf kalau saya terdengar lancang. Tapi, perceraian orang tua tidak seharusnya mengorbankan kebahagiaan anak," tegas Amara.
Keenan mendengkus. "Kamu tidak tahu apa-apa soal kehidupan pribadi saya."
"Memang," pungkas Amara. "Yang saya lihat Julie sangat rindu Mommy-nya."
"Kamu baru bertemu anak saya satu kali," sergah Keenan.
"Dan pada pertemuan pertama ini saya bahkan sudah bisa menangkap kerinduan gadis itu pada Mommy-nya."
Mimik Keenan penuh amarah. Ia memilih menahan kesal dengan memutus tatapan dengan Amara. "Ini sudah malam. Sebaiknya Miss Amara pulang. Terima kasih karena sudah mengajar Julie untuk hari ini."
"Baik, kalau begitu saya permisi," pamit Amara. Ia meraih sling bag dan bergegas keluar.
Keenan mendadak menyusul. Ia menahan lengan Amara dengan erat. "Kalau kamu bersikeras melawan saya, sebaiknya kamu tidak perlu datang lagi besok."
Amara menepis tangan Keenan. Tanpa menjawab, ia pun melenggang pergi.
***
Di dunia ini ada bermacam-macam jenis manusia --- berbeda-beda nasib, karakter, dan asal muasal.
Ada manusia yang terlahir dari keluarga miskin dan dipaksa hidup serba kekurangan. Lalu ada manusia yang semenjak lahir sudah menerima keistimewaan dalam hidup. Mereka beruntung karena bergelimang materi. Kalau dipikir lagi --- sangat tidak adil.
Amara adalah contoh si miskin yang terlahir dari keluarga sederhana asal Rembang. Bapak dan ibu Amara hanya seorang nelayan dari Tasik Agung. Salman, bapaknya, bekerja banting tulang demi menyekolahkan Amara sampai kuliah. Salman pikir, paling tidak salah satu dari anaknya harus menjadi seorang sarjana. Sebagai anak sulung, Amara termasuk beruntung karena bisa mengenyam pendidikan sampai Universitas. Beda dengan si adik, Sally, yang hanya mampu disekolahkan hingga SMA.
Amara sangat bertekad untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Selepas lulus kuliah, ia langsung diterima di creative agensy paling terkemuka di Surabaya. Amara menjabat sebagai staf departemen pemasaran atau advertising. Karier Amara melonjak pesat berkat kepiawaiannya dalam menciptakan konsep iklan yang menarik. Hasil kerja Amara selalu memuaskan para klien.
Ia dan Bastian bertemu saat lelaki itu menggunakan jasa Amara untuk membuat konten iklan. Bastian langsung tertarik pada pandangan pertama.
Bastian berhasil mengambil hati orang tua Amara di kampung karena pembawaan yang sopan. Terlebih ia sudah mapan dan berasal dari keluarga menengah ke atas. Sebenarnya, Amara tidak ingin buru-buru menikah di usia 25 tahun. Namun, kedua orang tua wanita itu meyakinkan bahwa lelaki seperti Bastian tidak boleh sampai lepas.
Perlakuan Bastian juga romantis --- meluluhkan hati Amara. Pada akhirnya, mereka mantap menikah setelah enam bulan berpacaran.
Semula Amara yakin Bastian adalah lelaki yang tepat. Tapi sekarang ia ragu.
Bastian mulai perhitungan soal uang. Setelah Amara resign, jatah bulanan dari sang suami hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Wanita itu tidak lagi sanggup mengirim uang setiap bulan untuk keluarganya. Amara selalu merasa bersalah karena tak bisa membalas jasa kedua orang tuanya. Dia juga menyimpan kesedihan jika teringat Salman yang masih melaut di usia senja.
Amara menyalakan mesin kendaraan. Ia tancap gas dan meninggalkan kediaman Keenan Alkala Ibrahim. Dasar pongah! Ia merasa tidak sanggup bertemu lagi dengan Keenan. Tapi bagaimana jika Bastian marah? Hidup Amara sangat bergantung pada sang suami.
Padahal Amara kira, ini adalah jalan menghangatkan kembali hubungan dengan Bastian. Ia ingin membahagiakan sang suami.
***
Garasi rumah kosong tanpa ada mobil Bastian. Suaminya belum pulang. Padahal Keenan saja sudah ada di rumah. Kenapa Bastian malahan belum pulang?
Mungkin Bastian sibuk.
Amara selalu mengenyapkan semua pikiran negatif tentang Bastian. Ia enggan menambah kerumitan pada hidupnya yang sudah pelik.
Suasana rumah yang selalu sepi dan sunyi membuat Amara makin nelangsa. Ia rindu gelak tawa yang dulu selalu riuh terdengar. Amara rindu Bastian yang mencintainya. Ia butuh tempat berbagi cerita. Meluapkan segala yang sudah terjadi. Tentang selisih paham antara dirinya dan Keenan. Tentang Julie yang cantik dan mungil. Tentang semua.
"Mara!"
Bastian mengetuk pintu kamar mandi. Amara pun buru-buru mengenakan handuk dan keluar.
"Kamu sudah pulang, Mas?" sambut Amara. "Aku juga baru selesai mengajar."
"Gimana tadi?" buru Bastian.
Amara menelan saliva. Ia tiba-tiba ragu menceritakan soal insiden dengan Keenan. "Lu-lumayan lancar, kok." Ia berusaha mengalihkan pembicaraan. "Putri Pak Keenan namanya Julie. Dia sangat manis. Dan pada dasarnya Julie memang sudah ada bakat menggambar."
"Kamu ketemu Pak Keenan? Kamu bilang apa soal aku? Dia bahas-bahas seputar kerjaanku di kantor enggak?" Bastian tak peduli soal Julie. Ia hanya butuh informasi tentang Keenan.
Amara menggeleng.
"Aku cuma ketemu Pak Keenan sebentar. Ngomong-ngomong, dia itu duda, ya?"
Bastian mengibaskan tangan. "Alah. Itu enggak penting," sergahnya. "Masa' dia enggak bahas tentang aku sama sekali?"
"Enggak, Mas. Kita cuma bahas seputar Julie saja. Jujur, aku tidak suka sama sikap arogan bosmu itu," aku Amara.
"Kamu sendiri enggak mengawali pembicaraan seputar kerjaanku?" Bastian yang narsistik hanya mengindahkan soal diri sendiri.
"Nggak. Aku juga ngga berani bicara soal pekerjaanmu yang diluar ranahku sebagai guru privat."
Mata Bastian melotot. "Tujuan kamu menerima penawaran dia, 'kan, memang sebagai jalan penghubung antara aku dan dia. Kamu jangan lupa tugasmu itu!"
"Mas, aku dipekerjakan sebagai guru seni Julie. Tentu saja yang kami bahas seputar Julie saja," sanggah Amara.
Bastian mendengkus kesal. "Hash! Basa-basi dikit bisa kali, Mar! Tawarin dia makan siang di rumah pas liburan atau ungkit-ungkit akan kerja kerasku selama jadi manajer. Karirku ini seratus kali lebih penting dari pada kerjaanmu yang cuman ajarin anak kecil corat-coret pakai cat."
Bastian tak pernah berubah. Egois dan selalu merendahkan Amara.
"Aku? Harus basa-basi sama Pak Keenan?" ulang Amara.
"Kamu pikir untuk apa aku mengizinkan kamu menerima penawarannya? Pengakuan atas bakat melukismu?" Bastian tertawa mencibir. "Semua orang juga bisa ngelukis doang, Mara. Tujuanku biar kamu bisa ambil hati Pak Keenan melalui Julie. Kamu harus selalu menyanjung kinerjaku tiap kali kalian ketemu."
Amara terdiam.
Bastian menarik dagu Amara. "Paham enggak sih, Mar?" tandasnya.
"Iya, Mas," sahut Amara lirih.
"Dimintain tolong begitu doang udah manyun," sentak Bastian yang menyadari mimik sendu Amara. "Berguna dikit, kek. Setidaknya kalau ngga bisa kasih aku keturunan --- bantu aku supaya karierku naik."
"Bukan kuasaku tidak bisa memberimu anak, Mas!
Amara melengos dan kembali masuk ke dalam bath-room. Seutas pilu menusuk relung wanita itu. Ia percaya Bastian akan melindungi dan memberinya kebahagiaan. Tetapi semua hanya ilusi dan ekspektasi yang Amara bangun sendiri.
***
9. Ajang Memasak
Amara sibuk memandangi layar ponsel. Ia penasaran dengan Nadira Kemala, mantan istri Keenan. Pada aplikasi berbagi foto dan video online, Amara pun mencari Nadira. Dan ia menemukan akun bercentang biru tersebut.
Amara serius men-stalking feed Nadira yang estetik. Pantas saja Julie sangat cantik, baik Nadira mau pun Keenan sama-sama bibit unggul.
Pakaian yang dikenakan Nadira kebanyakan terbuka dan seksi. Begitu pula dengan posenya. Wanita itu punya wajah sensual dan tubuh aduhai. Seakan sadar dengan pesona diri --- Nadira selalu menonjolkan buah dada yang terbuka melalui pakaian ketatnya. Hidup artis itu juga hedonisme. Terlihat bahagia dan berkilau.
Namun, dari ratusan potret yang Nadira pajang, tak ada satu pun foto Julie. Hal tersebut lantas menimbulkan kesan ganjil bagi Amara.
Ah. Kenapa dia harus pusing?
Dirinya sendiri memiliki masalah cukup pelik. Semua tentang Keenan. Entah apa yang bakal Amara lakukan ketika nanti menjumpai lelaki itu lagi.
Amara mana mungkin berhenti begitu saja dari pekerjaan sebagai guru privat Julie. Bastian bisa marah besar. Dan parahnya --- pernikahan mereka jadi taruhan.
***
Hari yang Amara takutkan pun datang.
Ia terpaksa kembali ke istana Keenan Alkala Ibrahim untuk memberikan kelas seni pada Julie. Sepanjang jalan, Amara merapalkan doa-doa --- semoga Keenan lembur dan pulang setelah pelajaran selesai.
Bertemu dengan lelaki itu pasti hanya akan memberikan suasana canggung.
"Non Julie sudah menunggu, Miss. Kelas hari ini dia minta di kamarnya saja." Santi menyambut Amara dengan ramah.
"Iya, Bu. Tidak masalah. Asal Julienya nyaman." Amara mengikuti langkah Santi. Ia melewati sisi lain dari rumah Keenan yang luas.
Santi mempertahankan senyum. Tetapi sorot pengurus rumah itu seolah menyiratkan getir. "Mohon kesabaran Miss Amara dalam menghadapi Non Julie. Saya sudah bersama dia semenjak usianya dua tahun," terangnya. "Masalah keluarga dan kepindahan yang mendadak ke Surabaya memang membuat Julie merajuk, Miss."
Amara mengangguk. "Baik, Bu Santi."
"Tapi saya melihat Non Julie cukup tenang hari ini. Semoga saja dia tak akan berulah."
Amara tersungging. "Saya sudah mempersiapkan diri, kok, Bu Santi. Tenang saja." Ia tak gentar menemui Julie, justru ayah dari anak itulah yang Amara hindari.
Santi menghentikan langkah. Ia membuka pintu dan mempersilakan Amara masuk.
"Silakan, Miss. Ini kamar Non Julie."
Mata Amara membulat ketika memasuki kamar Julie. Ruangan serba pink itu mirip istana boneka Barbie. Di dalam, Julie kecil sudah duduk manis menghadap kanvas yang terletak pada easel.
"Halo, Miss. Silakan masuk." Julie menengadahkan kepala.
Amara mengambil tempat tepat di sisi Julie. Ia menelisik paras bocah kecil itu dengan cermat. Ada yang berbeda dari Julie. Ia kuyu dan pucat. Rona bibir Julie putih leci serta kering pecah-pecah --- layaknya orang dehidrasi.
Namun Amara belum terlalu peka mengenai itu.
"Hari ini kita belajar tentang warna langit, ya. Julie tahu, 'kan, kalau warna langit kerap kali berubah-ubah?" kata Amara.
Julie mengangguk. "Kalau pagi langitnya warna biru tua. Siang langitnya biru muda. Terus sore oranye dan malam hitam. Gitu, ya, Miss?"
"Betul sekali." Amara tersenyum puas. "Nah, diantara warna-warna langit yang Julie sebutkan tadi, kira-kira mana yang paling Julie suka?"
"Julie tidak suka bangun pagi. Kalau siang terlalu panas dan terik. Sementara malam ... mengerikan karena gelap." Julie mengernyit berpikir. "Julie lebih suka saat sore atau senja."
"Wah, sama, dong. Miss juga suka warna langit di sore hari," timpal Amara.
"Oh ya? Kenapa?" selidik Julie.
"Mungkin ..." Amara tersungging. "Karena nama Miss Amara adalah Amara Senja. Jadi, Miss suka sama senja alias sore."
Julie melongo. "Oh, nama lengkap Miss, Amara Senja?" gumamnya. "Kenapa namanya gitu?"
Amara mengendikkan bahu seraya meringis. "Kata orang tua Miss, itu karena Miss lahir tepat saat matahari bersiap terbenam. Yaitu senja hari," terangnya. "Tempat kelahiran Miss dekat dengan laut. Pemandangan sunset-nya sangat indah dan cantik. Oleh sebab itu orang tua Miss Amara menamai Miss 'Amara Senja', berharap agar Miss bisa punya kehidupan seindah senja."
"Wah ..." Julie memandang Amara dengan mata membola.
"Julie, pernah lihat sunset di pantai?" tanya Amara.
Julie pun menggeleng. "Dulu Daddy dan Mommy janji ajak ke Anyer atau Bali. Tapi sampai sekarang belum ditepati. Kalau di Surabaya kata Bi Santi enggak ada pantai. Emang bener, Miss?"
"Ada, sih. Namanya Pantai Kenjeran."
"Kenjeran?" ulang Julie. "Kalau begitu nanti pas libur, Julie bakal ajak Daddy ke sana, ah!" Ia mendadak antusias.
Amara tersenyum kecut. Kenjeran mungkin tidak termasuk selera seorang Keenan.
"Wah pasti menyenangkan, ya," sahut Amara.
Mereka lalu memulai sesi kelas. Amara menerangkan hasil percampuran warna-warna primer. Warna merah dan kuning akan menghasilkan oranye atau jingga. Merah dan hitam menjadi merah tua. Merah campur biru berubah ungu --- dan lainnya.
"Langit sore adalah oranye. Warna tersebut percampuran dari warna apa saja?" tanya Amara.
Julie terdiam sebentar. "Merah dan kuning?" jawabnya.
"Tepat sekali!" Amara mengangguk. Julie benar-benar memperhatikan penjelasan yang ia tuturkan.
Amara lantas meminta Julie agar mencampurkan warna-warna primer agar menghasilkan warna baru. Ketika sedang serius melakukan tugas dari gurunya, perut Julie tiba-tiba berbunyi. Gadis kecil itu berulang kali memegangi perut.
"Julie," panggil Amara. "Julie lapar? Tadi sebelum Miss datang belum makan, ya? Sekarang mau makan dulu?"
"Ngga. Julie ngga mau."
"Kok ngga mau? Perut Julie keroncongan, tuh. Kasian banget minta diisi." Amara menggoda Julie dengan menusuk perut Julie menggunakan telunjuknya.
Julie terkikik geli.
"Enggak, Miss. Julie nggak mau makan."
"Kenapa?" pancing Amara.
"Julie sedang mogok makan. Julie hanya mau makan kalau Mommy yang masakkin."
Amara terpenjat. "Astaga. Kamu meniru dari mana, mogok makan segala?"
"Teman di kelas Julie begitu. Dia nggak mau makan siang dan merengek minta dijemput mamanya. Terus, mamanya dateng. Julie juga mau begitu," terang Julie polos.
Amara menghela napas berat.
"Jadi, kamu sudah nahan lapar dari jam berapa?"
"Dari pagi."
Amara kembali terperanjat.
"Julie, kalau Julie tidak makan, nanti Julie bisa sakit ..." kata Amara.
"Biarin aja, Miss. Kalau Julie sakit, nanti Mommy, 'kan, pulang," balas Julie.
Hati Amara bak teriris. Keenan egois sekali! Gara-gara egonya yang tinggi, Julie harus jadi korban. Kenapa dia melarang Nadira menemui putrinya sendiri? Sekarang --- anak kecil itu harus menderita sendirian.
"Julie lanjutkan sendiri dulu, ya." Amara bangkit dari duduk. "Miss keluar sebentar."
Julie mengangguk. "Baik, Miss."
Amara pergi dari kamar Julie dan mencari Santi. Beruntung kali ini ia tak tersesat dan berpapasan dengan pengurus rumah itu di area foyer.
"Oh, Miss Amara?" Santi memandang Amara penuh tanya. "Ada apa?"
"Bu Santi ..." Raut Amara gamang. "Ehm, begini, sepertinya Julie belum makan dari pagi, ya? Maaf kalau saya terpaksa bilang begitu ... tapi ... tadi dia mengaku pada saya kalau sengaja tidak mau makan."
Mata Santi membelalak. "Astaga! Non Julie bilang begitu, Miss?" selidiknya. "Febi tidak bilang apa-apa sama saya."
"Febi?" Amara mengernyit.
"Febi itu governess¹ Non Julie," terang Santi. "Saya akan panggil Febi dan bicara padanya, Miss."
***
Sambil tertunduk takut, seorang wanita muda terdiam - mendengarkan omelan dari Santi. Dia adalah Febi. Menurut pengakuannya, ia tak berani berkata jujur karena takut dengan Santi dan Keenan.
"Non Julie bisa sakit, Feb!"
"Ya, Maaf, Bu Santi." Febi menghindari kontak mata.
Amara yang berada di tengah suasana tidak nyaman --- mencoba mendinginkan suasana.
"Sudahlah, Bu Santi. Lebih baik kita cari cara supaya Julie mau makan."
Santi mengarahkan telunjuk pada Febi. "Ini pertama dan terakhir saya memperingatkanmu, ya, Feb. Lain kali kamu begini, saya akan langsung berhentikan kamu."
"I-iya, Bu Santi. Saya janji tidak akan ulang lagi."
"Mbak Febi," panggil Amara lembut. "Biasanya Julie sukanya makan apa?"
"Dia suka ayam krispi, Miss. Hari ini saya sudah menyuguhkan Julie semua makanan kesukaannya. Tapi dia bersikukuh menolak. Sampai saya tawari kue juga tidak mau."
Santi kembali melotot. "Kamu kasih Non Julie kue? Pak Keenan ketat soal aturan makan Julie, lho, Feb!"
"Ma-maaf." Febi kembali terpojok. "Saya juga ikut kepikiran. Makanya kasih apa pun yang sekiranya Julie mau. Tapi ternyata dia tetap menolak. Dia bilang mau makan masakan buatan Mommy-nya."
"Dulu ... Mommy-nya Julie suka masak masakan apa, Bu Santi?" tanya Amara.
"Seingat saya, Ibu Nadira tidak pernah masak, Miss. Terjun ke dapur saja tidak."
Amara menangkap raut kesal yang tersirat pada Santi. Jelas bahwa kepala pengurus rumah itu tahu sesuatu yang ia tak tahu.
"Begitu, ya." Amara mendesah berat.
***
"Wah, cantik sekali lukisan yang kamu buat, Julie? Baru saja Miss tinggal sebentar, tugasmu sudah hampir selesai."
Amara duduk di samping Julie.
"Ini gambar pantai." Julie mengulum senyum malu-malu.
"Miss Amara juga mau ikut menggambar bersama Julie, ya. Boleh?" Amara melirik Julie. Ia merencanakan sesuatu.
"Boleh."
Amara lantas mengambil buku sketsa dan pensil warna. Ia mulai menggoreskan alat gambar ke atas kertas putih. Apa yang wanita itu pun lakukan memancing atensi Julie.
"Miss bikin apa?" Julie mengintip.
Amara mengulum senyum. "Miss sedang menggambar makanan-makanan yang Miss suka. Julie lihat, deh." Ia lihai menggores garis demi garis hingga menyerupai bentuk burger, pizza, dan ice cream.
"Itu kesukaan Miss semua?"
Amara mengangguk. "Kalau Julie sukanya apa?"
Julie meletakkan palet dan alat lukis di tangan. Ia serta merta menempel pada Amara. Bocah itu menelan saliva.
"Telur ceplok," jawab Julie.
"Telur ceplok?" Amara mengernyih.
"Dulu Mommy suka buatin Julie telur ceplok campur nasi kecap," terang Julie. Ia kembali meneguk ludah.
"Enak juga, ya, Julie. Telur ceplok dengan nasi yang masih hangat. Apa lagi kalau ditambah rumput laut kering."
Mata Julie berkilat. "Julie belum pernah coba begitu ..."
"Kalau telur dadar yang banyak isiannya pernah coba? Ada irisan wortel, bayam, sosis, dan daun bawang." Amara mengimbuhkan.
Julie menggelengkan kepala. "Mommy belum pernah buat, tuh. Mommy selalu sibuk syuting. Jadi Mommy cuma sempat buat telur ceplok. Sisanya koki yang masak."
"Wah sayang sekali. Padahal telur dadar gulung seperti itu enaaak sekali, lho."
Perut Julie kembali keroncongan. Ia buru-buru memegangi perut --- berharap bunyinya akan lenyap jika tersentuh tangan. Julie lantas meraih palet dan kuas untuk melanjutkan lukisannya. Ia berusaha menahan lapar sekuat tenaga.
Amara kembali melanjutkan, "Julie bisa minta tolong koki di dapur untuk membuatkan telur dadar gulung, 'kan?"
"Ngga." Julie bersikukuh. "Julie sudah bosan sama masakan koki. Sudah tahu rasanya."
Amara mengembuskan napas panjang. Julie memang cerdas dan cerdik hingga susah untuk dibujuk.
"Tapi kalau rasa masakan Julie, Julie belum tahu, kan?" pancing Amara.
Julie pun menoleh pelan. "Masakan Julie? Julie ngga bisa masak, Miss ..."
"Kata siapa?" Amara tersungging. "Belum dicoba, kan ...?"
Julie refleks membuang muka. "Kata Daddy ngga boleh main di dapur nanti kena api."
"Tapi Daddy-mu, belum pulang, lho ..." Amara membisik.
Julie terpegun. Bocah itu kini merasa sangat terpancing dan penasaran.
"Tapi kata Daddy, Julie harus kursus. Ngga bole main-main."
"Bikin telur dadar gulung juga termasuk seni," sergah Amara sekenanya. "Kita harus pintar atur komposisi bumbu dan bahan-bahannya. Membaliknya juga harus tepat waktu agar tidak gosong. Sama seperti pencampuran warna ketika melukis."
"Gi-gitu, ta, Miss?" Julie berbinar-binar.
Amara mengangguk semangat. "Jadi, gimana? Mau nggak memasak bersama Miss di dapur? Nanti kita cicipi bersama, kalau enak, berarti nilai seni Julie 100. Tapi, kalau kurang enak, terpaksa Miss kasih nilai 50." Bibirnya melengkung ke bawah seolah bersedih.
Julie bangkit dari kursi penuh semangat. "Julie bakal bikin yang enak!" serunya berapi.
***
Santi dan Febi berdiri agak jauh dari dapur. Mereka memandangi Amara dan Julie dengan saksama dan harap-harap cemas. Berdoa supaya rencana Amara memanipulasi Julie agar mau makan berhasil. Sementara para tukang masak, sudah menyiapkan semua bahan yang Amara minta. Mereka menjeda segala kegiatan demi memberikan keleluasaan untuk Julie.
"Aku boleh pegang pisau? Boleh potong sendiri?" tanya Julie.
"Boleh. Selama ada orang dewasa yang mengawasi, Julie boleh belajar menggunakan pisau. Julie mengerti?"
Julie mengangguk.
Bibir bocah itu terkatup ketika mencoba mengiris tipis daun bayam di atas talenan. Ia sangat fokus dan penuh kehati-hatian.
Sesekali Amara membimbing tangan Julie. Secara telaten wanita itu juga menjelaskan apa saja kandungan vitamin pada sayur mayur yang Julie potong.
"Kalau sosis, vitamin apa, Miss?"
Amara terkekeh. "Sosis ... tidak punya banyak vitamin, sih. Tapi karena rasanya enak, kadang-kadang makan ini juga nggak apa-apa. Pokoknya jangan sering-sering, ya?"
"Iya!" Julie tertawa lebar.
Jantung Amara berdetak kencang saat menangkap bungah Julie. Hati wanita itu bak tergelitik. Seutas rasa sayang yang tidak mampu Amara jabarkan mendadak menyergap.
"Miss, udah, nih. Terus gimana?"
Amara terkesiap. "Oh, ki-kita campur ke dalam mangkok, yuk."
Mereka berdua pun mengocok telur dan bahan-bahan yang sudah diiris kecil. Amara memberikan Julie kebebasan untuk menaburkan bumbu perasa ke dalam adonan telur. Semakin sedikit ia campur tangan --- maka kepercayaan diri Julie akan makin besar. Ia yakin, Julie akan menghabiskan masakan buatannya sendiri dan melupakan soal rencana mogok makan.
Setelah menggoreng telur pada wajan, Amara pun membantu Julie memindahkan masakannya ke atas piring. Meski bentuk telur dadar itu berantakan dan sedikit gosong pada setiap sisinya, Julie terlihat puas. Bocah itu tidak berhenti memandangi 'hasil karyanya' dengan mata berbinar-binar. Julie juga menambahkan tumpukan daun parsley sebagai hiasan.
"Cantik, nggak, Miss, buatanku?" pamer Julie bangga.
Amara tertawa gemas. "Cantikk sekali! Hmm, tapi bagaimana dengan rasanya, ya, Chef Julie?"
"Cepat kita makan kalau begitu! Miss Amara ambil nasinya. Dikasih kecap dikit, Miss!" titah Julie bossy.
"Siap, Chef!" Amara sigap menuruti perintah murid kecilnya. Ia sengaja mengambil nasi dalam porsi menggunung agar perut Julie kenyang.
Santi dan Febi ikut bernapas lega. Mereka senang bukan main karena Amara berhasil mempengaruhi ratu kecil Julie untuk makan.
"Sini, biar Mbak Febi yang bawakan piringmu ke meja makan." Febi menghampiri Julie.
Julie menyodorkan piring kepada Febi. "Hati-hati bawanya, Mbak Febi." Ia berlagak bak koki terkenal setingkat Gordon Ramsey atau Juna Rorimpandey.
"Nanti Bi Santi foto dulu sebelum dimakan, ya, Non." Santi senyum-senyum mengikuti.
Julie mengangguk pongah. "Boleh. Asal yang bagus fotonya, ya, Bi."
Amara menahan geli sambil mengekori. Mereka berempat menyusuri koridor menuju ruang makan. Tarikan bibir Amara seketika pudar saat tiba di sana. Ia terperangah dengan arsitektur tempatnya berada.
Kombinasi batu alam menempel pada setiap sisi dinding dan menciptakan suasana hangat. Lalu, penerangannya sendiri berasal dari lampu gantung kristal yang menjulur ke bawah. Di lain sisi, tampak rangkaian bunga mawar terpajang estetik pada setiap sudut meja. Yang terakhir, meja kayu jati tergeletak memanjang dilengkapi deretan kursi saling berjajar. Ruang yang mereka sebut ruang makan itu sungguh luar biasa mewah layaknya restoran bintang lima.
"Kalau dari tampilannya, sih, kelihatannya enak, ya, Miss?" Julie sudah duduk manis sambil bersiap melahap makanan. Cara bicara bocah itu mirip juri acara memasak.
Kedua alis Amara bertautan --- ikut menimpali gesture Julie.
"Kalau dari tampilannya memang menggiurkan, Chef. Tapi saya tidak yakin sampai kita mencicipinya."
Santi dan Febi yang berdiri di sisi meja kompak menahan tawa.
"Kita cobain sekarang ajalah, Miss. Ngga perlu bebasi-basi lagi," ucap Julie.
"Berbasa-basi, Julie," koreksi Amara.
"Iya. Berbasi-basa." Julie berusaha memperbaiki pengucapan tapi tetap gagal. Ia tidak peduli dan beralih memotong telur dadar untuk diletakkan ke atas piring nasinya.
"Silakan, Chef Julie makan duluan."
Secara impulsif, Julie memasukkan potongan besar ke dalam mulut. Ia tampak kesulitan bicara karena sibuk mengunyah.
"Yum ... my ..." gumam Julie sambil mengacungkan jempol.
Amara, Santi, dan Febi kompak bertepuk tangan.
"Ih, Non Julie hebat."
"Besok Mbak Febi juga mau makan masakan Julie," ucap Febi.
Hati Amara penuh haru bercampur bahagia. Baru kali ini ia merasa demikian setelah sekian lama. Ada kepuasan dan kelegaan ketika melihat Julie makan lahap di hadapannya. Perasaan yang mirip saat ia berhasil memenangkan hati klien-kliennya dulu.
"Miss, juga cobain dong!" Julie mengarahkan sendok menuju mulut Amara.
"M-Miss bisa suap sendiri, Julie." Amara sontak menolak.
Julie bersikukuh. "Aaaa ..." paksanya.
Tidak ada pilihan lain bagi Amara selain membuka mulut. Ia lantas menerima suapan Julie dan mengunyahnya pelan. Ekspresi Amara dibuat-buat layaknya seseorang yang hendak menangis.
"Luaaaarrr biasa, enak sekali, Cheeef!"
Julie berseru penuh keriangan. Amara ikut tertawa bahagia sambil menemani Julie melanjutkan makan. Mereka semua tidak menyadari Keenan berjalan mendekat. Lelaki itu rupanya baru pulang dari kantor.
"Malam," sapa Keenan.
Amara tersentak. Padahal ... ia berharap tak bertemu dengan Keenan hari itu. Sial! Lelaki egois itu sudah datang!
***
¹ Governess : pengasuh/penjaga anak usia 5-14 tahun.
10. Ibu Pengganti
"Malam."
Suara Keenan sontak membuyarkan tawa yang semula menyeruak memenuhi ruang. Amara refleks menahan napas akibat teringat perselisihan mereka kemarin. Ia mengalihkan pandangan agar tak beradu dengan pemilik mata tajam itu.
"Malam, Pak." Santi menyambut kedatangan Keenan.
Keenan melirik pada jam tangan. "Jam berapa ini? Kenapa Julie sudah makan malam duluan?" selidiknya.
Febi berubah tegang. Sementara Santi sigap menghampiri sang bos.
"Boleh saya bicara dengan Bapak sebentar?" ajak Santi.
Keenan pun mengangguk. Sebelum mengikuti Santi, ia menyempatkan diri mendekati Julie. Lelaki itu mengecup puncak kepala putrinya yang sedang asyik makan.
Keenan mengernyit. "Makan apa, Julie?"
"Telur dadar gulung buatan Julie." Julie lalu mengarahkan sepotong untuk Keenan. "Daddy mau?"
Keenan membuka bibir demi menyambut suapan Julie. Namun, bocah kecil itu justru mengalihkan sendok berbalik arah. Keenan dikerjai oleh anaknya sendiri.
"Julie nggak mau kasih Daddy." Ia memasukkan sendok ke dalam mulutnya sendiri.
Amara yang berada di dekat Julie pun sekuat tenaga menahan tawa. Sementara raut Keenan terlihat salah tingkah karena malu.
Keenan berdeham dan menegakkan punggung. "Ya sudah kalau tidak mau kasih Daddy." Ia melirik Amara melalui sudut mata. Wanita ini memutuskan datang mengajar lagi rupanya ...
Keenan kemudian berjalan pergi dari ruang makan untuk mengikuti Santi. Setelah mereka berlalu, Febi bergegas menegur perbuatan usil Julie.
"Julie, lain kali jangan gitu sama Daddy. Tidak boleh pelit sama Daddy-nya sendiri."
Julie berkecimus. "Biar aja. Gara-gara Daddy, Mommy ngga tinggal bareng Julie lagi."
Amara menghela napas. Hari ini ia berhasil membujuk Julie untuk makan. Namun, bagaimana jika besok-besok gadis kecil itu kembali merindukan sang ibu? Ia khawatir Julie akan bertingkah lagi.
"Ehm, sepertinya jam belajar kita sudah selesai, Julie. Miss pamit pulang, ya." Amara buru-buru bersiap pergi agar tak harus bicara dengan Keenan.
"Yah? Miss mau pulang?" Raut Julie memelas.
"Lukisanmu bisa dilanjutkan saat pertemuan berikutnya. Dan Miss lihat, Chef Julie sudah menghabiskan makanannya. Good job!" puji Amara.
Julie tersipu. Pipi tembam bocah enam tahun itu merona. Bibir mungilnya juga sudah tampak segar tak seperti semula.
"Berapa nilai Julie, Miss?" selidik Julie.
"Seratus!" Amara mengacungkan kedua jempol.
Julie mengepalkan tangan penuh semangat. "Yes!" serunya.
"Miss akan ambil tas di kamar Julie. Julie selesaikan saja makannya." Amara bangkit dari duduk.
"See you, Miss." Julie melambaikan tangan.
"Terima kasih, Miss Amara." Febi ikut berucap seraya mengantar Amara.
***
Dengan terburu-buru, Amara memasukkan peralatan lukis miliknya ke dalam tas. Ia juga merapikan tube cat air yang berserakan pada meja belajar Julie. Sebelum pergi, tak enak rasanya jika meninggalkan ruang dalam kondisi berantakan.
Amara lantas membawa mug berisi air kotor sisa Julie membersihkan kuas. Ia melangkah menuju bathroom muridnya untuk membuang cairan tersebut.
"Aku sudah dengar dari Bi Santi."
"Astaga!" Amara terperanjat hingga menumpahkan air di mug yang ia bawa.
Keenan --- dia seperti hantu yang mendadak muncul di depan pintu kamar Julie. Lelaki itu mendekat ke arah Amara sambil menatap datar. Aroma mint seketika menguar menusuk penciuman Amara. Seharusnya parfum mahal Keenan bisa berefek menenangkan --- tetapi tidak bagi Amara.
"Ma-maaf karena menumpahkan ini di lantai. Saya akan membersihkannya ..."
Keenan membisu. Ia meraih kotak tisu yang tergeletak di atas nakas.
"Tidak perlu meminta maaf," ucap Keenan. Ia tenang meraih tangan Amara dan mengelapnya menggunakan tisu. "Aku tidak menduga akan mengagetkanmu, Miss."
Sentuhan Keenan membuat Amara mematung bak karang. Seharusnya ia menolak jamahan Keenan, tetapi wanita itu justru membiarkannya. Secara telaten dan lembut, Keenan mengusap buku-buku jari Amara yang lentik. Lelaki itu membersihkan sisa-sisa noda yang menempel di sana hingga tak bersisa.
"Terima kasih untuk semua yang kamu lakukan untuk Julie." Keenan menggumam.
"Sa-saya ..." Jantung Amara kian berdebar tak menentu.
Keenan mengunci Amara dalam pandangan mata hitamnya. "Dan maaf karena kemarin saya sedikit kasar."
"Saya hanya melakukan semampunya." Amara menarik jemarinya.
"Miss Amara berhasil mengalihkan pikiran Julie tentang Mommy-nya. Kurasa, kamu memang bisa kuandalkan."
Raut Amara mengeras. Ia meraih tas dan bersiap meninggalkan Keenan.
"Kenapa harus saya yang melakukan itu?" sahut Amara.
"Apa?"
"Kenapa tidak Pak Keenan saja? Bukankah Bapak adalah Daddy-nya Julie? Saya rasa, dia hanya sangat kesepian."
Keenan memandang Amara lekat-lekat. "Ke-kesepian?"
"Kalau memang Mommy-nya tidak ada, setidaknya Julie harus mendapatkan perhatian penuh dari Pak Keenan. Itu menurut saya."
Keenan menghela napas berat.
"Yah, mungkin Miss benar."
Amara berganti terbelalak. "Sa-saya benar? Pak Keenan tidak marah lagi karena cara bicara saya yang lancang?" tanyanya.
"Tidak." Keenan menggeleng. "Justru saya berterima kasih karena Miss telah mengingatkan saya tentang hal itu," akunya. "Saya sadari, saya memang terlalu sibuk bekerja hingga mengabaikan Julie." Ia menarik kedua sudut bibir hingga membentuk garis melengkung ke atas. "Terima kasih, Miss Amara."
Amara lagi-lagi berdegup. Senyum Keenan merupakan hal langka baginya. Semua kesan sombong dan dingin darinya seketika menguap begitu saja. Mimik wajah Keenan begitu hangat dan teduh. Apa lagi karena kemunculan dua lesung pada pipi bercambang tipis lelaki itu.
"Sama-sama." Amara membalas pelan seraya keluar dari kamar. "Saya permisi pulang."
***
Malam itu, Bastian belum pulang hingga tengah malam. Amara yang tertidur di sofa rumah pun mengambil ponsel untuk mengecek waktu. Ia menegakkan badan seraya mengumpulkan kesadaran. Wanita itu lantas menempelkan ponsel pada telinga.
"Halo, Mas?"
Dari seberang, suara Bastian terdengar menjawab, "Ya, Mar? Kenapa?" sahutnya tanpa beban.
"Mas, ini hampir jam satu, kok, kamu belum pulang juga?" tanya Amara.
"Lembur. Ada target yang belum tercapai. Kamu tidur aja, nggak usah tunggu aku."
Amara muram. "Pak Keenan saja jam tujuh sudah pulang, Mas," imbuhnya.
"Ya dia, 'kan, bos! Anak yang punya perusahaan. Mau dia pulang pagi - siang juga sah-sah, aja!" sungut Bastian gusar.
Amara tercekat. Bastian selalu ketus tiap kali bicara dengannya.
"Gimana, ada perkembangan apa sama Pak Keenan? Kamu udah ngobrol apa saja sama dia?" selidik Bastian.
"Tidak ada obrolan yang berarti. Aku cuma ketemu dia sebentar. Cuman, Julie sudah mulai akrab denganku. Dan Pak Keenan tampaknya menghargai itu," jelas Amara.
Bastian terkekeh. "Bagus. Dekati terus dia. Kalau keluarga kita akrab sama dia, jabatanku di kantor bakalan cepet naik. Nggak harus lembur kayak begini, Mar. Kamu juga yang seneng."
"Iya." Amara menggumam lesu.
"Ya udah. Aku mau lanjut kerja dulu." Bastian pun mengakhiri sambungan telepon mereka.
Amara bangkit dari duduk. Ia melirik sepintas ke arah meja makan. Tadi setelah mengajar, wanita itu memasak sup daging untuk Bastian. Tetapi sepertinya semua sia-sia.
Bastian tidak pernah ada untuknya.
***
Dalam kamar yang gelap dan hening. Amara membaringkan tubuh seraya terpejam. Ia berulang kali menarik selimut dan membalikkan badan. Padahal tadi Amara sangat mudah tertidur --- sekarang ia justru tak bisa.
Ia teringat momen kala mengajar tadi sore. Ketika Keenan menyentuh jemarinya.
"Ah!" Amara mendecih seraya mengganti posisi.
Tidak sepantasnya Amara memikirkan lelaki lain selain suaminya. Itu dosa!
Tapi ... Tidak dapat dipungkiri, gairah Amara berdesir saat kulitnya dan Keenan saling bersentuhan. Usapan lelaki itu begitu lembut dan menggoda. Tubuh Amara serasa memanas.
"Hu-uh!" Amara kembali belingsatan.
Ini pasti karena ia dan Bastian tak pernah bermesraan. Pikiran Amara jadi suntuk karena kesepian. Ia tidak punya teman mengobrol baik di dalam atau luar rumah.
Wanita itu lalu melirik pada laci nakas paling bawah di samping ranjang.
Amara ragu-ragu menuruni ranjang. Ia membuka laci dan merogoh ke dalam sana. Dengan gamang, tangannya mengeluarkan sebuah kotak persegi berwarna hitam. Amara pun menelan saliva.
Dulu, Bastian memberikan itu padanya. Mainan dewasa yang sering mereka mainkan pada awal masa pernikahan. Bastian bilang, toy bisa memanaskan suasana saat mereka bercinta. Meski pun, Amara semula menolak, Bastian terus memaksa. Suaminya ingin dia lebih agresif dan liar di ranjang. Padahal, Amara adalah wanita polos yang tak pernah memikirkan hal-hal non-konvensional semacam itu.
Malam ini Amara merasa kotor. Ia mengeluarkan mainan silikon di tangan karena berniat menggunakannya. Amara ingin menghilangkan sisa nafsu yang serasa bersarang dalam relung. Mungkin --- benda berbentuk batang lelaki itu bisa membantu.
Pelan-pelan, Amara melucuti pakaian. Ia memandangi tubuh polosnya di depan cermin kamar. Kedua buah gunung kembar miliknya cukup padat dan berisi. Pinggang Amara juga ramping. Namun, apa yang salah hingga Bastian enggan bercinta dengannya? Apa karena kulitnya yang kurang putih?
Amara memijat gundukannya sendiri. Ia pun mendesah pelan. Tetapi kenikmatan yang sebenarnya adalah ketika ia memilin pucuk dada menggunakan jemari. Bagian itu sudah menegang. Dan Amara mencoba tenang serta menyingkirkan semua masalah dalam benak. Tubuh wanita itu pun mulai rileks dan memanas. Rangsangan pada dua tonjolan merah mudanya berhasil membuat bagian bawah Amara berdenyut.
Satu tangan Amara lantas turun untuk menjamah liangnya sendiri. Sudah basah.
Jari Amara mengitari biji sensitifnya. Semakin kuat ia menekan-nekan bagian itu, lubrikan pun semakin licin keluar.
Napas Amara berat. Ia mengambil mainan silikon berbentuk kejantanan tadi dan menggesek-gesekkannya pada ambang liang. Mata Amara terpejam. Demi menambah sensasi, wanita itu berimajinasi seolah-olah Bastian sedang menyentuhnya. Suaminya adalah lelaki yang sangat gagah. Memiliki perut berotot kotak berjajaran mirip roti sobek. Kulit Bastian juga sangat eksotis --- sawo matang. Selain itu, seingat Amara, Bastian lihai di ranjang. Entahlah ... ia sudah lupa dengan rasa nikmat itu. Terakhir kali mereka bercinta, Bastian sama sekali tak memikirkannya. Suaminya begitu terburu-buru. Tanpa rayuan, buaian, atau pun cinta kasih.
"Oh, ya ..." desah Amara pecah.
Dildo seukuran batang lelaki itu berhasil memenuhi miliknya. Terasa penuh dan menuntut.
Amara memainkan toy di dalam liang yang basah dan berkedut. Pinggulnya bergerak frustrasi karena gelenyar erotis dari silikon panjang. Ia pun merebahkan tubuh ke atas ranjang dengan kaki terbuka lebar. Wanita itu konsisten menyodok kewanitaan merahnya menggunakan toy berurat.
Imajinasi Amara melanglang. Ia hampir mencapai klimaks. Dan ... sosok Keenan Alkala Ibrahim tiba-tiba muncul dalam fantasinya. Lelaki itu bertelanjang dada menampilkan kulit putihnya. Lekuk tubuh Keenan sempurna, walau tak memiliki otot sebesar Bastian. Amara pun membayangkan lelaki dingin itu menggenjot dirinya sekarang.
"Ah ... Ya ..." Tubuh Amara gemetaran seraya menggelinjang hebat. Ia telah mendapatkan klimaks.
Sambil mengatur napas tersenggal, Amara sontak mengutuk diri. Bisa-bisanya ia mengingat Keenan tepat saat mencapai klimaks. Amara sudah gila!
***
Keenan mengetuk pintu bermaterial fiberglass di hadapannya.
Ini memang masih pagi. Ada sedikit keraguan berkelindan pada benak lelaki itu. Apakah kedatangannya akan mengganggu si tuan rumah atau tidak. Namun, Keenan merasa perlu berkunjung demi mengganti hari kursus sang putri, Julie.
Hari ini Keenan ada rapat mendadak di Jakarta. Dan Julie - ditemani pengasuhnya - akan menyusul ke sana sepulang sekolah nanti. Itu sebabnya Keenan ingin menemui Amara untuk menyampaikan seputar perubahan tersebut.
Toktoktok.
"Selamat pagi," ucap Keenan. Ia berharap Bastian yang akan menyambut di depan pintu.
Setelah berdiri beberapa menit pada teras, pintu pun terbuka. Bukan Bastian yang tertangkap oleh iris pekat Keenan. Melainkan Amara.
Bibir Keenan terkatup dengan lidah yang mendadak kelu.
Dia --- Amara hanya mengenakan camisole tipis berbahan satin. Buah dada wanita itu terlihat mengintip dari balik gaun putih yang ia kenakan. Selain itu, Keenan menyadari Amara sedang tak menggunakan bra. Jakun Keenan pun bergerak naik turun karena menelan saliva.
Gila! Bastian benar-benar beruntung!
***Bersambung
Hola, folks!
Aku tunggu love dan komen sebanyak-banyaknya. Supaya makin semangat update. FORBIDDEN DESIRE masih blm punya jam update yang pasti. Tapi kalau komen dan love kalian banyak, aku bakalan rajin aploadnya.
Salam sayang - MN
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
